Senin, 14 November 2011

Titik Balik Ilmu Politik?

"REFLEKSI TENTANG MISTIK POLITIK DAN POSTMODERNITAS"

Jikalau politik postmodern telah kita identifikasikan sebagai "kembali pada metafisika", melalui relasi-relasi kuasa yang diciptakan oleh aktor-aktornya, lantas bagaimana metafisika itu dioperasionalisasikan? Apakah "roh absolut" -seperti kata Hegel- itu hadir dan mewujudkan dirinya dalam praktik politik kontemporer? Ataukah justru ada "sesuatu" yang asing dalam dunia politik hari ini?

Kata kunci yang kita dapat pada tulisan sebelumnya adalah adanya "dukun" alias praktik mistik dalam politik pascamodern. Dukun bekerja di atas kekuatan mitis; mengoperasionalkan kekuatan politik yang metafisik untuk dikerahkan memenangi Pemilu. Oleh sebab itu, dukun perlu bergelut dengan kehidupan mistik dengan segala kompleksitasnya.

Mistik punya kompleksitasnya sendiri. Politik pun begitu. Keduanya terentang begitu jauh. Tapi bagaimana ketika postmodernitas mempertemukan keduanya?

Mitisisme
Filsafat Mistik yang terkenal adalah Henri Bergson. Dalam jangka waktu yang sangat lama, filsafat barat kental dengan dualisme mengenai materi dan jiwa. Ini kentara sekali dalam tulisan-tulisan Hegel. Filsafat dualistik, antara materi yang sifatnya fisik, dengan jiwa yang sifatnya metafisik, memisahkan "yang nyata" dan "yang tak nyata".

Henri Bergson, salah satu filsuf mistik Barat terkemuka, melihat dualisme ini ke dalam pengetahuan yang "intelek" dan "intuitif". Pengetahuan intelektual didapat oleh manusia melalui sains; penalaran deduktif manusia atas realitas "yang nyata". Namun sebaliknya, untuk melihat sesuatu yang metafisik alias "tak ternalar", diperlukan kemampuan intuitif. Pengetahuan intuitif ini diperlukan untuk melihat sesuatu yang tidak terindera secara fisik, tetapi secara eksistensial "ada".

Itulah yang menjadi jalan masuknya mistisisme. Dengan demikian, Bergson menolak saintisime, yang secara ontologis menolak sesuatu yang tak ternalar sebagai realitas. Saintisme -landasan bagi positivisme logis- memandang bahwa realitas itu adalah yang ternalar secara fisik, dalam kaidah-kaidah saintifik dan matematis. Yang tidak ternalar, alias ghoib, dianggap bukan realitas. Sebab, bagaimana kita bisa mengukur mereka yang tak terlihat?

Namun, persoalannya digeret ke wilayah eksistensialitas. Problem mistisisme tetap ada dalam wilayah-wilayah yang tak dapat ditembus akal. Dalam tradisi filsafat seperti itu, Hegel menemukan momentum dan posisinya. Ketika berbicara mengenai jiwa, roh, Hegel melihatnya secara metafisik-intuitif itu. Ia menyatakan bahwa roh itu secara eksistensial ada, tapi membicarakannya harus pada dimensi metafisik. Pembuktian saintifik menjadi tidak berguna, sebab dimensi ranahnya berbeda.

Maka dari itu, tradisi filsafat Hegelian melihat sejarah secara mistik, sebagai pengejawantahan roh absolut yang terus menemukan kesadarannya. Finalitas dari sejarah adalah ketika kesadaran roh absolut itu sempurna.

Tapi kapan? Ini mengundang interpretasi serius dari beberapa orang, semisal kaum Hegelian "kanan" di zaman Marx, yang melihat negara hukum Prussia sebagai finalitas roh absolut karena meng-kompromi-kan hukum dan kebebasan, atau seperti Francis Fukuyama yang melihat kapitalisme neoliberal sebagai "historical end" peradaban manusia.

Mistisisme yang dibangun oleh kerangka dualistik tadi kemudian coba dibongkar oleh positivisme yang menghidupkan kembali sains sebagai alat untuk menjadi rujukan apriori dalam berfilsafat. Positivisme memperkenalkan metode penalaran untuk melihat realitas. Sains menjadi kerangka utama. Sesuatu yang mistik atau esoterik (seperti agama, misalnya), harus dijauhkan dari pengetahuan karena tidak relevan dalam perdebatan saintifik.

Tetapi apakah begitu adanya? Derrida membongkar itu semua dengan menyatakan bahwa walaupun positivisme logis yang menjadi acuan saintifik dari pengetahuan itu ingin memisahkan metafisika dari sains, positivisme tersebut justru dirasuki oleh "metafisika kehadiran" (logosentrisme). Mengapa? sebab sains menjadi alat monopoli kebenaran, memarjinalkan kemungkinan "liyan" menjadi ketakbenaran.

Monopoli kebenaran berarti menyingkirkan apa yang disebut sebagai "intuisi" -dalam tradisi Bergsonian- serta menciptakan tolak-ukur metafisis sendiri atas kebenaran. Sesuatu yang dianggap benar menjadi "klaim" yang dibuat atas dasar legitimasi "sains" yang ilmiah. Herbert Marcuse, dengan tradisi teori kritisnya, menyebut klaim itu sebagai "kembalinya ideologi". Sains memang sifatnya material yang nyata, fisik, tapi klaim kebenarannya diruju secara apriori pada aksioma sendiri. "Metafisika" telah kembali, kira-kira seperti itu gambarannya.

Kembalinya metafisika itu yang menjadi aras kajian postmodern. Mistisisme yang sempat dibubarkan oleh positivisme, diproblematisasi kembali. Ketika metafisika kembali hadir dalam realitas, apakah harus tetap memegang dualisme seperti dipahami tradisi perenial dulu? Atau ada "gaya baru" metafisika dalam praksis politik postmodern?

Politik Postmodern
Kembalinya metafisika dalam aras kajian postmodern -setidaknya yang terungkap dari pandangan Derrida- membuat kita memikirkan kembali posisi metafisika dalam politik postmodern. Benarkah ada semacam gejala "metafisika kekuasaan" dalam praksis politik dewasa ini?

Politik adalah totalitas menuju kekuasaan. Seluruh sumber daya, fisik atau metafisik, dikerahkan untuk mengincar kekuasaan. Kontestasi politik adalah kontestasi kekuasaan, dengan pilar-pilar citra dan instruksi yang sebetulnya dibangun di atas fondasi metafisika. Patafisika politik, menurut Yasraf, adalah fenomena hadirnya metafisika dalam wujud "citra". Sementara satu lagi dalam bentuk manipulasi kesadaran, dalam bentuk-bentuk doktrin.

Metafisika politik mewujudkan dirinya dalam manipulasi kesadaran. Di sinilah mistik menemukan momentumnya. Dalam mistisisme, perlu ada intuisi untuk menangkap pengetahuan metafisik. Dalam tradisi kepercayaan Indonesia, kita mengenal istilah "dukun". Mereka mengoperasikan jin-jin yang diajak bekerjasama melalui rapalan mantra, untuk melakukan proyek-proyek tertentu.

Kini para politisi menampilkan dirinya sebagai "dukun". Ia mengerahkan semua sumber daya metafisik untuk memanipulasikesadaran orang lain. Dan untuk itu, ia memerlukan jenis spiritualitas tersendiri. Salah satu bentuk spiritualitas itu adalah "agama". Politik postmodern menjadikan agama sebagai alat untuk memanipulasi kesadaran; doktrin agama atau kharisma ulama menjadi alat untuk mendulang suara, memobilisir massa.

Agama dalam politik pascamodern tak ubahanya seperti rapalan mantra, untuk membangkitkan kekuatan metafisik yang akan memanipulasi kesadaran orang lain. Tujuannya adalah totalitas kekuasaan. "Agama" tidak lagi jadi basis etik-moral yang menggawangi praktik politik, tapi dilibatkan dalam citra. Ketika Pemilu, ramai orang memasang titel haji atau berfoto dengan simbol keagamaan. dan lain sebagainya, modus kekuasaan.

Ada yang menjadikan doktrin untuk merekrut anggota. Politik memerlukan sumber daya, oleh sebab itu dipakailah doktrin untuk menjerat anggota itu agar loyal. Tapi motifnya jelas adalah totalitas kekuasaan. Pengerahan sumber daya untuk menuju sesuatu.

Dan artinya, politik bisa dipotret ke dalam dua gejala. Pertama, gejala politisisme yang sangat berorientasi kekuasaan. Politik menjadi sarana bertahan hidup, sebagaimana diprasangkai Macchiavelli dan pemikir realisme. Dengan demikian, anarki adalah konsekuensi logis. Ini menjadi nyata ketika melihat praktik politik citra yang sama sekali meniadakan etika, tidak lagi berorientasi pada moralitas-etika politik yang universal.

Kedua, relasi dan pertautan kuasa yang kompleks di aras politik. Kompleksitas ini dapat dilihat pada semakin absurdnya realitas oleh lobbyu elite dan konstruksi media. Definisi mengenai "realitas" harus digeser secara metafisis karena tidak mungkin mempercayai praktik politik yang tampak nyata. Semuanya adalah realitas semu; penuh kedustaan, dan mengerahkan semuanya hanya untuk tujuan kuasa.

Dengan demikian, melihat politik saat ini sama saja dengan melihat dukun yang dengan kekuatan mistisnya bekerja untuk mendapatkan kekuasaan. Dukun itu bekerja di proyek-proyek anggaran, di kementerian, DPR, hingga kantor-kantor politik. Semua orang yang kini bekerja pada lembaga politik praktis adalah mereka yang terjebak pada pusaran mistisisme modern, yang melampaui mistisisme tradisional.

Dan artinya, pendekatan saintifik semakin diragukan untuk membongkar praktik politik yang ada. Sebab, dengan desain matematis dan positivisnya yang sangat kental, bagaimana mungkin ia dapat melihat sesuatu yang tidak tampak nyata? Bahkan, kecenderungan "spin-doctoring" yang dilakukan elite politik justru menggeret sains ke arah kooptasi; ia tidak lagi objektif, tetapi melayani kuasa tertentu.

Bagaimana Ilmu Politik?
Oleh sebab itu, dalam kerangka ontologis dan epistemologis, kita perlu membongkar kembali tradisi kajian dalam ilmu politik. Sudahkah pengembangan ilmu politik mempertimbangkan aspek metafisis di atas untuk melihat praksis politik kontemporer?

Beberapa strategi postmodern, seperti tekstualisasi politik (sebagaimana diperkenalkan Ian J Shapiro) hingga "Double Reading" bisa menjadi aras kajian baru. Melihat sebuah realitas politik bisa dilakukan melalui "double reading", pembacaan ulang atas realitas dengan menggunakan metode intertekstual (dipertemukan dengan teks lain). Realitas diperlakukan sebagai teks, yang penafsirannya tidak lagi bisa tunggal atau kasat-mata, melainkan perlu instrumen lain.

Saintisme dalam ilmu politik perlu sedikit-demi-sedikit dikurangi. Mungkin kita perlu beralih dari teori sistem, yang sangat memperhitungkan interaksi antar-aktor secara nyata, menuju aras pendekatan baru yang lebih kontemporer.  Jika tidak, ilmu politik akan semakin "usang", gagal menempatkan dirinya di antara relasi dan pertautan kuasa yang kompleks.

Secara epistemologis, tolak-ukur "kekuasaan" perlu diproblematisir kembali. Sebab, kekuasaan tidak hanya melintas dalam wujud kontestasi antar-aktor, tetapi juga di setiap ruang publik. Media, misalnya, memiliki tendensi untuk memainkan kepentingan politik sebab ia sudah menjadi bagian dari metafisika kekuasaan itu. Bahkan, pengetahuan juga sudah masuk ke ranah tersebut. Artinya, makna kekuasaan perlu kembali diredefinisi, bukan sekadar aktor formal, melainkan juga informal.

Implikasinya, ontologi ilmu politik juga perlu membicarakan hal-hal yang selama ini dianggap bukan bagian dari realitas politik, semisal media, gerakan mahasiswa, atau aktivitas masyarakat sipil. Metafisika Politik yang hadir melalui teknologi media, serta profesionalisasi politik perlu diulas secara lebih mendalam. Ini penting agar akademisi, peneliti dan analis politik kita tidak terjebak oleh konstruksi media atas fakta yang dianalisis.

Bahkan agama pun perlu diulas dalam kerangka tendensi kekuasaannya. Bentuk agama, secara substansial maupun simbol, bisa menjadi sebuah unit analisis untuk menjelaskan perilaku politik. Apakah sekadar "Islam-Islaman" (citra), idelogis (identitas) atau dalam memang dalam kerangka konseptual-ontologis (etika sosial).

Dan sebagai calon ilmuwan politik -terutama ilmu Hubungan Internasional- di masa depan, hal-hal semacam ini tentu perlu diproblematisir. Agar ilmu politik tidak terlindas oleh metafisika yang akhirnya membuatnya ketinggalan zaman. Mari bersiap untuk kajian yang lebih serius di masa yang akan datang.

Wallahu a'lam bish shawwab.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, meminati studi perbandingan politik.

Tidak ada komentar: