Sabtu, 28 Februari 2009

Tentang Dakwah yang Belum Selesai



Nahnu Du’at Qabla Kulli Syai’in(Kita adalah penyeru sebelum menjadi apapun)

-Hassan Albanna-


Kontinuitas Dakwah

Dakwah tak terikat pada waktu, ruang, dan tempat. Kapanpun, di manapun, dan dalam keadaan apapun kondisi kita, tugas dakwah selalu akan menyertai. Maka, waktu 24 jam yang tersisa untuk aktivitas harian harus kita gunakan untuk dakwah, apapun bentuknya.


Perkataan Hassan Al-Banna di atas dapat menjadi cerminan, bahwa pada hakikatnya, seorang muslim adalah pendakwah. Ketika seseorang menuntut ilmu dan memiliki pengetahuan, saat itu pula ia memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan ilmu yang dimilikinya tersebut. Ketika seseorang sadar bahwa ia telah memiliki bekal untuk mengamalkan sunnah, saat itu pula ia berkewajiban menyeru orang lain kepada Islam.


Perjuangan Islam telah berlangsung sejak 14 abad yang lalu, dan sejak itu pula perjuangan dakwah dimulai. Kita mesti ingat, wahyu kedua yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah adalah Al-Qur’an Surah Al-Muddatsir: 1-5 yang memerintahkan kepada Rasulullah untuk keluar dari selimutnya, menyeru para penduduk Mekkah yang saat itu tengah berada pada titik puncak dekadensi akidah. Sejak saat itulah peluit dakwah Islam ditiupkan, menuntut semua elemen yang tergabung dalam barisan perjuangan dakwah untuk memberikan kontribusi.


Pun sampai saat ini, perjuangan dakwah masih terus berlangsung. Sejarah telah membuktikan, semangat dakwah telah berhasil meruntuhkan istana-istana Persia yang megah di Khurasan. Ghirah dakwah telah membuka pintu gerbang Konstantinopel dari orang-orang Romawi. Dakwah telah membuka berbagai kunci yang memungkinkan Islam untuk menyebar ke segenap penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Perjuangan dakwah, disadari atau tidak, telah meneguhkan eksistensi keislaman kita sehingga identitas muslim melekat pada diri kita.


Akan tetapi, dakwah ini masih belum usai. Masih banyak yang harus diperbaiki pada lingkungan kita, ketika kita berbicara dalam konteks Indonesia. Tugas dakwah masih lebih banyak dari waktu yang tersedia. Oleh karena itu, dakwah harus dilakukan secara kontinyu oleh masing-masing individu dengan konsekuensi logis yang mungkin ditimbulkan olehnya.


Itulah sebabnya, kekuasaan bukan tujuan ketika kita berbicara mengenai dakwah siyasi. Kekuasaan hanya satu dari sekian banyak media untuk melakukan dakwah, bukan tujuan dari dakwah. Ibnu Khaldun menyatakan dalam Muqaddimah-nya, bahwa kepuasan ketika mendapatkan kekuasaan adalah salah satu indikator keruntuhan sebuah daulah (Ralliby, 1963: 242). Sikap berpuas diri, menganggap bahwa kekuasaan adalah orientasi dakwah akan berbahaya jika tidak diikuti oleh evaluasi diri dan sikap saling mengingatkan antar-aktivis dakwah.


Dakwah Kampus: Berpikir Besar!


Begitu pula dalam konteks dakwah kampus. Semangat dakwah harus tetap dikobarkan setiap saat, karena dakwah tidak mengenal kata “berhenti”. Seluruh lini dakwah: siyasi, ilmi, dan da’awi, harus tetap berjalan dalam keadaan apapun. Dakwah yang begitu berat –dengan kader yang sedikit atau resistensi yang kuat—harus dihadapi dengan keteguhan dan determinasi aktivisnya. Begitu pula sebaliknya, keberhasilan kader-kader dakwah dalam merebut pelbagai posisi strategis di kampus bukan menjadi alasan mandeg-nya dakwah.


Berpikir besar, itulah kuncinya. Mengacu pada David J. Schwartz, kita harus melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam aktivitas dakwah. Seorang aktivis dakwah harus melihat peluang yang ada dan merumuskan peluang tersebut menjadi sebuah keberhasilan. Jika menurut Schwartz visualisasi akan menambah nilai pada kemungkinan dan peluang tersebut, seorang aktivis dakwah patut merumuskan strategi dakwahnya sesuai kondisi yang menyertainya.


Hal lain yang disebutkan oleh Schwartz adalah berpikir kreatif. Jika kita kaitkan dengan konteks dakwah kampus UGM yang terbagi atas empat rumpun, maka dakwah juga harus disesuaikan dengan karakteristik keempat rumpun tersebut. Rumpun FAKES berkarakter professional, SOSHUM berjiwa politis, BGST bertindak teknis, dan AGRO lebih populis. Karakteristik yang berbeda tersebut kemudian membawa para aktivis dakwah kepada sebuah perumusan strategi yang tepat untuk dijadikan ujung tombak dalam beraktivitas. Hal ini yang membuat seorang aktivis harus mengenal lahan dakwahnya sendiri (ta’rif al-maydan).


Tak ada yang dapat dan berhak mengklaim bahwa ukuran keberhasilan dakwah adalah ukuran-ukuran kuantitatif atau ukuran-ukuran yang kasat mata. Keberhasilan dakwah kampus adalah jika dakwah ini telah diridhai oleh Allah. Dengan demikian, hanya pertolongan dan hidayah Allah-lah yang akan menolong kita menghadapi konsekuensi-konsekuensi dakwah tersebut. Jika ghirah dakwah melemah ketika bangunan dakwah kampus telah berkembang dengan pesat, maka tunggulah: bangunan itu akan segera runtuh.


Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai dakwah kampus, mari berbicara dalam konteks “kita”. Ini amal jama’i, harus dilakukan secara kolektif. Kemenangan berbagai lini dakwah hanya bisa tercapai jika semua elemen dakwah terkonsolidasi dalam satu barisan: Kritis dan strategis. Maka, keberpihakan seseorang dalam jama’ah serta ketaatan dengan hasil syuro menjadi sangat penting demi eksistensi dakwah.


Kelurusan niat juga penting dalam agenda-agenda dakwah. Sungguh menarik jika kita menyimak pesan Ustadz Rahmat Abdullah dalam film “Sang Murabbi” yang ditampilkan dalam trailer-nya. “Jangan sampai nanti orang-orang tarbiyah dibenci karena orientasi kekuasaan. Tetaplah istiqomah dengan akar dakwah dan tarbiyahnya, akar di mana ia dibentuk”. Ungkapan Ustadz Rahmat tersebut dapat dimaknai sebagai adanya indikasi kefuturan jika aktivis dakwah telah menggeser orientasi dakwahnya. Ini juga bagian dari proses berpikir besar tersebut.


Di sini kita kemudian memahami, bahwa kekuasaan atau kepentingan sesaat yang dapat diukur secara materialistik bukan tujuan dakwah kampus. Tujuan dakwah, jika kita lakukan dengan proses berpikir besar, jauh lebih luas daripada itu: Ridha Allah. Sebuah proses berpikir yang kritis, strategis, serta dengan orientasi yang jelas takkan memutuskan aktivitas dakwah ini hanya karena sebuah tujuan jangka-pendek telah terpenuhi.


Artinya, lembaga dakwah kampus hanyalah salah satu dari media untuk berkontribusi dalam dakwah, bukan media untuk mengejar kepentingan sesaat. Membangun masyarakat akademis yang Islami di kampus hanya salah satu bagian dari perjuangan yang mesti dijalankan secara jama’I dengan satu kata kunci: Berpikir Besar! Tujuan dakwah ini sebenarnya lebih luas dan lebih besar dari pada hanya sekedar kemenangan sesaat. Kemenangan besarlah yang kita nanti, dan itu harus dimulai dari sebuah proses besar pula.


Mudah-mudahan kontribusi kita dalam dakwah kampus dapat dimulai dengan sebuah niat baik yang kita transformasikan menjadi sebuah nilai dan hasil yang baik Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal itu terletak pada niat dan sesungguhnya tiap-tiap orang akan menerima sesuai dengan apa yang telah ia niatkan. Barangsiapa berhijrah untuk dunia maka ia akan mendapatkannya, barangsiapa berhijrah untuk menikah maka ia pun akan mendapatkannya. Dan hijrah itu tergantung pada apa yang telah ia niatkan.


Tugas-tugas dakwah menanti kita di depan. Mari berpikir besar dan mengemban amanah dakwah ini dengan kontribusi maksimal hingga titik pengorbanan terakhir. Bukankah tugas yang dibebankan pada kita jauh lebih banyak dari waktu yang tersedia (Hasan Al-Banna)?


Wallahu a’lam bish shawwab.

Kamis, 19 Februari 2009

Menyambut Hillary Clinton (Tarik-Ulur Kepentingan?)

Pengantar

Pekan ini, US Secretary of State (Menlu AS), Hillary Clinton dijadwalkan melakukan serangkaian kunjungan ke beberapa negara mitra, termasuk Indonesia. Kunjungan Hillary ke beberapa negara Asia ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai sebuah hal yang tidak biasa dalam sejarah diplomatik AS. Selama ini, kunjungan seorang menteri luar negeri biasanya diarahkan ke negara-negara mitra strategis AS, seperti negara-negara di Eropa. Namun, Hillary justru memulai kunjungan dari Asia. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar bagi para pemerhati hubungan internasional.

Kunjungan ini bukannya tanpa kritik. Di Yogyakarta saja, misalnya, muncul aksi merespons kedatangan Hillary yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Bunderan UGM (18/2). Aksi KAMMI tersebut mengangkat isu netralitas politik luar negeri RI dalam konteks kedatangan Hillary Clinton ke Indonesia.

Makna Politis

Kunjungan seorang menteri luar negeri AS pada dasarnya adalah kunjungan diplomatik. Seorang menteri luar negeri akan membawa sederet tawaran kerjasama atau serangkaian agenda diplomatik yang dibahas dalam level bilateral. Hillary Clinton tentu juga melakukan hal demikian. Kunjungan Hillary ke Indonesia dapat diduga memiliki keterkaitan dengan kepentingan strategis AS di Asia Tenggara, lebih khusus lagi Indonesia.

Pada seminar di FISIPOL UGM beberapa waktu yang lalu, Anne Grimmes, Atase Kebudayaan AS untuk Indonesia menyatakan bahwa kedatangan Hillary ke Indonesia sebagai negara tujuan kedua dalam kunjungannya dapat bernilai signifikan bagi hubungan AS-Indonesia ke depan. Mrs. Anne mengharapkan kedatangan Hillary dapat membuka pintu bagi terjalinnya strategic partnership antara Indonesia dan AS.

Benarkah demikian? Kita dapat membacanya dengan menggunakan tiga kacamata analisis dalam ilmu hubungan internasional, yaitu individu (rational actor), negara (state), serta sistem internasional (international system).

Pertama, kita dapat melihat dengan pendekatan aktor rasional bahwa Hillary datang ke Indonesia untuk mewakili Presiden baru AS, Barrack Obama. Haluan politik luar negeri Obama adalah multilateralisme yang merangkul banyak pihak, termasuk negara-negara yang dekat dengan Obama seperti Indonesia. Hilllary juga menawarkan konsep smart power yang sarat nilai kerjasama dan multilateralisme yang sejalan dengan formulasi politik luar negeri AS tersebut. Sehingga, posisi Hillary di sini lebih membawa kepentingan politik luar negeri AS dan penekanan kerjasama dalam beberapa bidang tertentu.

Kedua, kita juga dapat membaca fenomena ini dalam perspektif negara. Kedatangan Hillary ke Indonesia dapat kita terjemahkan sebagai sebuah upaya dari AS untuk membangun kembali hubungan yang harmonis dengan Indonesia sebagai negara demokratis terbesar di Asia Tenggara. AS memiliki beberapa kepentingan untuk mengubah citra negatif yang selama ini melekat dalam politik luar negeri mereka, dan kedatangan Hillary ke Indonesia juga terkait dengan hal tersebut. Namun, kedatangan Hillary ini juga dapat ditangkap sebagai sinyal negatif pengokohan hegemoni AS dengan cara yang lebih baru dan figur yang berbeda pula.

Ketiga, masalah sistem internasional juga penting untuk diulas. Fakta realisme politik kontemporer menyatakan bahwa AS-lah negara yang memegang dominasi serta kendali utama atas dunia pascaperang dingin (Kegley, 2006). Sehingga, kunjungan Hillary Clinton ke Indonesia juga memiliki muatan tersebut. Hillary dalam pidatonya menyampaikan pesan-pesan terkait global campaign of war on terrorism dan masalah investasi AS di Indonesia. Pesan Hillary ini kemudian dapat dibaca sebagai sebuah agenda penanaman saham diplomasi AS di Indonesia, sehingga akan muncul dua implikasi: perbaikan hubungan AS-Indonesia atau penegasan dominasi AS melalui korporasi multinasional yang menanam modal di Indonesia.

Penegasan Netralitas RI

Kedatangan Hillary Clinton ke Indonesia mungkin saja memiliki makna-makna politis di belakangnya. Oleh karena itu, Indonesia perlu merancang sebuah sikap yang mencerminkan dasar politik luar negeri RI selama ini, yaitu bebas aktif, dan tentunya sikap mandiri serta tidak tergantung penuh dari negara manapun.

Maka, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh Indonesia dalam menyambut kedatangan Hillary Clinton.

Pertama, RI adalah sebuah entitas negara-bangsa yang eksistensi dan kedaulatannya harus dihormati oleh semua pihak. Boleh-boleh saja Hillary menyatakan bahwa Indonesia adalah negara tujuan investasi yang potensial, tetapi kita juga harus menyadari bahwa tidak semua niat investor ingin menanam modal di RI. Kasus Freeport atau Newmont harus menjadi perhatian dan pelajaran khusus bagi RI.

Kedua, kedatangan Hillary ke Indonesia juga harus dimaknai sebagai sebuah kunjungan biasa. RI tidak perlu tergopoh-gopoh melaksanakan permintaan dari AS, apalagi menjadi yes-man bagi negara tersebut. Tawaran-tawaran yang diberikan oleh AS harus dikaji terlebih dahulu dan tidak serta-merta diterima hanya atas dasar pragmatisme atau keuntungan besar yang akan didapat.

Di sini, kita patut menunggu dobrakan smart power yang ditawarkan oleh Hillary. Konsep power yang mengakomodasi garis utama hard serta soft power tersebut akan menjadi menarik ketika Amerika Serikat menjalin hubungan dengan negara-negara Asia. Kita patut menantikan konsistensi Hillary dalam hal penggunaan kekuatan militer di beberapa kasus, salah satunya Afghanistan dan Irak.

Maka, anggaplah kunjungan ini sebagai kunjungan biasa. Sikap terbaik adalah tidak berlebihan dalam menyambut kedatangan seorang Hillary Clinton, siapapun ia dan betapa besar pengaruhnya bagi dunia. Bukankah bangsa kita telah memiliki landasan politik luar negeri yang jelas dalam UUD 1945?

Selasa, 10 Februari 2009

Erdogan, Davos, dan Gaza



“There have been many people killed. And I think that it is very wrong and it is not humanitarian to applaud any actions that have had that kind of a result”.
(Recep Tayyep Erdogan dalam World Economic Forum 2009, dikutip dari Harian The Guardian)

Ketika negara-negara Arab terdiam dalam kasus Agresi Israel ke Palestina awal 2009 lalu, sebuah dukungan tak terduga muncul dari negara yang selama ini dikenal dekat dengan Israel: Turki. Sebuah insiden mengejutkan pada pertemuan World Economic Forum 2009 menjadi penanda dukungan tersebut, di mana semua kepala negara tertegun menyaksikan sikap tegas perdana menteri Turki yang menyatakan kegeramannya di hadapan Presiden Israel atas tragedi kemanusiaan di Gaza.

Insiden terjadi pada sesi diskusi dalam pertemuan puncak pada pertemuan puncak World Economic Forum yang digelar di Davos, Swiss. Perdebatan mengenai agresi Israel ke Gaza terjadi antara Perdana Menteri Turki, Recep Erdogan dan Presiden Israel, Shimon Peres. Ketika Erdogan ingin menyatakan argumentasi akhirnya kepada forum, statement-nya dipotong oleh moderator sidang, David Ignatus dengan alasan forum tersebut tidak memungkinkan untuk membuka perdebatan baru. Harian The Guardian menyatakan bahwa kedua tokoh berdebat sengit sebelum Erdogan walk-out dari sidang dan melakukan press conference terpisah yang mendukung rakyat Palestina di luar sidang.

Awal Baru dan Sinyal Dukungan

Sikap Erdogan tersebut sangat mengejutkan banyak pihak, karena selama ini Turki sangat jarang terlibat dalam eskalasi konflik di Palestina. Selain itu, Turki selama ini juga cukup dekat dengan Israel, terutama setelah Turki berusaha untuk masuk ke dalam keanggotaan Uni Eropa. Sehingga, wajar jika banyak pihak terkejut dan menyatakan apresiasinya atas sikap tegas perdana menteri Turki tersebut ketika negara-negara Arab justru tidak mampu berbuat apa-apa untuk menyelesaikan polemik.

Sikap tegas Recep Erdogan tersebut dapat kita baca dari dua level analisis, yaitu rational actor (karakter individu) dan politik luar negeri Turki.
Pertama, dalam level aktor rasional, kita dapat melihat bahwa Erdogan memiliki kedekatan dengan Palestina secara basis ideologi politik. Erdogan diusung oleh AKP, partai yang berasas Islam serta berbasis massa kelas menengah yang memiliki pandangan keislaman kental. Kendati selama ini mengambil sikap moderat dalam hubungan dengan Barat, Erdogan memiliki kedekatan dengan negara-negara Islam. Hal ini yang menyebabkan Erdogan bersimpati dengan Palestina dan mengecam aksi Israel di hadapan Presiden mereka.

Kedua, dalam level negara, kita dapat melihat bahwa Turki sedang berusaha untuk membangun kembali kedekatan dengan negara-negara Islam serta menegaskan independensi politik luar negeri mereka yang tidak terikat dengan siapapun. Posisi ini, menurut penulis, berkaitan erat dengan kemenangan AKP pada Pemilu parlemen dan Presiden lalu, sehingga berpengaruh pada perubahan visi politik luar negeri yang dianut. Sikap Recep Erdogan jelas bukan sentimen pribadi, namun merupakan suara resah dari masyarakat Turki yang mendukung Palestina dan mengecam Israel.

Dukungan Erdogan terhadap Palestina ini juga menjadi awal dari babak baru pertarungan diplomatik antara Israel dengan negara-negara Islam. Turki diprediksi akan menjadi pemain baru dalam diplomasi yang selama ini terus berjalan tanpa hasil akhir yang betul-betul mengikat. Selama ini, suara negara Arab hanya diwakili oleh Mesir yang terlihat tidak ingin ikut campur atau Iran yang sering bersuara keras. Dengan masuknya Turki, tekanan terhadap Israel akan bertambah dan turut mewarnai proses perundingan yang tampaknya tidak selesai cepat.

Ke Mana Negara Arab?

Insiden Davos ini juga menarik jika kita ulas dari sudut pandang negara-negara Arab. Di antara negara-negara tetangga Palestina, hanya Iran yang selama ini aktif mendukung Palestina. Mesir bersikap ambigu dan terkesan pragmatis dari kebijakannya menutup perbatasan di Rafah. Suriah dan Lebanon tengah menghadapi kemelut politik domestik dan recovery stabilitas keamanan nasional. Adapun negara-negara petrodollars di jazirah Arabia yang secara finansial sangat kuat tidak menyatakan apa-apa selain simpati, tanpa ada dukungan politik yang strategis untuk menekan Israel. Hal inilah yang menyebabkan Israel dengan leluasa membombardir dan mengisolasi wilayah Gaza dari dunia luar.

Ada apa dengan negara-negara Arab? Secara geopolitik, seharusnya mereka lebih berperan dalam proses peacemaking, peacebuilding, dan peacekeeping di Palestina karena berkaitan erat dengan stabilitas keamanan regional di Timur Tengah. Di sisi lain, Palestina juga merupakan wilayah merdeka sebelum David Ben Gurion secara sepihak mendeklarasikan negara Israel. Jika negara-negara Arab begitu tertutup, bagaimana dengan blokade ekonomi yang mengisolasi Gaza dari dunia luar serta menghalangi bantuan kemanusiaan atas rakyat Gaza?

Hal ini menjadi pertanyaan serius ketika agresi Israel terjadi. Dukungan Turki terhadap Palestina dapat menjadi sebuah awal baru dalam proses resolusi konflik di Gaza. Sekretaris Jenderal Liga Arab, Amr Moussa seperti dikutip oleh The Guardian juga menyatakan bahwa sikap walk out Erdogan dapat dimengerti (understandable) karena pihak Israel tidak mendengarkan tekanan internasional yang diarahkan pada mereka. Sikap Erdogan akan membawa implikasi politik yang lebih jauh dalam eskalasi konflik Israel-Palestina.

Oleh karena itu, kita mengharapkan negara-negara Arab untuk turut memiliki sikap tegas terhadap Israel, terutama Mesir yang memiliki perbatasan langsung dengan Gaza. Negara-negara Arab tidak dapat hanya menyalahkan Hamas atau Hizbullah yang terlibat perang, tetapi juga harus menyalahkan keterlambatan sikap mereka dalam menghadapi masalah. Konflik Israel-Palestina jelas telah mengakar sejak lama, dan karenanya harus disikapi secara bersama-sama pula.

Refleksi Insiden Davos

Insiden Davos telah membuka mata dunia bahwa masih ada harapan dan dukungan terhadap Palestina. Sikap tegas Recep Tayyip Erdogan tidak sekedar dibaca sebagai kecaman tegas atas Israel belaka, tetapi juga sebagai sindiran atas ketidakberdayaan negara-negara Arab dalam menghadapi Israel. Penekanan diplomatik dapat menjadi sebuah media dalam menghentikan aksi militer sepihak Israel.

Sikap tegas inlah yang dinantikan oleh masyarakat global dan umat Islam pada khususnya. Hegemoni Israel harus dilawan, dan saksikanlah: Recep Erdogan menjadi pelopor perlawanan tersebut. Bravo Erdogan, Bravo AKP!

Tryout UN: Mempersiapkan Mental Siswa

Ujian Nasional telah berada di depan mata. Banyak sekolah yang mulai mempersiapkan diri, salah satunya dengan melakukan ujicoba ujian atau tryout.
Kegiatan tryout menjelang Ujian Nasional pada dasarnya cukup positif dilaksanakan di sekolah-sekolah. Selain untuk mempersiapkan siswa agar mampu memprediksi soal-soal yang akan keluar, Tryout cukup berguna dalam mempersiapkan mental siswa. Dengan catatan, tryout dilaksanakan secara teratur dengan mekanisme yang tepat. Ini akan menjadi alat evaluasi bagi siswa sendiri dan para guru dalam KBM.

Pada dasarnya, Ujian Nasional tidak hanya memerlukan kesiapan belajar, namun juga memerlukan kesiapan mental. Pengalaman penulis, banyak siswa yang telah mempersiapkan diri untuk belajar sebelumnya mengalami kegugupan ketika menghadapi soal, sehingga konsentrasi berpotensi buyar. Belum lagi dengan tekanan pengawas UN yang cukup strict dalam mengawasi siswa, sehingga siswa yang daya konsentrasi siswa yang lemah akan cukup terganggu. Maka, pelatihan mental pun perlu dalam mempersiapkan Ujian Nasional.

Salah satu alternatif persiapan mental tersebut adalah dengan menyelenggarakan serangkaian tryout atau ujicoba ujian dengan suasana yang dirancang seperti UN yang sesungguhnya. Dengan tryout, para siswa dapat mengantisipasi kegugupan dan dapat merasakan suasana ujian hingga persiapan mental pun dapat dipersiapkan. Akan tetapi, tryout juga harus dilakukan dengan rutin dan dengan tingkat kesulitan soal yang lebih tinggi. Maka, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan ujian ini.

Pertama, tryout harus dilakukan secara intens dengan diikuti oleh mekanisme evaluasi dan pembahasan materi-materi secara bertahap dan rutin. Tryout tidak cukup hanya dilaksanakan satu atau dua kali. Minimal, sekolah atau lembaga melakukan tryout sebanyak empat atau lima kali secara teratur. Tryout akan memberikan gambaran tingkat penyerapan serta kemampuan siswa dalam menjawab soal ujian.

Kedua, soal tryout setidaknya diberikan dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi, dengan pendampingan pasca-tryout berupa pembahasan dan analisis soal oleh siswa. Sekolah patut berkaca pada soal-soal ujian tahun sebelumnya. Pada tryout, sekolah dapat menaikkan tingkat kesulitan soal yang diberikan. Namun patut diingat, sekolah juga harus memfollow-up dengan analisis soal dan pembahasan. Sekolah patut menganalisis bagian mana yang menurut siswa sulit, sehingga evaluasi dapat dititikberatkan pada poin tersebut.

Ketiga, tidak ada judgment sebelum pelaksanaan ujian ketika siswa ternyata belum dapat memenuhi kriteria kelulusan dalam tryout. Justru, sekolah harus lebih memprioritaskan pendampingan yang lebih intens bagi siswa yang kurang mampu, atau menganalisis bagian-bagian soal. Hasil tryout tidak perlu ditempel di tempat terbuka dengan disaksikan para siswa, atau bahkan ditambahi dengan predikat “lulus” atau “tidak lulus”. Ada baiknya jika pengumuman dilakukan secara individual dengan analisis soal secara individu. Maka, penguasaan teknologi pendidikan sangat diperlukan oleh para guru dalam hal ini.

Dengan demikian, tryout akan lebih efektif jika dilakukan dengan mekanisme yang efektif pula. Kesiapan belajar dan mental siswa akan menjadi sebuah ukuran efektivitas tersebut. Tryout memang bukan parameter kelulusan siswa, tetapi tryout dapat memacu siswa untuk mempersiapkan mentalnya dengan baik.
Bukankah UN tidak hanya dihadapi dengan belajar, tetapi juga dengan mental?

Salam.

Mencari Kejujuran yang Hilang (Dua Tahun Kasus Korupsi DKP)

Pengantar

Mungkin masih segar dalam ingatan kita, sebuah kasus korupsi yang menghangatkan pentas politik nasional dua tahun lalu: Kasus korupsi dana non-budgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Kasus ini memang telah berakhir dengan putusan pidana atas Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, tetapi imbas politiknya pada waktu itu cukup kuat. Sampai-sampai, tokoh sekaliber Presiden SBY-pun harus melakukan konferensi pers di halaman istana untuk membuktikan bahwa dirinya tidak menerima dana haram tersebut ketika berkampanye.

Berawal dari ‘pengakuan’ Prof. Amien Rais bahwa beliau menerima dana non-budgeter tersebut, kasus bergulir dengan pembenaran dari Rokhmin Dahuri sendiri. Beberapa hari kemudian, Fahri Hamzah, Sholahuddin Wahid, Sutrisno Bachir, dan beberapa elit politik lainnya mengabarkan bahwa mereka juga menerima dana kontroversial tersebut. Mereka dengan jujur mengatakan bahwa dana tersebut masuk ke kas partai atau pribadi dan bersedia mengembalikan dana tersebut beserta semua konsekuensinya.

Sementara itu, beberapa partai justru membantah statement tersebut. Mega Center lewat direkturnya Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa Mega Center tidak pernah menerima dana dari DKP. Hal senada juga diungkapkan oleh kubu Blora Center, tim pemenangan Presiden SBY. Pendeknya, banyak yang berkelit dengan dana tersebut.

Perlunya Kejujuran

Di satu sisi, memang tak dapat kita pungkiri bahwa barang yang haram (korupsi) dan barang yang halal (non-korupsi) sangat sulit dibedakan sekarang ini. Dana non-budgeter yang dikatakan oleh Budiarto Shambazy (Kompas, 26 Mei 2007) bagaikan “air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut” tersebut seakan adalah dana yang legal, padahal banyak ketidakjelasan mengenai penggunaan dan asal-muasal dananya.

Dalam kasus DKP, dana non-budgeter tersebut ternyata diberikan untuk kepentingan politik. Padahal uang yang digunakan adalah uang negara yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan negara juga, bukan kepentingan elit tertentu. Hal ini, menurut Budiarto Shambazy, sama dengan menggunakan dana rakyat untuk kepentingan elit politik tertentu.

Permasalahannya, sejauh mana kesadaran para penerima dana tersebut setelah mengetahui bahwa dana yang mereka dapatkan adalah dana yang tidak jelas statusnya tersebut? Apakah dengan adanya kesaksian di pengadilan mengenai penggunaan dana tersebut lantas membuat para elit penerima dana mengakui bahwa mereka terlibat dengan penggunaan dana tersebut?

Dua pertanyaan inilah yang menjadi dilema dalam pengusutan kasus ini. Terbukti, hanya Amien Rais, Fahri Hamzah, Sholahuddin Wahid, Sutrisno Bachir, dan beberapa orang jujur saja yang mau mengakui kekhilafan tersebut. Pihak lain malah beramai-ramai membuat argumentasi dan berdebat di media massa, padahal menurut penuturan saksi masing-masing pasangan capres mendapat dana sekian juta rupiah.

Jika kita mau melihat ke depan, apa sih yang disusahkan hanya untuk membuka sebuah kekhilafan yang dilakukan? Apakah begitu sulit bersikap terus terang dan membeberkan rincian daftar penyumbang dan mengklarifikasinya kepada publik, bagian mana yang memang ilegal dan bagian mana yang wajar?

Tentunya, persoalan ini harus kembali kepada pribadi masing-masing. Jika para elit tetap tidak transparan sementara di tangan mereka adalah sebuah barang dengan status yang tidak jelas, komitmen untuk memberantas korupsi tetap tidak akan terealisasi dalam realitas empiris. Implikasinya, kondisi seperti ini tetap akan bertahan entah sampai kapan.

Di sini, sikap Presiden yang terkesan tertutup serta tidak mengakui aliran dana yang masuk juga patut dikritisi. Semestinya, seorang calon Presiden --siapapun ia, apakah masih menjabat atau tidak-- harus transparan dalam persoalan dana kampanye. Ini untuk memastikan dana yang masuk tidak menyalahi prosedur. Di sisi lain, kita patut mengacungi jempol pada Amien Rais dan Fahri Hamzah yang telah mengakui penerimaan dana. Sikap tenang Pak Amien dan Bang Fahri mencerminkan komitmen mereka pada visi-visi reformasi.

Perlu diketahui, Amien Rais dan Fahri Hamzah merupakan dua ‘aktor intelektual’ dari gerakan reformasi. Pada tahun 1998, Amien Rais dipercaya menakhodai Majelis Amanat Rakyat bersama tokoh-tokoh lain seperti Gunawan Moehamad dan Faisal Basri. Sedangkan Fahri Hamzah adalah mantan Ketua Umum KAMMI yang bersama-sama dengan elemen mahasiswa lain melakukan aksi massa di Gedung DPR-MPR sampai kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.

Meski demikian, mereka tetap bersalah karena menerima dana dari sesuatu yang tidak jelas; sebuah preseden buruk bagi para politisi. Seyogianya, Pak Amien dan Bang Fahri mengecek terlebih dahulu dana yang diterima. Terlebih lagi, dana tersebut diberikan oleh seorang menteri yang kewenangannya terikat pada peraturan perundang-undangan. Ini jelas sebuah kesalahan yang tidak perlu dilakukan oleh seorang calon pemimpin bangsa.

Sikap Pak Amien dan Bang Fahri boleh dikatakan khilaf dalam hal tersebut. Akan tetapi, sikap mereka yang dengan melakukan pengakuan dan siap bertanggungjawab juga patut untuk diteladani. Sikap inilah yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin kita, terutama bagi para legislator di DPR-RI atau DPRD yang notabene rentan dalam penyalahgunaan dana, terutama dalam persoalan anggaran.
Kasus memang telah diputus, namun ada baiknya kita berkaca pada kasus ini, bahwa persoalan dana kampanye merupakan persoalan yang cukup patut diperhatikan. Memang, pemerintah telah memiliki PPATK untuk mengaudit dana kampanye. Namun, sudah semestinya pula Bawaslu atau KPU memiliki akses (meski terbatas) atas dana kampanye yang masuk ke rekening calon presiden. Di samping itu pula, kasus DKP sangat erat kaitannya dengan anggaran yang telah dibuat oleh masing-masing departemen, dan memerlukan antisipasi yang lebih lanjut oleh pemerintah.

Refleksi Untuk Kalimantan Selatan

Kasus dana non-budgeter sekilas ada kemiripan dengan kasus Dana Siluman yang melibatkan para anggota DPRD Kalimantan Selatan. Pada kasus tersebut, ada dua anggota DPRD yang mengembalikan dana asuransi yang mereka terima, karena dana tersebut dicurigai sebagai dana ’fiktif’ alias berstatus tidak jelas. Kecurigaan mereka pun dilaporkan ke pihak yang berwenang, sehingga kasus ini berbuntut pada penahanan beberapa pimpinan legislatif dan eksekutif.

Pada kasus dana siluman dan dana DKP, terlihat bahwa pihak yang jujur berjumlah sedikit sekali. Ini menunjukkan bahwa memang persoalan dana merupakan persoalan yang sangat ”sensitif”. Kesalahan, baik yang tak sengaja maupun yang disengaja dapat mengakibatkan runyamnya persoalan. Tanggung jawab pengelolaan dana pun semakin berat.

Di sinilah reformasi birokrasi diperlukan. Reformasi birokrasi yang berarti penataan ulang secara bertahap dan sistematis atas fungsi utama pemerintah, meliputi kelembagaan/institusi yang efisien dengan tata laksana yang jelas/transparan dan diisi oleh SDM yang profesional, mempunyai akuntabilitas kepada masyarakat serta menghasilkan pelayanan publik yang prima tersebut memerlukan adanya peran serta seluruh elemen masyarakat dalam realisasinya. Sebuah langkah antisipatif yang menurut penulis cukup baik dilakukan adalah pembentukan Pakta Integritas di Banjarbaru, dipelopori oleh Transparency International Indonesia (TII) Kalimantan Selatan.

Berkaca pada kasus dana DKP dan Dana Siluman, sudah semestinya nilai-nilai kejujuran ini diintegrasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Ini bukan hanya tanggung jawab individu, tapi juga merupakan tanggung jawab para ulama dan umara yang menjadi media pemersatu umat.

Maka, bukankah sudah seharusnya kita pertegas batas antara persoalan halal dan haram dalam politik?

Pemilu 2009 dan Prospek Partai Politik Islam


Pengantar

Pemilu 2009 akan berlangsung sebentar lagi. 38 partai politik secara resmi akan berkompetisi dalam pesta demokrasi nasional, memperebutkan 550 kursi empuk di DPR-RI serta peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik dalam level nasional. Mereka mewakili berbagai macam latar belakang ideologi, platform, dan golongan serta menjadi sebuah jalan bagi para calon wakil rakyat untuk menuju gedung DPR atau DPRD. Sehingga, Pemilu seakan menjadi ladang pekerjaan bagi pencari kekuasaan dan idealisme mereka yang termarjinalkan.

Permasalahannya, umat Islam tidak berada dalam satu suara untuk menghadapi pesta demokrasi ini. Setidaknya lebih dari lima partai menempatkan Islam sebagai asas, dan banyak partai yang mengambil konstituen dari floating mass umat Islam namun tidak menempatkan Islam sebagai dasar legal-formal partai atau haluan gerak. Di sisi lain, fenomena ketidakpercayaan atas Pemilu pun kian marak dengan aksi “Golongan Putih” yang juga banyak berasal dari kalangan umat Islam, sehingga menimbulkan implikasi terpecahnya suara umat Islam.

Masalah ini cukup pelik, karena situasi politik kian memanas. Jika umat Islam tak mengantisipasi hal ini, partai-partai yang merintangi jalan umat Islam akan semakin berjaya dan terkonsolidasi. Maka, sebagai awalan, ada baiknya kita mereview posisi politik dalam Islam serta fenomena rekonsolidasi suara umat Islam menjelang Pemilu.

Posisi Politik dalam Islam

Ibnul Qayyim Al-Jauzi sebagaimana dikutip oleh Abdul Hamid Al-Ghazali mengatakan bahwa politik merupakan kegiatan yang menjadikan umat manusia mendekat kepada hidup maslahat dan menjauh dari kerusakan, meskipun Rasulullah tidak meletakkannya dan wahyu tidak melarangnya. Jalan apapun yang ditempuh untuk menciptakan keadilan, maka ia adalah agama.

Mengapa politik sangat diperlukan dalam mewujudkan kebangkitan, terlebih di era reformasi sekarang ini? Dr. Daud Rasyid berpendapat, politik sangat berperan dalam menjalankan agenda-agenda reformasi, yaitu kebebasan bersuara, mengeluarkan pendapat, dan menyalurkan aspirasi. Untuk merealisasikan agenda tersebut, diperlukan sebuah kekuatan politik yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Lebih tegas lagi, hal ini berarti bahwa ajaran Islam tak pernah memisahkan antara agama dan politik. Sebaliknya, ajaran Islam secara utuh mencakup urusan-urusan politik, baik politik yang bersifat kenegaraan maupun politik yang bersifat kemasyarakatan. Sebab, menurut Hassan Al-Banna, Islam memiliki karakter syumuliyyah dan takamuliyah yang mengimplikasikan integrasi semua hal ke dalam ruh Islam (Wahono, 2002).

Mari kita ambil Al-Qur’an,. Pada Surah Al-Baqarah: 208 Allah telah menyatakan, ”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam keselamatan secara sempurna, sesungguhnya syaithan bagi kamu adalah musuh yang nyata”. Ayat tersebut telah menyatakan bahwa kita tak boleh meninggalkan bagian-bagian dari Islam secara parsial. Politik dalam konteks ini merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari Islam. Dr. Yusuf Qardhawi pernah mengatakan bahwa Islam mencakup semua kehidupan manusia, yaitu aqidah, ibadah, politik, kultur, perundang-undangan, dan aspek-aspek lain.

Politik seperti apa yang kita perjuangkan? Dalam terminologi Amien Rais, bangsa Indonesia sekarang ini seharusnya menjalankan praktik High Politics yang mengedepankan kerjasama antara para politisi dan rakyat untuk kepentingan bangsa, sehingga tercipta sinergisasi program dan kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan bersama. High Politics di sini harus selaras dengan kepentingan dakwah, karena dalam perspektif Islam politik harus memiliki nilai-nilai dakwah yang mengemuka dalam aktivitasnya. Hasan Al-Banna mengatakan, ”Kita adalah da’i sebelum segala sesuatunya”. Maksudnya, Kewajiban kita dalam berpolitik adalah untuk menyampaikan kebenaran dan menggagalkan kemungkaran.

Posisi Islam dalam Politik Indonesia

Indonesia, tak dapat kita pungkiri, merupakan sebuah negara demokratis yang cukup disegani di dunia dengan pesta demokratis yang dilaksanakan secara rutin dalam mekanisme Pemilu. Pada Pemilu yang akan datang, sedikitnya ada sepuluh partai yang berasas Islam atau berbasis massa kelompok umat Islam. Sebut saja PPP, PKS, atau PBB yang berasas Islam secara legal-formal, PAN dan PKB yang berbasis massa di kelompok umat Islam, atau PMB dan PKNU sebagai partai baru yang juga berhaluan Islam. Di luar partai-partai tersebut, masih begitu banyak partai berasas nasionalis yang, ironisnya, menarik konstituen di kalangan umat Islam. Praktis, suara partai-partai Islam terfragmentasi dan mengecil; jauh dari total penduduk yang beragama Islam di Indonesia yang konon terbanyak di dunia.

Melihat banyaknya jumlah partai politik tersebut, agaknya kita patut bercermin pada tesis Clifford Geertz (1960) mengenai tipologisasi umat Islam di Jawa, yaitu santri, priyayi, dan abangan. Dalam konteks peraturan politik teranyar, tipologisasi tersebut menjadikan kekuatan politik umat Islam terfragmentasi menjadi tiga kekuatan utama: partai Islam atau berbasis massa Islam (santri), partai nasionalis yang didominasi oleh kaum elit (priyayi), dan partai nasionalis yang berhaluan kerakyatan (abangan).

Apa implikasi dari fenomena tersebut? Setidaknya, penulis melihat tiga kemungkinan yang akan dihadapi. Pertama, mengecilnya suara partai Islam sehingga berpotens mengurangi jumlah kursi di parlemen. Kedua, terkonsolidasinya partai-partai non-Islam yang merepresentasikan agama lain. Ketiga, perpecahan politik yang melanda umat Islam akan semakin melebar sehingga mengurangi soliditas umat dan berpeluang menjadi konflik horizontal yang sia-sia.

Kemungkinan tersebut pada dasarnya berbahaya bagi masa depan umat Islam. Agaknya euforia Masyumi yang dulu pernah menjadi kekuatan politik utama umat Islam pada periode 1950-1955 tidak akan terulang kembali dalam waktu dekat. Kita tentu masih ingat, perpecahan pertama yang melanda partai Islam adalah keluarnya NU dari Masyumi yang disusul oleh PSII pada tahun 1953 hanya karena jabatan menteri agama diserahkan pada kalangan non-NU. Keluarnya NU tersebut melemahkan suara Masyumi pada Pemilu 1955, terutama di pulau Jawa. Data membuktikan bahwa NU mampu meraup 18,4%, Masyumi 20,9% suara, dan PSII 2,9% suara. Terfragmentasinya suara umat Islam tersebut memperkokoh suara PNI yang meraih 22,3% suara (Ricklefs, 1981: 377).

Secara politis, fragmentasi suara tersebut jelas mengurangi posisi tawar politik partai Islam. Dengan masuknya NU ke blok Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) yang dibangun oleh Soekarno, praktis Masyumi berjalan sendirian dan kehilangan kekuatannya pada 1960. Tentunya implikasi dari kasus demikian cukup berbahaya. Oleh karena itu, kita perlu memikirkan cara untuk merekonsolidasi kekuatan politik umat dengan sebuah common platform yang mampu menyamakan persepsi semua partai pada satu kesadaran untuk menjadi mayoritas di masa yang akan datang.

Pertanyaannya, bagaimana upaya yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka menyongsong Pemilu 2009 nanti? Penulis mencoba mengelaborasi beberapa ide untuk dijadikan saran bagi partai-partai Islam.

Pertama, menjadikan Al-Qur’an, Sunnah, dan cita-cita umat sebagai tujuan utama. Maksud dari cita-cita umat di atas adalah terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera, atau dalam bahasa yang lebih jauh disebut sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Tiga alat pemersatu ini harus dioptimalkan oleh masing-masing partai sebagai ajang untuk mengonsolidasi kekuatan.

Kedua, mengetahui dengan pasti common enemy umat dalam percaturan politik. Common enemy di sini tentunya adalah kekuatan-kekuatan perintang yang dapat menghalangi kedamaian dan ketenteraman umat, atau dengan kata lain menghalangi terwujudnya. Dengan adanya sebuah single enemy, tentunya partai-partai Islam tak akan terkotak-kotak dalam berjuang. Mereka pasti akan berkonsolidasi dan menggalang kekuatan di parlemen untuk melawan common enemy tersebut.

Ketiga, mencari momentum untuk mempersatukan suara umat. Kita mungkin masih ingat dengan koalisi poros tengah yang digagas oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1999 yang berhasil mengantarkan Amien Rais sebagai Ketua MPR, Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR dan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Kendati poros tengah tersebut tidak bertahan lama dan mengalami perpecahan di tengah jalan, kita dapat memetik pelajaran bahwa kekuatan yang terkonsolidasi dapat mengalahkan sebuah hegemoni walau masing-masing partai berbeda haluan dalam bergerak.

Siapkah Partai Islam?
Partai-partai Islam memang bertambah banyak seiring dibukanya kran demokrasi. Akan tetapi, banyaknya kuantitas partai Islam ini jangan sampai membuat posisi tawar politik umat Islam melemah. Kita mesti ingat bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Jangan sampai modal besar ini terbuang percuma hanya karena perbedaan idealisme di masing-masing partai.
Pemilu 2009 telah berada di depan mata. Pertanyaan kontemplatif yang patut kita renungkan, sudah siapkah partai Islam menghadapinya?
Artikel ini digabung dari beberapa artikel yang pernah dimuat di Radar Banjarmasin.

Senin, 09 Februari 2009

Menatap Kossovo yang Merdeka

Pertengahan Februari 2008, satu tahun yang lalu sebuah sejarah baru tercipta di semenanjung Balkan. Kossovo, sebuah daerah mayoritas muslim yang berada di bawah pengawasan PBB beberapa tahun belakangan ini, menyatakan kemerdekaan mereka dari Serbia yang dulu bergabung bersama Federasi Yugoslavia. Pernyataan kemerdekaan Kossovo ini langsung mendapat apresiasi positif dari masyarakat internasional dan juga mendapat pengakuan dari beberapa negara anggota PBB

Akan tetapi, kemerdekaan Kossovo bukannya tanpa halangan. Serbia merasa kemerdekaan Kossovo adalah ”kemerdekaan palsu”. Hal ini karena, seperti Taiwan, Kossovo adalah provinsi yang bermasalah sejak berada dalam pangkuan Federasi Yugoslavia. Oleh karena itu, Serbia seakan-akan tidak rela dan terus melakukan demonstrasi menuntut kembalinya Kossovo ke tangan mereka.

Sementara itu, dukungan internasional terus mengalir. Amerika Serikat mengakui kemerdekaan Kossovo dalam forum di United Nations. Begitu pula banyak anggota dari Uni Eropa yang bertetangga dengan Kossovo. Dukungan internasional ini memperkuat kepercayaan diri Kossovo dalam melaksanakan pembangunan awal setelah sebelumnya hancur oleh konflik berkepanjangan.

Meski demikian, polemik di PBB masih belum sepenuhnya berakhir. Rusia dan Serbia –dua sekutu dekat—kembali meresistensi perjuangan kemerdekaan Kossovo dengan menyuarakan penolakan atas pengakuan kemerdekaan. Hal ini begitu dilematis karena berpengaruh kuat dalam sidang di International Court of Justice dalam mengesahkan Kossovo sebagai sebuah negara-bangsa. Maka, momentum persaudaraan harus kembali disuarakan: Kossovo harus merdeka.

Serbia dan Konflik Balkan

Jika kita analisis, kemerdekaan Kossovo ini merupakan sebuah peristiwa yang didahului oleh peristiwa penting lain di semenanjung Balkan. Kita tahu, Federasi Yugoslavia didirikan oleh negara-negara di kawasan Balkan seperti Slovenia, Serbia, Montenegro, Bosnia, dan Macedonia. Federasi ini memiliki posisi yang kuat pada era 1950-an ketika Joseph Broz Tito menjadi presiden.

Kendati memiliki hubungan yang cukup erat dengan Uni Sovyet, Yugoslavia memiliki pengaruh yang cukup besar dalam Gerakan Non-Blok. Federasi ini lebih memilih untuk tidak terlibat langsung dalam pertikaian ideologi pada saat perang dingin, tetapi lebih memilih untuk melakukan konsolidasi internal. Terbukti, tangan dingin Broz Tito dapat menyatukan tiga kekuatan yang berlawanan: Serbia dengan sosialisme yang kuat, Bosnia dengan Islam, dan Macedonia-Kroasia dengan Kristen Ortodoks yang kental.

Akan tetapi, keharmonisan Yugoslavia melemah setelah berakhirnya era Joseph Broz Tito. Pengganti-penggantinya kurang kuat dalam melakukan harmonisasi dan perbaikan. Klimaksnya, Slobodan Milosevic dari Serbia berkuasa di akhir era 1990-an dan menandai subordinasi Serbia atas anggota-anggota Yugoslavia lain.

Di era tersebut, Milosevic dan tangan kanannya, Radovan Karadzic melakukan ethnic cleansing atau yang lazim dikenal dengan genosida di Srebrenica, Bosnia. Puluhan ribu umat Islam tak berdosa menjadi korban. Baik para ulama, wanita, bahkan anak-anak sekalipun. Protes internasional terbit. Semua organisasi Islam bersepakat untuk menekan PBB agar menindak praktik genosida atas umat Islam ini. Pasukan internasional pun diterjunkan dan berhasil menetralisir keadaan. Puncaknya, federasi Yugoslavia pecah dan hanya tersisa Serbia serta Montenegro saja yang akhirnya juga berpisah.

Slobodan Milosevic ditangkap dan dipenjara di Den Haag. Sementara itu, Radovan Karadzic dan perwira militer lain yang terlibat dalam pembersihan etnis di Bosnia buron; ada beberapa yang tertangkap. Belakangan, Milosevic dikabarkan bunuh diri di selnya di Den Haag ketika menunggu putusan tetap dari International Court of Justice, sementara Karadzic tertangkap dan diadili di Den Haag.

Akhirnya, pada tahun 2006 yang lalu Federasi Yugoslavia dibubarkan. Serbia dan Montenegro memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri tanpa satu ikatan politis. Februari 2008 menjadi tonggak sejarah baru bagi Kossovo dengan deklarasi kemerdekaan yang didukung oleh NATO, Uni Eropa, dan PBB.

Politik Luar Negeri RI

Menatap Kossovo yang merdeka masih memerlukan perjuangan besar. Di sini, penulis ingin memberikan sedikit masukan dalam kebijakan luar negeri RI berkaitan dengan masalah Kossovo ke depan, meski sikap otoritas diplomatik belum begitu jelas dalam perdebatan di Dewan Keamanan: abstain ketika voting.

Pertama
, Indonesia dalam kapasitas sebagai anggota Dewan Keamanan PBB harus mendukung –minimal mengakui— kemerdekaan dan kedaulatan Kossovo. Pengakuan kedaulatan ini penting mengingat adanya ikatan persaudaraan antara Indonesia dan Kossovo yang notabene berpenduduk mayoritas muslim. Indonesia harus ingat bahwa ketika awal kemerdekaan, Ikhwanul Muslimin dan pemerintah Mesirlah yang mengakui kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 atas dasar Ukhuwah Islamiyah.

Kedua
, Indonesia harus aktif sebagai mediator jika terjadi konflik antara Kossovo dan Serbia yang didukung oleh Rusia. Dalam forum DK, posisi Indonesia harus netral, berada di tengah namun tetap tegas terhadap persaudaraan Islam. Yang terpenting, perang saudara dapat dielakkan dan dihindarkan dari tanah Balkan. Penggunaan militer harus mendapat sorotan tajam dalam perundingan keamanan internasional terkait masalah Kossovo ini. Di sini, kejelian otoritas diplomatik di PBB kita harapkan agar dapat mengakomodasi kepentingan perdamaian dan kedaulatan negara.

Ketiga
, Indonesia juga harus siap jika perang memang benar-benar terjadi di Kossovo. Kendati NATO dan pasukan perdamaian PBB masih memegang peranan penting di Kossovo, sinyal dari Serbia untuk melakukan protes tetap ada. Apalagi Perdana Menteri Serbia Vojislav Kostunica dan Presiden Serbia Boris Tadic telah melegitimasi aksi demonstrasi dan upaya blokade perbatasan Serbia-Kossovo. Kembali, peran Indonesia untuk menjadi alat perdamaian kita harapkan.

Keempat, penulis meminta dukungan umat Islam di Indonesia untuk terus mendoakan saudara-saudara di Kossovo, agar fase pembangunan awal di negara ini dapat berjalan lancar. Gangguan pasti ada, tetapi harus ada upaya untuk bangkit dari keterpurukan dan memulai awal baru. Para ulama telah menyuruh kita untuk mendoakan umat Islam yang sedang berada dalam kesusahan, seperti yang dialami oleh ikhwah di Kossovo ini.

Maka, kita hanya bisa berharap agar Kossovo dapat menjadi negara muslim yang teguh memegang prinsip syariah dan istiqomah membangun diri. Ingatlah, kita cinta perdamaian tetapi lebih mengutamakan kemerdekaan. Terpenting, kedaulatan Kossovo diakui di mata masyarakat transnasional.
Kami bersamamu, Kossovo!

UKM, BMT, dan Ekonomi Kerakyatan

Lembaga Keuangan Mikro (Micro Finance Institute) mulai menampakkan geliatnya beberapa terakhir ini. Lembaga ekonomi yang bergerak di bidang pemberdayaan usaha kecil dan mikro (UKM) ini biasanya bergerak di sektor perkreditan, di mana mereka secara kelembagaan memberikan kredit dengan bunga rendah sebagai modal bagi para pengusaha-pengusaha mikro.

Pemberian kredit ini antara lain bertujuan untuk lebih membantu para pengusaha tersebut agar lebih produktif dan dapat keluar dari gerbang kemiskinan. Akhirnya, pelaku usaha tidak hanya dimonopoli oleh para pebisnis dengan usaha besar, tetapi juga diwarnai dengan para investor mikro yang dapat mengubah modal yang diberikan menjadi feedback dan profit yang memberikan implikasi positif bagi kehidupan pemodal .

Perkembagan investasi mikro ini tidak terlepas dari pengenalan platform ekonomi kerakyatan yang digagas oleh pemerintah dan para ekonom yang peduli dengan nasib usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Platform Ekonomi kerakyatan inisalah satunya adalah fokus kebijakan ekonomi terhadap usaha kecil dan menengah.

Fokus kebijakan ini dimaksudkan bukan untuk menciptakan sistem preferensi baru, tetapi untuk memperbesar manfaat (utility) sebagai substansi pokok dalam ilmu ekonomi. Selain itu, ekonomi kerakyatan juga berfungsi sebagai alat untuk mengimplementasikan demokrasi ekonomi yang diterapkan di Indonesia (Sasono, 1999; Mubyarto, 2004).

Data BPS tahun 2003 menunjukkan bahwa terdapat 39,04 juta unit usaha yang termasuk kategori usaha ekonomi rakyat atau 99,60% dari total unit usaha yang ada di Indonesia. Dalam hal penyerapan lapangan kerja, unit usaha tersebut memberi lapangan pekerjaan kepada sekitar 74,4 juta orang.

Dilihat dari komposisi volume usahanya, 99,85% volume usahanya di bawah Rp 1 miliar, 0,14% antara Rp 1 miliar - Rp 50 miliar dan hanya 0,01% volume usahanya di atas Rp 50 miliar. Adapun dari komposisi penyerapan lapangan kerja, kelompok pertama menyerap 88,66%, kelompok kedua menyerap 10,76% dan, sisanya diserap kelompok ketiga (Sumantyo, 2004).

Konsep ekonomi kerakyatan ini juga menjadi salah satu fokus dalam kebijakan ekonomi pemerintah di era reformasi ini. Implikasinya, pemerintah juga seharusnya menjamin kelangsungan investasi dan usaha mikro, kecil, atau menengah (UMKM) di Indonesia agar keberadaan mereka tidak dikalahkan oleh investor-investor besar yang lebih berorientasi pasar.

Salah satu cara pemerintah dalam menjamin kelangsungan UKM ini adalah melalui subsidi dan pemberian kredit jangka panjang dengan bunga yang rendah sebagai modal kepada para pengusaha tersebut. Di sinilah peran strategis lembaga keuangan mikro dalam implementasi platform ekonomi kerakyatan ini.

Adapun bentuk lembaga ekonomi mikro yang sekarang marak berkembang di Indonesia, terutama di Banjarmasin, adalah Baitul Maal Wat-Tamwil (BMT). Lembaga ini merupakan lembaga ekonomi mikro yang menggunakan pendekatan syariah dalam operasionalnya.

Dengan adanya pendekatan syariah ini, Baitul Maal Wat-Tamwil tetap memberikan kredit investasi kepada para investor mikro namun dengan menggunakan sistem mudharabah atau bagi hasil. Sistem mudharabah ini mengimplikasikan tidak adanya pembungaan dalam kredit, tetapi ada bagi hasil antara pemodal dan investor yang disahkan melalui nisbah atau perjanjian sebelum pemberian kredit (Perwataatmadja & Antonio, 1992).

Sekilas mengenai ekonomi syariah, dapat kita katakan bahwa ekonomi syariah merupakan pengejawantahan model perekonomian yang dilaksanakan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an. Salah satu ketentuan yang diberikan oleh Al-Qur’an adalah haramnya riba’ yang diatur oleh Allah melalui Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 275 dan Ali-Imran 130.

Untuk menghindari praktek riba’ ini, muncul konsep Al-Ajr wal Umulah (Kerja/jasa), Kafalah (jaminan) dan mudharabah (bagi hasil). Konsep-konsep ini pada awalnya diprakarsai oleh Bank Muamalat Indonesia dan kemudian dikembangkan di bawah payung beberapa Bank Syariah yang berada di bawah kontrol Dewan Pengawas Syariah (Perwataatmadja & Antonio, 1992).

Pengenalan konsep ekonomi syariah ini pada dasarnya ditujukan untuk memberdayakan para pengusaha kecil dan mikro yang ingin mengembangkan usahanya dengan sistem yang syar’i. Dengan adanya sistem ini, diharapkan investasi kredit dapat lebih menguntungkan pengusaha kecil dan mikro tanpa mengesampingkan nilai-nilai syar’i.

Oleh karena itu, tak salah jika keberadaan lembaga ekonomi mikro syariah sangat mendukung berjalannya sistem ekonomi rakyat yang berpihak pada kepentingan pelaku usaha kecil dan menengah, bukan melegitimasi sistem elite yang dilandaskan pada mekanisme pasar. Salam Reformasi.

Senin, 02 Februari 2009

Menelaah Krisis Darfur (2003-2007): Perspektif HAM


Perhatian dunia terpecah ketika insurgency dan internal conflict yang terjadi di Sudan berubah menjadi isu internasional setelah muncul berita bahwa aliran deras pengungsi sebagai akibat konflik berkepanjangan di kawasan Darfur, Sudan Selatan, harus bergerak menuju Chad, negara tetangga Sudan di tengah panasnya iklim Afrika. Isu tersebut sangat ironis dan memprihatinkan, mengingat pada saat yang sama terjadi ekses dari global warming di Afrika Utara dan Tengah. Afrika dilanda kekeringan, memanasnya suhu udara di atas normal, dan lahan yang pada awalnya termasuk semi-dessert (dapat diolah sebagai ladang) berubah menjadi dessert (gurun)[1]. Peperangan terjadi di tengah kondisi mengenaskan tersebut, menewaskan ratusan ribu korban jiwa dan meembuat para pengungsi Darfur dilanda dua kecemasan: terbunuh di medan peperangan atau terjebak di tengah kondisi kekeringan tanpa bantuan.

Konflik bersenjata yang memakan banyak korban dan mengakibatkan berbagai pelanggaran HAM terjadi bukanlah pertama kali di Sudan. Rupanya, sudah sejak ratusan tahun yang lalu konflik horizontal terjadi tanpa adanya penyelesaian yang komprehensif dari otoritas pemerintah, atau pihak yang berwenang. Hal ini semakin parah ketika pada awal abad 19 teknologi senjata api berkembang semakin pesat, sehingga meningkatkan angka kematian sebagai akibat konflik yang terjadi.

Dapatkah kita menempatkan krisis Darfur sebagai isu humaniter (HAM)? Pertanyaan ini mencuat setelah laporan dari beberapa NGO Internasional menyebutkan, krisis politik di Darfur 2003-2006 antara pemerintah Sudan dan pemberontak JEM serta SLM (etnis non-Arab) telah berubah menjadi isu HAM karena adanya penemuan tentang pembunuhan etnis yang konon dilakukan oleh Presiden Sudan, Omar Al-Bashir. Laporan BBC menyebutkan lebih dari 200.000 orang meninggal disertai kerugian lain secara moriil dan materiil[2].

Mengingat banyaknya korban jiwa dalam krisis ini, muncul kontroversi mengenai apakah isu ini merupakan isu genosida atau tidak. Amerika Serikat, Mantan Menteri Luar Negeri AS Colin Powell berpendapat bahwa krisis Sudan adalah isu genosida yang mengharuskan adanya pendekatan , tetapi beberapa NGO Internasional seperti Amnesti Internasional tidak terburu-buru mengatakan bahwa ini adalah isu Genosida[3]. Meski demikian, penuntut dari International Criminal Court telah menerbitkan surat perintah penahanan (warrant) atas Presiden Sudan, Omar Al-Bashir atas beberapa dakwaan kemanusiaan, sehingga secara gamblang kita dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus Darfur[4].

Lebih jauh, Bagaimana permasalahan ini dalam sudut pandang HAM?

Dari data yang didapat oleh beberapa lembaga yang concern dengan hal ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah pemerintah Sudan telah melanggar Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, Article 11[5]. Pelanggaran HAM pertama dalam kasus tersebut adalah penelantaran yang dilakukan atas nasib pengungsi Darfur. Sekitar 2,5 juta pengungsi tersebar dari daerah Darfur sampai memasuki Chad, negara tetangga Sudan. Jika kita tinjau wilayah geografis Sudan, para pengungsi jelas akan menghadapi panasnya daerah gurun yang dikenal kejam. Tidak diperhatikannya pengungsi ini berimplikasi pada korban yang harus meninggal karena kelaparan atau hal lain sejenis.

Tak cukup hanya dengan isu penelantaran, krisis politik di Darfur juga menghasilkan korban genosida (ethnic cleansing), seperti dituduhkan oleh penuntut International Criminal Court (ICC). Pelanggaran HAM tersebut bermula dari konflik antara milisi Janjaweed (ditengarai mendapat dukungan dari pemerintah) dan kelompok pemberontak di Selatan. Muncul dugaan lain yang menyebutkan bahwa krisis Darfur merupakan implikasi dari krisis politik di Khartoum antara Omar Al-Bashir dengan Hassan At-Turabi (oposisi), walau bukti yang mengarah pada asumsi tersebut masih kabur[6].

Laporan Human Rights Watch menyebutkan pihak pemerintah Sudan kurang bersikap kooperatif dengan dunia internasional dalam hal ini[7]. Akan tetapi, hukum internasional pun telah mengatur jika Sudan memang tidak menyelesaikan kasus Darfur secara bijaksana. Statuta Roma Pasal 13.b telah mengatakan bahwa, "A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations"[8].

Persoalan lanjutan yang muncul berkaitan dengan pihak mana yang harus memegang peranan dalam penyelesaian krisis ini. Penyelesaian hukum memang telah diusahakan oleh ICC dengan menerbitkan surat penahanan (warrants). Akan tetapi, perlindungan hak sipil atas pengungsi Sudan dan penjaga perdamaian juga perlu dipikirkan. Status pengungsi di Chad dan negara tetangga serta pemenuhan kebutuhan pokok bagi warga sipil Sudan yang menjadi korban harus menjadi prioritas untuk segera diselesaikan. Sehingga, jelas tidak cukup jika persoalan ini hanya merupakan persoalan pemerintah Sudan.

Afrika sendiri telah memiliki African Union (AU) sebagai organisasi regional yang mewadahi Sudan. Ini artinya, otoritas serta negara-negara anggota AU memiliki tanggung jawab untuk turut memfasilitasi penyelesaian masalah Darfur. Namun di sisi lain, tudingan pelanggaran HAM yang ditujukan kepada Sudan melalui ICC juga mengimplikasikan keterlibatan PBB dalam penyelesaian masalah. Lantas, siapa yang seyogianya bertanggungjawab dalam proses perundingan dan penjaga perdamaian? AU (African Union) atau UN (United Nations)? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami memiliki dua asumsi.

Pertama, AU jelas harus proaktif dalam negosiasi antara pemerintah Sudan dan pemberontak SLM atau JEM. Mereka harus menjalankan fungsi mediasi dengan baik. Keterlibatan UN kurang diperlukan, sebab akan ada kekhawatiran munculnya intervensi oleh pihak tertentu. Mediator harus bebas dari kepentingan, atau seperti kata Berridge (2005:197)[9], mediator harus jelas identitas serta motif mereka dalam memediasi suatu perundingan.

Kedua, UN baru terlibat dalam proses penjaga perdamaian. Kita tentu tidak dapat berharap banyak pada pasukan negara-negara AU yang secara militer tidak terlalu kuat. UN perlu mengirim pasukan penjaga perdamaian untuk menjaga hak-hak sipil serta mengantisipasi kemungkinan konflik lanjutan. Kepentingan UN di sini adalah murni perdamaian dan harus didasarkan atas pengakuan atas kedaulatan negara lain (souvereign equality of nations)[10]. Oleh karena itu, intervensi dari negara tertentu harus dihindari.

Pada kasus Darfur, serangan milisi ke Darfur telah menyebabkan pengungsian besar, pembunuhan, pemerkosaan massal. Artinya, jika mengacu pada Konvensi Jenewa Bab 4 (Perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat perang), telah terjadi pelanggaran HAM sehingga langkah ICC menerbitkan warrants untuk mengusut keterlibatan pemerintah Sudan cukup strategis. Hanya saja, PBB patut pula memperhatikan asas pemeliharaan stabilitas politik dalam menjaga keamanan di Sudan, antara lain dengan tidak mengintervensi konstelasi politik di Sudan terlalu jauh.

Pada prinsipnya, keterlibatan negara-negara Afrika serta kooperasi dari pemerintah Sudan mengenai status pengungsi menjadi hal yang penting untuk diselesaikan dalam kasus Darfur ini. Bukankah warga sipil tidak seharusnya dikorbankan dalam konflik bersenjata?

Referensi :

BBC Official Website, http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/3496731/. Q&A: Sudan’s Darfur Conflict. 15 Juli 2008.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1972).

G.R. Berridge. Diplomacy: Theory and Practice. (New York: Palgrave MacMillan, 2005).

http://www.ihlresearch.org, “The Instrument of Humanitarian Laws”, diakses pada Selasa, 9 September 2008.

http://www.icrc.org/. “State Parties to the Following International Humanitarian Law and Other Related Treaties as of 5 May 2008”, diakses pada Selasa, 9 September 2008.

http://id.wikipedia.org/war_in_darfur/War in Darfur”. Diakses pada 11 September 2008.

Human Rights Watch. http://hrw.org/backgrounder/ij/sudan0606/sudan0606.pdf, “Lack of Conviction The Special Criminal Court on the Events in Darfur”. Diakses pada 11 September 2008.

http://www.un.org/news/dh/sudan/com_ing_darfur.pdf


Footnotes

[1] Ban Ki-moon (2007-06-16). "A Climate Culprit In Darfur", Washington Post.
[2] Q&A: Sudan’s Darfur Conflict. BBC News, 15 Juli 2008. http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/3496731/
[3] Http://id.wikipedia.org/war_in_darfuir/, data dikutip dari laporan PBB tentang Kasus Darfur, dapat dilihat pada http://www.un.org/news/dh/sudan/com_ing_darfur.pdf
[4] http://hrw.org/backgrounder/ij/sudan0606/sudan0606.pdf
[5] Miriam Budiardjo, 1972, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Bab Hak-Hak Azasi Manusia (Jakarta: Gramedia, 1977). h. 133-134.
[6] http://id.wikipedia.org/war_in_darfur/
[7]http://hrw.org/backgrounder/ij/sudan0606/sudan0606.pdf
[8] http://id.wikipedia.org/war_in_darfur/
[9] G.R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice (New York: Palgrave MacMillan, 2005). h. 197.
[10] Budiardjo, op.cit.

Valentine’s Day dan Kearifan Kita


Tanggal 14 Februari biasanya diperingati oleh para generasi muda sebagai Valentine’s Day; Hari kasih sayang. Pada hari yang dianggap “spesial” ini, mereka biasanya mengungkapkan perasaan cinta –pada pasangan masing-masing tentunya—dengan memberikan hadiah-hadiah tertentu. Kendati hal ini berlawanan dengan nilai agama, fenomena valentine’s day tetap merebak di kalangan remaja

Fenomena Valentine’s Day ini memberikan suatu kekhawatiran tersendiri bagi orang tua yang cemas dengan kondisi anak-anaknya. Para orang tua yang concern dengan anak mereka tentu paham bahwa Valentine’s day merupakan budaya asing yang diterima tanpa saringan budaya (cultural filter) yang memadai. Dalam bahasa sosiologi, sikap ini disebut dengan westernisasi atau sikap meniru budaya Barat tanpa pertimbangan rasional.

Kekhawatiran orang tua atau pemerhati moral dapat dipahami, bahwa memang fenomena valentine’s day telah menjadi “budaya” tersendiri di kalangan generasi muda. Meski demikian, cara penanggulangan dan action agenda yang dilakukan haruslah mengakomodasi semua kepentingan, baik orang tua maupun remaja itu sendiri.

Gejolak Emosi dan Nature Remaja

Fenomena Valentine’s Day memiliki keterkaitan erat dengan gejolak emosional yang dialami oleh remaja pada masa pubertas mereka. Pada masa ini, remaja secara alamiah mulai mengandalkan emosi mereka dalam menghadapi berbagai persoalan, dan cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan yang negatif. Semua orang, termasuk penulis, pernah mengalami masa-masa ini.

Dalam perspektif psikologi sosial, masa remaja memang merupakan masa yang sensitif dalam perkembangan individu. Pada fase ini, muncul kecenderungan remaja untuk melakukan pencarian jati diri pada lingkungan mereka, dibarengi oleh karakteristik ingin-tahu (curious) dan menolak peraturan (rebellious). Implikasinya, pola perilaku generasi muda menjadi jauh dari kontrol orang tua dan dekat dengan lingkungan sebaya yang berpotensi menjauhkan remaja dari nilai-nilai moral yang telah dicoba untuk ditanamkan oleh guru atau orang tua.

Gejolak emosional remaja ini dianggap oleh para pakar psikologi sebagai sesuatu yang normal. Penulis pun –sebagai bagian dari remaja— pernah mengalami hal ini. Akan tetapi perlu diingat, gejolak emosional remaja pun perlu kontrol. Hal ini perlu dilakukan agar para remaja tidak kebablasan dalam menyalurkan emosi mereka Dalam konteks Valentine’s Day, perlu adanya masukan-masukan arif dari orang yang lebih tua dengan pendekatan yang bijaksana.

Memang, Valentine’s Day telah menjelma menjadi sebuah masalah sosial yang ditimbulkan dari gejolak emosional remaja. Sebagai sebuah realitas sosial yang menyimpang, Valentine’s Day harus disikapi secara arif, agar masalah dapat diselesaikan secara baik dengan pendekatan yang dapat diterima oleh remaja. Selama ini, langkah pencegahan moral dari pihak sekolah atau orang tua bukannya tidak ada. Kampanye untuk tidak “merayakan” Valentine’s Day dari sekolah sudah cukup banyak, baik melalui pendekatan persuasif ataupun disiplin. Namun, mengingat nature remaja yang selalu menginginkan hal baru serta mencari identitas diri, minat untuk merayakan Valentine’s Day tetap tidak berkurang, meski hanya melalui ungkapan-ungkapan romantis atau pemberian hadiah cokelat.

Untuk itu, pada dasarnya generasi muda perlu sebuah alternatif, bukan hanya pelarangan dan penyadaran singkat dari sekolah. Budaya valentine perlu dilawan dengan alternatif budaya lain yang dapat diterima oleh remaja. Langkah penanggulangan berupa pelarangan langsung dari orang tua atau pendidik menurut penulis kurang tepat, karena akan berbenturan dengan sikap para remaja yang sensitif.

Action Agenda

Agar efek domino dari valentine’s day dapat dihentikan, penulis menawarkan beberapa langkah.

Pertama, mengoptimalkan peran peer educator atau pendidik sebaya. Para remaja akan lebih mudah dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan mereka. Rekan sebaya yang mengerti akan dampak negatif valentine’s day dapat memberi pemahaman tersebut, dengan tetap memperhatikan kualitas diri. Dakwah fardhiyah (dari individu ke individu) dapat menjadi alternatif yang baik, dan keterlibatan siswa untuk mengkampanyekan bahaya valentine’s day dalam bahasa yang dimengerti oleh siswa lain menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Kedua, memaksimalkan peran lembaga-lembaga dakwah sekolah (atau lembaga-lembaga lain yang sinergis). Di masing-masing sekolah telah terbentuk kelompok studi Islam atau sejenisnya yang melakukan pengkajian serta dakwah kepada para siswa. Kelompok-kelompok tersebut harus mengambil peran dalam penanggulangan valentine’s day, bukan hanya mengkaji persoalan fiqih atau siyasi belaka. Kesan eksklusif KSI atau Rohis harus ditinggalkan; KSI harus mengedepankan pendekatan yang lebih ‘ammiyah (inklusif), simpatik, dan terbuka kepada semua siswa dalam menghadapi masalah valentine’s day ini.

Ketiga, adanya sinergisasi antara sekolah dengan siswa. Peran serta guru sangat diperlukan dalam memberi informasi yang tepat lepada siswa mengenai valentine’s day. Namun, peran guru harus didukung oleh institusi sekolah dengan fasilitasi yang diberikan dalam upaya memberi informasi tersebut. Jangan sampai pihak sekolah justru memberi angin bagi siswa untuk “merayakan” valentine’s day, seperti pernah dilakukan oleh mantan wakil kepala sekolah saya dulu dengan mengadakan kegiatan yang mendukung valentine’s day. Keterlibatan guru sangat penting dalam pemberian informasi secara tepat kepada siswa.

Keempat, penguatan pemahaman moral dan agama kepada remaja. Di sini, perlu ada kajian-kajian dengan menggunakan media yang familiar dengan remaja. Imam Hasan Al-Banna seringkali berdakwah di kafe-kafe dengan pendekatan yang mampu diterima oleh generasi muda Mesir Hasil dari dakwah tersebut mungkin tidak langsung kelihatan, tetapi efeknya akan bertahan jangka panjang. Hal ini memerlukan keterlibatan aktivis dakwah sekolah yang memiliki ghirah dakwah untuk menyadarkan siswa lain, atau alumnus yang memiliki concern terhadap kondisi sekolah. Banjarmasin telah memiliki lembaga semacam Iqro’ Club yang sinergis dalam upaya tersebut.

Jika persoalan valentine’s day ini dapat disikapi secara arif, generasi muda kita akan dapat terselamatkan dan menjadi generasi muda yang diidam-idamkan oleh Hassan Al-Banna: pengibar panji kejayaan. Insya Allah.
Artikel ini kami buka kembali untuk mewaspadai Valentine's Day

Impor Beras, Pembangunan Ekonomi, dan Politik Luar Negeri RI

A. Kedaulatan Ekonomi Indonesia di Persimpangan Jalan: Sebuah Pendahuluan

Gelombang reformasi telah mengawali sebuah fase baru kehidupan ekonomi Indonesia. Salah satu isu yang mengemuka dalam grand design reformasi ekonomi adalah kedaulatan ekonomi nasional yang mulai diancam oleh dua persoalan : investasi tanpa batas dan impor produk pangan.

Mengapa dua persoalan tersebut menjadi isu yang cukup menarik bagi tata perekonomian negara kita? Pertanyaan tersebut menarik untuk dielaborasi lebih lanjut karena pada saat ini kita tengah dikejutkan oleh isu impor beras. Ironis, karena sebagai produsen padi terbesar di dunia, Indonesia justru membeli beras untuk konsumsi masyarakat kita. Hal ini juga merupakan bukti dari salah kelola kebijakan pangan pemerintah. Padahal, Indonesia dulu sempat bangga atas prestasi swasembada pangan.

Persoalan lain yang juga menarik untuk diulas adalah investasi yang terlalu lebar. Kita mungkin sekarang tengah geram karena UU Penanaman Modal Asing yang dikeluarkan oleh pemerintah justru membuat investor asing –disebut sebagai korporatokrasi oleh Perkins (2004)[1]— bertepuk tangan karena mereka dapat menanamkan modal secara sangat bebas.

Apalagi, tren kebijakan pemerintah adalah privatisasi BUMN yang sekarang dijalankan secara sistematis dan periodik dengan alasan ingin memperoleh capital gain atas penjualan saham-saham tersebut. Tak hanya BUMN, beberapa aset negara lain seperti Blok Tangguh yang menghasilkan gas alam juga dijual kepada pihak asing karena alasan yang tak jauh berbeda: ingin mendapatkan fresh money dari penjualan tersebut.

Dua hal di atas sebenarnya memberi implikasi besar bagi kondisi perekonomian rakyat yang tidak didukung oleh modal besar.. Di satu sisi, pemerintah atau importir mungkin mendapat keuntungan. Tetapi, secara mikro hal tersebut justru berbahaya karena akan berakibat pada ketidakstabilan harga pasar. Posisi produk pangan domestik yang menjadi tumpuan ekonomi rakyat terancam jatuh. Ini tidak sehat bagi perkembangan usaha ekonomi rakyat dalam menghadapi era pasar bebas nanti

Dua hal tersebut menimbulkan pertanyaan, sejauh manakah keterlibatan pihak asing dalam bentuk impor atau investasi mempengaruhi usaha ekonomi rakyat yang notabene paling banyak di Indonesia? Hal tersebut akan kami elaborasi dalam paper ini.

B. Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Politik Luar Negeri

Variabel yang kami bahas di sini adalah impor dan investasi. Dua kebijakan ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dan bermuara pada paradigma pembangunan neoklasik (Clements, 1999)[2].

Pertama, masalah impor produk pangan. Dalam teori perdagangan internasional, Adam Smith dan David Ricardo mengemukakan bahwa ekspor dan impor diperlukan oleh suatu negara karena adanya spesialisasi hasil produksi antarberbagai negara. Ricardo kemudian mengembangkan teori keuntungan komparatif[3].

Lebih jauh, Friedman (1970)[4] kemudian menyatakan bahwa perdagangan internasional memerlukan penghapusan proteksi dan intervensi negara, sehingga muncullah konsep perdagangan bebas. Model kebijakan seperti ini dipotret oleh Baswir dkk. (2003)[5] sebagai backward linkage and forward linkage dalam konteks Indonesia, karena ketika diterapkan di sektor pertanian yang notabene adalah ekonomi rakyat, kebijakan ini justru merugikan petani sebagai pelaku pasar dan menguntungkan spekulan dan importir yang mempermainkan harga ketika produk pertanian diimpor.

Kedua, investasi asing. Pada dasarnya, investasi adalah sebuah hal yang diperlukan dalam memacu pertumbuhan ekonomi. GDP suatu negara dalam sisi pengeluaran akan memuat investasi yang dilakukan Hanya saja, investasi memerlukan pengaturan-pengaturan. Dalam perspektif neoklasik, intervensi negara dalam mengatur investasi ini diusahakan sesedikit mungkin (Clements, 1999).

Perspektif neoklasik tersebut mengimplikasikan adanya pasar bebas, sebagaimana konsep Friedman (1970) di atas. Dengan adanya pasar bebas, Friedman berkeyakinan bahwa standard hidup masyarakat akan bertambah sebagai trickle down effect dari adanya investasi yang kompetitif. Pasar yang dibiarkan bekerja sesuai dengan mekanisme supply and demand akan mendorong kompetisi bagi warga, dan dengan sendirinya menumbuhkan pendapatan masyarakat. Investasi akan membuka lapangan kerja, dan secara makro ataupun mikro akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun konsep ini dikritik oleh para teoritisi strukturalis yang menyatakan bahwa perlu adanya perombakan struktur sosial dan ekonomi masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Hirschmann (1964). Pendekatan strukturalis menganggap persoalan kemiskinan atau persoalan ekonomi bukan terletak pada ketidakmampuan masyarakat dalam berkompetisi, melainkan pada struktur ekonomi yang menegaskan adanya kesenjangan antara pemilik modal dan tenaga kerja, atau dalam konteks ini masyarakat miskin dan pemilik modal besar.

C. Polarisasi Pemutus Kebijakan Ekonomi Indonesia

Sebuah dilema yang terjadi dalam pembangunan Indonesia sekarang adalah menentukan keberpihakan pemerintah kepada pasar (market-state) atau kepada kesejahteraan rakyat (welfare-state). Dilema tersebut kemudian menimbulkan adanya polarisasi dalam pemutus kebijakan pembangunan dari era awal kemerdekaan.

Kutub pertama menganggap pasar (market) sebagai basis perekonomian. Kutub ini menggunakan teori pembangunan Rostow[6] yang berciri neoklasik. Aliran ini berkeyakinan rantai kemiskinan dapat diputus dengan mengendalikan stabilitas makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, investasi, atau pasar bebas sehingga akan terjadi trickle down effects kepada rakyat. Hal ini kemudian menghasilkan kebijakan pembangunan

Kutub ini diwakili oleh Widjojo Nitisastro, JB. Sumarlin, Soemitro Djojohadikoesoemo dan ekonom-ekonom lulusan University of California at Berkeley yang disebut oleh Baswir (1999) sebagai Mafia Berkeley. Seperti diutarakan oleh Lombard (1983), kubu ini sangat mendominasi pemutus kebijakan ekonomi Indonesia di Orde Baru.

Kutub kedua menganggap kesejahteraan rakyat sebagai basis perekonomian. Kubu ini disebut sebagai kubu welfare-state atau negara kesejahteraan. Kelompok ini beranggapan pemberdayaan sektor riil dengan sistem ekonomi kerakyatan berbasis demokrasi ekonomi sangat tepat dilaksanakan di Indonesia untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan memutus rantai kemiskinan.

Konsep ini berakar dari konsep berdikari yang pernah dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Berada di garda terdepan, Prof. Mubyarto dan Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (sekarang Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan) yang menelurkan berbagai gagasan tentang agenda pembangunan kerakyatan.

Terpolarisasinya paradigma kebijakan yang dianut oleh kedua belah pihak ini bermuara pada ideologi yang berbeda. Soekarno memegang prinsip-prinsip sosialisme yang diadaptasi ke dalam realitas Indonesia, sehingga melahirkan Marhaenisme.

Di sisi lain, pemutus kebijakan yang disebut oleh Baswir (1999)[7] sebagai mafia berkeley sangat terpengaruh dengan pandangan-pandangan developmentalisme yang cenderung liberal sehingga muncullah polarisasi. Pada gilirannya, perbedaan ini kemudian ditentukan oleh kebijakan yang diambil oleh presiden atau menteri.

D. Impor Produk Pangan: Bagaimana Nasib Petani?

Bangsa kita sejak dulu telah dikenal sebagai bangsa agraris, bangsa yang menyandarkan perekonomiannya pada sektor pertanian. Sebagai contoh, di Kalimantan Selatan saja produksi padi telah mencapai 313.815 ton dengan produksi gabah kering giling mencapai 1,95 juta ton (Radar Banjarmasin, 27 April 2008)[8]. Selain itu, data statistik tahun 1998 juga menyebutkan bahwa 62,7% dari 39,8 juta pengusaha yang tergolong sebagai pengusaha kecil dan mikro bekerja di sektor pertanian[9]. Ini berarti, sektor ekonomi rakyat di Indonesia terkonsentrasi di sektor pertanian.

Apa yang terjadi ketika sektor pertanian yang justru merupakan sektor vital kemudian diwarnai dengan impor beras? Volume impor beras pada era orde baru cukup fluktuatif. Akan tetapi, fenomena yang patut kita cermati adalah bahwa volume impor pada 1995 dan 1996 adalah lebih dari satu juta ton. Hal ini patut kita pertanyakan, apa yang terjadi dengan kebijakan pertanian di negara kita yang ternyata 62,7% dari 39,8 juta pengusaha yang tergolong sebagai pengusaha kecil dan mikro bekerja di sektor pertanian?

Data di atas, jika kita kaitkan dengan volume impor yang cukup besar, akan menunjukkan bahwa impor beras yang besar akan menurunkan kontribusi sektor pertanian dalam penciptaan tenaga kerja. Jika 62,7% dari UKMK pada tahun 1998 adalah sektor pertanian, kita dapat mengetahui bahwa jumlah tersebut sebenarnya menurun. Apalagi, tata niaga pangan yang dikembangkan oleh Bulog (memiliki backward linkage dan forward linkage) cenderung oligarkis karena ternyata pada akhir era Orde Baru perusahaan mitra Bulog sebagai perantara berada pada lingkaran elit kekuasaan, seperti Liem Sioe Liong atau Ayong (Baswir, 2003: 63)[12].

Bagaimana dengan sekarang? kebijakan impor beras justru menimbulkan kontroversi. Pada tahun 2005, muncul kebijakan impor beras 250.000 ton yang dianggap oleh Menteri Pertanian sebagai upaya untuk menekan laju inflasi (Tempo, 22 November 2005)[13]. Menteri Pertanian menyebut bahwa impor tersebut tidak terkait dengan stok beras di gudang Bulog, karena faktanya stok menunjukkan surplus. Kebijakan impor tersebut dibuat untuk memberi dampak psikologis bagi pasar agar harga tidak melambung terlalu tinggi.

Di berita yang lain, Kepala Bulog juga mengisyaratkan bahwa kebijakan impor juga sangat berkaitan dengan harga beras di pasar agar tidak jatuh atau tidak terlalu tinggi karena kelebihan permintaan atau kelebihan penawaran (Kompas, 24 September 2005)[14].

Pernyataan tersebut jika kita analisis memiliki beberapa implikasi.

Pertama, inflasi terjadi karena permintaan atas suatu barang bergerak meningkat. Mungkin saja, alasan pemerintah mengizinkan impor adalah untuk menambah penawaran beras sehingga harga jatuh. Namun yang mesti kita perhatikan, keputusan pemerintah untuk menambah penawaran beras berisiko menjatuhkan harga pasar. Hal ini akan berimplikasi pada kerugian yang diderita oleh petani sehingga produktivitas petani turun. Kebijakan ini sudah jelas tidak berpihak pada petani, melainkan pada pasar.

Kedua, kelebihan penawaran sebenarnya dapat diatasi dengan menambah produksi. Hal tersebut sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah dengan memberdayakan sektor pertanian dengan menambah modal para petani. Kami melihat pentingnya peranan lembaga keuangan mikro yang menyalurkan kredit produktif dengan mekanisme yang tepat dan memang menguntungkan. Selain itu, keberpihakan pemerintah pada petani melalui fasilitas-fasilitas kredit juga perlu diperhatikan.

Ketiga, kebijakan impor beras jika kita tinjau dari perspektif politik luar negeri juga akan membawa masalah. Salah satu dilema yang dihadapi oleh negara berkembang, dalam hal ini Indonesia, adalah memilih antara bantuan (aid) atau kemandirian (independence)[15]. Seperti sudah kami jelaskan, kebijakan impor produk pangan merupakan sebuah bentuk dari ketergantungan antara Indonesia dengan negara lain. Hal ini jika diteruskan justru akan memperlemah kekuatan nasional Indonesia –dalam hal ini pertanian— yang berpotensi memperlemah posisi tawar Indonesia.



Footnotes

[1] John Perkins. Confession of an Economic Hit Men (San Fransisco: Berret-Koehler, 2004).
[2] Kevin Clements. From Left to Right in Development Theory, pent. Endi Haryono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cetakan kedua).
[3] Maksudnya, dua buah negara yang berdagang akan mendapat keuntungan ketika melakukan spesialisasi produksi dengan keuntungan masing-masing. Teori ini berbeda dengan keuntungan absolut (Adam Smith) yang menyatakan bahwa spesialisasi menghasilkan keuntungan mutlak dari satu produk yang kemudian membuat satu negara tergantung dari hasil produksi tersebut.
[4] Milton Friedman. Foreign Economic Aid: Means and Objectives (London: Penguin Books, 1970) sebagaimana dikutip dari Clements, 1999, op.cit.
[5] Revrisond Baswir dkk., 2003. op.cit.
[6] Pada intinya, teori Rostow mengemukakan lima tahapan pembangunan, yaitu masyarakat tradisional, prakondisi tinggal landas, tinggal landas, pematangan, dan konsumsi massa yang bersifat besar. Lihat W.W. Rostow,
[7] Revrisond Baswir, Mafia Berkeley (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
[8] Radar Banjarmasin, 27 April 2008. Kalimantan Selatan Peringkat Dua: Peningkatan Produksi Padi di Indonesia.
[9] Adi Sasono. 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan, Makalah disampaikan dalam konferensi internasional Ekonomi Jaringan: Menuju Demokratisasi Ekonomi di Indonesia, Hotel Shangri-La, Jakarta, 6-7 Desember 1999. Diakses melalui situs www.unhas.ac.id/~rhiza/makalah/adisas.html
[10] Baswir, op.cit. pp. 63.
[11] Ibid. pp. 6.
[12] Ibid. pp. 63..
[13] Lihat Tempo, Impor Beras Buat Menahan Laju Inflasi, 22 November 2005.
[14] Kompas, Impor Beras: Pertaruhan Kredibilitas Pemerintah. 24 September 2005.
[15] Presentasi mata kuliah Politik Luar Negeri dan Diplomasi Republik Indonesia, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM, Dr. Siti Muti’ah Setiawati dan Prof. Dr. Jahja A. Muhaimin, 2008.

Mengenai Pembaratan dan “Benteng Budaya”

(Review Dennis Lombard Nusa Jawa Silang Budaya, Bab V, “Peralihan Budaya atau Penolakan?”)

Fenomena pembaratan telah menyertai masuknya budaya barat ke Indonesia. Akan tetapi, di sini muncul pertanyaan: Bagaimana respons masyarakat terhadap masuknya budaya tersebut? Apakah muncul peralihan budaya atau penolakan budaya dari masyarakat yang notabene telah hidup dengan tradisi yang mengakar? Lombard menganalisis hal ini dalam bukunya, “Nusa Jawa Silang Budaya”, Bab V.

Lombard mengulas dalam aspek kesusastraan tradisional. Pengaruh Belanda –atau londo dalam bahasa Jawa— sedikit banyaknya disebutkan dalam beberapa karya sastra nusantara dengan analogi “orang putih”. Karya sastra melayu, misalnya, menyebutkan orang Belanda dalam dua perspektif: baik dan jahat. Akan tetapi, mayoritas karya sastra tersebut mengantagoniskan karakter orang Belanda seperti disebutkan oleh Syekh Abdullah dalam karyanya, Hikayat Mareskalek. Oleh karena itu, Lombard mengakui bahwa budaya Barat dianggap asing dan akulturasi Jawa-Belanda merupakan sebuah “perpaduan yang mustahil”.

Hal senada juga diakui oleh Boeke yang mengemukakan “teori dualisme” atau Furnivall dengan konsep “plural economy”. Kedua teori tersebut secara garis besar menyatakan bahwa perpaduan budaya antara Barat dan Timur mustahil dilakukan, sehingga pembangunan hendaknya dirancang untuk masing-masing pihak saja dengan tingkat berbeda. Atau seperti dikutip oleh Lombard, “geen westerse welvaart voor de oosterse massa’s”.

Meski demikian, ternyata ada sekelompok kecil masyarakat yang tetap berusaha meleburkan dua budaya yang berbeda ini. Sebagai contoh, Lombard menyebut “kaum murtad” di lingkar istana Jawa, Topassen di Nusa Tenggara, Mardijkers di Batavia, atau kelompok-kelompok minoritas lain. Mereka mengembangkan budaya yang pada dasarnya adalah perpaduan antara budaya lokal dan barat seperti keroncong atau komedi stambul.

Bahkan pada era pergerakan, dalam bahasa Shiraishi, mereka kemudian membentuk sebuah perkumpulan politik. Salah satunya ialah Indische Partij, yang didirikan oleh dr. Douwes Dekker. Ada juga kelompok moderat seperti kelompok Indo Europeesch Bond (IEV). Namun, pengaruh ini kurang signifikan karena pada perkembangannya, mereka tetap memilih untuk menjadi orang Belanda ketika Jepang mengambil alih nusantara.

Pada akhirnya, upaya peleburan budaya lokal dan barat memang tak berhasil. Seperti kata Soemitro Djojohadikoesoemo, you just remain yourself and I just remain myself. Apalagi, sentimen anti-Belanda pascakemerdekaan menguat karena persoalan politik. Hal ini menyebabkan kaum Indo-Belanda segera meninggalkan Indonesia dan dengan demikian mengubur upaya perpaduan budaya sebagaimana diusahakan kelompok-kelompok di atas.

Akan tetapi, pengaruh budaya Barat rupanya masih meninggalkan jejak pada kepercayaan (agama) dan pemikiran. Agama Kristen –baik Katolik maupun Protestan—masih memiliki akar di negeri ini kendati bangsa Belanda telah pergi. Keberadaan Gereja telah diyakini memberi pengaruh besar bagi eksistensi Kristen di Indonesia. Berdasarkan data yang diambil oleh Lombard, ada 33 wilayah keuskupan yang dibentuk di Indonesia. Kaum Kristen juga memiliki basis sosial yang begitu kuat di beberapa wilayah.

Selain itu, pengaruh Barat ternyata juga muncul pada pemikiran modern di era pergerakan. Banyak cendekiawan baru Indonesia yang cenderung berkiblat ke Eropa sebagai implikasi dari dibukanya pintu pendidikan pada era politik etis. Aliran pemikiran baru ini dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang popular dengan Poedjangga Baru. Lombard menyebut fenomena ini sebagai “godaan dari Barat”.

Namun, tidak semua sastrawan sepakat dengan STA. Kita mengenal beberapa nama seperti Sanusi Pane atau Poerbatjaraka yang mengkritik pemikiran STA.. Namun pada perkembangannya, pertentangan budaya ini juga membawa ideologi, seperti yang terjadi pada dekade 1950-an antara Lekra yang berhaluan komunis dengan Manifesto Kebudayaan yang antikomunis, Proses dialetika ini, menurut Lombard, ternyata berlaku juga di bidang ekonomi dan politik yang ditandai dengan masuknya “Mafia Berkeley” (istilah Revrisond Baswir) ke dalam lingkaran pemutus kebijakan di era Soeharto.

Namun, rupanya budaya Barat tersebut tidak dapat menempati posisi sebagai identitas bangsa. Kesadaran nasional bangsa yang bangkit pada awal abad ke-20 telah jelas menetapkan garis yang terpisah antara dua budaya: Barat dan Indonesia. Kesadaran nasional tersebut telah dirintis oleh para pahlawan bangsa yang begitu gigih menentang penjajahan Barat. Sehingga, Lombard mengakui bahwa perlawanan-perlawanan melahirkan gejala “kembali ke sumber-sumber Timur” dari kalangan nasionalis.

Gejala ini, menurut Lombard, mulai muncul sejak era R.A Kartini. Dr. Radjiman yang pernah sekolah di Belanda juga berpendapat demikian. Pada era selanjutnya, pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana yang dianggap kebarat-baratan dikritik keras oleh beberapa tokoh seperti dr. Sutomo, Prof. Poerbatjaraka, dan Sanusi Pane. Achdiat Kartamihardja menangkap kegalauan intelektual bangsa yang cenderung kebarat-baratan dalam novelnya, Atheis.

Usaha untuk menghalangi pembaratan juga muncul dari Suwardi Suryaningrat –belakangan dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara—yang mengembangkan dasar pendidikan dengan model Jawa yang bersih dari pengaruh kolonial (Ki Hajar Dewantara sendiri sebelumnya adalah tokoh Indische Partij yang dibuang). Gerakan anti-Barat ini kemudian semakin ditegaskan oleh PNI yang jelas mengusung nasionalisme sebagai dasar pergerakan.

Nasionalisme sebagai lawan dari pembaratan, seperti diulas oleh Lombard, terlihat pada era pemerintahan Presiden Soekarno. Era tersebut memang diwarnai oleh konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian Barat yang kemudian menjadi momentum gerakan anti-Belanda. Instrumen kebangsaan mulai digalakkan, kajian-kajian budaya lebih diprioritaskan untuk “indonesianisasi tradisi Jawa” (istilah Lombard).

Momentum anti-Barat ini juga terlihat dengan pemberian gelar pahlawan kepada tokoh-tokoh perlawanan terhadap Belanda dan tokoh pergerakan. Mulanya gelar ini hanya diberikan pada tiga orang saja: Abdul Muis, Ki Hadjar Dewantara, dan Suryopranoto. Namun pada perkembangannya gelar ini juga diberikan kepada tokoh-tokoh perlawanan lain seperti Pangeran Antasari atau Si Singamaradja. Gelar pahlawan ini pada gilirannya semakin menegaskan garis pembatas antara Barat dan Indonesia, serta semakin meneguhkan nasionalisme di hati rakyat Indonesia.

Gejala “kembali ke sumber-sumber Timur” juga terlihat pada ideologisasi yang dilakukan oleh Soekarno pada era 1959-1966 yang kita kenal sebagai Demokrasi Terpimpin. Secara sistematis, Soekarno mulai memperkenalkan beberapa jargon: Usdek (UUD 1945, Demokrasi, dan Kerakyatan), Manipol (Manifesto Politik RI), atau Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Soekarno menggunakan Pancasila sebagai landasan filosofis dalam propaganda-propaganda tersebut. Soekarno sendiri, menurut Lombard, juga tenggelam dengan budaya Jawa dalam berbagai pidato dan propagandanya.

Upaya Soekarno dalam membentengi bangsa dari budaya Barat juga terlihat dengan politik berdikari yang dicanangkan. Upaya ini berarti tidak menggantungkan diri kepada bangsa Barat secara ekonomi dan dengan demikian menegaskan sikapnya yang anti Barat. Namun, langkah-langkah Soekarno ini justru semakin mendekatkan RI dengan pihak komunis yang mengundang kritik dari pihak Islam. Masyumi sebagai pihak yang begitu keras menentang komunisme kemudian dibubarkan secara sepihak oleh Soekarno.

Pertentangan antara kaum budaya Barat (disebut oleh Lombard sebagai “pemenang 1966”) yang merujuk pada Soeharto dengan budaya Timur yang diwakili oleh Soekarno kemudian mencapai klimaks pada era 1965-1966. Kelompok yang pro dengan Barat—dalam bahasa Lombard disebut sebagai “pemenang 1966”— menjadi pihak yang diuntungkan oleh krisis politik pascakudeta G30S. Mereka kembali melakukan upaya pembaratan yang dalam hal ini tidak lagi mengambil tempat pada ranah budaya, tetapi pada ranah ekonomi dan politik. Lingkaran-lingkaran elit (istilah Jalaludin Rakhmat) mulai mendominasi kehidupan.

Kelompok “mafia Berkeley” yang mendominasi lingkaran kekuasaan mulai mendominasi kehidupan. Teori pembangunan Rostow yang neoliberalistik dan pro-bantuan asing menjadi pedoman dalam pembangunan ekonomi nasional. Di sisi lain, kelompok pembela Soekarno harus tersingkir secara politis dan dibuang ke berbagai pulau terpencil.

Hal ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan baru bagi kita: sejauh manakah upaya pembaratan tersebut dapat dilawan dan dibentengi dari kepribadian bangsa kita? Lihat Bab selanjutnya dari Dennis Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Selamat belajar!