Sabtu, 26 Juli 2008

Hari Anak Nasional : Bagaimana KPAID Kalsel?

Pendahuluan
Perlindungan anak secara global telah mengemuka pada awal 1990 dengan disahkannya Konvensi Hak Anak yang dirumuskan di New York dan disahkan oleh General Assembly of The United Nations (Majelis Umum PBB) pada tanggal 20 November 1989. Konvensi Hak Anak ini pada perkembangannya diratifikasi pada tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden No 36 tahun 1990.

Pada Konvensi Hak Anak Pasal 19 Ayat (1) dan (2), muncul sebuah kewajiban setiap anggota PBB untuk mengambil langkah-langkah secara legislatif (pembuatan peraturan khusus), sosial, administratif dan pendidikan yang layak dalam permasalahan anak. Republik Indonesia telah mempunyai tiga perundang-undangan tentang anak, yaitu UU No 23 tahun 2002, seUU No 3 tahun 1997, dan UU No 4 tahun 1979.

Berdasarkan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak dalam kerangka UU tersebut harus mendapatkan hak-hak berupa hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dengan demikian, upaya-upaya perlindungan anak di Indonesia dapat dimulai dari starting point ini. Sekarang, setelah 18 tahun Konvensi Hak Anak diratifikasi oleh Presiden Soeharto, kembali kita perlu mengevaluasi diri dengan pertanyaan : Apakah semua anak Indonesia telah dilindungi keberadaannya, diakui hak-haknya yang asasi, dan dihormati partisipasinya sebagai warga negara Indonesia? Mari kita analisis.

Kekerasan Pada Anak

Kita mungkin masih belum lupa ketika tiga tahun yang lalu, Februari 2005, terjadi kasus child abuse. Berita Banjarmasin Post 1 Februari 2005 mengungkap hal tersebut. Seorang anak perempuan yang masih di di bawah umur harus menjadi korban kekerasan oleh ibu tirinya yang diduga mengalami gangguan kejiwaan. Lebih mencengangkan lagi, hasil visum Rumah Sakit menyatakan bahwa apa yang dialami oleh anak tadi dikategorikan sebagai kekerasan berat (BPost, 2/2/2005). Kasus ini diblowup oleh media massa dan akhirnya ditangani oleh Kepolisian dengan menggunakan UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Berdasarkan data Plan Indonesia yang dikutip sebuah media cetak nasional, pada tahun 2006 diperkirakan ada 871 kasus kekerasan terhadap anak. Sedangkan dari pengaduan masyarakat melalui hotline services dan pemantauan Pusdatin Komnas Perlindungan Anak terhadap 10 media cetak, selama tahun 2005 dilaporkan terjadi 736 kasus kekerasan terhadap anak ditambah 130 kasus penelantaran anak dengan rincian 327 kasus kekerasan seksual, 233 kasus kekerasan fisik, 176 kasus kekerasan psikis, dan 130 kasus penelantaran anak (Pikiran Rakyat, 24 Maret 2006).

Bila kita tinjau aspek yuridisnya, dapat kita katakan bahwa perilaku-perilaku kekerasan pada anak, bertentangan dengan UU No 23 tahun 2002. Dalam pasal 80 Ayat (1) UU No 30 tahun 2002 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan kepada anak pidana penjaranya tiga tahun enam bulan,dengan dengan denda Rp 72.000.000,00.

Jika anak yang dianiaya luka berat, maka pidana penjaranya yaitu 5 tahun, dengan denda Rp 100.000.000,00. Kemudian jika anaknya meninggal, makapelaku dipidana dengan piana penjara 10 tahun, denda Rp 200.000,00 Kemudian di ayat (4) disebutkan jika yang melakukan orang tua, maka pidana penjara ditambah sepertiganya.

Peran KPAID Kalsel

Dari fakta-fakta di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa masih ada anak Indonesia yang belum menerima perlakuan layak. Ada yang diadili dengan alasan sepele, ada yang harus menerima kekerasan yang memenuhi unsur pidana, dan ada yang ditelantarkan sehingga tidak mendapatkan hak-haknya untuk tumbuh secara wajar.

Dengan demikian, perlindungan hak-hak anak menjadi sangat penting untuk segera dilakukan. Kita telah mempunyai UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU no 3 tahun 1997 tentang peradilan anak, dan UU No 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Kalimantan Selatan bahkan telah membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) sebagai penjaga gawang perlindungan anak di level provinsi.

Memang, wewenang KPAID terbatas. KPAID dapat melakukan sosialisasi institusional, tetapi tidak melakukan sosialisasi directly to person. KPAID juga belum seutuhnya menjalankan advokasi kepada anak yang bermasalah secara hukum dengan orang lain. KPAID, saran penulis, dapat mengambil peranan dalam advokasi anak yang diadili padahal usianya masih di bawah 18 tahun, atau minimal melakukan tindakan preventif dengan pendekatan ke masyarakat dengan berbagai media yang ada.

Penulis hanya berharap, KPAID Kalsel mampu menjalankan fungsinya yang tercantum dalam UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 76 huruf a, yaitu sosialisasi seluruh perundang-undangan tentang perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, serta melakukan penelaahan strategis, pemantauan, dan evaluasi dalam penyelenggaraan perlindungan.

KPAID Kalsel merupakan penjaga gawang perlindungan anak di Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, keberadaannya harus membawa hasil dalam mereduksi kasus-kasus kekerasan anak secara signifikan.
Bravo KPAID, kami mendukungmu!

Tidak ada komentar: