Rabu, 30 November 2011

Mengorupsi Agama?

Kementerian Agama terkorup? Bagi pembaca Kompas, mungkin berita di penghujung bulan November itu akan membuat anda terkejut. KPK melansir angka integritas kementerian, dan hasilnya angka integritas Kementerian ini anjlok, hanya sekitar 5,37%. Padahal, standard integritas pusat yang diajukan adalah 7,07%, mengisyaratkan problem gratifikasi dan korupsi yang kadung melekat pada kementerian ini.

Kompleksnya Urusan Umat
Bukan soal Kompas yang merilis berita, bukan pula soal muru'ah umat yang dipertaruhkan dalam masalah ini. Tetapi, apa benar urusan Kementerian Agama, yang seharusnya bebannya besar karena mengurusi persoalan ibadah kolektif umat,  anjlok oleh risywah -korupsi- yang justru dilarang oleh agama itu sendiri?

Banyak urusan umat yang menggantung di Kementerian Agama. Haji, Madrasah, Pesantren, Idul Fitri, Kerukunan Antarumat Beragama, Ormas Islam, dan lain sebagainya. Tak mudah mengurusi masalah itu, apakah perlu ditambah dengan masalah korupsi yang turut menjalar?

Baru-baru ini, Suara Muhammadiyah melansir tata kelola ibadah haji yang bermasalah. Mulai dari kuota, pondokan hingga konsumsi ketika wukuf, padahal jama'ah haji kita berjumlah tak sedikit, juga banyak diisi oleh orang-orang tua yang perlu perhatian.

Kita tentu tak lupa dengan korupsi soal Dana Abadi Umat yang menyeret mantan Menteri Agama ke penjara. Persoalan pendanaan ibadah haji memang kompleks dan banyak menuai masalah. ONH yang kian tinggi (ditambah yang plus-plus itu) belum lagi dengan antrean menyebabkan dana mengendap -kata seorang blogger. Ini perlu jadi perhatian sendiri.

Sejak zaman kolonial, persoalan adalah pada kapal mana yang mengangkut jamaah haji. Muhammadiyah sudah mencoba menjembatani dengan menyewa kapal sendiri waktu itu. Sekarang, persoalan bertambah kompleks seiring adanya kuota. Jadi, tanpa korupsi dan integritas yang bermasalah pun, persoalan haji sudah cukup memusingkan.

Persoalan lain di Kementerian Agama adalah pendidikan; ratusan pesantren tersebar di negeri ini, menunggu ayoman Kementerian Agama. Tak terhitung madrasah dari berbagai latar ormas yang harus mengurusi dirinya sendiri lantaran Kementerian Agama punya banyak hajatan.

Tiap tahun kita harus menonton pertunjukan itsbat, terutama ketika Idul Fitri diprediksi berbeda. Perbedaan ijtihadiy antara Muhammadiyah yang menggunakan hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal (bulan di atas ufuk) dengan NU yang menggunakan rukyat hilal secara langsung, menjadi politis ketika pemerintah memutuskan untuk menggunakan metode imkan rukyat.

Perdebatan soal pendekatan mana yang digunakan bisa saja dilakukan secara ilmiah; tetapi yang jadi persoalan adalah adanya "kuasa" dari Kementerian untuk mengarusutamakan pendekatan tertentu. Saya kira persoalan bukan pada pendekatan mana yang paling bisa diterima, tetapi pada penggunaan kuasa untuk konklusi tertentu yang akhirnya menyudutkan satu golongan.

Ini menjadi problematis: sebab Idul Fitri akhirnya jadi arena pertunjukan kuasa, bukan ajang saling-mempersaudarakan. Kementerian Agama sibuk mengurusi sidang itsbat, tetapi di mana mereka dalam penyaluran zakat fitrah, yang lebih utama sebab adalah kewajiban agama, sehingga penyaluran akhirnya diserahkan ke masing-masing masjid?

Artinya, persoalan integritas kementerian agama bukan sekadar "citra angka" sebagai kementerian terkorup, tetapi pada pembenahan kelembagaan. Kepada siapa umat ini berharap untuk urusan mereka yang sangat kompleks?

(Tidak) Mengorupsi Agama
Risywah, suap, korupsi adalah sesuatu yang dilarang agama. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud dan Tirmidzi Rasulullah menyatakan bahwa orang yang menyuap dan disuap keduanya dilaknat dalam agama. Dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah: 188, Allah telah menegaskan lagi bahwa dilarang membawa harta ke muka hakim untuk memakan harta dengan jalan yang batil.

Memakan harta dengan jalan yang batil jelas dilarang dalam Islam. Tidak ada agama yang membolehkan korupsi. Persoalan korupsi bukan sekadar persoalan "mengambil hak orang lain", tetapi juga memutus kesempatan orang lain mendapatkah hak".

Dan memang Ironis jika hal yang dilarang agama justru terjadi di Kementerian Agama. Lantas bagaimana? Apakah memang kita tidak lagi memerlukan Kementerian Agama, karena korupnya kementerian itu dengan aparatus birokrasinya?

Tentu saja tidak. Kita masih memerlukan Kementerian Agama untuk persoalan-persoalan umat yang menumpuk. Juga untuk mengatur kerukunan antarumat beragama yang kian bermasalah. Kementerian Agama masih harus "hadir" untuk menjadi "penengah", bukan justru menjadi kekuatan politik yang bermain-main dengan "kuasa".

Saat ini, kapitalisme sedang berada dalam wujudnya yang predatoris, memakan sendi-sendi mereka yang tak berpunya. Agama harus menjadi pelindung dan pengayom bagi umatnya yang miskin, lemah, dan papa. Sebab agama membawa misi pembebasan, mengeluarkan umatnya dari zhulumat kepada cahaya.

Dan pada titik inilah Kementerian Agama harus hadir. Umat memerlukan pendidikan agama yang berkualitas, oleh sebab itulah kementerian agama mesti mengayomi pesantren-pesantren dengan aparatus sumber dayanya. 

Umat memerlukan Kementerian Agama yang berada di tengah, mampu mengelola konflik horisontal, memahami keberbedaan dalam umat sebagai sesuatu yang harus dikelola agar dapat memperkaya khasanah. Bukan dengan kuasanya justru mengakumulasi sumber daya yang ada dan akhirnya menjauhkannya dari umat.

Dan korupsi adalah ekses dari akumulasi sumber daya oleh segelintir orang. Korupsi adalah "nilai-lebih" dari tindak akumulasi kapital. Jika agama jatuh pada gratifikasi yang tak sehat itu, agama dengan sendirinya jatuh pada cengkeraman kapitalisme yang kian hari kian membudaya di negeri ini. Kementerian Agama hanya menjadi alat untuk membudayakan korupsi, membudayakan sesuatu yang justru dilarang etik agama itu sendiri.

Perlu Transparansi
Menjauhkan Kementerian agama dari stigma kementerian terkorup memang berat. Saya kira, yang perlu jadi perhatian serius saat ini adalah memperbaiki pengelolaan urusan-urusan agama dengan melibatkan semua stakeholder, terutama ormas-ormas Islam. Transparansi adalah konsekuensi logis. Jangan sampai agama justru menjadi sosok gelap karena ketertutupannya, atas dalil yang dipelintir.

Akuntabilitas, terutama soal dana, kini dipertaruhkan oleh Kementerian Agama. Haruskah Kementerian Agama bubar karena gagal menjalankan misinya dalam mengemban amanah-amanah kolektif umat? Semoga saja tidak.

Umat menunggu lembaga agama yang membebaskan, bukan yang melenakan umat dengan tampilan luar yang memukau tapi korup di dalam diri. Jangan sampai, tesis Marx soal "agama adalah candu rakyat" dibuktikan justru oleh birokrat-birokrat dari Kementerian Agama itu sendiri. Mari pekikkan takbir perbaikan.

Billahi fi Sabilil Haq.

Minggu, 20 November 2011

Komunitas ASEAN Tanpa 'Keamanan'?

Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Nusa Dua, Bali, baru saja ditutup. Perundingan tersebut telah menghasilkan kesepakatan Bali Concord III yang berisi banyak pencapaian di antara negara-negara ASEAN, utamanya penguatan kerjasama di bidang ekonomi.

Menarik untuk diulas, sudah sejauh mana pembicaraan tentang kerjasama keamanan ASEAN diperluas?

Mengikuti EU?
Jika diurai dari sejarahnya, ada sebuah kecurigaan bahwa model regionalisme ASEAN akan didesain dengan mengikuti alur regionalisme Uni Eropa yang telah berjalan selama puluhan tahun -sebelum berdiri entitas supranasional dengan nama Eropa itu.

Regionalisme Uni Eropa dibentuk pertama kali oleh kerjasama ekonomi (European Coal and Steel Community) yang mengatur kerjasama antara 6 negara Eropa (kemudian menjadi founding members) di bidang industri baja dan batubara. Seting politik Eropa waktu itu adalah "Perang Dingin", dimana membentuk kerjasama pertahanan antar-negara Eropa hanya akan membuat kecurigaan-kecurigaan baru.

Oleh sebab itu, wajar jika kemudian regionalisme Eropa berkembang dengan basis kerjasama ekonomi, hingga penyatuan moneter (mata uang Euro) dan fiskal. Uni Eropa berkembang lebih sebagai supranasional -daripada sekadar regionalisme- yang mengedepankan ekonomi.

Sejarah penyatuan Eropa dalam EU sesungguhnya adalah sejarah yang sangat panjang. Sejarah peperangan dalam Hubungan Internasional, baik sebelum maupun sesudah Westphalia 1648, sangat banyak terjadi di Eropa.

Kejenuhan atas situasi yang begitu konfliktual itu membuat negara-negara Eropa menandatangani perjanjian Westphalia tahun 1648, menjadi cikal-bakal formasi negara-bangsa yang menjadi topik utama dalam Hubungan Internasional dalam jangka waktu yang sangat lama.

Tetapi, tentu saja situasi konfliktual itu tak serta-merta dapat dieliminir. Perang Dunia I dan II adalah simbol betapa konfliktualnya Sejarah Eropa. Begitu juga Perang Dingin. Ini menyebabkan pembicaraan mengenai kerjasama pertahanan pasti akan bernuansa konfliktual, bahkan membawa kecurigaan tentang ancaman-ancaman baru.

Oleh sebab itulah, titik awal kemunculan regionalisme EU adalah kerjasama ekonomi -EEC. Resesi yang terjadi berkali-kali, serta industri yang berkembang pesat menyebabkan beberapa negara melihat ini sebagai titik mula pembangunan kerjasama yang lebih baik. And it works.

Uni Eropa terbentuk dari serangkaian perjanjian di Schengen, Maastricht, hingga Lisabon. Dan konturnya semakin lama semakin mengarah pada kerjasama politik.

Dan hal ini sepertinya coba ditiru oleh ASEAN. Arah yang terlihat adalah kerjasama ekonomi menjadi prioritas, antara lain terkait perdagangan dan penghapusan visa perbatasan. Ini menandakan, ada kecenderungan untuk menekankan kerjasama ekonomi sebagai pilar utama -padahal ada dua pilar lain yang juga penting.

Sesungguhnya ada dua persoalan yang hingga saat ini masih belum clear dibicarakan di tingkat ASEAN. Pertama, keamanan kolektif yang masih menjadi wacana di tingkatan elite negara-negara kunci; Kedua, identitas ASEAN yang belum dirumuskan secara mendetail dan belum diterima di akar-rumput. Mari berfokus ke poin pertama saja.

Problem Keamanan
Bali Concord II di Bali tahun 2003 telah memberi arah baru regionalisme ASEAN: adanya tiga pilar kerjasama yang meliputi pilar politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya. Tiga pilar ini kemudian kita kenal sebagai fondasi Komunitas ASEAN, yang dipertegas kembali dalam Piagam ASEAN tahun 2007.

Penting untuk mengupas poin pertama, yaitu persoalan keamanan yang menjadi kunci dari regionalisme ASEAN. Mengapa keamanan menjadi penting? Sebab, jika kerjasama di sektor ini bisa lebih nyata ditampakkan, kecurigaan antar-negara ASEAN yang selama ini terjadi bisa segera dapat diminimalisir.

Persoalan keamanan di ASEAN adalah sesuatu yang sangat kompleks. Bali Concord II tahun 2003 sudah cukup berani mendobrak kegamangan soal isu keamanan di tingkat regional, walau pada praktiknya kecurigaan itu masih ada. Keamanan masih didefinisikan pada skala negara, bukan kawasan.

Selama bertahun-tahun, ASEAN dihadapkan pada pilihan sulit: bagaimana menghapus sikap saling curiga di antara negara anggotanya dalam masalah keamanan-politik?

Harus diakui, selama ini, ASEAN belum cukup mumpuni menyelesaikan konflik di antara negara-negaranya, terutama terkait perbatasan. Malaysia dan Singapura punya problem serius terkait air minum (Singapura disuplai dari Johor). Hubungan erat Singapura dan Israel memicu kecurigaan Indonesia dan Malaysia

Malaysia dan Indonesia bersengketa soal pulau. Thailand dan Kamboja sengketa soal kuil di perbatasan. Hegara-negara Indocina punya problem terkait Sungai Mekong. Wilayah Laut Cina Selatan sejak lama menjadi sengketa Malaysia, VIetnam, Singapura, dan tentu saja Cina.

Dan kondisi ini terjadi sering sekali, walau tidak sampai mengarah pada konflik terbuka (kecuali kasus Thailand-Kamboja). Apa yang bisa diusahakan lagi?

Persepsi "Ancaman"
Dalam keamanan internasional, poin paling penting dalam turbulensi antar-negara akan bermula dari persepsi mengenai ancaman. Thomas Hobbes menyebutnya sebagai "fear", ketakutan. Ketegangan bermula dari ancaman yang sebenarnya dikonstruksikan sendiri.

Ketika Kambodia melakukan aktivitas di perbatasan yang bersengketa, dengan alasan konservasi cagar budaya, Thailand merespons dengan mengirimkan angkatan bersenjata. Persoalannya sederhana: Thailand melihat aktivitas militer Kambodia di perbatasan sebagai ancaman, dan harus direspons pula oleh ancaman itu.

Sudah barang tentu, ancaman itu tidak muncul dengan serta-merta. Ada proses pembentukannya. Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde melihatnya dalam sebuah formula: ada existential threat dan speech act yang menyertainya.

Menurut analis mazhab Kopenhagen ini, speech act memiliki peran penting. Tanpa adanya provokasi lisan maupun tindakan, existential threat tidak akan berubah menjadi threat dan melahirkan konflik. Oleh sebab itu, tindakan provokatif, misalnya, yang dilakukan Kambodia, berubah menjadi sebuah tawaran melakukan konflik terbuka.

Dan pilar keamanan ASEAN selama ini masih tak kunjung membuka pintu untuk membahas kesalahpahaman itu. ASEAN masih harus menghadapi satu prinsipnya yang selama ini menjadi ikon keamanan ASEAN: non-interference. Mungkin maksudnya adalah untuk menghargai kedaulatan masing-masing negara, tetapi menjadi problematis karena menyiratkan kemandulan ASEAN dalam resolusi konflik internal mereka.

Seyogianya, ASEAN harus mampu mendekonstruksi ancaman-ancaman laten yang selama ini membayangi beberapa negara. Sebab, dengan laju perkembangan ASEAN di bidang ekonomi, kerjasama mesti diperluas.

Ini belum untuk menyebut identitas ASEAN yang, untuk ukuran massa akar-rumput, absurd. Sebab, transformasi lintas-budaya masih belum dilakukan, terutama untuk wilayah Indocina dan Melayu. Contoh sederhana saja: Ada berapa sih orang Indonesia yang mampu menerima budaya Melayu sebagai satu kesatuan budaya dengan Indonesia? Ketika ada klaim soal produk budaya saja, misalnya, masih muncul pro-kontra di kedua negara.

Padahal, pilar sosial-budaya ASEAN adalah pilar penting dalam Komunitas ASEAN, selain juga keamanan. Kalau tidak disikapi, model regionalisme ASEAN akan tidak berimbang.

ASEAN boleh-boleh saja mengklaim adanya integrasi ekonomi, tapi tetap terhambat karena tidak bisa mengintegrasikan aspek politik dan budayanya. Membuka konektivitas tanpa menghilangkan kecurigaan tetap akan menciptakan penjarakan tertentu.

Sehingga, dalam konteks keamanan, perlu ada perundingan yang lebih komprehensif guna benar-benar menciptakan komunitas keamanan yang komprehensif. Jangan sampai, meminjam istilah senior saya di kampus, agenda Komunitas Keamanan ASEAN hanya menjadi "talk shop" di forum-forum perundingan.

Perlu Dobrakan
Dan untuk itu, perlu ada sedikit dobrakan dari negara-negara ASEAN untuk mewujudkan masyarakat keamanan ASEAN yang stabil dan komprehensif. Secercah harapan sudah dijatuhkan ketika perundingan di Bali, tetapi apa hasil yang kita dapat?

Bali Concord III lagi-lagi belum merumuskan sesuatu yang "baru" dalam soal keamanan. Meski sudah ada kesepakatan bersama soal penanggulangan terorisme, perompakan, nonproliferasi senjata nuklir (dan pemakaian energi) hingga kejahatan transnasional yang menjadi domain keamanan manusia (human security), upaya resolusi konflik kawasan sepertinya masih menemui stagnasi.

Stagnasi tersebut dapat dilihat dari belum adanya rumusan yang memungkinkan ASEAN masuk ke wilayah konflik dengan menekan masing-masing negara. Penyebabnya mungkin sederhana: prinsip non-interference masih secara tradisional dipegang oleh negara-negara yang bersangkutan.

Dengan demikian, prinsip non-interference mengimplikasikan mekanisme penyelesaian bilateral. Kita berharap peta jalan penyelesaian konflik dapat mendobrak hal tersebut.

Belum lagi soal senjata. Perdebatan yang hangat soal nuklir memang menjadi sebuah potret ketegangan sendiri. PLTN yang dibuat oeh Indonesia, yang pada awalnya kepentingannya adalah energi, tentu akan menjadi kecurigaan di negara-negara lain, utamanya Malaysia dan Singapura. Persoalan bukan pada nuklir-nya, tapi pada ancaman konfliknya.

Oleh sebab itulah kita menantikan adaya perkembangan yang lebih signifikan dalam pembahasan soal keamanan ini. Tentu saja dengan tidak hanya bergulat pada persoalan ekonomi. Agar KTT ASEAN tidak menjadi "talk shop" bagi elit pengambil kebijakan luar negeri (foreign policy), penting bagi segenap komponen memikirkan strategi dekonstruksi ancaman secara jangka-panjang.

Dan saya percaya, masyarakat ASEAN 2015 dengan tiga pilarnya dapat menjadi sebuah awal baru untuk regionalisme Asia Tenggara yang lebih komprehensif, lebih damai.

Salam Satu ASEAN!

Banjarmasin, 20 November 2011

Pasca-Proseduralisme

Kemarin, saya berbincang dengan dua orang kawan mengenai format parlemen ideal. Kebetulan keduanya berasal dari fakultas eksakta, yang sehari-hari tidak bersentuhan langsung dengan ilmu politik.

Di sela-sela perbincangan, muncul satu pertanyaan yang waktu itu terlintas di pikiran saya, dan cukup mengganggu: mengapa bisa DPR (parlemen) Indonesia melahirkan banyak koruptor, orang-orang yang "asal-bunyi" dan sama sekali tidak punya kompetensi profesional, padahal mereka mengklaim dipilih dan mewakili rakyat ketika Pemiu?

Persoalan Sistem?
Masalah seperti ini mungkin akan menjadi daily problem bagi mahasiswa ilmu politik. Tapi tetap saja mengganggu. Pembahasan mengenai sistem politik selalu akan menceritakan masalah-masalah seperti ini, dan di kemudian hari, masalahnya akan tetap sama.

Sebagai mahasiswa yang meminati perbandingan politik, saya secara refleks tentu akan merefer ke beberapa negara lain yang sistem politiknya stabil. Katakanlah, misalnya, Australia. rekrutmen para politisi -dalam demokrasi- tentu akan dilakukan lewat jalur partai politik, lalu Pemilu. Anggota parlemen akan berasal dari mereka yang direkrut oleh Partai Politik.

Dalam seting demokrasi Indonesia saat ini, partai politik menempati posisi yang istimewa. Sistem proporsional yang diterapkan, dengan mempertimbangkan pluralitas pilihan politik masyarakat, menempatkan partai politik sebagai aktor utama. Jawabnya sederhana: sebab sistem Pemilu proporsional meniscayakan kita untuk memilih partai, atau setidaknya kandidat yang diunggulkan partai.

Dalam proses politik di parlemen, secara otomatis partai politik dan kandidat yang diunggulkannya memiliki peran dan kewenangan yang sangat besar. Hampir semua perumusan UU ditentukan oleh partai politik di parlemen yang memiliki kursi. Logika yang digunakan sederhana: partai politik memiliki legitimasi elektoral karena ia dipilih oleh rakyat, dan oleh sebab itu punya hak untuk merepresentasikan masyarakat di DPR.

Oleh sebab itu, dalam seting politik Indonesia saat ini, partai politik begitu hegemonik. Setiap proses kebijakan akan memerlukan partai politik, sehingga posisinya begitu menentukan. Lantas, apakah dengan kewenangan dan kekuasaan yang besar itu, partai politik memiliki "tanggung jawab" -atau setidaknya kontrol publik- agar para politisi yang dibawa ke parlemen itu berkualitas?

Hal ini yang saat ini menjadi permasalahan cukup besar. Pemberian wewenang yang besar pada parlemen -yang notabene dihuni oleh partai politik- tidak diiringi oleh garansi rekrutmen politik yang benar. Tidak ada mekanisme yang menyeleksi para politisi dengan mekanisme yang tepat.

Bagaimana mungkin partai yang mengaku antikorupsi dan bersih seperti PKS, misalnya, bisa memiliki politisi yang anti terhadap gerakan antikorupsi itu sendiri? Atau, mengapa masih ada sosok yang asal-bicara di partai pemenang pemilu sekelas Partai Demokrat? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi refleksi yang begitu hebat dalam diri para pemerhati politik, seperti saya.

Hanta Yuda (2010) melihat hegemoni partai ini sebagai sesuatu yang kontraproduktif dalam politik Indonesia. Sebab, sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia tidak kompatibel dengan presidensialisme karena melahirkan kekuatan politik yang fragmentaris. Indonesia menerapkan dua sistem yang, menurut Hanta, akan saling-berbenturan: presidensialisme dan multipartai. Keduanya akan berbenturan karena berpotensi saling menyandera.

Penelitian Hanta Yuda pada tahun 2006 -skripsi Sarjana- menyebutkan bahwa selama masa pemerintahan SBY-JK, secara eksternal dan internal Presiden tersandera oleh kepentingan partai, antara lain dalam pemilihan menteri, koalisi, dan lain sebagainya. Di sisi lain, banyak partai yang memainkan "politik dua kaki", menyebabkan dukungan politik terhadap pemerintah menjadi labil dan sering digoyang-goyang.

Oleh sebab itu, Hanta Yuda menawarkan rekayasa kelembagaan untuk menanggulangi problem-problem prosedural di atas. Namun, dalam konteks politik Indonesia saat ini, di mana hegemoni partai masih terlampau besar, akan muncul pesimisme baru terhadap proseduralisme. Sebab, tentu saja parta politik tidak akan serta-merta "jujur" dan "baik hati" menyerahkan prosedur yang meng-konservasi kekuasaan mereka. Zur wille fur macht, kata Nietzsche.

Dan dengan demikian, perlu rekayasa lain yang melampaui proseduralisme tersebut. Apakah studi politik sudah menjangkau bagian ini?

Hegemoni Modal
Proseduralisme mungkin mengajarkan kita bagaimana berpolitik dalam sistem yang tepat, tetapi tidak menceritakan seluruhnya bagaimana politik itu dikendalikan. Selama bertahun-tahun Orde Baru, kita mengira kontestasi politik berjalan natural -secara akademis- tetapi tentu saja ada "sesuatu yang salah" dari macam-macam cara pengendalian itu.

Indonesia sudah melampaui otoriterisme politik sejak Soeharto jatuh pada tahun 1998, Akan tetapi, apakah dengan demikian otoriterisme itu lantas hancur begitu saja dan rest in peace bersama Soeharto dan beberapa kroninya?

Gerakan tahun 1998 memang meruntuhkan fondasi rezim Soeharto dan Orde Baru, tapi tidak meruntuhkan sendi kekuatan otoriterisme lama. Sebab, meminjam Vedi Hadiz dan Richard Robison, terjadi sebuah fenomena reorganising power, rekonsolidasi kekuatan lama dalam bentuk yang baru, yang sejatinya juga diarahkan untuk totalitas kekuasaan.

Mekanisme demokratis-institusional yang dirancang untuk membangun pilar demokrasi -Pemilu- memang memberikan kesempatan bagi kelompok marjinal untuk berkompetisi. Wajar jika kemudian begitu banyak partai yang berkompetisi pada Pemilu 1999. Namun, perlu dicatat, pemenang Pemilu sesungguhnya bukan didasarkan pada simpati dan pilihan rakyat, tetapi justru pada modal yang banyak berseliweran.

Sebagai contoh, mari kita lihat data statistik. Siapa sih yang sebenarnya memenangi Pemilu dari 1999-2004?

Dari 48 lebih partai yang berlaga, tercatat hanya maksimal 8 partai yang mendapatkan kursi signifikan (di atas 20 kursi). Pada pemilu 1999, hanya lima partai besar (PDIP, Golkar, PAN, PPP, PKB) yang mendapatkan jumlah kursi signifikan. Keduanya melahirkan konfigurasi tiga aliran yang dominan sebagai arus utama politik pada waktu itu. Di tahun 2004, hasil Pemilu menambahkan Partai Demokrat dan PKS dalam konfigurasi partai tersebut. Sementara Pemilu 2009 menambahkan Partai Gerindra dan Hanura.

Dari konfigurasi tersebut, semua partai dapat kita lihat menampilkan struktur di balik posisi mereka. Golkar dan PDIP adalah potret "faksi reformis"dari kekuatan lama. PDIP di akhir Orde Baru merupakan oposisi dari kekuatan PDI yang ditopang oleh struktur kekuasaan Orde Baru. Partai Golkar adalah transformasi "Golkar Lama" yang diisi oleh faksi pemodal, menyebabkan adanya posisi politik yang sudah kuat sejak awal.

Sementara itu, PAN, PKB, PPP merepresentasikan basis Islam Kultural terbesar: NU dan Muhammadiyah. Gerindra, Hanura, dan Demokrat ditopang oleh ketokohan Wiranto, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (ketiganya mantan punggawa militer yang reformis). Dan PKS punya basis massa kelompok Tarbiyah yang menguasai mahasiswa di kampus-kampus besar (LDK/Musholla Kampus).

Dari segi basis ideologi, partai politik juga menampilkan kecenderungan untuk "bergerak ke tengah" (political centrism, Sartori) yang meniscayakan partai untuk meninggalkan basis ideologi awalnya. Mengapa? Jawabnya sederhana: karena realitas politik kini menampilkan pemilih yang tidak lagi melihat sentimen primordial sebagai referensi elektoral. Pemilih menjatuhkan pilihan pada timbangan yang bisa dikatakan lebih "pragmatis", dari segi citra, track record, atau mungkin popularitas dan apa yang menguntungkan.

Akhirnya, politik memang tak bisa melepaskan diri dari kekuatan modal. Topangan ideologis partai boleh dikatakan minim, sebab tidak semua partai menampilkan ekspresi ideologis yang khas. Citra kini lebih dominan. Dalam bahasa Eric Louw, politik sekarang sudah bergerak menuju professionalization; semua direkayasa secara profesional. Dan ini artinya, politics is about business.

Dan memang akhirnya memang menjadi satu keniscayaan jika terjadi politik uang. Sebab, meminjam Yasraf, logika politik adalah totalitas menuju kekuasaan. Semua sumber daya dikerahkan untuk mendapatkan kursi. Dengan kekuatan kapital, disertai kemampuan memoles citra, semua menjadi niscaya. Praktik politik uang kini bahkan terjadi sampai level Pilkades, jauh di akar rumput sana.

Pertanyaannya, apakah memang politik itu berbiaya tinggi? High-costed politics memang niscaya ketika demokrasi dilakukan dengan logika pasar; mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Dan tentu saja, aras politik menjadi terbuka lebih luas.

Proseduralisme kini sekadar menjadi instrumen kekuasaan. Sebab, praktik politik di parlemen telah ditentukan oleh deal-deal politik tingkat tinggi antar-elite, keanggunan citra, atau kekuatan modal yang tak terbatas. Proseduralisme dikendalikan oleh kuasa-kuasa tertentu, yang, tentu saja, bergerak mengikuti hukum dasar politik: pengerahan sumber daya menuju totalitas kekuasaan.

Dan artinya, proseduralisme harus dilampaui: dengan membongkar relasi-relasi kuasa di sekelilingnya.

Pasca-Proseduralisme
Nalar politik proseduralistis tak lepas dari jerat-jerat kuasa. Kontestasi politik kini berubah menjadi kontestasi citra dan tampilan menuju-kuasa -sesuatu yang sebenarnya tak terelakkan dalam seting demokrasi dan perkembangan teknologi. Alhasil, politik digeret "kembali ke metafisika", pada relasi-relasi kuasa yang sifatnya tidak nyata, dan memainkan kesadaran pemilih.

Dan itu artinya, pembacaan realitas politik tidak lagi hanya bertumpu pada "teori sistem" yang selama ini menjadi arus besar kajian politik kita. "Teori sistem" bukan harus dihilangkan, tetapi diperluas ranahnya melampaui kesisteman dan realitas politik nyata. Sistem politik kini menjadi ter-kabur-kan oleh mereka yang berada di luar institusi.

Pasca-proseduralisme berarti melampaui sekat-sekat proseduralistis dalam membaca realitas politik kontemporer. Artinya, bicara soal politik tak sekadar bicara sistem. Ada "kuasa" di luar sistem yang mempermainkan dan mengendalikan permainan di dalam. Tapi pertanyaannya, siapakah "kuasa" itu?

Membicarakan "kuasa" akan tampak membicarakan "perdukunan politik". Politisi itu ibarat dukun. Ia menggunakan kekuatan mistiknya untuk memanggil "roh" dan "jin", agar melakukan operasi politik. "Roh" dan "Jin" itu mengemukan dalam berbagai bentuk. Ia bisa berbentuk "agama", dalil-dalil yang dipelintir untuk kepentingan tertentu, lantas memobilisir massa untuk melayani kepentinganya. Atau dalam bentuk "citra" yang memanipulasi kesadaran rakyatnya.

Agama tampil kembali setelah lama disingkirkan oleh proseduralisme demokrasi. Tapi, alih-alih menampilkan diri secara transformatif dalam bentuk etika sosial, ia justru digunakan untuk kepentingan tertentu oleh beberapa gelintir elit. Ia bisa mengatasnamakan dakwah dan lain sebagainya. Ia masuk ke dalam proses demokrasi dan terjun dalam aktivitas sosial. Tapi ia diarahkan untuk totalitas kekuasaan. Dan artinya, berdimensi politik praktis.

Komunikasi juga tampil dalam wujud teknologi tanpa batas, menjadikannya sebagai alat pencitraan. Kesadaran nasionalisme juga ditumbuhkan, tapi secara semu saja, semua untuk totalitas kekuasaan. Dan semua variabel kini sudah diarahkan menuju ke sana. Dalam komunikasi politik, kita mengenal istilah "spin doctoring", profesional yang terjun ke politik untuk membantu tercapainya tujuan berkuasa. Akademisi tampil dalam proyek-proyek politik tertentu.

Dan artinya, tesis awal politik sebagai "totalitas menuju kekuasaan" masih dapat kita terima. Hanya saja, totalitas kekuasaan itu semakin bergerak liar, tak lagi terbatasi oleh sistem. Demokrasi yang dikerangkai oleh semangat sistem pada awalnya adalah melembagakan kekuasaan sebagai sebuah mekanisme kompetitif, agar semua berjalan fair. Tapi yang disebut fairness itu lambat laun ditinggalkan oleh monopoli kuasa.

Politik bergeser dari sekadar mekanisme demokratis menuju "persaingan rimba". Sebab, prosedur sekarang di-"akal"-i untuk kepentingan kuasa. Politics is all about interest. Karena politik hanya dipandang sebagai kepentingan, tak ada lagi pembicaraan soal etika. Prosedur berubah menjadi instrumen kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan mereka yang berpunya.

Era pasca-prosedural mengimplikasikan adanya bentuk "pelembagaan" baru melampaui institusi politik formal. Persoalan politik sejatinya tidak diputuskan di arena parlemen, dalam perdebatan yang hangat dan panjang, tapi di kamar-kamar hotel dalam pertemuan setengah-kamar. Keputusan dihasilkan dari deal-deal mereka yang berkepentingan. Dan artinya, politik direduksi menjadi sekadar kompromi elite!

Kompromi elite ini melahirkan broker-broker anggaran di kementerian yang siap menadahkan tangan untuk meng-konsumsi anggaran rakyat. Partai-partai menjadikan kementerian sebagai bancakan; memobilisasi sumber daya dari proyek yang didapat. Motifnya dua, kapital dan kuasa.

Apa dampaknya? Wajar jika politisi berjarak dengan akar rumput. Dalam seting multipartai Indonesia yang nuansanya adalah penguatan partai, penjarakan ini begitu nyata. Gaya hidup mewah dan parlente di parlemen tidak berimbang dengan kesusahan di akar rumput. Sebab, rakyat menjadi sekadar instrumen untuk dimobilisasi. Dan artinya, rakyat hanya menjadi "simbol" untuk mendapatkan legitimasi yang juga "simbolik" terhadap kekuasaan politik yang absolut!

Tantangan Ilmu Politik
Fakta-fakta ini mengantarkan kita pada diskursus politik kontemporer. Logika demokrasi berbasis competitive elitism yang kemudian membawa kita pada sebuah keniscayaan baru dalam teoretisasi ilmu politik. Bahwa sejatinya, ilmu politik harus bisa membongkar relasi-relasi kuasa baru yang menjelma dalam praktik-praktik politik dewasa ini.

Pembongkaran relasi-kuasa sebetulnya bukan sesuatu yang sifatnya "metafisis" atau "mistis". Sebaliknya, ilmu politik dituntut untuk mampu mendemistifikasi praktik politik yang "di awang-awang" -elitis- menjadi terang-benderang. Dan perlu ada pembacaan fakta yang lebih menyeluruh dari realitas politik yang terjadi.

Semangat membongkar relasi-kuasa adalah: "jangan ada dusta di antara kita". Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk melakukan pembongkaran ini.

Pertama, demistifikasi. menjadikan sesuatu yang "gelap" menjadi "terang-benderang". Artinya, politisi harus mampu menyingkap kegaiban-kegaiban politik. Dan untuk itu, relasi intensional antar-aktor perlu dibaca. Pembacaan sejarah atas praktik politik dan pendekata genealogis atas sejarah bisa menjadi alternatif wacana baru. Artinya, relasi-kuasa yang terlihat gaib dapat didekati dengan sebuah analisis yang kompleks.

Ini meniscayakan redefinisi soal "power" -yang selama ini menjadi konsep paling mendasar dalam ilmu politik. "Power" bisa didekati secara psiko-politik, how to control mind and action of other men (Morgenthau, 1948). Begitu juga konsep lain yang instrumentalistik terhadap kekuasaan, serta membongkar pelembagaan-pelembagaan politik yang selama ini dianggap sudah mapan, termasuk Demokrasi.

Kedua, desakralisasi. Selama ini, ada beberapa hal yang diperlalukan "sakral" sehingga dianggap tidak layak dibahas dalam ilmu politik, semisal agama. Padahal, agama kerap menjadi instrumen kekuasaan yang sangat efektif dalam memobilisir massa ataupun kader. Agama punya daya pengikat doktriner yang sangat kuat, sehingga jika otoritas keagamaan dikendalikan, massa yang ikut akan bisa sangat fanatik.

Ini menjelaskan mengapa mobilisasi massa yang punya fanatisme kuat dapat memenangkan satu kelompok dalam Pemilu. Sebab, demokrasi meniscayakan adanya suara mayoritas pada massa yang tidak-sepenuhnya punya kesadaran politik. Artinya, jika ada otoritas yang mampu menggerakkan kesadaran politik massa dengan sesuatu yang "sakral", massa akan bergerak. Dan hanya agama yang bisa melakukan itu.

Oleh sebab itu, strategi desakralisasi secara ontologis perlu dilakukan melalui pembacaan ulang (double reading) atas teks-teks agama. Hal yang "sakral" dan "dijadikan-sakral" perlu dipisahkan dan dibongkar. Sehingga, unsur-unsur teologis yang memang sakral dapat menempati posisinya tanpa harus tercampur dalam analisis mengenai perilaku keagamaan.

Ketiga, deteriteorialisasi atau membongkar batas kajian ilmu politik. Selama ini, kerangka kajian ilmu politik dibatasi oleh sekat-sekat disipliner dengan bidang ilmu yang lain. Padahal, ada pertautan antara ilmu-ilmu nonpolitik dengan ilmu politik sendiri dalam beberapa diskursus kajian, utamanya yang masuk dalam perumusan kebijakan publik. Ekonomi, sosiologi, pertanian, kehutanan, bahkan teknologi sekarang sudah merambah masuk sebagai bahan kajian dalam ilmu politik.

Oleh karenanya, perlu dibangun semangat interdispliner berbasis political science. Semangat interdisipliner tersebut mengajak seluruh disiplin keilmuan untuk berdiskusi dua-arah dengan ilmu politik. Arah pertama, bagaimana ilmu politik bisa mengatur tata kelola dan penggunaan ilmu tersebut untuk kemanusiaan. Arah kedua, bagaimana ilmu-ilmu nonpolitik berkorespondensi dengan kekuasaan.

Dengan semangat interdisipliner, ilmu politik tidak kekurangan kekhasannya, yaitu meninjau hubungan yang kompleks antara kekuasaan dan masyarakat. Akan tetapi, domain kekuasaan tidak hanya dibatasi hanya sekadar pada sistem kenegaraan, melainkan juga apa yang terkandung dalam negara. Oleh sebab itu, ilmu politik juga harus meninjau secara kritis pilar-pilar pendukung negara dalam disiplin ilmu yang lain.

Dalam kaitannya dengan relasi kuasa, ilmu politik juga bisa meninjau secara kritis penggunaan ilmu untuk tujuan kekuasaan, atau dalam bahasa Herbert Marcuse: ilmu yang punya tendensi ideologis. Ilmu politik diharap dapat membongkar tendensi monopoli kebenaran satu bidang ilmu yang membuatnya melayani kekuasaan tertentu. Di sini signifikansi dan kekhasan ilmu politik.

Tiga strategi ini sebetulnya hanya segelintir cara untuk membongkar relasi kuasa di atas bangunan ilmu politik. Dan artinya membangkitkan wilayah kajian baru dalam studi-studi politik yang selama ini kita lakukan.

"Ilmu Politik Transformatif"?
Dan sebagai pengakhir, kita perlu mencermati sebuah tesis baru dari Prof. Purwo Santoso mengenai "ilmu sosial transformatif" yang meniscayakan ilmu politik untuk tidak hanya turun dalam tataran teoritis, tetapi juga praksis.

Menurut Purwo Santoso, ilmu sosial mesti berdimensi transformatif. Ia tidak sekadar menjelaskan fakta-fakta sosial secara objektif, melainkan juga menghadirkan subjek dalam realitas tersebut. Berarti, ini menolak sebuah klaim pemisahan teori dan praksis.

Ilmu sosial bukan berarti penjarakan “subjek” atas “objek” yang ditelitinya. Seharusnya, subjek juga bagian dari realitas yang mengabdikan ilmunya untuk kepentingan masyarakat, dan artinya, seorang ilmuwan politik adalah ilmuwan yang bisa bermasyarakat dan mampu menghadirkan semangat berpolitik secara etis di masyarakatnya, aktif maupun pasif.

Tetapi bagaimana melakukannya secara praksis? Terkadang, opsi yang dipilih sangat simplistis: terjun ke dunia politik. Sebetulnya tidak semuanya seperti itu. Jalan lain yang bisa dilakukan adalah mengadvokasi hasil-hasil riset politik secara konkret, baik sebagai tawaran kebijakan ke atas maupun pemberdayaan ke bawah.

Riset politik dapat menjadi sesuatu yang bisa diperjuangkan, seperti tawaran Hanta Yuda mengenai rekayasa institusional guna menghindari inkompatibilitas sistem presidensialisme dan multipartai. Riset-riset sejenis bisa menjadi sesuatu yang berguna dalam pengambilan kebijakan publik atau pembuatan UU.

Dan semangat untuk melakukannya sebetulnya sederhana: jangan ada dusta di antara kita. Sudah saatnya ilmu politik membongkar kedustaan-kedustaan politik yang selama ini memanipulasi kesadaran kita sebagai pemilih. Sehingga kehadiran ilmu politik menjadi signifikan bagi teori maupun praksis politik yang ada.

Nuun wal Qalami wa Maa Yasthuruun.

Senin, 14 November 2011

Titik Balik Ilmu Politik?

"REFLEKSI TENTANG MISTIK POLITIK DAN POSTMODERNITAS"

Jikalau politik postmodern telah kita identifikasikan sebagai "kembali pada metafisika", melalui relasi-relasi kuasa yang diciptakan oleh aktor-aktornya, lantas bagaimana metafisika itu dioperasionalisasikan? Apakah "roh absolut" -seperti kata Hegel- itu hadir dan mewujudkan dirinya dalam praktik politik kontemporer? Ataukah justru ada "sesuatu" yang asing dalam dunia politik hari ini?

Kata kunci yang kita dapat pada tulisan sebelumnya adalah adanya "dukun" alias praktik mistik dalam politik pascamodern. Dukun bekerja di atas kekuatan mitis; mengoperasionalkan kekuatan politik yang metafisik untuk dikerahkan memenangi Pemilu. Oleh sebab itu, dukun perlu bergelut dengan kehidupan mistik dengan segala kompleksitasnya.

Mistik punya kompleksitasnya sendiri. Politik pun begitu. Keduanya terentang begitu jauh. Tapi bagaimana ketika postmodernitas mempertemukan keduanya?

Mitisisme
Filsafat Mistik yang terkenal adalah Henri Bergson. Dalam jangka waktu yang sangat lama, filsafat barat kental dengan dualisme mengenai materi dan jiwa. Ini kentara sekali dalam tulisan-tulisan Hegel. Filsafat dualistik, antara materi yang sifatnya fisik, dengan jiwa yang sifatnya metafisik, memisahkan "yang nyata" dan "yang tak nyata".

Henri Bergson, salah satu filsuf mistik Barat terkemuka, melihat dualisme ini ke dalam pengetahuan yang "intelek" dan "intuitif". Pengetahuan intelektual didapat oleh manusia melalui sains; penalaran deduktif manusia atas realitas "yang nyata". Namun sebaliknya, untuk melihat sesuatu yang metafisik alias "tak ternalar", diperlukan kemampuan intuitif. Pengetahuan intuitif ini diperlukan untuk melihat sesuatu yang tidak terindera secara fisik, tetapi secara eksistensial "ada".

Itulah yang menjadi jalan masuknya mistisisme. Dengan demikian, Bergson menolak saintisime, yang secara ontologis menolak sesuatu yang tak ternalar sebagai realitas. Saintisme -landasan bagi positivisme logis- memandang bahwa realitas itu adalah yang ternalar secara fisik, dalam kaidah-kaidah saintifik dan matematis. Yang tidak ternalar, alias ghoib, dianggap bukan realitas. Sebab, bagaimana kita bisa mengukur mereka yang tak terlihat?

Namun, persoalannya digeret ke wilayah eksistensialitas. Problem mistisisme tetap ada dalam wilayah-wilayah yang tak dapat ditembus akal. Dalam tradisi filsafat seperti itu, Hegel menemukan momentum dan posisinya. Ketika berbicara mengenai jiwa, roh, Hegel melihatnya secara metafisik-intuitif itu. Ia menyatakan bahwa roh itu secara eksistensial ada, tapi membicarakannya harus pada dimensi metafisik. Pembuktian saintifik menjadi tidak berguna, sebab dimensi ranahnya berbeda.

Maka dari itu, tradisi filsafat Hegelian melihat sejarah secara mistik, sebagai pengejawantahan roh absolut yang terus menemukan kesadarannya. Finalitas dari sejarah adalah ketika kesadaran roh absolut itu sempurna.

Tapi kapan? Ini mengundang interpretasi serius dari beberapa orang, semisal kaum Hegelian "kanan" di zaman Marx, yang melihat negara hukum Prussia sebagai finalitas roh absolut karena meng-kompromi-kan hukum dan kebebasan, atau seperti Francis Fukuyama yang melihat kapitalisme neoliberal sebagai "historical end" peradaban manusia.

Mistisisme yang dibangun oleh kerangka dualistik tadi kemudian coba dibongkar oleh positivisme yang menghidupkan kembali sains sebagai alat untuk menjadi rujukan apriori dalam berfilsafat. Positivisme memperkenalkan metode penalaran untuk melihat realitas. Sains menjadi kerangka utama. Sesuatu yang mistik atau esoterik (seperti agama, misalnya), harus dijauhkan dari pengetahuan karena tidak relevan dalam perdebatan saintifik.

Tetapi apakah begitu adanya? Derrida membongkar itu semua dengan menyatakan bahwa walaupun positivisme logis yang menjadi acuan saintifik dari pengetahuan itu ingin memisahkan metafisika dari sains, positivisme tersebut justru dirasuki oleh "metafisika kehadiran" (logosentrisme). Mengapa? sebab sains menjadi alat monopoli kebenaran, memarjinalkan kemungkinan "liyan" menjadi ketakbenaran.

Monopoli kebenaran berarti menyingkirkan apa yang disebut sebagai "intuisi" -dalam tradisi Bergsonian- serta menciptakan tolak-ukur metafisis sendiri atas kebenaran. Sesuatu yang dianggap benar menjadi "klaim" yang dibuat atas dasar legitimasi "sains" yang ilmiah. Herbert Marcuse, dengan tradisi teori kritisnya, menyebut klaim itu sebagai "kembalinya ideologi". Sains memang sifatnya material yang nyata, fisik, tapi klaim kebenarannya diruju secara apriori pada aksioma sendiri. "Metafisika" telah kembali, kira-kira seperti itu gambarannya.

Kembalinya metafisika itu yang menjadi aras kajian postmodern. Mistisisme yang sempat dibubarkan oleh positivisme, diproblematisasi kembali. Ketika metafisika kembali hadir dalam realitas, apakah harus tetap memegang dualisme seperti dipahami tradisi perenial dulu? Atau ada "gaya baru" metafisika dalam praksis politik postmodern?

Politik Postmodern
Kembalinya metafisika dalam aras kajian postmodern -setidaknya yang terungkap dari pandangan Derrida- membuat kita memikirkan kembali posisi metafisika dalam politik postmodern. Benarkah ada semacam gejala "metafisika kekuasaan" dalam praksis politik dewasa ini?

Politik adalah totalitas menuju kekuasaan. Seluruh sumber daya, fisik atau metafisik, dikerahkan untuk mengincar kekuasaan. Kontestasi politik adalah kontestasi kekuasaan, dengan pilar-pilar citra dan instruksi yang sebetulnya dibangun di atas fondasi metafisika. Patafisika politik, menurut Yasraf, adalah fenomena hadirnya metafisika dalam wujud "citra". Sementara satu lagi dalam bentuk manipulasi kesadaran, dalam bentuk-bentuk doktrin.

Metafisika politik mewujudkan dirinya dalam manipulasi kesadaran. Di sinilah mistik menemukan momentumnya. Dalam mistisisme, perlu ada intuisi untuk menangkap pengetahuan metafisik. Dalam tradisi kepercayaan Indonesia, kita mengenal istilah "dukun". Mereka mengoperasikan jin-jin yang diajak bekerjasama melalui rapalan mantra, untuk melakukan proyek-proyek tertentu.

Kini para politisi menampilkan dirinya sebagai "dukun". Ia mengerahkan semua sumber daya metafisik untuk memanipulasikesadaran orang lain. Dan untuk itu, ia memerlukan jenis spiritualitas tersendiri. Salah satu bentuk spiritualitas itu adalah "agama". Politik postmodern menjadikan agama sebagai alat untuk memanipulasi kesadaran; doktrin agama atau kharisma ulama menjadi alat untuk mendulang suara, memobilisir massa.

Agama dalam politik pascamodern tak ubahanya seperti rapalan mantra, untuk membangkitkan kekuatan metafisik yang akan memanipulasi kesadaran orang lain. Tujuannya adalah totalitas kekuasaan. "Agama" tidak lagi jadi basis etik-moral yang menggawangi praktik politik, tapi dilibatkan dalam citra. Ketika Pemilu, ramai orang memasang titel haji atau berfoto dengan simbol keagamaan. dan lain sebagainya, modus kekuasaan.

Ada yang menjadikan doktrin untuk merekrut anggota. Politik memerlukan sumber daya, oleh sebab itu dipakailah doktrin untuk menjerat anggota itu agar loyal. Tapi motifnya jelas adalah totalitas kekuasaan. Pengerahan sumber daya untuk menuju sesuatu.

Dan artinya, politik bisa dipotret ke dalam dua gejala. Pertama, gejala politisisme yang sangat berorientasi kekuasaan. Politik menjadi sarana bertahan hidup, sebagaimana diprasangkai Macchiavelli dan pemikir realisme. Dengan demikian, anarki adalah konsekuensi logis. Ini menjadi nyata ketika melihat praktik politik citra yang sama sekali meniadakan etika, tidak lagi berorientasi pada moralitas-etika politik yang universal.

Kedua, relasi dan pertautan kuasa yang kompleks di aras politik. Kompleksitas ini dapat dilihat pada semakin absurdnya realitas oleh lobbyu elite dan konstruksi media. Definisi mengenai "realitas" harus digeser secara metafisis karena tidak mungkin mempercayai praktik politik yang tampak nyata. Semuanya adalah realitas semu; penuh kedustaan, dan mengerahkan semuanya hanya untuk tujuan kuasa.

Dengan demikian, melihat politik saat ini sama saja dengan melihat dukun yang dengan kekuatan mistisnya bekerja untuk mendapatkan kekuasaan. Dukun itu bekerja di proyek-proyek anggaran, di kementerian, DPR, hingga kantor-kantor politik. Semua orang yang kini bekerja pada lembaga politik praktis adalah mereka yang terjebak pada pusaran mistisisme modern, yang melampaui mistisisme tradisional.

Dan artinya, pendekatan saintifik semakin diragukan untuk membongkar praktik politik yang ada. Sebab, dengan desain matematis dan positivisnya yang sangat kental, bagaimana mungkin ia dapat melihat sesuatu yang tidak tampak nyata? Bahkan, kecenderungan "spin-doctoring" yang dilakukan elite politik justru menggeret sains ke arah kooptasi; ia tidak lagi objektif, tetapi melayani kuasa tertentu.

Bagaimana Ilmu Politik?
Oleh sebab itu, dalam kerangka ontologis dan epistemologis, kita perlu membongkar kembali tradisi kajian dalam ilmu politik. Sudahkah pengembangan ilmu politik mempertimbangkan aspek metafisis di atas untuk melihat praksis politik kontemporer?

Beberapa strategi postmodern, seperti tekstualisasi politik (sebagaimana diperkenalkan Ian J Shapiro) hingga "Double Reading" bisa menjadi aras kajian baru. Melihat sebuah realitas politik bisa dilakukan melalui "double reading", pembacaan ulang atas realitas dengan menggunakan metode intertekstual (dipertemukan dengan teks lain). Realitas diperlakukan sebagai teks, yang penafsirannya tidak lagi bisa tunggal atau kasat-mata, melainkan perlu instrumen lain.

Saintisme dalam ilmu politik perlu sedikit-demi-sedikit dikurangi. Mungkin kita perlu beralih dari teori sistem, yang sangat memperhitungkan interaksi antar-aktor secara nyata, menuju aras pendekatan baru yang lebih kontemporer.  Jika tidak, ilmu politik akan semakin "usang", gagal menempatkan dirinya di antara relasi dan pertautan kuasa yang kompleks.

Secara epistemologis, tolak-ukur "kekuasaan" perlu diproblematisir kembali. Sebab, kekuasaan tidak hanya melintas dalam wujud kontestasi antar-aktor, tetapi juga di setiap ruang publik. Media, misalnya, memiliki tendensi untuk memainkan kepentingan politik sebab ia sudah menjadi bagian dari metafisika kekuasaan itu. Bahkan, pengetahuan juga sudah masuk ke ranah tersebut. Artinya, makna kekuasaan perlu kembali diredefinisi, bukan sekadar aktor formal, melainkan juga informal.

Implikasinya, ontologi ilmu politik juga perlu membicarakan hal-hal yang selama ini dianggap bukan bagian dari realitas politik, semisal media, gerakan mahasiswa, atau aktivitas masyarakat sipil. Metafisika Politik yang hadir melalui teknologi media, serta profesionalisasi politik perlu diulas secara lebih mendalam. Ini penting agar akademisi, peneliti dan analis politik kita tidak terjebak oleh konstruksi media atas fakta yang dianalisis.

Bahkan agama pun perlu diulas dalam kerangka tendensi kekuasaannya. Bentuk agama, secara substansial maupun simbol, bisa menjadi sebuah unit analisis untuk menjelaskan perilaku politik. Apakah sekadar "Islam-Islaman" (citra), idelogis (identitas) atau dalam memang dalam kerangka konseptual-ontologis (etika sosial).

Dan sebagai calon ilmuwan politik -terutama ilmu Hubungan Internasional- di masa depan, hal-hal semacam ini tentu perlu diproblematisir. Agar ilmu politik tidak terlindas oleh metafisika yang akhirnya membuatnya ketinggalan zaman. Mari bersiap untuk kajian yang lebih serius di masa yang akan datang.

Wallahu a'lam bish shawwab.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, meminati studi perbandingan politik.

Rabu, 09 November 2011

Metafisika dan Alienasi

Penghampiran Awal Menuju Filsafat Politik Postmodern


Mari kita berandai-andai: bagaimana jika politik melepaskan dirinya sama-sekali dari kekuasaan? Bagaimana jika ada orang yang secara sukarela melepaskan kekuasaan dan membaginya kepada orang lain? Bagaimana jika di dunia ini tidak ada kekuasaan?

Tapi, pengandaian itu akan segera dianggap mustahil oleh para politisi dan segera ditolak dalam proposisi ilmu politik. Terutama kaum realis. Politik itu embedded dengan kekuasaan. Argumen etika soal "baik buruk perilaku" mungkin tidak akan make sense dalam logika politik yang sifatnya totalistik; seluruh sumber daya dikerahkan untuk mengakumulasi kekuasaan.

Totalitas
Dalam pandangan umum selama ini, politik adalah totalitas. Politisi tidak memerlukan banyak teori politik untuk membuat tindakannya benar. Yang dilakukannya sederhana: mengakumulasi semua sumber daya dan mengerahkannya untuk mendapatkan kekuasaan.Yasraf Amir Piliang -mengutip John Protevi- menyebutnya sebagai "fisika politik".

Menurut Yasraf, tubuh politik dibangun oleh totalitas kekuatan—dalam aneka skala: perorangan, keluarga, kelompok, partai, geng, korporasi, sekte, bangsa; aneka jenis: kekuatan konstituen, kekuatan modal (dana, infrastruktur), kekuatan paramiliter (sayap partai), kekuatan geng (premanisme), kekuatan umat (partai berbasis agama), kekuatan militer (Orde Baru), kekuatan teknologi (negara adidaya)—yang semuanya dikerahkan membangun kekuasaan politik [1].

Dengan demikian, politik adalah upaya sistematis-pragmatis mendapatkan ‘kekuasaan’, dengan mengerahkan segala ‘kekuatan’, baik kekuatan material, modal, ekonomi, sosial, kultural, simbolik, bahasa spiritual, bahkan mistik [2]. Jika dipahami bahwa politik adalah totalitas, logikanya adalah akumulasi. Sederhananya, Kekuasaan=perkalian dari semua sumber daya yang tersedia (banyak variabel). Semakin banyak variabel, semakin besar kuasanya. Kira-kira seperti itu.

Dengan  demikian, politik adalah totalitas kekuasaan. Logika ini jelas mengesampingkan etika, sebab etika itu sifatnya membagi. Keadilan direpresentasikan dari pembagian sumber daya, bukan akumulasi (kali). Dalam perspektif etika, kekuasaan itu seharusnya dibagi dengan variabel-variabel lain agar tercipta keadilan. Jadi, etika akan melanggar prinsip totalitas; Ia hanya akan membuat kekuasaan terbagi dan dimiliki oleh kelompok lain.

Namun, paradigma sederhana soal kali dan bagi itu akan dipertanyakan karena problematis bahkan jika ditinjau dari segi "totalitas" politik itu sendiri. Jika kekuasan dipahami sebagai akumulasi, apakah ini berlaku juga untuk sesuatu yang di luar fisik? Oleh karena politik adalah totalitas, ia masuk tidak hanya pada realitas fisik, tetapi juga mistik. Sesuatu yang mistik tidak dapat hanya dinalar dari rasionalitas tunggal.

Percabangan itu terlihat manakala politik masuk pada dimensi pata-fisik: bergulat dengan citra. Ia juga akan problematis ketika masuk pada ranah meta-fisik: kekuasaan tidak-langsung. Menariknya, klaim totalitas fisik itu tidak serta merta runtuh, ia justru berubah. Totalitas itu mengubah dirinya menyesuaikan realitas yang ada.

Abad ke-21 ditandai dengan perkembangan teknologi yang kian pesat. Politik yang bertumpu pada pengerahan sumber daya mungkin dilakukan atas landasan ideologis tertentu, tapi kedatangan media melahirkan modus baru cara berpolitik; imagosentris, kata Yasraf. Politik menjadi permainan citra, manipulasi opini publik, hingga rekayasa kesadaran. Oleh sebabnya, permainan realpolitik adalah permainan kesadaran yang berdimensi metafisik.

Di aras metafisik, politik tidak lagi menampilkan dirinya sebagai akumulasi sumber daya secara fisik. Tapi, watak totalitas politik itu tetap ada. Ia tetap mengerahkan sumber daya yang ada, tapi tidak lagi secara fisik, melainkan melalui perantara-perantara tertentu. Dalam analogi sederhana saya, politisi bertindak sebagai "dukun"; ia memakai rekayasa kesadaran oleh "makhluk ghaib" untuk menuju kekuasaan.

Metafisika
Dalam literatur filsafat, ada satu nama yang sepertinya sering dilekatkan dengan metafisika: Hegel. Pandangannya soal sejarah dan kesadaran sangat dipengaruhi oleh satu konsep metafisika, yang ia sebut sebagai "roh absolut". Ia melihat sejarah sebagai ranah roh absolut menemukan kesadaran-dirinya, dalam bentuk kebebasan.

Sejarah adalah pengejawantahan roh absolut dalam pencarian kesadarannya, dalam bentuk relasi trilogi tesis-antitesis-sintesis; dalam jalinan hubungan yang rumit.

Tentu saja tak ada yang tahu, siapa atau apa yang disebut oleh Hegel sebagai "roh absolut" itu. Apakah ia adalah Tuhan, sebagaimana dipahami oleh umat beragama? Memprasangkai roh absolut sebagai tuhan jelas keliru, sebab dalam kacamata Hegel, roh absolut ini senantiasa memperbarui kesadaran dirinya dalam relasi sejarah yang dialektis.

Tapi jika bukan tuhan, apa itu roh absolut? Ini yang menjadi titik perdebatan filsuf pasca-Hegel, dari Marx yang melakukan penentangan atas metafisika Hegel ini hingga Derrida yang mencoba membongkar kembali konsep tersebut melalui "metafisika kehadiran" (logosentrisme)-nya.

Metafisika menghampirkan dirinya pada sesuatu yang "melampaui-kenyataan". Ia jelas tidak bisa dibilang tidak nyata, tetapi tak dapat ternalar dalam rasionalitas. Ketika bicara soal "jin", misalnya, susah untuk menalar bentuk dan wujudnya. Tapi sebagai sebuah fakta, ia ada. Begitu juga dengan dukun. Mereka "beyond-rationality".

Walau sering dibilang usang, pra-modern, atau sejenisnya, namun bentuk-bentuk kuasa metafisik itu sepertinya sering sekali hadir saat ini. Terutama dalam praktik politik yang kompleks. Kuasa-kuasa metafisik itu seakan-akan dihadirkan kembali oleh para elite untuk melempangkan jalannya dalam kekuasaan.

Kuasa metafisik pertama hadir dalam wujud "citra". Yasraf, meminjam Braudillard, membahasakannya sebagai "pata-fisika politik" [3]. Citra bermain di ruang bawah sadar manusia, mempermainkan kesadaran politik warga untuk terpukau oleh balutan instrumental-artifisial yang kini menjadi sebuah pesan politik. Eric Louw, ada istilah "political professionalization"; manajemen impresi -dalam bahasa komunikasi politik- menjadi sebuah ranah politik baru [4].

Citra adalah tampilan dari sebuah permainan; relasi-kuasa yang kompleks di luar sana. Citra membuat seseorang yang pada dasarnya sama dengan manusia lain, ditampilkan dengan lebay. Biasanya citra dibentuk oleh tindakan artifisial. Sesuatu yang tanpa-substansi sebetulnya bisa menjadi sangat memukau dengan bantuan citra.

Kuasa metafisik kedua dapat kita jumpai dalam bentuk-bentuk instruksi. Jika "citra" memainkan alam bawah sadar melalui impresi, instruksi memainkan kesadaran kita melalui doktrin. Ada doktrin yang diinternalisasikan melalui praktik-praktik tertentu untuk melahirkan sebuah kesadaran "baru" -yang bersifat semu- untuk menjadikan doktrin sebagai alat berpijak.

Dengan demikian, doktrin menjadi instrumen kekuasaan. Pada mulanya, ia adalah instrumen untuk membentuk karakter, biasanya dalam organisasi kader. Akan tetapi, ketika organisasi bersentuhan dengan ranah politik -yang berarti menjelmakan kekuasaan sebagai tujuan- doktrin itu berubah fungsi. Ia adalah alat untuk "mengerahkan sumber daya" menuju totalitas tertentu. Dan doktrin menjadi "jin-jin" baru yang bertugas mengantarkan mantra yang dibuat sang dukun agar semua kuasa (forces) dapat dimobilisasi.

Jika proses indoktrinasi sudah kuat, mobilisasi melalui instruksi akan lebih mudah dilakukan. Oleh sebab itu, instruksi tidak akan dipandang rasional atau tidak, tetapi justru sesuai dengan doktrin atau tidak. Jika yang menerima instruksi tidak kritis, terjebak pada kekakuan dan kesadaran palsu (false consciousness) ia hanya akan menerima doktrin tanpa reserve. Dan artinya, dalam bahasa agama, akan men-taklidi siapa saja yang membuat doktrin.

Kuasa metafisik ketiga adalah kuasa primordial. Jenis kuasa ini biasanya terjadi pada tataran massa dan di masyarakat yang sudah melek informasi, sudah mulai ditinggalkan. Biasanya, kuasa primordial dilakonkan oleh politisi yang mengincar simpati atas dirinya melalui identitas-identitas kolektif, yang tidak bermuatan intelektual, melainkan kesamaan identitas primordial.

Kuasa primordial dibangun di atas etnosentrisme. Ia akan mudah digerakkan jika ada momentum yang menyentuh sisi psikologis seseorang. Misalnya, nasionalisme sempit. Operasionalisasinya akan mengotak-ngotakkan. Ini sebenarnya rawan karena akan berpeluang menggerakkan kekerasan massa. Dus, perlu dihindari dalam perspektif etika.

Alienasi
Lantas, bagaimana kuasa-kuasa metafisik dalam politik itu berjalan? Jika kembali pada proposisi awal teks, politik adalah jalan menuju totalitas. Ia pasti akan mengerahkan semua sumber daya menuju satu titik: kekuasaan. Dan metafisika hadir untuk menyentuh titik-titik ketaksadaran agar dapat diarahkan pada titik utama yang ingin dituju.

Politik yang berdimensi metafisik akan dikelola oleh "dukun-dukun". Para politisi yang menggunakan citra, instruksi, atau ikatan primordial untuk mengerahkan sumber daya tak ubahnya dukun yang memanggi jin-jin untuk menjalankan tugasnya. "Dukun" ini bermain di wilayah ketaksadaran dan menggunakan instrumen fisik, macam uang atau sumber daya, agar dapat masuk ke ranah metafisik.

Akan tetapi, seseorang tidak serta merta bisa menjadi dukun. Ia harus memiliki "keahlian" tersendiri, yang sifatnya "para-normal", untuk bisa mengoperasionalisasikan kekuatannya. Untuk mendapatkan kekuatannya itu, ia harus meng-alienasi diri; memencil ke gua-gua tertentu, tempat-tempat pesugihan atau semacamnya agar kekuatannya bisa tambah digdaya.

Konsep yang perlu dielaborasi adalah "alienasi". Pengasingan-diri. Konsep ini sering muncul dalam istilah sufistik sebagai tazkiyatun-nafs, pembersihan Jiwa. Tetapi, juga muncul untuk menceritakan kondisi buruh di era kapitalisme. Konsep ini diajukan Marx untuk melihat formula agama. Dalam Introduction to A Critique on Hegel's Philosophy of Rights, ia melihat konsep metafisika sebagai konsep yang mengasingkan manusia dari realitasnya; Sebab itu, ia melihat "agama" sebagai candu [5].

Saya tak akan melihat konsep "candu"-nya Marx. Tetapi, jelas bahwa untuk masuk ke aras metafisik, ia harus mengasingkan diri terlebih dulu. Bagaimana caranya mengasingkan diri, dalam konteks politik? Salah satu jalan adalah dengan menjadi "elite". Menjadi elite dalam aras politik kontemporer adalah memencilkan diri dari rakyat. Dengan jalan itu, ia bisa mengerahkan sumber daya kekuatannya tanpa harus takut membaginya dengan rakyat. Politik dimainkan dalam totalitas permainan.

Dengan menjadi elite, sumber daya yang ingin dicapai melalui metafisik dapat digunakan.Aji digdaya yang dipunya adalah kesaktian untuk mengorganisir tanpa harus terlibat di garis depan; dan toh ia yang bisa menguasai semuanya. Kesaktiannya, untuk itu, digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Dan banyak bentuk kesaktian yang mewujud dalam realpolitik.

Dalam konteks metafisika citra, misalnya, sumber daya berupa uang, tenaga profesional, media, impresi massa, dan lain sebagainya dapat diatur dari belakang. Politisi tak perlu khawatir skandalnya dibongkar asalkan citranya bagus. Oleh sebab itu, sikapnya menjaga citra akan menyelamatkan dirinya dari lawan-lawan politiknya.

Dalam konteks metafisika instruksi, ia bisa memegang sumber daya berupa otoritas. "Dukun" politik perlu otoritas untuk melegitimasi tindakan politiknya, dan memastikan doktrin yang ia berikan diterima sehingga rasionalitas tindakannya tak dipersoalkan. Dengan demikian, ia dapat memberi instruksi dan melakukan seting agenda atas massa di bawahnya.

Sementara dalam konteks metafisika primordial, sumber daya identitas dan kedekatan emosional warga dapat diaktivasi melalui manajemen isu. Oleh sebab itu, ia mesti memencil menjadi elite, dan perlu tenaga untuk me-manage issue agar mendorong massa turun. Ia tidak perlu ambil bagian, hanya mengarahkan kesadaran. Hal-hal seperti ini, kendati tidak terlihat di level nasional, kadang masih terjadi di level daerah.

Alienasi akan semakin kokoh dan kuat mengendalikan kuasa metafisika yang digunakan jika ia bisa mengendalikan massa/kader di bawahnya. Dalam seting masyarakat yang fanatis, ikatan primordial yang digunakan. Dalam seting masyarakat yang terstruktur/organisasional, instruksi dan doktrin yang dipakai. Adapun dalam seting masyarakat yang kritis, citra yang dikeluarkan.

Praktik politik kontemporer, di kampus ataupun realpolitik, hal-hal semacam ini masih dapat disaksikan. Kita bisa melihat, misalnya, bagaimana kandidat yang tidak punya kapasitas, karena dia punya massa, bisa memenangkan pemilu. Atau, ia yang sebenarnya tingkat ke-"elite"-annya tinggi, dipilih masyarakat. Semua tentu dibangun di atas kuasa metafisik yang melampaui rasionalitas.

Istilah beberapa kawan: "kalau botol saja dicalonkan, niscaya akan menang". Jelas, untuk memenangkan botol itu, ia perlu kuasa metafisika. Dan kuasa metafisika itu dikendalikan oleh dukun-dukun yang memencil, menjadi elite. Dengan menjadi elite, "jin-jin" politik dapat dikerahkan untuk menuju kekuasaan.

Relasi-Kuasa
Dalam aras yang moderen seperti sekarang, mungkin akan sulit dipercaya bahwa metafisika menemukan momentumnya kembali. Klaim-klaim bahwa semuanya diatur berdasarkan kalkulasi matematis akan menemui pembuktiannya sendiri. Bisakah matematika -yang digunakan sebagai instrumen untuk membedah teori-teori fisika- membongkar kuasa metafisik di atas?

Jean-Francois Lyotard sudah memperingatkan kepada kita bahwa saat ini adalah saat dimana modernitas menjadi absurd [6]. Arsitektur modernitas akan kembali dibongkar oleh relasi-kuasa yang posisinya metafisis. Oleh sebab itu, jalan untuk memahami realitasnya adalah dengan membongkar kuasa-kuasa metafisik itu, yang diklaim sebagai "kebenaran" oleh kelompok tertentu, secara kritis. Derrida menyebutnya sebagai "metafisika kehadiran" [7].

Membongkar relasi-kuasa bukan berarti menihilkan semua argumen tentang "kebenaran". Justru, membongkar relasi-kuasa berarti membuka kemungkinan akan adanya kebenaran baru. Hanya saja, klaim kebenaran tak perlu diklaim tunggal dan memarjinalkan makna lain; Ia seharusnya membiarkan dirinya terbuka, diinterpretasi, dan dikembangkan menjadi modus kebenaran baru oleh orang lain. Ini kalau kita pakai dalam konteks politik.

Membongkar relasi-kuasa yang metafisik itu berarti membuka semua kemungkinan. Dan itu maknanya, membuka tabir yang menyelubungi realitas. Dukun-dukun harus diungkap kepentingan dan motifnya -jika tidak memungkinkan membuka identitasnya- dan itu berarti menggelar subversi terhadap siapapun yang menggeret kuasa metafisik itu.

Dan, menurut saya, mungkin ini yang menjadi salah satu kehendak postmodernisme. Klaim metafisika Hegel tentang "roh absolut" yang final di akhir sejarah, akan dibongkar dengan gagah oleh kuasa yang bebas dan merdeka. Agak tepat, mungkin, jika saya menggunakan istilah yang sempat menggema tahun lalu untuk membedah metafisika politik ini: jangan ada dusta di antara kita.

Politik bisa jadi adalah pengerahan sumber daya (kuasa) secara total untuk kekuasaan. Tapi tentu saja jangan ada dusta di antara kita mengenai relasi-relasi kuasa itu.

Nuun wal qalami wa maa yasthuruun.


-----
Catatan Kaki

[1] Yasraf Amir Piliang, "Patafisika Politik", Kompas, 6 Juni 2009.
[2] ibid.
[3] ibid.
[4] Eric Louw. The Media and Political Process. Sage Publications, 2010.
[5] Karl Marx. "Introduction". A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right. Paris, Deutsch-Französische Jahrbücher, 1844. diterbitkan ulang oleh Marxist Internet Archive http://www.marxists.org/
[6] Jean-Francois Lyotard. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. 1979.
[7] Muhammad Al-Fayyadl. Derrida. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Selasa, 08 November 2011

"Mengaji"

AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR [*]

Dua tahun silam, Aliman Syahrani, Ketua PD Pemuda Muhammadiyah HSS, pernah menulis soal dikotomi belajar agama [1]. Seakan-akan, kalau belajar agama atau "mengaji" itu harus di tempat tertentu saja (yang benar). Itu menjadi sebuah titik kritis tentang pemilihan tempat pengajian, yang dianggap atau diklaim sebagai tempat atau organisasi pam-bujur-nya, pa-harat-nya, pa-Islam-nya, pa-alim-nya,  dan lain-lain yang, menurut Aliman Syahrani, melambangkan chauvinistic doctrine.

Benarkah hal tersebut? Apakah memang "mengaji" itu harus tunduk dan taat pada ustadz atau guru, karena memang beliau yang punya otoritas tunggal?

****

Dalam hidup saya, ada beberapa definisi terhadap istilah "mengaji". Kata ini memang memiliki beberapa arti dengan latar belakang massa keagamaan yang berbeda.

Makna "mengaji" pertama muncul ketika saya masih kecil, yaitu "membaca Al-Qur'an". Sejak TK, saya disuruh orang tua untuk belajar mengaji di Langgar Al-Fitrah, dekat rumah. Mulai lancar membaca Al-Qur'an ketika SD. Terus hingga wisuda TK Al-Qur'an kelas 5 SD, lantas dilanjutkan belajar mengaji berlagu sampai SMP. Dalam kurun waktu tersebut, kata "mengaji" didefinisikan sebagai belajar membaca Al-Qur'an, dari soal makharijul huruf sampai seni membaca dengan tartil dan tilawah yang diajarkan guru mengaji.

Makna "mengaji" kedua muncul ketika saya SMA. Waktu itu, saya mulai aktif di forum "pengajian" agama di mesjid-mesjid. Waktu itu saya mulai ikut pengajian fiqh Ustadz Fathurrahman Gazali (sekarang jadi penceramah di Kauman) di Mesjid Al-Jihad, tiap malam Senin ba'da Maghrib. Aktivitas itu mulai saya lakukan ketika kelas 3 SMP. Istilah mengaji kemudian berubah menjadi "mengikuti ceramah agama". Jadi, kalau ada istilah mengaji di Mesjid, itu artinya sekarang mengikuti pengajian keagamaan di Mesjid. Dan sifatnya umum.

Sementara itu, makna "mengaji" ketiga saya kenal ketika kuliah, ketika saya bersentuhan dengan komunitas tarbiyah. "Mengaji" di sini ya forum halaqah atau sel perkaderan Tarbiyah. "Mengaji" fungsinya memisahkan insider dan outsider kader. Jadi, kalau ingin bersua dengan sistem di Tarbiyah yang kompleks itu, jalannya adalah "mengaji". Sayup-sayup terdengar ada yang mengatakan bahwa "ngaji" itu wajib, tapi toh itu khusus untuk kader Tarbiyah saja, tak berlaku bagi saya.

Jadi, ada tiga makna kalau kita bicara soal "ngaji". Intinya belajar agama, tapi makna yang dibawa lebih kompleks dari itu. Saya akan berfokus pada makna kedua dan ketiga, yang berbicara agama secara lebih utuh dan memusingkan.

****

Terlepas dari soal identitas primordial "jama'ah" atau organisasi, mengaji sesungguhnya punya latar sosiologis, historis, dan kultural tersendiri dalam konteks ke-Indonesia-an.

Istilah "mengaji" dikenal luas di kalangan "santri" -dalam makna sosiologis [2]. Istilah ini bermakna "menuntut ilmu" bagi orang yang mengaji, atau pengabdian masyarakat bagi yang memberi pengajian. Mengaji biasanya dilaksanakan di Masjid atau pondok pesantren. Hubungan antara Ustadz yang memberi pengajian dan peserta pengajian adalah relasi keilmuan, artinya ada "sesuatu" yang diberikan dalam konteks keilmuan oleh ustadz yang bersangkutan.

Dari latar kebahasaan, ada dua kata yang dekat dengan "ngaji". Pertama, aji yang di zaman pra-Islam berarti kesaktian. Mengaji berarti mendalami kesaktian tertentu sehingga ia punya keahlian tertentu di bidang bela diri atau sejenisnya. Kedua, ngadino atau belajar agama. Ngadino asal katanya yaitu diin, yang memang terjemahannya agama. Istilah ini dikenal dalam masyarakat Jawa.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, istilah ini berbeda karakter dalam masing-masing komunitas. Muhammadiyah, NU, Tarbiyah, HTI, Persis, dll. masing-masing punya karakter pengajian tersendiri. Kita bisa ambil contoh pada Muhammadiyah, NU, dan Tarbiyah yang jelas-jelas berbeda karakter pengajiannya. Setiap level punya karakter tersendiri.

Di kaum nahdhiyyin, misalnya, mengaji terasa tak afdhal tanpa membaca kitab, baik kitab klasik ataupun kitab ulama-ulama lokal. Jika pengajiannya di masyarakat, biasanya tema-tema yang sesuai dengan kondisi. Penyampaian biasanya disisipi humor segar. Ciri khas kaum Nahdhiyyin adalah melestarikan budaya, yang biasanya terintegrasi dalam penyampaian pengajian agama.

Namun model pengajiannya akan berbeda di komunitas Muhammadiyah. Ciri khas pengajian di sini adalah adanya sesi tanya jawab dan penekanan yang kuat pada dalil Al-Qur'an serta Hadits. Muhammadiyah mengajarkan untuk kembali pada Al-Qur'an dan Hadits. Purifikasi tersebut kemudian diaplikasikan dalam ijtihad sosial dan pengembangan pendidikan. Oleh sebab itu, pengajian Muhammadiyah nuansa ilmiahya lebih kental ketimbang nuansa kultural.

Dan di sini jama'ah pengajian memang diberi ruang kesempatan untuk bertanya, klarifikasi, bahkan mengoreksi ustadz, karena penceramah bukanlah orang yang paling tahu, tetapi sama-sama mengkaji berdasarkan ilmu yang dimiliki. Jadi, tak jarang jama'ah banyak menghujani ustadz dengan banyak pertanyaan dalam beberapa kesempatan.

Di komunitas tarbiyah, sepengetahuan saya, basis pengajiannya adalah pada sel, bernama halaqah. Pada model pengajian halaqah ini, nuansa ukhuwah antar-anggota dan ideologisasi ajaran keagamaan lebih kental. Sehingga, soliditas dan solidaritas kelompok ini kuat.  Tak heran jika komunitas ini melahirkan struktur kelompok yang homogen dan menyamakan basis-basis karakter anggota -kecuali mereka yang "bandel"-dan komunikasi struktural kuat. Pengorganisiran juga tak jarang melalui halaqah.

Sementara di kalangan Salafi, pengajian adalah menu rutin. Biasanya, pengajian adalah sarana ideologisasi sebab menekankan beberapa materi tertentu yang homogen. Modelnya hampir sama dengan pengajian Muhammadiyah, hanya saja penekanan ideologisasinya tertentu. Tidak ada jama'ah yang melakukan klarifikasi kepada ustadz, karena memang relasi mereka adalah antara guru dan murid yang belajar dan mengajarkan ilmu.

Susunan materinya kuat di hadits, tapi keras dalam praktik. Bid'ah sangat dibenci dan diperangi. Itulah sebabnya, jama'ah Salafi sangat menguasai hadits dan cukup keras dalam bersikap kepada Ahlul Bid'ah, sebab penekanan itu memang sering dilakukan di pengajian.

Dengan demikian, tujuan dan jenis pengajian di masing-masing komunitas berbeda. Ini belum termasuk basis Persis, Al-Irsyad (yang mungkin relatif sama dengan Muhammadiyah), Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, dan lain sebagainya. Lantas, dengan keberagaman ini, apakah memang kita harus menspesialisasi diri mengaji hanya di satu komunitas, yang berarti membuka kesempatan fanatik, atau seperti apa? Bagaimana menyikapinya?

*****

Pemaparan di atas telah memberikan sebuah gambaran bahwa Islam itu sesungguhnya tidak bisa dimaknai tunggal. Selalu ada pluralitas penafsiran di dalamnya. Persoalannya, semua yang "plural" itu punya sandaran nash sendiri-sendiri, dan dikesankan satu sama lain terjadi fragmentasi. Ini yang repot.

Persoalannya ada pada ummat. Apa yang harus dilakukan? Dalam konteks ini, ummat berada dalam kondisi memilih (ikhtiar). Oleh sebab itu, perlu ada beberapa sikap yang perlu dikembangkan dalam menghadapi pengajian-pengajian yang semakin marak. Ini murni perspektif saya.

Pertama, penting untuk menumbuhkan sikap diri yang selektif dan klarifikatif terhadap kebenaran ketika mengaji (belajar agama). Sikap "memperbandingkan paham agama" -meminjam istilah KH Mas Mansyur- perlu dilakukan, yaitu membandingkan kajian agama di satu tempat dan tempat lain dalam permasalahan yang sama. Pada gilirannya, nash-lah yang akan menjawabnya. Dan kita bisa melihat kebenaran bukan pada orangnya (tidak fanatik), melainkan pada maksud dan isi penyampaiannya.

Kedua, menghindari mistifikasi dan kultus individu adalah penting ketika kita belajar agama. Ketika mengikuti forum2 kajian nama, penting untuk tidak menganggap bahwa "yang mengajar" adalah paling suci, paling benar. Tidak. Mereka bukan sumber kebenaran, sebab sumber kebenaran adalah Al-Qur'an dan Hadits. Mistifikasi dan kultus bisa menyebabkan fanatik. Dan fanatisme mengarah pada sikap mengklaim kebenaran sendiri padahal ia sendiri tak tahu dasar dan dalilnya apa.

Apa yang disampaikan ustadz ketika kajian agama, di manapun tempatnya, tidak semuanya benar. bertanyalah jika mampu. koreksilah jika perlu. Jangan terima mentah-mentah, gunakan akal dan nash untuk mencernanya. Ini yang saya sebut sebagai sikap "beragama secara kritis".

Ketiga, mengembangkan sikap beragama secara ilmiah, selain kriutis. Belajar agama secara ilmiah berarti mengacu pada sumber kebenaran dan bisa memilah mana "fakta" (nash) dan mana opini dari pernyataan ustadz. Ayat Qur'an itu fakta, tapi penjelasan dari ustadznya adalah opini yang mesti senantiasa kita perbandingkan dengan ceramah di tempat lain.

Nash Al-Qur'an bernilai mutlak, absolut, tapi opini dari penceramah adalah bersifat relatif. Sehingga, opini dan penjelasan tadi yang perlu diuji, apakah dengan pertanyaan, klarifikasi, atau perbandingan dengan tempat lain. Jama'ah mesti bisa memilah dan memilih, mana yang merupakan fakta (termasuk kemutlakan nash) dan mana yang hanya bersifat opini dan interpretasi. Perdebatan tentu dilakukan di ranah yang kedua.

Keempat, seperti petuah KH Mas Mansyur dulu, senantiasa memperluas paham agama [3]. Ini juga merupakan satu bentuk sikap beragama ilmiah. Sebagai pencari ilmu, kita hendaknya terus mencari dan mencari tanpa finalitas, sebab ilmu itu luas, tak berujung, dan perlu dipisahkan mana kebenaran dan mana yang tidak, mana yang fakta dan mana yang opini, dan mana yang bisa dipertanggungjawabkan mana yang tidak. Dan melihat dalam multi-perspektif, bukan ketunggalan.

Ilmu dan pengetahuan tentu tidak akan datang jika tidak dicari. Dan keduanya juga tidak datang hanya pada satu pintu. Oleh sebab itu, sikap terbaik, menurut saya, adalah memperluas pemahaman keagamaan kita dengan terus membuka wawasan. Tetapi, perlu ada "filter" yang menyaring wawasan tersebut. Itulah daya kritis dan pengetahuan dasar keagamaan yang kita miliki.

*****

Allah sudah menyediakan Al-Qur'an dan ada pula hadits-hadits nabi. Jika masalahnya terjadi pada ranah ibadah mahdhah atau aqidah, yang memerlukan legitimasi nash secara tekstual, pendekatan yang digunakan adalah merujuk pada dua sumber primer tadi. Sebaliknya, jika permasalahannya terjadi pada ranah muamalah, kita bisa mengupas dengan mengembangkan pendekatan dan teori secara lebih kontekstual.

Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang terkenal itu: "Al ashlu fil ibadah al man'u hatta yadullu dalil  'ala fi'lihi';Wal ashlu fil mu'amalah al ibahah hatta yadullu dalil 'ala  tahrimihi". Hukum asal dari Ibadah adalah dilarang sampai ada dalil/landasan untuk melakukannya, dan hukum asal dari Mu'amalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya. Kitab masalah lima menjelaskan ini secara lebih detail.

Untuk itulah, berarti sikap dalam "mengaji" bukanlah sikap menunggu, melainkan mencari. Al-Juwaini pernah mengatakan, menuntut ilmu itu perlu nalar yang  keras dan perjuangan yang sulit dan lama (jahd an-nafs wa badzl al-qarihah) [4]. Mengaji adalah mencari; dan untuk itu, berpikir kritis dalam pengajian menjadi keharusan. Jika hanya diterima mentah-mentah, tentu akan berpotensi menjatuhkan kita pada taqlid dan fanatik buta.

Lantas, bagaimana dengan adab? Kita tidak perlu mempertentangkan adab menuntut ilmu dengan kritisisme dalam mencari ilmu. Hal yang pertama perlu diposisikan adalah bahwa ustadz yang memberi ceramah adalah manusia biasa; mereka juga bisa salah. Namun, dalam konteks keilmuan, posisi mereka adalah guru yang mesti dihormati, namun bukan tak mungkin dikoreksi. Menghormati guru adalah dengan melakukan koreksi tetapi dengan cara yang baik.

Cara yang baik itulah seni yang harus dipelajari oleh penuntut ilmu. Dalam beberapa kesempatan pengajian di Banjarmasin, justru jama'ah yang melakukan koreksi dengan meng-compare ceramah dengan hadits dan ayat yang ada. Akhirnya, dengan argumentasi nash itu, sang ustadz melakukan kajian ulang, bahkan ada yang sampai merevisi. Dan itu sah-sah, keduanya tidak menunjukkan ego ketinggian ilmu.

Tanpa adab, ilmu akan sulit masuk. Tapi tanpa daya kritis, ilmu hanya akan menjadi "racun", tempat orang menjadikan opininya sebagai kebenaran tunggal hanya karena mengutip ayat Al-Qur'an. Tentu itu tidak kita inginkan. Adab berjalan sebagai sikap positif menghargai posisi orang yang berilmu; tetapi kritisisme adalah pendukungnya. Adab yang disertai rasa kritis akan menjadikan pengajian berjalan secara lebih ilmiah dan nyaman.

Sebab itu, sikap-sikap positif dalam pengajian perlu kembali dikembangkan. "Mengaji" bukan sekadar menyerahkan diri kita secara total untuk dicuci otaknya, melainkan tempat menempa kesadaran dan keberpikiran. halaqah tarbiyah bisa saja mengideologisasi pikiran kita tentang jamaah, tapi sebagai penuntut ilmu, kita harus kritis dan terus memperluas paham agama agar ideologi tersebut tidak sesat ontologis, terutama dalam penyampaian.

Inilah yang mendasari adanya beberapa majelis seperti Tarjih di Muhammadiyah atau Hisbah di Persis: untuk memastikan bahwa pengajian itu jalan, tetap mengacu pada teks, tetapi juga bisa menjadi penopang religius atas sikap-sikap persyarikatan selama ini. Dan basisnya adalah pengajian, yang tentu juga tak boleh dilupakan.

Hal yang harus dihindari adalah sikap kritis, menganggap ajaran yang dikaji itu yang paling benar. Meminjam istilah Aliman Syahrani, menjadi hak setiap orang untuk meyakini bahwa pendapatnya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Kebenaran yang mutlak itu hanya kebenaran yang digariskan Allah, selebihnya bersifat relatif sehingga perlu dialog/komunikasi.

Fanatisme, rasa pa-Islam-nya, pam-bagus-nya dan lain sebagainya bukan sikap menuntut ilmu, sebab ilmu terbentang tanpa finalitas untuk mencarinya. Fanatisme -sikap mengeksklusi kelompok dan klaim kebenaran sepihak- hanya cermin dari sikap kesombongan diri manusia. Bahkan, jika terjatuh pada sikap chauvinistik, bisa mengakibatkan kekerasan massa yang sama sekali jauh dari ajaran Islam.

Sudah saatnya sikap fanatik ideologis dibah menjadi sikap kritis ontologis; kritis, klaririfikatif terhadap kebenaran, tetapi tetap ilmiah dan terbuka. Dan inilah salah satu substansi pengajian: mengajarkan Islam di masyarakat secara benar, bukan provokatif.

****

Pengajian adalah penting dalam hidup bermasyarakat [5]. Menjadi sulit untuk memisahkan pengajaran agama dari hidup bermasyarakat. Maka dari itu, sebagai bagian dari masyarakat, juga penuntut ilmu, kita semua perlu bersiap diri menghadapi ceramah yang akan diterima waktu pengajian, di manapun tempatnya.

Salah satu contoh persiapan itu ialah berpikir kritis. Bisakah kita semua berpikir, tidak tercuci otak oleh kajian-kajian? Atau justru terbuai dengan "ketaatan" hingga ter-shibghoh untuk fanatik hanya dengan satu pendekatan? Kiranya hal kedua perlu diantisipasi dengan pikiran kritis kita terhadap informasi keagamaan yang diterima.

Semoga, meminjam Aliman Syahrani, kita tidak terjatuh pada dogmatisme yang membuat kita mengklaim kebenaran sendiri. Dan semoga "mengaji" benar-benar membawa kita ke jalan yang diridhai Allah, bukan jalan proyek uang dan kekuasaan yang semu.

Nuun wal qalami wa maa yasthuruun.

-----

Catatan Akhir
[*] Penulis adalah peserta tidak tetap pengajian malam selasa di Madrasah Mu'allimin Yogyakarta. masih mahasiswa.
[1] Lihat blog penulis, http://kucapa.blogspot.com/2009/08/adakah-dikhotomi-belajar-agama.html
[2] Dalam makna sosiologis, saya merujuk pada tesis Clifford Geertz soal tipologi masyarakat Jawa, yaitu santri, abangan, dan priyayi. "Santri" adalah mereka yang punya semangat keagamaan tinggi dan dalam basis primordial berafiliasi pada komunitas Muslim.
[3] Lihat 12 Langkah Muhammadiyah.
[4] Dikutip dari Khaled Abou El-Fadl, Musyawarah Buku, Serambi, 2002 (terjemahan).
[5] Dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, hidup bermasyarakat adalah sunnah (qudrat-iradat) Allah atas manusia, dan dengan demikian, hidup kita mesti tak jauh dari masyarakat. Hidup bermasyarakat adalah keniscayaan bagi hidup manusia.