Rabu, 16 Juli 2008

Awas! Dunia Dilanda Krisis Minyak

Waspadai Politik Minyak Global

Bulan ini menjadi bulan yang cukup pelik bagi pemerintah SBY-JK. APBN-Perubahan yang telah disusun dengan hati-hati harus menghadapi fenomena terburuk, yaitu meroketnya harga minyak dunia. Di pasar komoditas New York, harga minyak dunia dikabarkan mencapai rekor baru: $147,7 per barel (MetroTV, 12 Agustus 2008). Tak hanya itu, rekor tersebut berpeluang naik hingga melebihi $150 per barel ke depan.

Kenaikan harga minyak dunia tersebut membuat pemerintah harus bersiap-siap menuai badai akibat ketidakmampuan APBN dalam menghadapi harga ini. Pada APBN-Perubahan 2008, asumsi harga minyak dunia adalah sekitar $95 per barrel, sedangkan harga minyak sekarang mengalami kenaikan sebesar 55,47% dari asumsi semula. Itu pun masih berpeluang melonjak karena pergerakan harga yang sulit diprediksi.

Bagi beberapa negara di dunia seperti Rusia, Arab Saudi, atau Qatar, kenaikan harga minyak dunia ini justru menjadi ”panen raya”. Mereka meraup banyak keuntungan karena selisih antara produksi dan konsumsi yang besar, ditambah dengan neraca perdagangan yang positif. Situasi ini sangat kontradiktif dengan Indonesia, yang walaupun dikenal sebagai negara produsen minyak, tetap harus menderita kerugian akibat konsumsi yang cukup besar yang harus ditanggung oleh APBN.

Kenaikan harga minyak dunia sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, berkurangnya pasokan minyak mentah dunia. Hal ini dapat kita lihat pada produksi minyak Indonesia yang menurun drastis, mencapai 846.000 barel per hari. Secara akumulatif, produksi minyak dunia pun hanya sebesar 28 Juta barrel per hari. Ini merupakan sebuah angka yang rendah untuk level produksi dunia di era sekarang.

Kedua, konsumsi minyak dunia yang cukup besar. Konsumsi minyak ini menjadi faktor yang cukup krusial, karena produksi minyak dunia tidak optimal. Dalam teori ekonomi, harga barang akan naik jika permintaan (demand) terus bertambah sementara penawaran (supply) cenderung stagnan atau turun. Indonesia memiliki kecenderungan ini jika pengguna kendaraan bermotor atau kompor minyak terus bertambah tiap tahunnya.

Ketiga, persoalan politik luar negeri. Persoalan ini mengerucut pada tiga poros kekuatan oposisi: Iran-Venezuela-Bolivia. Kita lihat saja Iran. Memanasnya hubungan diplomatik dengan AS dan Israel telah membuat cemas pelaku pasar dunia. Apalagi Israel tengah melakukan persiapan perang dengan serangkaian latihan militer. Akibatnya, sentimen negatif muncul pada sesi perdagangan dan mendongkrak harga minyak.

What is To Be Done?

John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Men, telah menyatakan bahwa bercokolnya korporasi multinasional dan ekonom hit men di sektor perminyakan telah membawa bahaya besar. Contoh terbaik adalah pada Ekuador di era Jaime Roldos atau Chile di era Salvador Allende. Keduanya harus lengser dari kursi kepresidenan karena memiliki pertentangan dengan perusahaan asing. Roldos, misalnya, terbunuh dengan kecurigaan kuat sebagai buntut dari konflik dengan Chevron dan Shell.

Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis minyak dunia ini? Penulis mencoba memberikan beberapa alternatif solusi.

Pertama, penghematan fiskal. Pemerintah patut mengevaluasi belanja-belanja yang kurang penting di APBN-Perubahan agar subsidi BBM tetap dapat berjalan. Penghematan ini juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi penjualan obligasi, laba BUMN, atau cadangan devisa. Langkah Evo Morales di Bolivia yang menasionalisasi aset sumber daya alam yang krusial patut dijadikan referensi.

Kedua, mengoptimalkan potensi hulu migas. Salah satu kesalahan pemerintah adalah memberikan beban yang tinggi kepada Pertamina untuk bergerak di sektor hulu migas dengan menempatkan perusahaan-perusahaan asing besar macam Chevron, Exxon, atau Medco. Sehingga, Pertamina dengan teknologi yang tidak terlalu maju harus berhadapan dengan para ”raksasa minyak” yang memiliki sumber daya cukup besar. Akibatnya dapat ditebak: Keuntungan di sektor hulu migas tidak terlalu maksimal.

Ketiga, mengevaluasi kontrak-kontrak karya migas dengan perusahaan asing seperti Exxon Mobile, di sektor perminyakan. Sesuai ketentuan perundang-undangan, pembagian keuntungan antara pihak penambang minyak asing dengan pemerintah adalah 85%:15%. Akan tetapi perlu dicatat, pembagian keuntungan tersebut harus dikurangi oleh cost recovery. Pemerintah harus menjaga agar biaya produksi yang dikeluarkan tidak dimark-up. Kecurigaan ICW bahwa ada penyelewengan dana di Pertamina EP perlu diusut, karena hal ini berdampak pada kerugian yang berlipat ganda bagi negara.

Keempat, mengurangi impor minyak dari negara lain. Kita harus mencanangkan kembali prinsip ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) yang dulu pernah didengungkan oleh Soekarno. Ini mungkin sulit bagi masyarakat kita yang konsumtif dan western-minded, tetapi secara jangka panjang hal ini menjadi sebuah langkah vital. Kita lihat saja India dengan prinsip Swadeshinya, sekarang mampu bercokol sebagai salah satu ”macan” Asia yang disegani dalam Information Technology bersama Cina.

Empat alternatif solusi di atas penulis tawarkan sebagai manifestasi kewaspadaan kita akan meroketnya harga minyak dunia mencapai rekor mengkhawatirkan. Penulis hanya dapat berharap, semoga kenaikan harga minyak dunia ini tidak disikapi secara gegabah oleh pemerintah. Kita nantikan saja.
Ctt: Banyak sekali agen-agen liberal yang masuk ke Indonesia. Jika anda pernah mendengar nama FREEDOM INSTITUTE, yang ditukangi oleh Andi Mallarangeng, Rizal Mallarangeng, dll. Maka Anda akan melihat bahwa mereka merupakan para kolaborator alias "hantu-hantu" liberal yang ingin menghancurkan Indonesia. Wajar jika SBY-JK terkena imbas dari keberadaan mereka.
Wa Na'udzu Billahi Minasy Syathan ar-Rajim....

Tidak ada komentar: