Kamis, 16 Februari 2012

Post-Islamisme: Wajah Baru Islam Politik

Resensi Buku

Judul buku     : Pos-Islamisme (Judul Asli: Making Islam Democratic: Social Movements and Post-Islamist Turns)

Penulis           : Dr. Asif Bayat

Penerbit         : LKiS, Yogyakarta

Cetakan        : Pertama, 2012

Tebal             : xviii + 431 halaman

Peresensi       : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Pergulatan demokratisasi di negara-negara Timur Tengah memberi warna baru dalam diskursus Political Islam kontemporer. Kaum Islamis yang menjadi oposisi utama di masa pemerintahan otoriter mulai mengadopsi demokrasi sebagai strategi politik mereka. Wacana-wacana demokrasi, HAM, masyarakat sipil, dan sejenisnya –yang dulu ditentang karena dianggap berasal dari Barat— justru menjadi “jalan” untuk merebut kekuasaan. Klaim Huntington (1997) bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi terbantahkan; demokrasi justru mendapatkan tempat di hati mereka yang sangat memperjuangkan “negara Islam” dan “syariah”.

Gambaran di atas menjadi tema sentral dari buku Dr. Asif Bayat, seorang scholar terkemuka dari Universitas Leijden, Belanda, yang banyak meneliti tentang studi Islam kontemporer, bil khusus gerakan sosial Islam. Buku tersebut diberi titel “Making Islam Democratic” dan didasarkan pada studi Bayat mengenai perkembangan gerakan Islam di Iran dan Mesir, dua negara Timur Tengah yang banyak dihuni oleh gerakan Islamis.

Asif Bayat memulai tulisannya dengan mempertanyakan sebuah “pertanyaan keliru”: apakah Islam sesuai dengan demokrasi? Pertanyaan ini, bagi Bayat, adalah keliru dan tidak relevan. Baginya, persoalan bukan terletak pada sesuai tidaknya Islam dan demokrasi, tetapi bagaimana proses adaptasi yang dilakukan oleh umat Islam sehingga ide demokrasi bersesuaian dengan realitas umat yang ada (h. 8).

Sehingga, pandangan dunia (worldview) yang dianut oleh kaum Islamis tidak serta-merta menolak demokrasi –seperti selama ini diklaim oleh para ideolog mereka. Akan tetapi, seperti studi Prof. Vedi R. Hadiz,  kritisisme tersebut didasarkan pada sebuah upaya pencarian solusi mengatasi defisit sosial-ekonomi-politik yang disebabkan oleh ekspansi kapital negara-negara Barat sejak era imperialisme.

Gerakan sosial di dua negara yang menjadi subjek penelitian Bayat, Mesir dan Iran, memiliki dua pendekatan berbeda dalam mengartikulasikan “Islamisme”. Gerakan-gerakan di Iran lebih memilih “serangan frontal” atas simbol-simbol kekuatan Islam yang diinterpretasikan oleh negara, sementara Mesir lebih menggunakan “cara reformis” atau “perang posisi” –meminjam wacana Gramscian— vis-à-vis negara (h. 76). Ini yang disebut oleh Asif Bayat sebagai “pos-Islamisme”, atau tren-tren pergeseran wacana dalam sebuah ranah besar “Gerakan Islamisme”.

Mempertautkan Islam dan Demokrasi
Mengapa gerakan Islam di dua negara ini menampilkan perbedaan yang mencolok dalam pilihan wacananya? Asif Bayat memberikan argumen kunci: perbedaan struktur politik menentukan arah gerak gerakan Islamis.

Di Iran, Bayat melihat gerak Islamisme bergerak lebih inklusif dan pro-kebebasan, sementara Mesir mengalami fenomena yang berlawanan, yaitu mengarah pada “Islamisasi Ruang Publik” (h. 79). Perbedaan ini, menurut Bayat, disebabkan oleh struktur politik yang berbeda. Iran menampilkan struktur politik yang kental dengan nuansa Islam sementara Mesir justru kental dengan sekularisme dan ide-ide sosialisme.

Ketika mengelaborasi perubahan sosial-politik di Iran, Bayat menemukan beberapa fakta menarik. Di sana, ada kecenderungan gerakan-gerakan mahasiswa, gerakan perempuan, ruang publik kota, dan intelektual keagamaan untuk bergerak menjadi lebih “liberal”, keluar dari ruang batas doktrin Islam yang dibangun oleh negara (h. 159). Penyebabnya tentu sederhana: warisan revolusi Islam menjadikan struktur negara Islam sangat kuat, berlawanan dengan kehendak generasi muda dan kelas menengah yang ingin lebih merdeka.

Ini tentu berbeda dengan Mesir yang lebih akrab dengan sekularisme. Gerakan-gerakan Islamis pasca-1980 cenderung untuk mendekatkan Mesir dengan Islam tetapi pada lajur yang sama sekali tidak politis, seperti ekspansi dakwah ke level elite yang menginginkan input spiritual sebagai ganti hedonisme duniawi, penguasaan kaum profesional dan wirausaha, serta mulai bicara soal “pluralisme” dalam masyarakat Islam (h. 328). Jika dibaca dari struktur politik Mesir yang otoriter, sekular, dan ditopang oleh militer yang kuat, gejala ini tentu dapat dimengerti.

Ada dua kecenderungan menarik yang ditemukan oleh Bayat. Kecenderungan pertama lebih menitikberatkan pada gerakan pro-demokrasi dan menginginkan kebebasan secara lebih luas. Sementara golongan kedua lebih akrab dengan argumentasi akar rumput, ide-ide sosialisme, dan “kesetaraan kelas”. Golongan ini banyak terlibat dalam masyarakat sipil yang bergerak di akar-rumput. Produksi wacana mereka tidak jauh dari pendekatan kelas, sebagaimana direpresentasikan Ali Syariati di Iran (h. 51).

Dua kecenderungan ini terlihat di Mesir dan Iran, bahkan dalam wujud gerakan Islamis sendiri. Post-Islamisme di Mesir menampilkan sebuah suasana “liberalisasi” (mengutip Prof. Darmaningtyas) yang terjadi pada gerakan Ikhwanul Muslimin. Bayat, misalnya, mencatat adanya pernyataan Mustafa Masyhur, seorang tokoh IM yang sangat disegani, mengenai “pluralisme” Padahal, wacana ini sangat dekat dengan liberalisme yang membawa seorang tokohnya pada pengkafiran oleh negara.

Liberalisasi juga tercermin dari adanya fragmentasi wacana keislaman di tokoh IM pasca-Al Banna. Faksi pertama, diwakili oleh Sayyid Quthb, menampilkan karakter Islam yang “keras”, skripturalis, serta mengesankan corak perlawanan terhadap wacana-wacana Barat. Sementara faksi kedua, diwakili Hasan Al-Hudhaiby yang mewarisi semangat gradualis dari Al-Banna, lebih moderat, kontekstualis, serta menampilkan “perang posisi” alih-alih perlawanan frontal kepada negara dan wacana-wacana Barat.

Dua faksi ini, diakui oleh Prof. Vedi R. Hadiz dalam kuliah umumnya di Fisipol UGM (2011), masih terwariskan di antara pegiat Ikhwanul Muslimin di Mesir. Dengan adanya proses demokratisasi, wacana moderat akhirnya mendapatkan tempat lebih nyaman di hati masyarakat Mesir, terbukti dari kemenangan partai mereka di Pemilu.

Pengalaman Indonesia
Bagaimana relevansi pembacaan Asif Bayat ini terhadap kondisi gerakan Islamis di Indonesia? Walaupun secara struktur politik dekat dengan Mesir dan Turki yang memperlihatkan perlawanan kaum Islamis vis-à-vis rezim sekular,  Indonesia tidak serta merta memperlihatkan gejala Islamisme yang inheren dengan kedua negara tersebut.

Radikalisme keagamaan di Indonesia disebabkan bukan oleh kuatnya identitas “agama” di diri pemeluknya, tetapi justru oleh desakan ekonomi dan politik yang gagal dipenuhi oleh rezim politik (Umar, 2011). Hal ini kemudian mengemuka oleh terfragmentasinya “Islam Politik” yang mengambil jalur moderat, nonviolent, atau demokrasi formal (PKS, HTI, dll) dengan “Islam Politik” yang jalurnya radikal.

Studi Dr. Yudi Latif tentang Islamisasi dan Sekularisasi di Indonesia memperlihatkan gejala ini. Meminjam argumen Dr. Yudi Latif, proses Islamisasi dan Sekularisasi tidak akan terjadi secara total karena kedua proses tersebut –Islamisasi dan Sekularisasi— berjalan secara simultan dan beriringan. Islamisasi bergerak dari bawah secara kultural, melalui pembudayaan di masyarakat. Sementara sekularisasi difasilitasi negara Hindia-Belanda dan juga diwariskan dalam struktur politik kontemporer.

Kesimpulan Latif, adanya simultansi proses “Islamisasi dari bawah” dan “sekularisasi dari atas” ini menampilkan ketidakmungkinan “Islamisasi Total” dan “sekularisasi total”. Keduanya terus memainkan dialektika sejak kemerdekaan hingga saat ini. Kaum “Islam Politik” boleh mengonsolidasi diri di parlemen, dalam wujud PKS, misalnya, tetapi mereka tetap tidak memiliki akar yang kuat dalam seting keindonesiaan. Sebab, gejala Islamisasi itu terbentuk secara kultural dalam wadah-wadah organisasi kemasyarakatan macam NU atau Muhammadiyah.

Yang menarik untuk diulas adalah peta gerakan Islamis di Indonesia sendiri. Proses demokratisasi yang telah bergulir sejak 1998 membawa perubahan wacana di kalangan Islamis. Jika sebelum 1998 kalangan Islamis masih berkutat pada dakwah yang tanzhimi (berorientasi perkaderan dan struktur organisasi tertutup), pasca-1998 dakwah mereka mulai masuk pada ranah politik formal (parpol atau ormas).

Perubahan ini juga terjadi pada diskursus internal pada gerakan Islamis itu sendiri. Orientasi tanzhimi yang berhaluan skriptural dalam penafsiran keagamaan perlahan mulai bergeser. Persis seperti kata Bayat, ada pergeseran haluan keagamaan menjadi lebih inklusif, justru pada kaum Islamis itu sendiri.

Peta kecenderungan ini dapat dilihat pada jama’ah tarbiyah yang mengadopsi ideologi IM sebagai basis geraknya (Rahmat, 2005). Pasca-1998, tarbiyah mendapatkan momentum politik melalui proses demokratisasi. Partai Keadilan (sekarang PKS) dideklarasikan dan menjadi kendaraan politik baru. Perolehan politik yang stabil pada Pemilu 2004 dan 2009 menempatkan kader-kader partai ini di parlemen.

Akibatnya, terjadi perubahan orientasi. Basis dakwah kini diarahkan tidak hanya kepada parlemen, tetapi juga relasi yang lebih baik dengan negara dan pemilik modal. Taujih ustadz banyak mengulas masalah ekonomi, dengan harapan ada suntikan kapital kepada partai. Dalam analisis Vedi R. Hadiz (2011), ada kecenderungan PKS untuk mengadopsi model Partai AKP di Mesir yang memiliki basis ekonomi kuat, alias menguasai struktur borjuasi nasional.

Dengan demikian, karena kebutuhan partai adalah mendapatkan suara dan membiayai kampanye, konstruksi pendekatan politik-keagamaan menjadi lebih inklusif. Kampanye partai tidak lagi mempersoalkan masalah syariah, tetapi lebih populis dengan menggaet kawula muda. Tidak berbeda dengan Mustafa Masyhur yang bicara soal pluralisme, beberapa elit partai menyatakan diri sebagai “partai terbuka”, mengakibatkan adanya faksionalisasi dengan kubu konservatif (Munandar, 2011).

Pergeseran orientasi ini, jika meminjam wacana Asif Bayat, adalah indikasi kuat munculnya gejala “post-Islamism” dalam gerakan Islam di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, ini merupakan implikasi globalisasi dan cepatnya akses informasi yang menyebabkan hubungan antar-gerakan Islam pada skala global semakin cepat. Artinya, peluang menguatnya gerakan “post-Islamisme” juga cukup kuat di Indonesia.

Catatan Kritis
Buku Asif Bayat ini cukup memberikan gambaran mengenai tren perubahan perilaku gerakan Islam abad 21. Pertanyaan yang belum terjawab adalah bagaimana post-Islamisme bertahan jika lajur demokrasi benar-benar dikuasai oleh gerakan Islam.

Arab Spring 2011 telah membuka jalan baru bagi kalangan Islamis untuk tampil ke dalam politik praktis melalui jalur demokratis. Pertanyaannya, apakah “demokrasi” yang diakomodasi oleh kalangan Islamis itu hanya “lipstik” untuk menarik simpati rakyat, bagian dari strategi politik, ataukah memang benar-benar tujuan dari aktivis politik Islamis itu? Buku ini (yang ditulis enam tahun sebelum Arab Spring) belum menjawab pertanyaan itu.

Akan tetapi, fenomena Arab Spring justru membuka peluang bagi penstudi Islam Politik untuk menelaah arah perubahan itu. Buku ini menawarkan kerangka metodologis yang khas. Islam tidak hanya dilihat pada pendekatan tekstual belaka, tetapi perlu pula menyertakan pendekatan sosiologis. Sehingga, kacamata yang digunakan dalam melihat Islam dapat lebih objektif, tidak melulu skeptis atau justru terjebak pada truth claim.

Tren perubahan gerakan Islam tentu tidak bergerak secara linear. Masih terbuka kemungkinan perubahan peta gerakan Islam setelah musim semi berlalu. Apakah pola perubahan tren Islamisme itu akan menyebar ke seluruh dunia dan menampilkan wajah baru politik Islam, masih menjadi pertanyaan yang perlu dijawab secara lebih tuntas.

Referensi
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. “Melacak Akar Radikalisme Islam di Indonesia”. Jurnal Sosial Politik. Vol. 23 No. 2 (2011): 165-183.

Arief Munandar. Antara Jemaah dan Partai Politik”, Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004. Depok: FISIP UI, 2011. Disertasi tidak diterbitkan

Asif Bayat. Post-Islamisme diterjemahkan oleh Faiz Tajul Millah. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Darmaningtyas. “Liberalisasi Kalangan Islamis”. Koran Tempo, 19 November 2011

Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Martin van Bruinesen. Comparing Secularism and Political Islam in Turkey and Indonesia Can Turkey’s AKP be a model to be followed in Indonesia? Kuliah umum di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Oktober 2009.  

Vedi R. Hadiz. Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia. Oxford: CRISE, 2010.

____________. Islamic New Populism in Indonesia, Turkey and Egypt: A Political Economic Perspective. Kuliah Umum di Fisipol UGM, Yogyakarta, November 2011.

Yudi Latif. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra, 2005.


*) Peresensi adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, meminati Studi Timur Tengah dan Political Islam

Akuntabilitas Publik dan Potensi Korupsi

Persoalan korupsi telah diperbincangkan sejak satu dekade silam. Pasca-Reformasi 1998, korupsi telah menjadi extraordinary crime, kejahatan yang pemberantasannya memerlukan pendekatan yang menyeluruh.  

Artinya, instrumen pemberantasan korupsi tidak hanya meliputi soal hukuman atau efek jera bagi pelaku korupsi, melainkan juga pencegahan terhadap potensi tindak pidana korupsi dan bentuk-bentuk korupsi di berbagai sektor, termasuk korupsi politik dan korupsi sektor publik.

Ini yang menjadi concern dari Tim Muhibah BEM KM UGM ketika berdiskusi dengan beberapa aktivis NGO di Jakarta, Rabu (1/2) lalu. Muhibah ini dilakukan dalam rangka penguatan jaringan eksternal serta basis jaringan alumni BEM KM UGM.

Dalam korupsi politik, sengkarut pemberantasan korupsi banyak disebabkan oleh tidak adanya akuntabilitas dalam institusi publik.

"Secara teoretis, korupsi itu disebabkan oleh minimnya akuntabilitas publik, ketika di saat yang bersamaan terjadi monopoli sumber daya publik dan diskresi pada penggunaan kekuasaan", kata Abdullah Dahlan, peneliti di Divisi Korupsi Politik ICW.

Sekjen BEM UGM 1998-1999 ini menambahkan, minimnya akuntabilitas ini ditunjukkan oleh keengganan banyak partai politik mempertanggungjawabkan sumber keuangan mereka.

"Hampir semua partai politik menolak memberikan transparansi keuangan mereka ketika kita (ICW) minta informasi laporannya. Alasannya bermacam-macam. Padahal, dari sana kita dapat mengetahui mana dana yang berasal dari proyek pemerintah atau mana yang  berasal dari mandiri", terang mantan pegiat Parwi Yogyakarta ini.

Ketika pertama kali diminta transparansi keuangan, hanya PKB yang mau memberikan rincian keuangannya. "Itupun sangat minim. Baru kemudian PKS dan PPP memberikan laporannya setelah berulang kali didesak. Saya heran, laporan pengurus mesjid saja lebih bisa dipercaya daripada partai yang katanya terpercaya ini", tambah Bang Abdullah.

Hal senada diungkapkan Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan.

"Minimnya akuntabilitas publik di Indonesia dapat dilihat dari sengkarut proses anggaran di berbagai kementerian. Dari semua kementerian, hampir semua diisi oleh permainan dari calo anggaran yang berasal dari partai politik", kata Yuna.

Proses percaloan anggaran itu, menurut data yang ia kumpulkan bersama teman-teman Fitra, terjadi sejak masa penyusunan dan pembahasan. "Boleh-boleh saja proses perencanaan anggaran dilakukan secara partisipatif. Tetapi, tetap saja DPR yang menentukan", kata alumnus Universitas Mataram ini.

Untuk itu, lanjutnya, FITRA mencoba melakukan pengawalan rutin dengan monitoring pembahasan anggaran di DPR.

"Banyak sekali celah korupsi yang dilakukan di DPR. Mulai dari Spek harga yang di-markup dari harga pasar sampai modus pemborosan. Akhirnya, muncul kasus pemborosan anggaran seperti kursi Banggar dan lain-lain di DPR itu", tambah aktivis NGO yang baru saja mengadvokasi pemborosan anggaran DPR ini.

Intinya, proses anggaran di pemerintah minim akuntabilitas. "Pemborosan DPR ini hanya satu pintu masuk untuk membongkar kasus yang lebih besar, terutama calo anggaran di berbagai kementerian yang merepresentasikan oligarki partai", kata Yuna.

Korupsi Pendidikan
Bagaimana dengan sektor pendidikan? Febri Hendri, Ketua Divisi Monitorng Pelayanan Publik ICW, menjelaskan bahwa problem lemahnya akuntabilitas institusi pemerintah juga terjadi pada institusi pendidikan.

"Dalam kasus yang kita tangani kemarin, terlihat bahwa kesadaran institusi pendidikan untuk terbuka dalam informasi publiknya masih sangat lemah. Kita baru bisa membongkar carut-marut keuangan di perguruan tinggi yang bersangkutan setelah melakukan proses ajudikasi berdasarkan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)", kata Mas Katong, panggilan akrabnya.

Ia menuturkan, ICW baru saja membuka informasi publik soal keuangan salah satu kampus negeri yang akhirnya bermasalah. Hanya saja, dari pihak mahasiswa sendiri waktu itu yang kurang merespons.

"Informasi publik akan lebih mudah diakses jika didorong oleh pihak internal kampus itu sendiri. Selama ini, ketika ICW mengadvokasi masalah anggaran yang bermasalah, pasti ditanya: atas kepentingan siapa? Beda persoalannya jika mahasiswa sendiri yang meminta transparansi dan akuntabilitas" jelas salah satu aktivis senior di ICW ini.

Dengan menggunakan UU KIP, hak atas informasi menjadi lebih mudah diterima.

"Prosedurnya tidak begitu sulit. Pertama, tentukan dokumen apa saja yang ingin diminta informasinya oleh pemohon. Dokumen ini harus mendetail dan spesifik. Setelah ajukan permohonan, tunggu 10-14 hari. Jika tidak ada respons atau ada penolakan dari badan publik yang diminta anggarannya, pemohon bisa melakukan proses mediasi atau ajudikasi difasilitasi Komisi Informasi Daerah", tambah Mas Katong.

Mahasiswa sendiri, menurut beliau, perlu melakukan dobrakan-dobrakan untuk membumikan isu ini secara nasional. "Akan lebih baik jika upaya mendapatkan akses informasi terhadap data keuangan perguruan tinggi ini dikawal secara nasional. Bayangkan, respons apa yang akan dikeluarkan jika semua mahasiswa bergerak untuk mendapatkan haknya atas informasi keuangan perguruan tinggi", kata pria asal Ambon ini bersemangat.

Terkait RUU PT yang akan disahkan dalam waktu dekat, Mas Katong memberi beberapa catatan. "UU PT ini tidak mengakomodasi partisipasi mahasiswa dalam pengambilan keputusan perguruan tinggi. Ini akan menjadi celah bagi birokrat kampus untuk tidak transparan, karena proses pengawasan dapat diatur sedemikian rupa tanpa kontrol pihak eksternal", kata beliau.

Selain itu, dari segi transparansi dan akuntabilitas, RUU PT juga terkesan sangat longgar. "Akan muncul kekhawatiran tertutupnya keuangan yang akan mendorong proses korupsi. Cukuplah kasus Nazaruddin yang menyeret 7 perguruan tinggi ke proses hukum karena proses pengadaan barang dan jasa yang tidak dilakukan secara fair, penuh praktik percaloan", terang mas Katong.

Oleh sebab itu, upaya untuk mengawal proses akuntabilitas publik harus terus dilakukan oleh mahasiswa.

"Proses pengawalan korupsi akan sangat strategis jika dilakukan baik dari BEM KM UGM maupun BEM Seluruh Indonesia. Dan yang penting ada fokus, misalnya fokus untuk menyasar korupsi anggaran. Bisa saja, misalnya, membuat program inovatif untuk memerangi calo anggaran" komentar Lakso Anindito, alumnus BEM KM UGM yang bekerja di Satgas REDD+ di kantor kepresidenan.

Maka, meminjam rumus korupsi dari Klitgaard, korupsi itu adalah akumulasi dari monopoli dan diskresi tanpa disertai akuntabilitas. Penting bagi kita untuk merumuskan agenda strategis melawan korupsi dengan memperkuat akuntabilitas publik.

Dan terpenting, transparansi institusi pemerintahan wajib diperjuangkan sebagai agenda gerakan ke depan.. [umar]

Kapitalisme Antara Davos dan Rio

Ada acara yang cukup menarik untuk diulas pekan ini. Lebih dari 2.600 kepala negara, pelaku bisnis, dan masyarakat sipil berkumpul di Davos, Swiss, untuk mengikuti gelaran World Economic Forum. Acara yang rutin digelar setiap tahunnya ini akan berlangsung pada 25-29 Januari yang akan datang.

Seperti biasa, World Economic Forum menjadi salah satu acara penting dan 'bergengsi' bagi perekonomian dunia. WEF Tahun ini mengambil tema 'great transformation': sebuah rencana aksi transformasi besar dalam seting kapitalisme global yang memperlihatkan kerapuhan dirinya di Eropa dan Amerika Serikat, tahun ini.

Tentu saja, perdebatan hangat dalam forum tahun ini adalah soal kapitalisme. Eropa berada dalam krisis. Amerika Serikat sudah sejak akhir tahun lalu menghadapi gerakan Occupy Wall Street, sebuah kritik tajam atas operasionalisasi kapitalisme dunia yang berada dalam krisis. Wajar jika kemudian wacana untuk mentransformasikan kapitalisme ke dalam 'wajah baru' terus mengemuka.

Di belahan dunia lain, ternyata juga tengah digelar sebuah perhelatan yang juga penting: World Social Forum. Para pegiat masyarakat sipil yang cukup kritis terhadap kapitalisme dan globalisasi menggelar sebuah forum di waktu yang sama, 24-29 Januari 2012, untuk membahas krisis kapitalisme dan keadilan sosial-lingkungan.

Gelaran yang cukup sukses di Dakar tahun 2011 dilanjutkan di Porto Allegre tahun ini. World Social Forum menjadi antitesis dari World Economic Forum; Ketika para pemimpin politik, ekonomi, dan bisnis dunia berkumpul untuk menyelamatkan kapitalisme, para pegiat masyarakat sipil yang kritis terhadap kapitalisme menggelar forum untuk menyelamatkan keadilan dari kapitalisme yang hampir bangkrut.

Alternatif Wacana
Dua gelaran forum ini merefleksikan sebuah fenomena yang cukup sulit dibantah: kita masih menghadapi distingsi dan penjarakan antara kutub ekonomi -yang sering disalahartikan sebagai 'kapitalisme'- dengan kutub sosial -yang juga kerap dilekatkan dengan istilah 'sosialisme'.

Benarkah demikian? Kesimpulannya mungkin tak bisa diambil secara terburu-buru. Jika sejarah World Economic Forum dan World Social Forum dilacak lagi, keduanya mungkin akan bertemu di satu titik yang sama: globalisasi. WEF berawal dari European Management Meeting yang mempertemukan pelaku ekonomi Eropa pada dasawarsa 1970an.

Dari sana, gayung disambut oleh pemimpin ekonomi dunia. Pasca-runtuhnya Uni Sovyet pada awal dasawarsa 1990an, forum berkembang menjadi  lebih luas, melibatkan negara-negara yang akrab dengan kapitalisme. Lahirlah pertemuan World Economic Forum yang tiap tahunnya selalu bermarkas di Davos.

Namun, gerakan kritik atas globalisasi yang juga mencuat pasca-Perang Dingin. Jika Margaret Thatcher menyatakan bahwa there is no alternative selain kapitalisme dalam pengaturan ekonomi global, aktivis anti-globalisasi justru berkampanye "another world is possible". Selalu ada kemungkinan untuk membentuk tatanan dunia yang lebih berkeadilan tanpa harus menjadi 'kapitalis'.

Konsolidasi aktivis anti-globalisasi tersebut kemudian melahirkan pertemuan World Social Forum. Ketika World Economic Forum bertahan dengan kerangka kerja ekonomi yang sangat berorientasi pasar bebas, World Social Forum menawarkan keadilan sosial dan etika lingkungan sebagai alternatif.

Di satu sisi, pertemuan Davos sering disimbolisasi sebagai tiang pancang kapitalisme global. Sebab, tak bisa dipungkiri, pertemuan tersebut dihadiri oleh para pebisnis tingkat global dan nasional yang menegosiasikan kepentingannya dalam percaturan ekonomi global.

Dan di sisi lain, pertemuan Porto Allegre yang digelar aktivis WSF sering dianggap sebagai antitesis dari Davos. Brazil, yang oleh Goldman Sachs digadang-gadang sebagai salah satu negara besar di masa yang akan datang, merupakan salah satu sentra kritik terhadap kapitalisme Amerika Serikat dalam berbagai hal. Hegemoni Amerika Serikat tengah diancam secara silent oleh kekuatan lain yang tengah tumbuh.

Tawaran 'keadilan' menjadi antitesis dari 'kebebasan' yang ditawarkan WEF. Apalagi, dengan basis pegiat World Social Forum yang berasal dari negara-negara berkembang dan terbelakang, alternatif wacana yang ditawarkan WSF menjadi sesuatu yang sangat menarik. Gerakan-gerakan yang kritis terhadap kapitalisme dan globalisasi kemudian mulai melakukan konsolidasi untuk menjawab tantangan zaman.

Transformasi Kapitalisme
Tahun 2012 menjadi sebuah tahun yang cukup krusial. Sebab, krisis kapitalisme telah menyegarkan kembali wacana mengenai transformasi global dalam kapitalisme. Artinya, klaim Francis Fukuyama atau Margaret Thatcher yang melihat kapitalisme sebagai 'historical end' menjadi titik nadir.

Sebaliknya, klaim Marx bahwa kapitalisme akan runtuh oleh lontradiksi di dalam dirinya sendiri juga tidak terbukti, karena ada proses reproduksi yang tercipta melalui transformasi kapitalisme itu sendiri.

Sehingga, tawaran World Social Forum tentang keadilan dan etika lingkungan -sebagaimana diwacanakan tahun ini- sebetulnya dapat menjadi sebuah alternatif menarik. Pertanyaannya, mungkinkah menyatukan dua persepsi yang berbeda antara uang dan etika itu, tanpa harus menegasikan yang satu dengan yang lain?

Dalam kerangka transformasi global yang dibawa oleh World Economic Forum tahun ini, agaknya kita perlu optimis untuk mendamaikan dua kerangka pikir yang kelihatannya saling menegasikan itu. Dalam sambutan Profesor Klaus Schwab yang disampaikan pada Forum tahun ini, ada tiga kerangka transformasi yang coba ditawarkan.

Pertama, distribusi kekuasaan dari utara ke selatan, dari negara yang kuat menuju masyarakat sipil yang berdaulat, serta dari hard power yang berorientasi militer menjadi soft power yang berlandas pada kekuatan non-militer. Distribusi kekuasaan ini mengimplikasikan adanya kolaborasi antara semua elemen -negara, masyarakat sipil, pelaku ekonomi, dll- untuk membangun kerangka dunia baru yang lebih damai.

Kedua, penghargaan atas multikulturalisme, multi-etnisitas, serta multi-religiusitas yang dimiliki dunia. Kesadaran untuk hidup bersama dan berdampingan secara damai berarti juga menghargai hak-hak sosial-ekonomi yang dimiliki oleh orang lain, sehingga kapitalisme tidak hanya berarti akumulasi kapital, tetapi juga lebih "ramah" terhadap pluralitas dan kemanusiaan.

Ketiga, kesadaran untuk memperhatikan dampak sosial dari globalisasi. Artinya, mobilitas ekonomi-politik yang mengalir deras dari negara maju ke negara berkembang bukan berarti tanpa tanggung jawab sosial. Ada kesadaran dari korporasi untuk bertanggung jawab terhadap lingkungan dan kemiskinan yang terjadi di negara berkembang.

Ketiga hal ini ditawarkan oleh Profesor Schwab tahun ini. Persoalannya, apakah wacana transformasi kapitalisme ke 'wajah baru' ini dapat mendamaikan dua kutub yang berseberangan antara WEF dan WSF? Ataukah justru hanya menjadi propaganda untuk menyelamatkan wajah lama kapitalisme agar dapat kembali beroperasi di masa depan?

Apapun hasilnya, World Economic Forum dan World Social Forum masih perlu dinantikan perkembangannya. Semoga harapan atas transformasi kapitalisme tidak menjadi sekadar propaganda politik, tetapi juga sebuah niat tulus untuk membangun dunia baru yang lebih berkeadilan.

Ingat, another world is still possible. Jika kapitalisme memang enggan mengubah wajahnya, mari pergi ke dunia lain yang lebih baik.

Nuun wal qalami wa maa yasthuruun.

Dari Gelanggang Mahasiswa ke Indonesia Mengajar

Rabu, 25 Januari 2012. Hari ini, saya dan beberapa teman bertemu dengan seorang senior di BEM UGM. Mantan aktivis Senat Mahasiswa era 90an awal, sekarang mengelola sebuah yayasan yang cukup fenomenal dengan penerjunan fresh graduate untuk mengajar ke daerah-daerah terpencil.

Beliau ialah Hikmat Hardono. Sempat lama mengelola Senat Mahasiswa UGM -yang sekarang menjadi BEM KM UGM- dan akhirnya terjun ke dunia masyarakat sipil selepas lulus dari UGM. Sekarang, beliau menjadi Direktur Indonesia Mengajar yang cukup dikenal mendobrak dunia pendidikan Indonesia dengan program pengiriman pengajar muda ke Maluku, Kalimantan, Riau, dan beberapa daerah terpencil lain.

Pertemuan saya dengan Mas Hikmat pada malam ini adalah pertemuan yang kedua. Sebelumnya, saya sempat bertemu dan ngobrol dengan beliau di pertengahan tahun 2011 lalu dengan topik pembicaraan yang sedikit berbeda: sejarah transformasi kelembagaan Senat Mahasiswa UGM sampai menjadi BEM UGM.

Waktu itu, urusan saya masih sebagai tim alumni BEM KM UGM yang sempat kami inisiasi dengan Ketika itu hanya sempat berbincang beberapa lama bersama dua alumni Senat yang lain: Bu Yundrie Erdani serta mas Cahyo Pamungkas (peneliti LIPI, mantan Ketua BEM UGM) yang waktu itu sedang penelitian doktoral di Yogyakarta.

Membersamai mas Hikmat kali ini adalah mas Icus (mas Susilo) yang sempat saya temui beberapa kali di event Indonesia Mengajar. Saya baru tahu kalau beliau juga mantan aktivis di UGM. Diskusi kali ini agak santai, di angkringan lesehan Kali Code, tempat favorit saya dan beberapa kawan untuk diskusi santai malam hari. Saya bersama beberapa kawan di BEM UGM 2012, termasuk Giovanni van Empel, Presiden BEM sekarang.

Pemaparan mas Hikmat kali ini cukup menarik, soal bagaimana IM lahir dan atas semangat apa IM itu kemudian menjelma menjadi sebuah program yang cukup sustainable dan fenomenal. Tapi saya tidak hendak mendeskripsikan Indonesia Mengajar -tentu publik sudah tahu banyak soal ini. Yang ingin saya soroti adalah sebuah sisi lain dari Indonesia Mengajar: pertautannya yang unik dengan gelanggang mahasiswa UGM, wa bil khusus Senat dan BEM UGM era 1990an.

Indonesia Mengajar lahir atas prakarsa Dr. Anies Baswedan, salah seorang intelektual muda Indonesia yang kapasitasnya cukup diakui dunia. Semangat yang mendasari Pak Anies untuk mendirikan IM sebetulnya tak lepas dari pertautan gagasannya dengan Prof. Koesnadi Hardjasoematri, mantan Rektor UGM yang di masa mudanya sempat menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UGM dan mensponsori projek pengerahan tenaga mahasiswa (PPTM) -cikal bakal KKN-PPM UGM yang sekarang.

Dari latar historis yang bisa saya lacak di Senat Mahasiswa UGM dulu, Pak Koesnadi dan Pak Anies memang pernah bersentuhan langsung. Ketika Anies Baswedan masih menjadi Ketua Senat Mahasiswa FE UGM, Prof. Koesnadi menjabat sebagai Rektor. Dari penuturan beberapa aktivis yang sezaman dengan pak Anies, Prof. Koesnadi memang dikenal dekat dengan mahasiswa. Beliaulah yang mendorong untuk dibentuknya Senat Mahasiswa UGM -sesuatu yang terlihat menakutkan bagi rezim Orde Baru waktu itu.

Tapi ada sesuatu yang kemudian menarik dari beliau: gagasan yang sangat orisinil soal kiprah mahasiswa di masyarakat. Ini yang menjadi semangat zaman dari Dewan Mahasiswa era beliau. Ketika euforia gerakan mahasiswa ekstra sangat mengakar di mahasiswa pada era-era tersebut, beliau melakukan dobrakan: menginisiasi proyek pengerahan tenaga mahasiswa ke daerah-daerah terpencil. Proyek ini diinisiasi oleh Dewan Mahasiswa UGM -yang bermarkas di Gelanggang- serta difasilitasi oleh UGM yang waktu itu dipimpin oleh Prof. Sardjito. Tujuannya adalah untuk memberikan akses yang lebih besar bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Koesnadi muda ketika itu dikirim ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tak tanggung-tanggung, dua tahun beliau habiskan di sana untuk mengajar. Dan selepas kembali ke Yogya, beliau membawa dua orang anak Kupang untuk bersekolah di Yogyakarta. Salah satu di antara dua anak itu bernama Adrianus Mooy, yang kelak di era Soeharto menjadi Menteri Keuangan. Inilah kontribusi real mahasiswa pertama bagi masyarakat.

Koesnadi sendiri akhirnya menyelesaikan kuliahnya setelah 14 tahun menjadi mahasiswa. Selepas kuliah dan akhirnya menjadi dosen, Koesnadi kemudian mencoba melembagakan program tersebut ke dalam sebuah kurikulum pembelajaran mahasiswa yang integratif. Jadi, mahasiswa tidak hanya cerdas konseptual, tetapi juga harus cerdas sosial. Kira-kira itu yang dibayangkan Prof. Koesnadi. Dari sini, lahirlah konsep KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang hingga kini masih menjadi 'menu wajib' bagi mahasiswa UGM untuk lulus.

Jadi, pertautan antara KKN dan Proyek-proyek pemberdayaan mahasiswa ke daerah -sebagaimana jadi tren saat ini- sebetulnya tak terpisahkan dari Dewan Mahasiswa UGM. Kira-kira hal ini yang menjadi inspirasi Anies Baswedan untuk menginisiasi Indonesia Mengajar, dalam konteks yang lebih berbeda, sesuai nafas zaman saat ini. Dan secara kebetulan pula, Anies Baswedan sendiri adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM.

Tapi, apakah hanya karena Anies Baswedan adalah mantan Ketua Senat, lantas Indonesia Mengajar kemudian identik dengan Senat atau Dewan Mahasiswa? Entah kebetulan atau tidak, hampir semua lingkar dalam dari Indonesia Mengajar adalah mantan aktivis Senat, atau minimal aktivis gelanggang. Ada, misalnya, mas Hikmat, yang dulu sempat menjadi aktivis Senat dalam jangka waktu yang cukup lama.

Selain mas Hikmat, saya kenal mbak Chiku, dulu Sekretaris Umum Gama Cendekia, senior saya di HI UGM. Lalu ada mbak Yundrie Erdani yang satu generasi dengan mas Hikmat di Senat. Kebetulan pula suami Mbak Yundrie adalah eksponen Senat Mahasiswa UGM yang cukup senior, salah satu peletak dasar Senat di tahun 1991. Sampai saat ini, keberadaan alumni Senat Mahasiswa UGM ini banyak terwadahi di Forum Kagamamuda.

Di sinilah pertautan dengan cerita mas Hikmat malam ini. Indonesia Mengajar mungkin terlihat sederhana jika dibandingkan dengan KKN-PPM yang sudah jadi program reguler UGM. Tapi karena konteks programnya yang out of the box, keluar dari mainstream pendidikan atau "guru" yang selama ini dianggap harus berasal dari lulusan Fakultas atau Universitas Pendidikan, berpadu dengan model pendidikan yang bisa dilakukan oleh lulusan fresh graduate universitas ternama di negeri ini.

Mungkin ini pula yang terjadi ketika Prof Koesnadi menginisiasi PPTM tahun 1955 dulu. Alih-alih mengikuti stream mahasiswa yang berpolitik praktis melalui gerakan mahasiswa, Prof. Koesnadi memperkenalkan cara baru aksi mahasiswa melalui pendidikan. Dan outputnya berjalan baik. Hasil-hasil pemikiran yang out of the box ini yang perlu ditelaah lagi.

Kuncinya, menurut Mas Hikmat, sederhana saja: Pertanyakan sesuatu yang selama ini dianggap 'benar'. Pertanyakan saja apapun yang selama ini mapan dan secara turun-temurun diwariskan. Hal ini yang perlu dilakukan di BEM KM UGM saat ini. Saatnya membebaskan diri dari sekat-sekat apapun untuk kemudian melakukan dobrakan dan menginisiasi kreativitas.

Sejarah Indonesia Mengajar tak terlepas dari kiprah mahasiswa yang berpikir keluar dari mainstream. Tak perlu menjadi Ketua BEM hanya untuk mempertahankan hegemoni atau merebut kekuasaan. Tapi, mampukah amanah ini dijawab dengan 'menuliskan ulang' BEM KM UGM secara lebih baru lagi ke depan?

Kata mas Hikmat, konsepnya sederhana saja: mulai dari berpikir untuk tidak terikat pada belenggu mainstream yang kadang menjebak dan membatasi gerak mahasiswa untuk berpikir lebih kreatif. Indonesia Mengajar lahir dari serangkaian sejarah yang bertaut dengan mahasiswa. Hanya semangat zaman yang kemudian membedakan.

Dan akhirnya, mari bersama-sama membangun kembali UGM, Indonesia, dan Dunia dengan Cinta, Cita dan Karya.

Nuun wal qalami wa maa yasthuruun. [umar]

Memerangi Korupsi Anggaran

Beberapa hari terakhir, publik diramaikan oleh beberapa pemberitaan di media massa soal Nazaruddin. Kasus Hambalang yang menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini terus bergulir. Rupanya, masih ada tujuh kasus lain yang menunggu Nazar di meja hijau.

Semua kasus tersebut berada pada ranah pengadaan barang dan jasa di beberapa kementerian. Ironisnya, beberapa kasus justru terjadi pada lima perguruan tinggi yang seharusnya menjadi avant garde tata kelola pemerintahan yang baik.

Apakah memang korupsi sudah begitu akut, hingga menjalar hingga sektor pendidikan tinggi? Mengapa proses anggaran di negeri ini begitu rawan praktik korupsi?

Korupsi Anggaran
Beberapa masalah di atas jelas merefleksikan komplikasi korupsi yang cukup akut dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam proses anggaran serta pengadaan barang dan jasa.

Sesuai PP 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa, setiap proyek yang nilainya lebih dari Rp 200 juta harus diselesaikan melalui proses lelang (tender). Artinya, jika proyek pemerintah tersebut senilai miliaran Rupiah, seluruh investor yang ingin berpartisipasi dalam proyek tersebut harus berkompetisi terlebih dulu.

Tentu saja, melalui proses lelang tersebut, diharapkan terjadi persaingan yang sehat dan fair bagi setiap investor untuk mendapatkan proyek. Akan tetapi, kasus Nazaruddin membuka mata kita bahwa proses pengadaan barang & jasa tidak serta-merta berjalan sebagaimana mekanisme yang ada.

Kita dapat bedah beberapa kasus, misalnya, seperti kasus Hambalang (Pembangunan Wisma Atlet). Proyek Kementerian Pemuda dan Olahraga senilai 191 Milyar itu menyeret beberapa pejabat ke meja hijau karena kasus suap, di antaranya Wafid Muharram, Sesmenpora.

Persoalan pada proyek tersebut mungkin dapat digambarkan sederhana. Nazaruddin, sebagai peserta lelang, melakukan suap kepada Sesmenpora (Wafid) untuk mengegolkan proyek tersebut pada proses lelang. Hasilnya dapat diketahui: proyek mengalir ke PT Anak Negeri, perusahaan Nazaruddin.

Praktik suap untuk mengamankan proyek anggaran adalah modus yang, ironisnya, sangat lumrah dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia. Tetapi ketika melihat perkembangan kasus, kita akan lebih terkejut lagi: permainan terjadi tidak hanya pada proses lelang, tetapi sudah diatur hingga menyeret anggota DPR lain –jika yang disampaikan Nazar benar.

Praktik percaloan anggaran semacam ini dapat ditemui benang merahnya jika melihat kasus Nazaruddin yang lain: kasus pengadaan alat dan penunjang laboratorium di beberapa Universitas.

Salah satu modus korupsi yang terjadi adalah penggelembungan harga. Kerugian negara pada kasus yang juga melibatkan Nazaruddin di APBN 2010 itu kabarnya mencapai 7 Miliar.

Kasus ini menjadi ‘pintu masuk’ untuk menelisik kasus korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Jelas, praktik pengadaan barang dan jasa yang melalui proses tender tak lepas dari permainan broker politik yang “menumpang” proyek untuk kepentingan modal politik.

Mengutip Abdullah Dahlan (ICW), Percaloan anggaran ini bisa melalui perantara dengan fee yang diajukan oleh anggota DPR maupun birokrasi yang memiliki link dengan pengusaha.

Jalinan erat antara politisi, birokrat, dan pengusaha ini jelas bersifat koruptif. Ia menguasai sumber daya publik yang ada dan mengakumulasikannya untuk dana politik.

Jalan yang bisa diajukan untuk mencegah hal ini tentu saja adalah dengan membongkar pendanaan partai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Lagi-lagi, celahnya, aturan politik kita tidak menyiapkan infrastruktur sistem yang mendukung proses ini.

Sehingga, proses politik kita menjadi sangat oligarkis: diatur oleh segelintir pihak dan elit untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Oligarki
Dalam perspektif korupsi politik, otoritas yang tersentralisir secara penuh akan cenderung korup. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, kata Lord Acton.

Begitu juga dengan praktik oligarki antara kementerian (birokrasi), DPR (politisi), maupun perusahaan rekanan dalam pengadaan barang dan jasa. Kasus Nazaruddin telah membuktikan bahwa proses anggaran yang tidak sehat rawan berimplikasi pada munculnya calo-calo anggaran.

Ironisnya, jika kita telaah kasus-kasus korupsi anggaran yang terjadi, modusnya justru melibatkan orang-orang dari partai politik. Padahal, seharusnya partai politik mengemban amanah mulia untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Sengkarut oligarki antara kementerian, DPR, dan perusahaan rekanan ini, meminjam analisis Hanta Yuda (2010), terjadi karena mismatch antara presidensialisme dan multipartai di Indonesia, atau “presidensialisme setengah hati”.

Dalam logika presidensialisme efektif, kabinet yang terbentuk seyogianya adalah zaken kabinet. Artinya, Presiden memiliki otoritas penuh untuk memilih jajaran menterinya tanpa harus tersandera kepentingan politik.

Dalam konteks presidensialisme “setengah hati” –dalam bahasa Hanta Yuda— posisi kementerian justru dihuni oleh figur titipan partai politik sebagai implikasi deal antara presiden dan pemerintahan koalisi.

Implikasi negatifnya, pemerintahan menjadi tersandera oleh kepentingan partai. Yang lebih parah, masuknya unsur partai politik di kementerian justru membuka peluang bagi pemburu rente dari partai yang bersangkutan untuk menguasai proyek anggaran di kementerian yang bersangkutan.

Sehingga, alih-alih membuka persaingan tender proyek secara fair, proses lelang menjadi “bancakan” permainan partai. Ujung-ujungnya, muncullah kasus seperti “sapi jenggot” atau “hambalang” yang jelas menunjukkan oligarki yang pelik itu.

Mereduksi Potensi Korupsi
Sehingga, jika konsisten dengan analisis ini, ada dua hal yang mesti menjadi perhatian. Pertama, kementerian mesti disterilkan dari kepentingan kapital partai untuk menumpuk bekal di 2014 nanti.

Cara paling radikal adalah me-reshuffle menteri yang memang terbukti korup dan nepotis dalam proses anggaran dan mekanisme pengelolaan proyek. Jika tidak memungkinkan, eksponen partai dapat dilarang untuk terlibat dalam proses anggaran maupun pengelolaan proyek untuk menghindari konflik kepentingan.

Kedua, segera membongkar transparansi dan akuntabilitas pendanaan partai. Ini penting untuk melihat arus dana tidak jelas yang masuk ke partai. Jika dana yang bersangkutan berasal dari percaloan, perlu ada tindakan yang jelas untuk menghentikan aliran dana ini.

Salah satu strategi untuk mengantisipasi ini adalah melalui UU Pemilu baru –yang justru  dibuat oleh DPR sendiri. Tantangan beratnya tentu di sini. Jika tak ada pengawalan serius dari elemen masyarakat sipil, UU Pemilu kita hanya akan menjadi alat meneguhkan kekuasaan politik status-quo saat ini.

Dua jalan tersebut meniscayakan adanya peran serta masyarakat sipil untuk mengawal proses politik di negeri ini. Tak terkecuali, tentu saja, gerakan mahasiswa. Pertanyaannya, sanggupkah gerakan mahasiswa berdiri tegak di atas kepentingan mahasiswa sendiri, tanpa harus terpenjara oleh kepentingan politik yang berkelindan dengan modal dan kekuasaan?

Biarlah waktu yang menjawabnya karena ikhtiar kita untuk memerangi korupsi di negeri ini. Salam cinta, cita, dan karya untuk pembebasan!

Billahi fi sabilil haq.