Jumat, 07 Januari 2011

Masa Depan Ideologi Partai Politik

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Munas PKS pada 16-20 Juni 2010 masih menjadi perbincangan hangat di kalangan analis politik. Pasalnya, beragam gagasan baru muncul dari partai berlambang bulan sabit dan padi ini, antara lain gagasan “partai terbuka”, “PKS untuk semua”, hingga arah baru partai yang mencoba untuk bertransformasi menjadi catch-all party.

PKS tak sendiri. Di spektrum ideologi yang paling nasionalis, ada PDIP yang sekarang juga tengah “mencairkan” ideologinya. Rupanya, tawaran koalisi cukup menggoda PDIP untuk bergabung ke pemerintahan, setidaknya terlihat dari sinyalemen yang berkembang dari beberapa elit dalam Kongres beberapa bulan yang lalu.

Fenomena serupa juga dapat kita baca di Partai Demokrat. Sejak awal, partai binaan Presiden SBY ini telah mengklaim diri sebagai partai “catch-all” yang menampung semua kalangan untuk masuk ke dalam partai. Sebagai partai inklusif dan “catch-all”, garis batas ideologi menjadi semakin kabur dan orientasi partai pun menjadi lebih populis serta berbasis pada “suara”.

Sehingga, kita akan dapat menarik sebuah kesimpulan sederhana. Pada hari ini, fenomena yang muncul di banyak partai politik adalah berlomba-lombanya mereka untuk menginklusifkan diri dan mewadahi semua basis pemilih, sedangkan ideologi tidak lagi menjadi variabel sentral dalam pembuatan keputusan di internal partai.

Fenomena ini disebut oleh Giovanni Sartori (1996) sebagai kecenderungan sentrifugal dalam partai politik. Menurut Sartori, dalam demokrasi yang sudah terinstitusionalisasi secara baik, ideologi partai akan mengarah ke tengah dan membuat penyekat ideologi antarpartai akan semakin blur. Dengan kata lain, partai-partai politik akan semakin pragmatis dalam upayanya mendapatkan kekuasaan.

Persoalannya, mengapa fenomena kecenderungan sentrifugal tersebut terjadi di Indonesia dan menghinggapi partai yang sejak awal dikenal sebagai partai kader dengan basis ideologi paling kuat seperti PKS, atau partai dengan basis massa paling nasionalis seperti PDIP? Ada beberapa argumen yang coba penulis bangun dalam kasus ini.

Pertama, Terjadi proses institusionalisasi demokrasi dengan menggunakan logika perwakilan secara baku. Sistem kepartaian dan pemuilu pasca-1998 telah diatur dan dilembagakan dalam sebuah mekanisme yang baku. Adanya proses institusionalisasi tersebut, di satu sisi, telah menyebabkan adanya mekanisme baku yang memungkinkan kekuasaan dapat dikelola secara demokratis.

Akan tetapi, di sisi lain, institusionalisasi tersebut juga berdampak pada kaburnya garis batas ideologi pada masing-masing partai karena tujuan parta dalam meraih kekuasaan telah terfokus pada upaya memenangkan suara publik. Sehingga, spektrum ideologi partai pun menjadi bergeser ke “tengah”.

Kedua, proses demokrasi berjalan dengan logika transfer legitimasi dari rakyat ke elit. Bagi Joseph Schumpeter (1942), "democracy is the rule of the politician". Demokrasi adalah persoalan bagaimana rakyat mentransfer legitimasinya kepada elit-elit politik (perwakilan) melalui proses Pemilu.

Implikasinya, masing-masing partai cenderung terkena fenomena yang disebut oleh Robert Michels (1912) sebagai “hukum besi oligarki”. Ada kecenderungan segelintir elit untuk menguasai struktur pengambilan keputusan di internal partai akibat proses demokrasi yang kian elitis. Adanya kecenderungan oligarkis ini menyebabkan kebijakan menjadi bernilai kompromis dengan partai lain. Sehingga, ideologi secara perlahan-lahan tergantikan oleh proses negosiasi kepentingan antarelit.

Ketiga, ketika partai masuk sebagai pembuat keputusan melalui jatah menteri, terjadi proses yang disebut oleh Hanta Yuda (2010) sebagai “kompromi-kompromi internal” dengan presiden. Fenomena tersebut dipotret oleh Hanta Yuda sebagai potret “presidensialisme setengah hati” dalam politik Indonesia.

Adanya kompromi internal ini berimplikasi pada kecenderungan partai untuk menegosiasikan kepentingannya dengan pihak eksekutif dalam soal-soal kekuasaan, seperti jatah menteri atau koalisi di parlemen. Kecenderungan tersebut membuat ideologi partai menjadi lebih “cair”, basis sikap menjadi pragmatis, dan orientasi partai menjadi lebih bernuansa interest-based serta negosiasif.

Lantas, jika argumennya adalah bahwa ideologi itu penting sebagai basis idealisme dan sikap dari partai, bagaimana menyikapi kecenderungan sentrifugal yang terjadi pada partai politik Indonesia? Penulis memberikan tiga tawaran gagasan.

Pertama, fenomena institusionalisasi demokrasi perlu diperluas tidak hanya dalam soal memilih perwakilan politik, tetapi juga memberikan ruang-ruang yang luas kepada publik untuk mendeliberasikan kepentingannya kepada negara.

Dalam konteks ini, negara perlu membuka ruang-ruang publik agar demokrasi tidak menghasilkan pragmatisme politik yang berlebihan. Sehingga, logika demokrasi tidak hanya berada pada level politik, tetapi juga dapat ditransformasikan pada level lain seperti sosial atau ekonomi.

Kedua, hukum besi oligarki dapat diminimalisasi eksesnya dengan melakukan peremajaan dan rotasi kepemimpinan partai. Logikanya, oligarki terjadi ketika struktur partai dihuni oleh wajah-wajah yang lama berada di struktur partai, sehingga perlu ada dinamisasi pada struktur partai secara berkala.

Peremajaan yang dilakukan dengan mengedepankan kaum muda di struktur partai serta proses regenerasi dan rotasi kepemimpinan yang dilakukan secara periodik akan memberikan penyegaran dan variasi pada tubuh internal partai, sehingga peluang oligarki elit dapat diminimalisasi.

Ketiga, persoalan menghadapi politik transaksional dan kompromi internal antara partai dengan presiden –meminjam wacana Hanta Yuda (2010)— dapat dilakukan dengan rekayasa institusional dan penguatan kapasitas presiden sebagai pucuk pimpinan negara.

Rekayasa institusional ini terkait dengan upaya pengurangan partai dan mengefektifkan proses pemilu sehingga partai politik dapat direduksi jumlahnya secara bertahap. Sementara itu, presiden yang kuat akan mereduksi potensi negosiasi yang terlalu intervensif pada posisi eksekutif (Yuda, 2010). Hal ini akan membuat partai lebih strict dalam menegosiasikan kepentingannya.

Dengan demikian, fenomena “penguatan sentrifugal” pada masing-masing partai dapat dibaca sebagai sebuah dinamika dalam politik Indonesia. Terpenting, fenomena ini harus diantisipasi agar tidak berimplikasi pada politik transaksional yang menjadi-jadi. Pada titik itulah peran konstituen yang kritis diperlukan.

Saya yakin, partai politik masih menjadi aktor yang diperlukan dalam mengawal proses demokratisasi di Indonesia. Persoalannya, partai sendiri perlu menegaskan basis sikapnya. Semoga kita dijauhkan dari bahaya politik transaksional.

*) Mahasiswa Fisipol UGM asal Banjarmasin

1 komentar:

Aisyah M.Yusuf mengatakan...

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarkatuh .
“ Saya yakin, partai politik masih menjadi aktor yang diperlukan dalam mengawal proses demokratisasi di Indonesia.” . . . selamat berjuang aja lewat demokasi.