Jumat, 04 Juli 2008

Berhaji Tanpa Gelar

Mengulas Penggunaan Gelar "Haji" sebagai Identitas Diri


“Dan serulah manusia untuk mengerjakan ibadah haji, niscaya mereka akan datang dengan berjalan kaki, atau mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh’”

(Al-Qur’an Surah Al-Hajj:27)

Ibadah Haji, seperti kita ketahui bersama, merupakan salah satu dari rukun Islam ke-5. Ibadah haji diwajibkan kepada setiap muslim yang mampu melaksanakannya, dan ini dapat kita lihat dalam Al-Qur’an Surah Al-Hajj ayat 27 di atas. Dalil lain ada pada Surah Al-Baqarah: 196-203 yang menjelaskan tatacara ibadah haji secara umum.

Karena wajibnya haji itulah, setiap muslim dari penjuru dunia berbondong-bondong mendatangi Baitullah pada bulan Dzulhijjah. Mereka datang dengan berbagai media transportasi: Pesawat terbang, Kapal Laut, bahkan dengan Bus (bagi yang berada di jazirah Arab). Fenomena ini selaras dengan firman Allah di atas.

Kontroversi Gelar “Haji”

Pemberian gelar ”Haji” atau ”Hajjah” telah menjadi sebuah adat dan tradisi di Indonesia. Biasanya, gelar tersebut diberikan bagi seorang yang telah datang dari tanah suci, tak peduli hajinya mabrur atau tidak. Asalkan beliau telah menjalani rukun-rukun haji (ihram, wukuf, dan tawaf), ia berhak menyandang “titel” H. atau Hj. di belakang namanya. Perkara ia melanggar dam atau berbuat sia-sia pada saat menjalankan ibadah haji tak jadi soal; yang penting ia telah menjalankan rukun dengan lancar.

Salahkah pemberian gelar tersebut? Pada dasarnya agama tidak melarangnya. Katakanlah pemberian gelar tersebut hanyalah tradisi untuk mengingatkan bahwa ia telah melaksanakan ibadah haji, karena ibadah ini merupakan sebuah kewajiban bagi seorang yang telah mampu. Al-Qur’an dan Hadits pun secara eksplisit tidak ada yang melarang pemberian gelar ini.

Meskipun demikian, adat ini tidak berasal dari Rasulullah. Tidak ada satupun sahabat nabi yang memasang gelar H. Atau Hj. di belakang nama mereka. Kita tentu tidak pernah mendengar satu teks hadits atau atsar yang menyebutkan nama ”Haji Umar”, ”Haji Abu Bakar”, ”Haji Usman”, dan lain-lain. Para shahabat dan tabi’in yang notabene merupakan mukimin Mekkah (sebagian bermukim di Madinah) menggunakan nama mereka masing-masing tanpa gelar pelengkap ini. Padahal, mereka beribadah haji nyaris setiap tahun.

Pemberian gelar ini pun jika kita lihat dari dimensi yang lain, akan ada kejanggalan-kejanggalan. Terutama jika kita lihat dari aspek sosial.

Pertama, gelar haji akan cenderung mengurangi keikhlasan seseorang. Penulis bukannya berprasangka, tetapi pemberian gelar haji berpotensi membuat niat orang yang beribadah haji tersebut bergeser. Mungkin tidak semua orang demikian. Tetapi, penulis menghawatirkan kondisi ini terjadi pada orang yang tidak memahami substansi dari haji itu sendiri.

Kedua, pemberian gelar haji menyebabkan hikmah dari ibadah haji menjadi kabur. Seseorang yang telah menjalankan ibadah haji merasa cukup dengan adanya gelar haji tersebut. Padahal, Allah telah mengisyaratkan tujuan utama haji dalam Al-Qur’an Surah Al-Hajj ayat 28, ”Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar menyebut nama Allah pada beberapa hari yang ditentukan atas rizki yang Ia turunkan berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah untuk dimakan orang yang sengsara atau fakir”.

Ayat tersebut telah menjelaskan bahwa tujuan haji seseorang adalah untuk mensyukuri nikmat Allah dengan menyembelih hewan ternak dan bersedekah kepada orang yang membutuhkan. Hadits Rasulullah yang lain pun menjelaskan bahwa Haji yang mabrur ganjarannya adalah surga, dan ini membutuhkan syarat-syarat tertentu yaitu baiknya ibadah yang ia lakukan. Pemberian gelar hanya akan mengurangi hikmah ini.

Ketiga, pemberian gelar H. Atau Hj. ini juga berisiko mendatangkan kesombongan. Sekali lagi, penulis tidak ingin berprasangka, tetapi penulis khawatir seseorang yang diberi titel H. Atau Hj. ini akan menggunakan titel ini di kesempatan-kesempatan publik, terutama bagi tokoh masyarakat atau pelaku usaha. Dengan adanya titel H. Atau Hj. tersebut, strata sosialnya akan terangkat di mata masyarakat. Implikasi yang mengkhawatirkan dalam perspektif agama adalah munculnya rasa takabbur atau sombong yang dilarang dalam Islam.

Keempat, pemberian gelar H. Atau Hj. ini berpotensi disalahgunakan untuk komoditas politik atau kepentingan pribadi. Kita dapat melihat pada pemilu, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Semua calon yang berkompetisi seakan ”berlomba” memasang gelar H. Atau Hj. di depan namanya. Akan tetapi, sikap dan perilakunya setelah terpilih tak sesuai denga gelar yang disandangnya. Begitu banyak kita dapatI H. Atau Hj. yang korupsi atau membela kepentingan yang salah (seperti aliran sesat). Inikah yang diinginkan dari ibadah haji? Tentu tidak.

Apa yang Seharusnya Diperhatikan?

Di sini, penulis tidak ingin berprasangka kepada para Haji. Pemberian gelar haji tak dilarang dalam agama.Tetapi perlu diingat, gelar H. Atau Hj. tersebut harus digunakan secara hati-hati tanpa riya’, sum’ah, atau takabbur. Gelar tersebut juga tidak boleh digunakan untuk komoditas bisnis atau politik yang bertentangan dengan etika Islam. Jika tidak mampu, mari berhaji tanpa gelar apapun di belakangnya.

Selain itu, para Haji atau Hajjah hendaknya tidak melupakan kemabruran Haji. Ukuran keberhasilan Haji tidak ditentukan dari jumlah ibadah haji yang ia lakukan, tetapi dari kualitas ibadah pasca Haji tersebut. Toh Rasulullah hanya mengerjakan ibadah haji sekali seumur hidup beliau. Bukan gelar yang menjadi ukuran, tetapi perbaikan amal dan konsistensi ibadah kitalah yang dipertaruhkan.

Untuk itu, marilah kita kesampingkan gelar Haji yang kita terima. Lebih baik kita mengorientasikan Haji kita untuk memperbaiki amal. Ingat, bukankah amal yang diterima adalah amal yang baik, bukan amal yang banyak? Bukankah yang paling mulia di antara kita adalah yang paling bertakwa (Al-Hujurat: 13)?

(Artikel ditulis sebagai wujud keprihatinan atas tergerusnya substansi ibadah oleh trend gengsi dan unsur keduniawian yang lain. Ditulis sepulang Umrah beberapa waktu yang lalu)

Tidak ada komentar: