Sabtu, 17 Desember 2011

Liberalisasi Wacana 'Islam Politik'?

"Post-Islamism represents an endeavour to fuse religiosity with rights, faith and freedoms, Islam and civil liberties and focuses on rights instead of duties, plurality instead of singular authority, historicity rather than fixed and rigid interpretation of scriptures, and the future rather than the past." (Dr. Asif Bayat)

Artikel Darmaningtyas hari ini (15/12) di harian Tempo cukup menarik untuk diulas. Ia mengupas persoalan Arab Spring yang diikuti oleh kemenangan dan inklusi politik kaum Islamis pada beberapa negara Arab yang baru saja terlepas dari otoriterisme.

Kemenangan beberapa partai yang berafiliasi kepada gerakan Ikhwan di Mesir, serta tampilnya kelompok Salafi yang selama ini mengklaim anti-politik, terasa mengejutkan bagi langgam politik Islam yang selama ini kita kenal bersama-sama.

Darmaningtyas menyebut bahwa fenomena politik di negara-negara Arab saat ini merupakan imbas dari perjuangan panjang kaum Islam Politik selama bertahun-tahun di pentas politik Arab.

Akan tetapi, terselip sebuah fenomena menarik: Ekspresi politik mereka justru semakin menginklusi diri terhadap demokrasi, kebebasan berpendapat, serta toleransi yang selama ini tak nampak dalam wajah maupun bahasa politik meereka.

Isu 'penegakan syariah' hingga 'negara Islam' yang dulu sempat dikobarkan untuk melawan imperalisme Inggris (zaman Hasan Al-Banna masih hidup) atau ketika melawan otoriterisme militeristik Mesir dari Nasser hingga Mobarak (zaman Hudhaiby sampai seterusnya) serasa bergeser. Ikhwan kini terasa lebih 'liberal', terutama dalam praksis politik.

Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah ini pertanda terjadi liberalisasi dalam gerakan politik Islam? Bagaimana masa depan 'Islam Politik' pasca-Pemilu?

Inklusi Politik
Selama masa-masa 'diktator Arab' dari Assad di Syria, Mobarak di Mesir, Saleh di Yaman, hingga Ben Ali di Tunisia, kaum Islamis terpinggirkan. Kita masih ingat bagaimana perjuangan bawah tanah Ikhwan ketika direpresi rezim Nasser sejak pertengahan 1950-an hingga akhirnya tampil dalam gerakan massa di revolusi Arab awal 2011.

Di Syria, gerakan Ikhwan juga dipinggirkan dalam lingkungan politik Ba'ath dengan Bashar dan Hafez Assad. Momentum perjuangan politiknya adalah ketika rezim itu jatuh, apakah karena gerakan massa ataupun karena kontradiksi di tubuhnya sendiri.

Krisis kapitalisme yang segera berubah menjadi gerakan massa menjadi momentum politik bagi Ikhwan dan beberapa kelompok Islamis lain. Salafi, yang selama ini berlindung nyaman melalui basis sosial-keagamaannya, agaknya tak bisa berlama-lama juga tertidur. Segera mereka membuat partai politik setelah kebebasan politik terjamin.

Runtuhnya otoriterisme Arab melalui Arab Spring adalah sebuah pintu gerbang perubahan struktur politik Arab. Akan tetapi, kita juga menangkap sebuah sinyal lain: titik balik 'Islam Politik'. Oposisi mereka terhadap otoriterisme dulu segera digantikan oleh konsolidasi politik. Di beberapa negara, Ikhwan tampil menguasai akses politik dan ikut Pemilu.

Dan hal ini segera dibuktikan. partai-partai berhaluan Islamis memenangi pemilu, seperti Partai Nahdlah (Tunisia), Partai Kebebasan dan Keadilan (Mesir), maupun Partai Keadilan dan Pembangunan (Maroko). Jika mengikuti prosedur demokrasi yang ada, kemenangan mereka akan segera diikuti oleh pemerintahan baru yang merepresentasikan kelompok tersebut.

Menariknya, klaim bahwa kemenangan politik ini akan diikuti oleh tampilnya wacana-wacana Islamis dalam politik Arab justru belum terbukti. Alih-alih meng-kampanyekan syariat Islam secara formal, mereka justru lebih mantap dengan wacana keberagaman (pluralisme-multikulturalisme), kesejahteraan, hingga isu-isu lain yang lebih populis.

Hal ini dapat kita lihat di Turki. Keberhasilan politik Erdogan dan Gul dengan AKP-nya tidak lantas diikuti oleh Islamisasi di Turki secara revolusioner. Perkembangan yang mereka tampakkan justru lebih gradual, dengan mendekatkan isu-isu populis di kalangan masyarakat Turki guna menopang legitimasi politik mereka.

Sebagai contoh, momentum politik yang coba dibangun oleh AKP justru adalah aksesi Turki ke Uni Eropa yang sejak 2003 belum selesai-selesai. Hal ini jelas merupakan manuver politik untuk mendapatkan legitimasi. Masuknya Turki ke Uni Eropa adalah simbol perubahan identitas: dari Arab-Islam menuju Eropa-Liberal. Dan topangan pengusaha (modal) menjadikan AKP lebih ramah terhadap kapitalisme, bahkan dibanding kaum Kemalis sendiri.

Turki hanya satu contoh. Kita lihat Ikhwan di Mesir, misalnya. Ada kecenderungan politik di negara-negara Arab untuk lebih menjadikan borjuasi sebagai basis politik. Penelitian Prof. Vedi Hadiz -seperti disampaikan di Fisipol UGM beberapa waktu lalu- memotret transformasi Ikhwan: dari sekadar organisasi massa yang tandhimi (militeristik) menjadi gerakan politik borjuis yang moderat.

Strategi mereka sederhana: menguasai basis modal untuk dikapitalisasi menjadi basis politik, agar dapat melakukan manuver politik secara aman tanpa harus mengandalkan mobilisasi yang dikenal di kalangan aktivis 'dakwah' Indonesia sebagai 'taklimat'. Hal ini pula yang sepertinya coba dilakukan PKS (faksi Anis Matta) di Indonesia.

Apakah hal ini menunjukkan kecenderungan baru dalam 'Islam Politik'? Apa penjelasan yang relevan untuk mengungkap transformasi ini?

Post-Islamisme
Analisis Dr. Asif Bayat terhadap fenomena gerakan politik Islam, terutama di Iran dan Pakistan, pada tahun 2005 silam bisa menjadi media penjelas. Saat ini, ada kecenderungan politik kaum 'Islamis' untuk bergerak menjadi 'post-Islamis' dalam jangka waktu tahun-tahun ke depan.

Dalam studi gerakan politik Islam di Timur Tengah, 'Islam Politik' sering dicitrakan sebagai kaum revolusioner yang memimpikan negara Islam, serta berorientasi kekuasaan untuk mewujudkan mimpinya itu. Bahasa yang digunakan lebih mencerminkan kekuatan ideologi daripada strategi taktis, semisal khilafah, daulah Islamiyah, tandhim, syari'ah, dan lain sebagainya.

Gagasan awal yang bisa ditangkap adalah bahwa 'Islamism' adalah bentuk historical end; Sebagaimana Fukuyama menganggap bahwa kapitalisme-liberal adalah akhir sejarah, ideolog kaum Islamis seperti Hasan Al-Banna atau Sayid Quthb dalam beberapa bukunya banyak menyinggung tema seperti 'kemenangan Islam', 'kejayaan Islam', dan lain sebagainya. An-Nabhani membahasakannya dengan 'khilafah'. Dan lain sebagainya.

Namun, seiring perjalanan waktu, penyampaian gagasan-gagasan tersebut ke publik segera berubah. Proses moderasi wacana tersebut bisa dilihat dari produksi buku dan pemikiran Ikhwan dari tahun 1970-an hingga kini. Tampilnya Yusuf al-Qaradhawy mempertegas basis moderasi tersebut, mengimbangi Sayyid Quthb di sisi lain. Ia memperkenalkan fiqh prioritas, melihat Islam secara lebih kontekstual.

Jika dilacak, genealogi pemikiran Qaradhawy tersebut tentu akan lebih senafas dengan modernisme Islam pilihan Muhammad Abduh yang lebih rasional. Tetapi, jika Abduh kemudian mengekspresikannya pada tataran wacana intelektual, Ikhwan mengambil jalan berbeda: rasionalisme Islam tersebut harus diekspresikan pada level praksis, untuk jadi instrumen mendapatkan kekuasaan.

Pemikiran Ikhwan dengan Qaradhawy dan beberapa mursyid 'am kemudian mengambil langgam berbeda. Walau sistem tandhim (struktur) tetap ada untuk basis mobilisasi dan ideologisasi gerakan melalui halaqah dan sel perkaderan, tetapi materi yang disampaikan sebagai basis ideologi mulai mengalami liberalisasi.

Inilah yang disebut oleh Dr. Asif Bayat sebagai 'post-Islamisme'. Dari segi wacana, Islamisme mulai menapak jalan baru yang tidak linear (memoisisikan Islam sebagai 'historical end'), tetapi justru mengambil langkah yang dekat dengan liberalisme.

Wacana-wacana liberalisme Islam yang selama ini ditentang oleh kalangan Islamis, menariknya, sebagian justru digunakan oleh mereka dalam praksis politiknya. Wacana demokrasi, toleransi, dan lain sebagainya, kini tampak makin akrab, walau sebatas sebagai jargon kampanye.

Dan dengan demikian, peta wacana 'Islam Politik' berubah. Dalam konteks studi Timur Tengah, apa artinya hal-hal seperti ini?

Transformasi Kelas
Prediksi sebagian kalangan bahwa gerakan politik Islam kontraproduktif dengan demokrasi terjawab dengan bantahan pada Pemilu Mesir, Tunisia, dan Maroko beberapa waktu lalu. Justru, demokrasi kini tampak lebih 'segar' daripada masa-masa lalu; membuktikan bahwa Islamisme tidak se-'sangar' yang selama ini sering kita prasangkai.

Hal yang perlu kita garis bawahi dalam proses politik Arab dewasa ini adalah wacana 'Islam' yang bergeser. Walaupun pada level pemikiran tidak banyak yang berubah dalam pandangan politik gerakan Ikhwan, tapi pada level aktualisasi dan implementasi politik, gagasan soal 'siyasah' banyak berubah.

Mengapa hal ini terjadi? Analisis Prof. Vedi Hadiz lebih mengarah pada soal transformasi kelas; bahwa topangan kaum pengusaha menyebabkan basis sosial gerakan Ikhwan berubah. Dulu, Ikhwan gampang diradikalisasi karena basis sosial mereka yang merupakan kelas menengah ke-bawah. Al-Banna sendiri lahir dari keluarga pedagang kecil; yang dalam literatur ekonomi-politik tidak banyak peran karena kalah oleh borjuasi besar.

Pasca-represi politik, kita lihat pergeseran wacana itu pada transformasi kelas yang dialami oleh Ikhwan. Banyaknya pengusaha, seperti temuan Vedi Hadiz di Turki dan Mesir, menyebabkan adanya aliansi kelas untuk menumbangkan rezim Mobarak dan Kemalis sehingga melahirkan revolusi Arab 2011. Di Turki, penguasaan terhadap modal juga penting sehingga basis politik mereka terjaga.

Dan persinggungan antara Islam dan Kapitalisme ini yang kemudian lebih banyak terjadi. Transformasi dari peminggiran ekonomi-politik menjadi borjuasi, tak ayal lagi mengubah peta wacana Islamis saat ini. Inklusi politik Ikhwan mengisyaratkan perlunya pembacaan-ulang terhadap gerakan politik Islam saat ini. Sebab, masalah ini perlu dibongkar. Apakah memang hanya strategi atau propaganda politik, ataukah imbas dari transformasi kelas tersebut?

Yang jelas, tesis bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi terbantah oleh fenomena di Timur Tengah. Bukan benturan peradaban yang terjadi, melainkan liberalisasi di kubu 'Islam Politik'. Inilah konsekuensi dari inklusi politik terhadap demokrasi.

Dan meminjam pernyataan Al-Sayyid Yassin, sebagaimana dikutip Dr. Darmaningtyas: Kalangan Islam-modernis kini tampak semakin Islamis, sementara kalangan Islam-fundamentalis tampak semakin liberal. Apakah ini terjadi pula di Indonesia?

Wallahu a'lam bish shawwab.

*) Penulis mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional UGM, peminat studi Timur Tengah

1 komentar:

Nissan bandung mengatakan...

makasih atas artikelnya, dapat menambah wawasan saya, trim