"REFLEKSI TENTANG MISTIK POLITIK DAN POSTMODERNITAS"
Jikalau
politik postmodern telah kita identifikasikan sebagai "kembali pada
metafisika", melalui relasi-relasi kuasa yang diciptakan oleh
aktor-aktornya, lantas bagaimana metafisika itu dioperasionalisasikan?
Apakah "roh absolut" -seperti kata Hegel- itu hadir dan mewujudkan
dirinya dalam praktik politik kontemporer? Ataukah justru ada "sesuatu"
yang asing dalam dunia politik hari ini?
Kata kunci yang
kita dapat pada tulisan sebelumnya adalah adanya "dukun" alias praktik
mistik dalam politik pascamodern. Dukun bekerja di atas kekuatan mitis;
mengoperasionalkan kekuatan politik yang metafisik untuk dikerahkan
memenangi Pemilu. Oleh sebab itu, dukun perlu bergelut dengan kehidupan
mistik dengan segala kompleksitasnya.
Mistik punya
kompleksitasnya sendiri. Politik pun begitu. Keduanya terentang begitu
jauh. Tapi bagaimana ketika postmodernitas mempertemukan keduanya?
Mitisisme
Filsafat
Mistik yang terkenal adalah Henri Bergson. Dalam jangka waktu yang
sangat lama, filsafat barat kental dengan dualisme mengenai materi dan
jiwa. Ini kentara sekali dalam tulisan-tulisan Hegel. Filsafat
dualistik, antara materi yang sifatnya fisik, dengan jiwa yang sifatnya
metafisik, memisahkan "yang nyata" dan "yang tak nyata".
Henri
Bergson, salah satu filsuf mistik Barat terkemuka, melihat dualisme ini
ke dalam pengetahuan yang "intelek" dan "intuitif". Pengetahuan
intelektual didapat oleh manusia melalui sains; penalaran deduktif
manusia atas realitas "yang nyata". Namun sebaliknya, untuk melihat
sesuatu yang metafisik alias "tak ternalar", diperlukan kemampuan
intuitif. Pengetahuan intuitif ini diperlukan untuk melihat sesuatu
yang tidak terindera secara fisik, tetapi secara eksistensial "ada".
Itulah
yang menjadi jalan masuknya mistisisme. Dengan demikian, Bergson
menolak saintisime, yang secara ontologis menolak sesuatu yang tak
ternalar sebagai realitas. Saintisme -landasan bagi positivisme logis-
memandang bahwa realitas itu adalah yang ternalar secara fisik, dalam
kaidah-kaidah saintifik dan matematis. Yang tidak ternalar, alias ghoib, dianggap bukan realitas. Sebab, bagaimana kita bisa mengukur mereka yang tak terlihat?
Namun,
persoalannya digeret ke wilayah eksistensialitas. Problem mistisisme
tetap ada dalam wilayah-wilayah yang tak dapat ditembus akal. Dalam
tradisi filsafat seperti itu, Hegel menemukan momentum dan posisinya.
Ketika berbicara mengenai jiwa, roh, Hegel melihatnya secara
metafisik-intuitif itu. Ia menyatakan bahwa roh itu secara eksistensial
ada, tapi membicarakannya harus pada dimensi metafisik. Pembuktian
saintifik menjadi tidak berguna, sebab dimensi ranahnya berbeda.
Maka
dari itu, tradisi filsafat Hegelian melihat sejarah secara mistik,
sebagai pengejawantahan roh absolut yang terus menemukan kesadarannya.
Finalitas dari sejarah adalah ketika kesadaran roh absolut itu sempurna.
Tapi
kapan? Ini mengundang interpretasi serius dari beberapa orang, semisal
kaum Hegelian "kanan" di zaman Marx, yang melihat negara hukum Prussia
sebagai finalitas roh absolut karena meng-kompromi-kan hukum dan
kebebasan, atau seperti Francis Fukuyama yang melihat kapitalisme
neoliberal sebagai "historical end" peradaban manusia.
Mistisisme
yang dibangun oleh kerangka dualistik tadi kemudian coba dibongkar oleh
positivisme yang menghidupkan kembali sains sebagai alat untuk menjadi
rujukan apriori dalam berfilsafat. Positivisme memperkenalkan metode
penalaran untuk melihat realitas. Sains menjadi kerangka utama. Sesuatu
yang mistik atau esoterik (seperti agama, misalnya), harus dijauhkan
dari pengetahuan karena tidak relevan dalam perdebatan saintifik.
Tetapi
apakah begitu adanya? Derrida membongkar itu semua dengan menyatakan
bahwa walaupun positivisme logis yang menjadi acuan saintifik dari
pengetahuan itu ingin memisahkan metafisika dari sains, positivisme
tersebut justru dirasuki oleh "metafisika kehadiran" (logosentrisme).
Mengapa? sebab sains menjadi alat monopoli kebenaran, memarjinalkan
kemungkinan "liyan" menjadi ketakbenaran.
Monopoli
kebenaran berarti menyingkirkan apa yang disebut sebagai "intuisi"
-dalam tradisi Bergsonian- serta menciptakan tolak-ukur metafisis
sendiri atas kebenaran. Sesuatu yang dianggap benar menjadi "klaim"
yang dibuat atas dasar legitimasi "sains" yang ilmiah. Herbert Marcuse,
dengan tradisi teori kritisnya, menyebut klaim itu sebagai "kembalinya
ideologi". Sains memang sifatnya material yang nyata, fisik, tapi klaim
kebenarannya diruju secara apriori pada aksioma sendiri. "Metafisika"
telah kembali, kira-kira seperti itu gambarannya.
Kembalinya
metafisika itu yang menjadi aras kajian postmodern. Mistisisme yang
sempat dibubarkan oleh positivisme, diproblematisasi kembali. Ketika
metafisika kembali hadir dalam realitas, apakah harus tetap memegang
dualisme seperti dipahami tradisi perenial dulu? Atau ada "gaya baru"
metafisika dalam praksis politik postmodern?
Politik Postmodern
Kembalinya
metafisika dalam aras kajian postmodern -setidaknya yang terungkap dari
pandangan Derrida- membuat kita memikirkan kembali posisi metafisika
dalam politik postmodern. Benarkah ada semacam gejala "metafisika
kekuasaan" dalam praksis politik dewasa ini?
Politik
adalah totalitas menuju kekuasaan. Seluruh sumber daya, fisik atau
metafisik, dikerahkan untuk mengincar kekuasaan. Kontestasi politik
adalah kontestasi kekuasaan, dengan pilar-pilar citra dan instruksi
yang sebetulnya dibangun di atas fondasi metafisika. Patafisika
politik, menurut Yasraf, adalah fenomena hadirnya metafisika dalam
wujud "citra". Sementara satu lagi dalam bentuk manipulasi kesadaran,
dalam bentuk-bentuk doktrin.
Metafisika politik
mewujudkan dirinya dalam manipulasi kesadaran. Di sinilah mistik
menemukan momentumnya. Dalam mistisisme, perlu ada intuisi untuk
menangkap pengetahuan metafisik. Dalam tradisi kepercayaan Indonesia,
kita mengenal istilah "dukun". Mereka mengoperasikan jin-jin yang
diajak bekerjasama melalui rapalan mantra, untuk melakukan
proyek-proyek tertentu.
Kini para politisi menampilkan
dirinya sebagai "dukun". Ia mengerahkan semua sumber daya metafisik
untuk memanipulasikesadaran orang lain. Dan untuk itu, ia memerlukan
jenis spiritualitas tersendiri. Salah satu bentuk spiritualitas itu
adalah "agama". Politik postmodern menjadikan agama sebagai alat untuk
memanipulasi kesadaran; doktrin agama atau kharisma ulama menjadi alat
untuk mendulang suara, memobilisir massa.
Agama dalam
politik pascamodern tak ubahanya seperti rapalan mantra, untuk
membangkitkan kekuatan metafisik yang akan memanipulasi kesadaran orang
lain. Tujuannya adalah totalitas kekuasaan. "Agama" tidak lagi jadi
basis etik-moral yang menggawangi praktik politik, tapi dilibatkan
dalam citra. Ketika Pemilu, ramai orang memasang titel haji atau
berfoto dengan simbol keagamaan. dan lain sebagainya, modus kekuasaan.
Ada
yang menjadikan doktrin untuk merekrut anggota. Politik memerlukan
sumber daya, oleh sebab itu dipakailah doktrin untuk menjerat anggota
itu agar loyal. Tapi motifnya jelas adalah totalitas kekuasaan.
Pengerahan sumber daya untuk menuju sesuatu.
Dan artinya, politik bisa dipotret ke dalam dua gejala. Pertama, gejala
politisisme yang sangat berorientasi kekuasaan. Politik menjadi sarana
bertahan hidup, sebagaimana diprasangkai Macchiavelli dan pemikir
realisme. Dengan demikian, anarki adalah konsekuensi logis. Ini menjadi
nyata ketika melihat praktik politik citra yang sama sekali meniadakan
etika, tidak lagi berorientasi pada moralitas-etika politik yang
universal.
Kedua, relasi dan pertautan kuasa
yang kompleks di aras politik. Kompleksitas ini dapat dilihat pada
semakin absurdnya realitas oleh lobbyu elite dan konstruksi media.
Definisi mengenai "realitas" harus digeser secara metafisis karena
tidak mungkin mempercayai praktik politik yang tampak nyata. Semuanya
adalah realitas semu; penuh kedustaan, dan mengerahkan semuanya hanya
untuk tujuan kuasa.
Dengan demikian, melihat politik saat
ini sama saja dengan melihat dukun yang dengan kekuatan mistisnya
bekerja untuk mendapatkan kekuasaan. Dukun itu bekerja di proyek-proyek
anggaran, di kementerian, DPR, hingga kantor-kantor politik. Semua
orang yang kini bekerja pada lembaga politik praktis adalah mereka yang
terjebak pada pusaran mistisisme modern, yang melampaui mistisisme
tradisional.
Dan artinya, pendekatan saintifik semakin
diragukan untuk membongkar praktik politik yang ada. Sebab, dengan
desain matematis dan positivisnya yang sangat kental, bagaimana mungkin
ia dapat melihat sesuatu yang tidak tampak nyata? Bahkan, kecenderungan
"spin-doctoring" yang dilakukan elite politik justru menggeret sains ke
arah kooptasi; ia tidak lagi objektif, tetapi melayani kuasa tertentu.
Bagaimana Ilmu Politik?
Oleh
sebab itu, dalam kerangka ontologis dan epistemologis, kita perlu
membongkar kembali tradisi kajian dalam ilmu politik. Sudahkah
pengembangan ilmu politik mempertimbangkan aspek metafisis di atas
untuk melihat praksis politik kontemporer?
Beberapa
strategi postmodern, seperti tekstualisasi politik (sebagaimana
diperkenalkan Ian J Shapiro) hingga "Double Reading" bisa menjadi aras
kajian baru. Melihat sebuah realitas politik bisa dilakukan melalui
"double reading", pembacaan ulang atas realitas dengan menggunakan
metode intertekstual (dipertemukan dengan teks lain). Realitas
diperlakukan sebagai teks, yang penafsirannya tidak lagi bisa tunggal
atau kasat-mata, melainkan perlu instrumen lain.
Saintisme
dalam ilmu politik perlu sedikit-demi-sedikit dikurangi. Mungkin kita
perlu beralih dari teori sistem, yang sangat memperhitungkan interaksi
antar-aktor secara nyata, menuju aras pendekatan baru yang lebih
kontemporer. Jika tidak, ilmu politik akan semakin "usang", gagal
menempatkan dirinya di antara relasi dan pertautan kuasa yang kompleks.
Secara
epistemologis, tolak-ukur "kekuasaan" perlu diproblematisir kembali.
Sebab, kekuasaan tidak hanya melintas dalam wujud kontestasi
antar-aktor, tetapi juga di setiap ruang publik. Media, misalnya,
memiliki tendensi untuk memainkan kepentingan politik sebab ia sudah
menjadi bagian dari metafisika kekuasaan itu. Bahkan, pengetahuan juga
sudah masuk ke ranah tersebut. Artinya, makna kekuasaan perlu kembali
diredefinisi, bukan sekadar aktor formal, melainkan juga informal.
Implikasinya,
ontologi ilmu politik juga perlu membicarakan hal-hal yang selama ini
dianggap bukan bagian dari realitas politik, semisal media, gerakan
mahasiswa, atau aktivitas masyarakat sipil. Metafisika Politik yang
hadir melalui teknologi media, serta profesionalisasi politik perlu
diulas secara lebih mendalam. Ini penting agar akademisi, peneliti dan
analis politik kita tidak terjebak oleh konstruksi media atas fakta
yang dianalisis.
Bahkan agama pun perlu diulas dalam
kerangka tendensi kekuasaannya. Bentuk agama, secara substansial maupun
simbol, bisa menjadi sebuah unit analisis untuk menjelaskan perilaku
politik. Apakah sekadar "Islam-Islaman" (citra), idelogis (identitas)
atau dalam memang dalam kerangka konseptual-ontologis (etika sosial).
Dan
sebagai calon ilmuwan politik -terutama ilmu Hubungan Internasional- di
masa depan, hal-hal semacam ini tentu perlu diproblematisir. Agar ilmu
politik tidak terlindas oleh metafisika yang akhirnya membuatnya
ketinggalan zaman. Mari bersiap untuk kajian yang lebih serius di masa
yang akan datang.
Wallahu a'lam bish shawwab.
*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, meminati studi perbandingan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar