Selasa, 01 November 2011

Aforisma Senyap Perlawanan

Perlawanan tak dihasilkan hanya dari tautan kompleks antara analisis dan geraka. Ia diproduksi oleh sebuah aktivitas-tak-berguna yang sering disebut dengan menulis....

I
Seorang mahasiswa datang dari daerahnya yang agak terpencil tapi agak moderen di ujung selatan pulau seberang, membawa sejumlah harap. Tak banyak bekal ia bawa selain kesungguhan, tekad, dan cita-cita. Ia resah dengan lingkungannya, gelisah dengan realitasnya, kritis terhadap kondisi masyarakatnya. Keresahan, kegelisahan, dan kritisisme itu melahirkan idealisme: mengantarkan persinggungannya dengan dunia aktivis yang kadung distigma negatif oleh kawan-kawannya, orang-orang kaya dari ibukota itu.

II
Jauh di sana, seorang petani sedang bernegosiasi dengan para pemodal. Mereka ingin membeli -membebaskan- lahannya guna usaha pertambangan. Izin usaha ada di tangan mereka, yang didapat dengan menyuap kepala daerah. Ganti rugi sudah disiapkan, cukup untuk membeli tanah tempat sang petani mencari hidup dari generasi ke generasi. Tetapi petani itu menolak. Ia tak punya apa-apa lagi untuk mencari uang, kecuali berhuma. Lalu anda tahu lanjutannya: sawah itu dibongkar paksa, dengan kekerasan, tanpa daya-upaya dari petani untuk melawannya. Kuasa.

III
Mahasiswa itu tak sekadar kuliah. Ia turut hadir dalam diskusi-diskusi membedah realitas, membongkar fakta dan data. Ia ikuti training gerakan, mengharap dirinya turut merasakan radikalitas dan militansi bergerak, senafas dengan idealisme yang ia miliki. Materi kuliah ia bawa sebagai alat kritiik, senjata dalam membedah realitas yang timpang. Timbul semangat-baru; belajar tak sekadar kuliah, melainkan juga di-luar-kuliah; mengamalkan ilmu dalam senyap-perlawanan.

IV
Seorang buruh di kota besar itu sibuk aktif di serikat pekerja, mencoba memperjuangkan nasibnya yang sering-kali ditindas oleh majikannya. Siang hari ia bekerja, malam hari ia hadiri sel-sel pertemuan kawannya, sesama buruh. Hari ini gaji kian mencekik, ia rencanakan pemogokan. Walau ancaman PHK menghadang. Buruh tak takut. Ia teringat Marsinah, mungkin, yang ditindas atas nama relasi-kuasa negara dan modal; tapi justru itu yang jadi pemacu semangatnya untuk mogok. Mengancam perusahaan. Menanti konsesi untuk nasib buruh yang lebih baik.

V
Di Bunderan UGM, rupanya hari ini mau diadakan demonstrasi. Isunya agak njlimet: bongkar kasus Century. Mahasiswa aktif berjejer menentang perampasan uang rakyat yang dituduhkan itu. Spanduk digelar lengkap dengan rontek dan atribut aksinya. Satu jam cukup untuk orasi dan teatrikal. Lalu, massa membubarkan diri dengan tenang. Pimpinan organisasinya tak terlihat. Mungkin, menanti kucuran dana dari mereka yang "bersimpati".

VI
Tapi di desa itu, usahawan tambang tetap dengan gencar mencari cara untuk membebaskan lahan petani. Pemda sudah disuap, apa lagi yang ditunggu? Preman ada di belakang, apa lagi yang ditakutkan? Tak ada yang bisa menghalangi, tentu saja. Walau petani marah sawahnya digusur paksa. Walau perangkat desa mencoba membela. Tapi rupanya persoalan sederhana saja: kalah kuasa.

VI
Pemogokan itu segera digelar. Perusahaan marah karena efisiensi produksinya terganggu. Buruh tak mau bekerja. Mitra usaha ribut. Tuntutan buruh sederhana: kenaikan upah. Tentu saja pabrik tak mau rugi. Jika dulu yang didatangkan Kodim -tentara- sekarang yang datang tentara berpakaian sipil. Preman. Atas nama aparat keamanan. Konsesi ditawarkan, tapi tetap gagal. Pemogokan ditindak kekerasan.

VII
Mahasiswa yang resah itu kian marah setelah melihat pemberitaan koran. Petani ditindas, buruh ditindas. Sementara yang diaksikan justru Century yang tak jelas. Biar beras diimpor, tak ada mahasiswa yang marah. Mungkin karena arahan partainya. Biar buruh protes, tak banyak yang tergerak. Mungkin dibilang kuno atau karena mereka mungkin tak tahu apa-apa soal buruh itu.

VIII
Tapi si mahasiswa itu hanya sendiri. Ia belum sekuasa rekan-rekannya, senior-seniornya, yang pandai mencari uang operasional untuk membiayai aksi. Tak pandai membroker untuk sekadar mencari dana gerakan. Yang bisa dilakukannya hanya satu: menulis. Meratap dalam hening. Melampiaskan kekesalan, dalam satu dua paragraf tulisan singkat.

IX

Si mahasiswa mencoba meletakkan Islam sebagai alat analisis. Bahwa Islam bukan agama yang hanya digulirkan membela status-quo; kekuasaan yang korup. Bukan untuk melegitimasi penindasan. Bukan hanya untuk mencari-uang. Ia berkenalan dengan teologi pembebasan, Islam Kiri, dan segala macam lainnya. Ia lahap Ashgar, Hanafi, Arkoun, Ahmad Dahlan, Kunto, sampai Al-Banna dan Quthb. Ia menemukan varian Islam baru, yang progresif, tapi tanpa melupakan identitas. Ketika rekan-rekannya masih bergulat dengan identitas -yang dikonstruksi dalam lingkaran-lingkaran itu, yang sudah berada dalam tahap pasca-identitas. Substansi. untuk pembebasan: rakyat tertindas.

X
Lalu ia tersadar. Inilah zaman baru. Postmodernitas telah menciptakan gen-gen baru pergerakan yag tak lagi "suci"; tertaut relasi-kuasa di luar sana. Maka perlawanan kian senyap. Wacana dicipta dalam hening. Perjuangan tak lagi heroik. Sebab, ada kuasa-kuasa lain di luar sana. Kuasa media, kuasa akademik, kuasa modal. Media mencipta wacana negatif tentang gerakan mahasiswa. Akademik mengkrangkeng kampus dalam aktivitas perkuliahan, yang sebenarnya tak meramu segala macam pengetahuan, tapi hanya melahirkan formalitas-formalitas "ilmiah". Modal membiayai aksi mahasiswa untuk kepentingan gerakan mereka. Politik? Sudah dikuasai pemilik modal, bahkan yang berbaju agama sekalipun.

XI
Dan di malam yang larut, mahasiswa itu masih menulis. Melawan dalam senyap. Memberontak dalam diam. Memahami dunia dalam kesunyian. Karena satu-hal yang ia mengerti: Kuasa dunia hanya bisa dilawan dalam senyap dan diamnya goresan pena, yang menceritakan makna dengan tanpa-prasangka. Karena dunia adalah relasi-kuasa; Siapa yang berkuasa, ia yang akan berjaya.

XII
Catatan-catatan ringkas tak berhubungan ini: sekadar pengisi kegalauan, pengisi semangat dalam malam yang hening, sunyi, senyap, dan sepi. Dalam cengkeraman studi yang kian suram.  

Manggung, 31 Oktober 2011.
Sebelum Ujian Tengah Semester

Tidak ada komentar: