Pengantar
Bagi setiap nation-state yang memiliki wilayah luas, gerakan separatis pasti menjadi sebuah masalah besar. Setidaknya, gerakan separatis telah membuat beberapa negara harus mengeluarkan biaya besar. Tak hanya itu, gerakan separatis juga menghasilkan kerugian bagi warga sipil yang tidak terlibat secara langsung dalam wilayah dan eskalasi konflik.
Ada dua faktor penting yang mendukung munculnya gerakan separatis, yaitu potensi konflik yang tak terkelola dengan baik dan adanya benturan kepentingan antara kekuatan-kekuatan politik yang bersaing. Kita ambil contoh gerakan separatis sayap kiri Kolombia, di mana potensi konflik karena perbedaan ideologi antara pemerintah dan oposisi tak diselesaikan secara baik. Apalagi dengan adanya intervensi dari negara Barat, kelompok sayap kiri semakin gencar melakukan serangan kepada pemerintah.
Penulis akan menganalisis gerakan separatis yang terjadi di beberapa negara beserta implikasi dan upaya penyelesaian yang dapat dilakukan untuk meredam gejolak tersebut.
Pengalaman Politik : Indonesia, Georgia, Nepal, Turki
ita dapat bercermin pada gerakan separatis di Indonesia, Georgia, Nepal, dan Turki. Seperti diketahui, ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia, Republik Ossetia Selatan di Georgia, gerilyawan Maois di Nepal, serta Republik Kurdistan di Turki. Gerakan separatis di empat negara ini memilik perbedaan dalam ideologi dan strategi gerakan, serta berbeda sikap dalam negosiasi dengan pemerintah yang bersangkutan.
Pada kasus Indonesia, konstelasi politik nasional berpengaruh terhadap keberadaan gerakan separatis. Presiden Soeharto (Orde Baru) mengambil langkah represif dengan menggunakan kekuatan militer untuk menumpas GAM di Aceh. Cara ini justru menimbulkan banyak korban dari warga sipil. Pasca-Soeharto, pemerintah cenderung menggunakan pendekatan diplomatik dan mengedepankan negosiasi-negosiasi dengan kelompok separatis. Cara ini terbukti efektif dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara wakil GAM dengan pemerintah Indonesia dengan mediasi Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari.
Langkah ini berbeda dengan cara pemerintah Georgia dalam menghadapi kelompok separatis Republik Osetia Selatan dan Abkhazia. Georgia lebih menggunakan pendekatan represif dan militeristik dalam merespons pergerakan kelompok ini. Terbukti pada bulan Agustus 2008, pemerintah Georgia melancarkan operasi militer dadakan ke Tskhinvali, ibukota Osetia Selatan. Akan tetapi, serangan ini ternyata salah perhitungan karena memakan korban warga sipil sehingga mempertegang hubungan diplomatik dengan Rusia. Akibatnya bisa ditebak: Rusia menyatakan perang dengan Georgia dan mengarahkan persenjataan berat mereka ke Tbilisi, ibukota Georgia.
Lain halnya dengan Nepal. Kelompok Maois menggunakan taktik medieval warfare dan merongrong kedudukan Raja Gyanendra yang sangat absolut. Mereka tidak melakukan serangan terbuka, namun sesekali melancarkan serangan ke fasilitas pemerintah secara sporadis. Namun, memanasnya suhu politik nasional membuat kelompok ini juga turut berjuang bersama rakyat menentang pembubaran monarki Hindu. Pasca-kejatuhan Raja Gyanendra, kelompok Maois justru mencalonkan seorang capres untuk bersaing di Majelis Konstitusi, kendati akhirnya dikalahkan oleh kandidat Nepal Congress, Ram Baran Yadav.
Terakhir, gerakan Republik Kurdistan di Turki. Masih kuatnya kelompok militer di pemerintahan Turki membuat upaya perdamaian dan negosiasi seringkali terhambat. Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dan Abdullah Ghul yang berasal dari faksi Islam sebetulnya telah memikirkan upaya negosiasi damai, tetapi sikap keras dari pemberontak dan penentangan dari kekuatan militer membuat upaya mereka tak dapat berjalan. Apalagi konstelasi politik di negara tersebut kian menghangat setelah faksi Islam yang menguasai parlemen dituduh mengkhianati nilai-nilai sekularisme dalam konstitusi.
Meredakan Ketegangan
Bagaimana upaya resolusi konflik yang dapat menghubungkan gerakan separatis dan pemerintah? Penulis memiliki beberapa pendapat mengenai hal tersebut.
Pertama, negosiasi mesti dilakukan. Pada dasarnya, konflik kepentingan dapat dihindari dengan memperlemah idealisme masing-masing pihak dan memikirkan alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan untuk memenuhi keinginan kedua belah pihak. Oleh karena itu, perundingan mesti sesegera mungkin dilakukan dengan adanya mediasi dari sebuah lembaga internasional. Penulis berpikir PBB perlu masuk dalam tahap negosiasi ini.
Kedua, penghentian penggunaan kekuatan militer oleh kedua belah pihak dan evakuasi kelompok sipil. Sikap ini mesti didahului oleh pemerintah yang memiliki kekuatan militer. Di samping itu, pemerintah juga mesti menyerukan kepada gerakan separatis untuk tidak menggunakan warga sipil sebagai tameng. Ini penting karena warga sipil harus diutamakan keselamatannya. Jika ini dilanggar, baik pemerintah maupun kelompok separatis telah melanggar HAM.
Ketiga, dukungan internasional memang diperlukan, tetapi intervensi negara lain harus dihindari. Dalam kasus Ossetia, misalnya, keterlibatan Rusia yang mengintervensi penyelesaian militer Georgia justru membuka masalah baru. Sah-sah saja Rusia memprotes operasi militer Georgia, tetapi Rusia juga tidak boleh melanggar batas kedaulatan suatu negara. Hal ini bertentangan dengan principle of non-intervention in the domestic affair (Setiawati, 2004: 41) dan souveregin equality of nations (Budiardjo, 1972: 42).
Keempat, adanya political will dari pemerintah untuk membuka jalan baru dalam peningkatan pembangunan nasional. Di beberapa tempat, seperti Indonesia, Thailand, atau Filipina, gerakan separatis muncul Karena faktor kesejahteraan (welfare) atau keadilan (justice). Untuk itu, pemerintah perlu memikirkan model kebijakan baru agar semua kepentingan dapat terakomodasi dengan baik. Pemerintah juga perlu mengevaluasi kebijakan lama dan memperhatikan kesejahteraan rakyat di semua sudut negaranya.
Kelima, perlunya penggunaan media non-perundingan atau militer sebagai alat perekat hubungan antara kelompok separatis dan pemerintah. Upaya yang kini dikenal sebagai diplomasi publik ini dapat memanfaatkan sarana-sarana sipil, seperti olahraga, hiburan, atau agama. Perlu dicatat, penggunaan sarana-sarana tersebut bukan berarti adanya politisasi terhadap sipil, tetapi lebih mengedepankan citra baik dan damai dalam penyelesaian konflik. Cara ini memerlukan pendekatan yang lebih persuasif dalam negosiasi damai yang dilakukan.
Lima cara ini patut dilakukan sebagai langkah untuk resolusi konflik. Ingat, eskalasi konflik yang rawan dan konstelasi politik yang panas dapat mengakibatkan lahirnya konflik dan separatisme. Oleh karena itu, gerakan separatis sudah seharusnya diredam dengan melepaskan ego dan idealisme masing-masing disertai alternatf penyelesaian yang tepat. Jika cara ini dapat dilakukan, perdamaian dan integrasi bukan mustahil dapat diwujudkan.
No Intervention, Save Civil Supremacy!
Bagi setiap nation-state yang memiliki wilayah luas, gerakan separatis pasti menjadi sebuah masalah besar. Setidaknya, gerakan separatis telah membuat beberapa negara harus mengeluarkan biaya besar. Tak hanya itu, gerakan separatis juga menghasilkan kerugian bagi warga sipil yang tidak terlibat secara langsung dalam wilayah dan eskalasi konflik.
Ada dua faktor penting yang mendukung munculnya gerakan separatis, yaitu potensi konflik yang tak terkelola dengan baik dan adanya benturan kepentingan antara kekuatan-kekuatan politik yang bersaing. Kita ambil contoh gerakan separatis sayap kiri Kolombia, di mana potensi konflik karena perbedaan ideologi antara pemerintah dan oposisi tak diselesaikan secara baik. Apalagi dengan adanya intervensi dari negara Barat, kelompok sayap kiri semakin gencar melakukan serangan kepada pemerintah.
Penulis akan menganalisis gerakan separatis yang terjadi di beberapa negara beserta implikasi dan upaya penyelesaian yang dapat dilakukan untuk meredam gejolak tersebut.
Pengalaman Politik : Indonesia, Georgia, Nepal, Turki
ita dapat bercermin pada gerakan separatis di Indonesia, Georgia, Nepal, dan Turki. Seperti diketahui, ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia, Republik Ossetia Selatan di Georgia, gerilyawan Maois di Nepal, serta Republik Kurdistan di Turki. Gerakan separatis di empat negara ini memilik perbedaan dalam ideologi dan strategi gerakan, serta berbeda sikap dalam negosiasi dengan pemerintah yang bersangkutan.
Pada kasus Indonesia, konstelasi politik nasional berpengaruh terhadap keberadaan gerakan separatis. Presiden Soeharto (Orde Baru) mengambil langkah represif dengan menggunakan kekuatan militer untuk menumpas GAM di Aceh. Cara ini justru menimbulkan banyak korban dari warga sipil. Pasca-Soeharto, pemerintah cenderung menggunakan pendekatan diplomatik dan mengedepankan negosiasi-negosiasi dengan kelompok separatis. Cara ini terbukti efektif dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara wakil GAM dengan pemerintah Indonesia dengan mediasi Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari.
Langkah ini berbeda dengan cara pemerintah Georgia dalam menghadapi kelompok separatis Republik Osetia Selatan dan Abkhazia. Georgia lebih menggunakan pendekatan represif dan militeristik dalam merespons pergerakan kelompok ini. Terbukti pada bulan Agustus 2008, pemerintah Georgia melancarkan operasi militer dadakan ke Tskhinvali, ibukota Osetia Selatan. Akan tetapi, serangan ini ternyata salah perhitungan karena memakan korban warga sipil sehingga mempertegang hubungan diplomatik dengan Rusia. Akibatnya bisa ditebak: Rusia menyatakan perang dengan Georgia dan mengarahkan persenjataan berat mereka ke Tbilisi, ibukota Georgia.
Lain halnya dengan Nepal. Kelompok Maois menggunakan taktik medieval warfare dan merongrong kedudukan Raja Gyanendra yang sangat absolut. Mereka tidak melakukan serangan terbuka, namun sesekali melancarkan serangan ke fasilitas pemerintah secara sporadis. Namun, memanasnya suhu politik nasional membuat kelompok ini juga turut berjuang bersama rakyat menentang pembubaran monarki Hindu. Pasca-kejatuhan Raja Gyanendra, kelompok Maois justru mencalonkan seorang capres untuk bersaing di Majelis Konstitusi, kendati akhirnya dikalahkan oleh kandidat Nepal Congress, Ram Baran Yadav.
Terakhir, gerakan Republik Kurdistan di Turki. Masih kuatnya kelompok militer di pemerintahan Turki membuat upaya perdamaian dan negosiasi seringkali terhambat. Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dan Abdullah Ghul yang berasal dari faksi Islam sebetulnya telah memikirkan upaya negosiasi damai, tetapi sikap keras dari pemberontak dan penentangan dari kekuatan militer membuat upaya mereka tak dapat berjalan. Apalagi konstelasi politik di negara tersebut kian menghangat setelah faksi Islam yang menguasai parlemen dituduh mengkhianati nilai-nilai sekularisme dalam konstitusi.
Meredakan Ketegangan
Bagaimana upaya resolusi konflik yang dapat menghubungkan gerakan separatis dan pemerintah? Penulis memiliki beberapa pendapat mengenai hal tersebut.
Pertama, negosiasi mesti dilakukan. Pada dasarnya, konflik kepentingan dapat dihindari dengan memperlemah idealisme masing-masing pihak dan memikirkan alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan untuk memenuhi keinginan kedua belah pihak. Oleh karena itu, perundingan mesti sesegera mungkin dilakukan dengan adanya mediasi dari sebuah lembaga internasional. Penulis berpikir PBB perlu masuk dalam tahap negosiasi ini.
Kedua, penghentian penggunaan kekuatan militer oleh kedua belah pihak dan evakuasi kelompok sipil. Sikap ini mesti didahului oleh pemerintah yang memiliki kekuatan militer. Di samping itu, pemerintah juga mesti menyerukan kepada gerakan separatis untuk tidak menggunakan warga sipil sebagai tameng. Ini penting karena warga sipil harus diutamakan keselamatannya. Jika ini dilanggar, baik pemerintah maupun kelompok separatis telah melanggar HAM.
Ketiga, dukungan internasional memang diperlukan, tetapi intervensi negara lain harus dihindari. Dalam kasus Ossetia, misalnya, keterlibatan Rusia yang mengintervensi penyelesaian militer Georgia justru membuka masalah baru. Sah-sah saja Rusia memprotes operasi militer Georgia, tetapi Rusia juga tidak boleh melanggar batas kedaulatan suatu negara. Hal ini bertentangan dengan principle of non-intervention in the domestic affair (Setiawati, 2004: 41) dan souveregin equality of nations (Budiardjo, 1972: 42).
Keempat, adanya political will dari pemerintah untuk membuka jalan baru dalam peningkatan pembangunan nasional. Di beberapa tempat, seperti Indonesia, Thailand, atau Filipina, gerakan separatis muncul Karena faktor kesejahteraan (welfare) atau keadilan (justice). Untuk itu, pemerintah perlu memikirkan model kebijakan baru agar semua kepentingan dapat terakomodasi dengan baik. Pemerintah juga perlu mengevaluasi kebijakan lama dan memperhatikan kesejahteraan rakyat di semua sudut negaranya.
Kelima, perlunya penggunaan media non-perundingan atau militer sebagai alat perekat hubungan antara kelompok separatis dan pemerintah. Upaya yang kini dikenal sebagai diplomasi publik ini dapat memanfaatkan sarana-sarana sipil, seperti olahraga, hiburan, atau agama. Perlu dicatat, penggunaan sarana-sarana tersebut bukan berarti adanya politisasi terhadap sipil, tetapi lebih mengedepankan citra baik dan damai dalam penyelesaian konflik. Cara ini memerlukan pendekatan yang lebih persuasif dalam negosiasi damai yang dilakukan.
Lima cara ini patut dilakukan sebagai langkah untuk resolusi konflik. Ingat, eskalasi konflik yang rawan dan konstelasi politik yang panas dapat mengakibatkan lahirnya konflik dan separatisme. Oleh karena itu, gerakan separatis sudah seharusnya diredam dengan melepaskan ego dan idealisme masing-masing disertai alternatf penyelesaian yang tepat. Jika cara ini dapat dilakukan, perdamaian dan integrasi bukan mustahil dapat diwujudkan.
No Intervention, Save Civil Supremacy!