Selasa, 01 Juli 2008

Indonesia di Tengah Arus Globalisasi Ekonomi

Kenaikan Harga BBM, Petaka Globalisasi?

Harga minyak dunia terus naik akibat berkurangnya pasokan minyak dunia dan mandegnya produksi di beberapa negara eksportir minyak dunia,. Indeks harga terakhir di NYMex bahkan mencapai $142 per barel, hampir 1,5 kali dari prediksi APBN-P 2008. Implikasi yang besar dialami oleh bangsa kita. Harga BBM bersubsidi harus naik hingga 30% dan ”terancam” naik lagi karena produksi minyak yang jauh dari target. Begitu pula dengan elpiji yang naik sebesar 16%.

Kenaikan harga BBM ini kemudian menyulut berbagai aksi unjuk rasa. Pertama kali unjuk rasa dilakukan oleh mahasiswa Universitas Nasional Jakarta yang berujung pada penyerangan kampus Unas oleh polisi. Tak hanya itu, aksi unjuk rasa juga berlangsung di Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang dikenal sebagai basis mahasiswa Forum Kota (Forkot) dengan cara pemblokiran jalan umum di Cawang.

Krisis masih terus berlanjut. Pascapenyerangan kampus Unas, Indonesia kembali dihebohkan oleh meninggalnya seorang mahasiswa Fakultas Sastra Unas, Maftuh Fauzi yang diduga korban kekerasan aparat. ”heboh” tersebut menyeruak setelah duduga ada pelanggaran kode etik kedokteran oleh pihak rumah sakit yang merawat Maftuh. Bola menjadi semakin liar setelah aliansi mahasiswa gabungan kembali berunjuk rasa –kali ini secara anarkis—di depan gedung DPR/MPR. Semuanya terjadi sebagai respons dari kenaikan harga BBM.

Ada apa gerangan dengan naiknya harga minyak dunia tersebut? Dalam teori ekonomi, salah satu faktor yang mempengaruhi kenaikan harga barang adalah berkurangnya penawaran (supply) yang tidak dibarengi oleh penurunan jumlah permintaan (demand). Atau, jumlah barang yang tersedia (stock) tidak dapat mengimbangi jumlah permintaan atas barang tersebut sehingga produsen menaikkan harga. Hal ini terjadi pada produksi minyak yang tidak melampaui target akibat berkurangnya cadangan minyak mentah dunia dan persoalan geopolitik.

Berkurangnya produksi minyak di beberapa negara eksportir (OPEC) tentu bukan faktor tunggal. Ada banyak fenomena lain yang membelakanginya, seperti persoalan geopolitik di Iraq, nasionalisasi perusahaan minyak di Bolivia, Venezuela, dan Ekuador berkuragnya cadangan minyak mentah di Laut Arktika, sampai eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan multinasional seperti Exxon Mobile, Medco, atau Total E&P. Hal ini merupakan implikasi dari globalisasi ekonomi yang menjadi salah satu agenda dari Washington Consensus (baca Amien Rais, 2008)

Penulis ingin menganalisis dua fenomena yang saling berkaitan dalam rentetan peristiwa ini: kenaikan harga BBM dan hubungannya dengan arus globalisasi ekonomi belakangan ini. Dua variabel ini menurut penulis memiliki keterkaitan yang erat.

Di Balik Kenaikan Harga BBM

Alasan klasik pemerintah dalam menaikkan harga BBM adalah penyelamatan APBN. Memang, subsidi APBN telah menyedot lebih dari 12% dari belanja negara, sebuah angka yang cukup besar. Apalagi asumsi harga yang digunakan oleh pemerintah dalam APBN hanya sekitar $95 per barel, sehingga otomatis terjadi defisit APBN. Dengan menaikkan harga di masyarakat, pemerintah berharap defisit anggaran tersebut dapat diminimalisasi dan disalurkan ke tempat yang lebih tepat.

Sesederhana itukah masalah yang ada? Jelas tidak. Ide untuk menaikkan harga BBM setidaknya harus didahuilui oleh sosialisasi yang tepat dan antisipasi gejolak perekonomian yang bakal terjadi. Pengalaman yang sudah-sudah, kenaikan harga BBM justru diikuti oleh kebijakan yang salah kaprah, tergesa-gesa, dan terkesan mencari popularitas, yaitu Bantuan Langsung Tunai.

Banyak sekali masalah yang ditimbulkan dari subsidi BLT ini jika kita berkaca pada peristiwa tahun 2005. Kericuhan, aksi anarkis, sampai subsidi yang ”salah masuk” mewarnai pemberian subsidi ini. Angka kemiskinan bukannya dapat ditekan, justru semakin melonjak karena menurunnya daya beli masyarakat akibat inflasi.

Kenaikan harga BBM katakanlah tidak tak terelakkan. Tetapi, pemerintah seharusnya terus berupaya agar perekonomian bangsa tidak terpengaruh pada krisis minyak di dunia internasional. Penulis mencatat, kesalahan Indonesia dalam kebijakan perminyakan adalah menempatkan perusahaan-perusahaan multinasional sebagai pesaing Pertamina dalam sektor hulu (produksi mentah). Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan mengakibatkan pemberian kompensasi yang tidak menguntungkan (Lebih jelas lihat Amien Rais, 2008).

Kenaikan ini tidak lepas dari ketergantungan bangsa ini dengan OPEC. Kita lihat, OPEC sekarang sudah kehilangan tajinya dan semakin bergantung pada mekanisme pasar. Di sisi lain, Indonesia justru semakin terbebani juga harus membayar iuran OPEC sebesar 2 Juta Euro per tahun (Sekitar 28 Miliar Rupiah). Ketergantungan dengan OPEC mutlak harus dihilangkan.

Globalisasi Salah Kaprah

John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Man memperingatkan kita bahwa akan ada implikasi negatif dari globalisasi. Berdasarkan pengalamannya, arus globalisasi ekonomi telah membangun axis of evil kekuatan ekonomi dunia: Amerika Serikat-Korporasi Internasional-Economic Hit Men. Peran kelompok ketiga ini sangat berbahaya karena menjelma pada eksekutif yang menawarkan kontrak karya di berbagai negara yang menjadi target eksploitasi AS.

Pengalaman Perkins di Panama, Iran, Ekuador, Arab Saudi, Indonesia, dan negara lain membuktikan hal ini. Perkins mengaku bahwa proyek elektrifikasi (pengadaan listrik) di era Soeharto penuh dengan aksi para economic hit men ini. Panama juga telah menerima dampaknya dengan invasi AS akibat kebijakan Omar Torrijos yang terlalu berani (Invasi terjadi di era Manuel Noriega). Hal yang sama terjadi pada diri Jaime Roldos di Ekuador, Jacobo Arbenz di Guatemala, Salvador Allende di Cile, dan Mullah Muhammad Umar di Afghanistan.

Bagaimana dengan Indonesia? Dampak dari globalisasi saat ini tengah kita rasakan. Produksi minyak kita mandeg karena keserakahan eksploitasi minyak dari koporasi yang secara legal menguras kekayaan alam kita. Belum lagi dengan aksi pembalakan liar yang merugikan negara miliaran Rupiah (Adelin Lis sebagai aktor utama melenggang kangkung dengan bebas). Sementara itu, pembagian keuntungan juga tidak seimbang Seperti inikah pengaruh globalisasi di negara kita?

Globalisasi di Indonesia seharusnya ditangani secara bijak. Indonesia sudah seharusnya melupakan privatisasi BUMN yang mengkhianati nasionalisme bangsa. Indosat, Krakatau Steel, atau perusahaan lain yang telah dijual harus dinasionalisasi dan dipergunakan untuk kemaslahatan rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.

Sebagai sebuah bangsa yang telah lebih setengah abad merdeka, Indonesia sudah seharusnya menampakkan diri sebagai sebuah ”macan” Asia. Lihatlah keberanian pemimpin dunia macam Evo Morales (Bolivia), Hugo Chavez (Venezuela), Rafael Correa (Ekuador), atau Mahmoud Ahmadinejad (Iran) yang dengan gagah berani menentang imperalisme ekonomi AS dengan menasionalisasi aset-aset strategis dan mengusir perusahaan multinasional yang menggerogoti SDA bangsa mereka.

What’s Next?

Petaka globalisasi terbukti telah membawa kenaikan harga BBM yang tak dapat ditangkis oleh bangsa kita. Katakanlah kita tak dapat mengantisipasi kenaikan harga BBM tersebut, tetapi pemerintah harus terus mengantisipasi kenaikan selanjutnya dengan memproteksi produksi dalam negeri.

Dus, kita hanya dapat berharap semoga saja Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro sadar dan bertaubat atas kesalahannya dalam kontrak karya migas. Semoga Meneg BUMN Sofyan Djalil juga tidak sembrono lagi dalam memprivatisasi BUMN. Semoga saja semua itu menjadi kenyataan.


(Artikel sebagai respons atas terbitnya monograf Prof Dr Amien Rais, MA, Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam kenal, saya sering baca tulisan2 anda,salute ada anak muda punya ide2 dan tulisan cemerlang.