Jumat, 09 Desember 2011

Otokritik Gerakan Antikorupsi

(tulisan ini dimuat di portal berita terkininews.com)

Hari ini, 9 Desember 2011, diperingati sebagai hari antikorupsi sedunia. Seperti biasa, momentum ini menjadi ajang setiap elemen gerakan, baik masyarakat sipil, mahasiswa, maupun gerakan rakyat, untuk tampil menyuarakan aspirasinya terhadap pemberantasan korupsi.

Di berbagai kota besar, mahasiswa turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Kita ambil contoh, misalnya, Yogyakarta. Sejauh pemantauan saya, ada tiga elemen yang turun hari ini: BEM se-Jogloseto yang dimotori oleh BEM KM UGM, KAMMI DIY, serta HMI Cabang Yogyakarta. Lokasi aksi berbeda-beda, dari Bunderan UGM hingga Titik Nol Kilometer Malioboro. Begitu pula dengan daerah lain.

Aksi-aksi tersebut relatif menyuarakan isu yang sama, tidak jauh berbeda. Tetapi, apa yang menyebabkan aksi-aksi tersebut seakan-akan menjadi aksi 'seremonial' yang cenderung mendasarkan diri pada momentum belaka?

Tidak Satu Suara?
Saya kira semua elemen sepakat bahwa korupsi harus diperangi. Pada dataran yang normatif ini, semua elemen gerakan akan sampai pada kata sepakat. Bahkan, mayoritas gerakan akan menjadikan isu ini sebagai prioritas, terkait aksi-aksi yang bakal dilakukan.

Namun, mengapa tidak ada kesamaan ritme gerak di antara elemen dan organ gerakan terkait isu vital ini? Refleksi ini tentu menjadi sangat klasik. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, kita sulit sekali menemukan aliansi-aliansi gerakan yang konsisten mengawal serta menyikapi isu sektoral, terutama di kalangan mahasiswa.

Di Yogyakarta, mungkin aliansi yang cukup besar dalam mengawal isu antikorupsi ini hanya bisa dilihat pada AMUK (Aliansi Masyarakat untuk Keadilan) yang menggelar aksi cukup besar pada tahun 2009, ketika isu kriminalisasi KPK tengah mencuat. Aliansi ini beranggotakan elemen gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang memang concern terhadap isu antikorupsi.

Namun, pasca-2009, AMUK seakan timbul tenggelam, antara hidup dan mati. Akhir Juli 2011 lalu, AMUK sempat tampil kembali untuk mengawal isu Nazaruddin dan kriminalisasi KY -dimana saya waktu itu juga turut terlibat mengorganisir aksi-  juga sempat bergerak dalam penyikapan isu lokal (korupsi di Bantul), namun tenggelam beberapa waktu kemudian.

Problem juga mungkin dapat dilihat di  beberapa aliansi yang sama di kota lain. Apakah persoalannya karena komposisi gerakan yang terlalu plural hingga menyebabkan perdebatan di dalam elemen sangat alot, sulit mencapai kata sepakat, ataukah mungkin karena suhu gerakan yang 'cair', menyebabkan aliansi bergerak hanya berdasarkan isu media, bukan pengawalan yang konsisten?

Tentu saja ini menjadi otokritik bersama bagi gerakan mahasiswa. Dalam konteks gerakan 9 Desember, problem keterpecahan elemen gerakan dalam menyikapi isu korupsi akan sangat kontraproduktif. Sebab, publik akan membaca gerakan ini 'seremonial' dan 'sporadis', sehingga tidak berdampak positif terhadap opini publik.

Dan tentu saja, kegagalan kita dalam mempengaruhi opini publik akan berdampak pada daya ubahnya terhadap konstelasi politik baik di level lokal maupun nasional. Ini lagi-lagi menjadi sebuah otokritik bagi gerakan mahasiswa saat ini.

Defisit Stratak
Mengapa keterpecahan massa dan elemen gerakan itu bisa terjadi, terutama dalam konteks gerakan antikorupsi?

Pertama, gerakan antikorupsi saat ini cenderung tidak memiliki stratak (strategi dan taktik) yang jelas dan kolektif. Kalaupun ada, pasti posisinya di masing-masin g organ Hal ini terutama kita jumpai pada gerakan mahasiswa ataupun gerakan massa lain yang sering tampil demonstrasi.

Selama ini, penyikapan terhadap isu antikorupsi lebih didasarkan pada momentum, bukan pengkajian. Padahal, pengkajian adalah basis bagi gerakan mahasiswa . Mana mungkin lahir sebuah gerakan yang murni jika tidak ada pengkajian di dalamnya? Ini perlu menjadi refleksi bersama.

Tentu saja, pengkajian isu antikorupsi mesti didasarkan pada analisis mengenai kondisi lapangan yang komprehensif serta dirumuskan pada strategi dan taktik yang jelas. Dalam konteks pengorganisasian massa, kita mengenal yang namanya stratak. Di setiap training perkaderan gerakan, saya yakin hal ini sudah diajarkan. Dan hal terpenting ketika merumuskan stratak adalah pemetaan posisi dan isu yang akan diperjuangkan.

Tanpa stratak, gerakan yang kita rancang mungkin saja akan avonturir, berjalan tanpa arah yang jelas. Dalam konteks gerakan antikorupsi, adakah stratak itu dirumuskan secara rigid? Bagaimana pemetaan kita terhadap konstelasi politik di lapangan? Strategi gerak apa yang akan diambil? Ini perlu dipikirkan bersama-sama.

Jika direfleksikan, saat ini gerakan mahasiswa cenderung melakukan penyikapan by momentum. Hal ini mungkin tak terhindarkan bagi gerakan massa. Tetapi, disadari atau tidak, pola gerakan ini sangat rawan bagi gerakan mahasiswa untuk terjebak pada relasi kuasa yang sedang bermain secara kompleks di luar sana. Pertaruhannya tentu saja independensi gerakan.

Akibatnya, dengan mengikuti gerak-gerak isu di media maupun momentum, fragmentasi gerakan mahasiswa menjadi sebuah konsekuensi serius. Alhasil, dalam penyikapan, isu yang diangkat berbeda, barisan massa terpecah, dan 'tembakan' tidak mengena pada sasaran, bahkan untuk mempengaruhi opini publik sekalipun. Hal ini sudah sering terjadi pada gerakan yang kita bentuk, sendiri ataupun bersama-sama.

Oleh sebab itu, strategi dan taktik secara kolektif perlu dirumuskan bersama-sama dalam isu sektoral yang spesifik, semisal pemberantasan korupsi. Tidak perlu mencakup banyak permasalahan, cukup satu sektor tetapi terfokus dan konsisten. Sehingga, pengorganisasian menjadi tidak sulit.

Perdebatan di aliansi yang kerap kita temui seringkali masuk pada wilayah visi dan ideologi, sesuatu yang sebenarnya tidak perlu diperbincangkan sebab merupakan urusan internal organ. Sementara di level taktis dan strategis, analisisnya tidak sampai mendalam. Ini perlu menjadi otokritik bagi gerakan kita saat ini.

Dan artinya, perlu ada kemauan untuk menyatukan pandangan pada satu isu yang dianggap strategis untuk dirumuskan taktik ke depannya. Inilah problem gerakan kita yang kedua.

'Cangkang Mistis'
Kedua, persoalan yang sering dihadapi adalah ego masing-masing gerakan. Persoalan ini klasik. Fragmentasi ideologi kiri-kanan-tengah maupun perbedaan metode gerak menjadi salah satu penyebab. Gerakan mahasiswa juga rawan dihinggapi oleh persoalan ini.

Hal penting yang perlu kita cermati adalah keengganan mahasiswa untuk keluar dari 'cangkang mistis'-nya sebagai generasi kampus dan membaur dengan problem di masyarakat. Istilah 'cangkang mistis' saya pinjam dari Marx. Posisi mahasiswa sebagai 'kelas menengah terdidik' seakan menjadi jembatan pada isu-isu di masyarakat yang sebenarnya lebih konkret.

Gambaran 'cangkang mistis' ini sendiri, menurut Marx, hadir dalam persepsi soal realitas. Ia mengambil jalan yang berbeda dengan dialektika Hegel yang menganggap bahwa realitas adalah persepsi ideal -mistis- dari pikiran manusia atas keadaan. Marx justru melihat sebaliknya: realitas itu ada di alam nyata, bukan di alam pikiran manusia. Atau, dalam konteks pendidikan tinggi, realitas itu ada di masyarakat, bukan sesuatu yang diteorisasi di dalam kelas.

Dalam konteks gerakan, 'cangkang mistis' ini setidaknya tergambar dari keinginan untuk aksi sendiri tanpa membangun kontak dengan gerakan lain yang ranah perjuangannya berada di level basis. Organ-organ mahasiswa baik intra maupun ekstrakampus, sadar atau tidak, sering terjebak pada masalah ini.

Minimnya hubungan dengan elemen masyarakat sipil maupun gerakan rakyat menyebabkan gerakan mahasiswa tampil sendirian. Argumen yang keluar, pada akhirnya, lebih bersifat moralistik daripada strategis. Dan aksi-aksi mahasiswa, kembali pada analisis di atas, akhirnya menjadi terfragmentasi oleh momentum yang ada.

Untuk keluar dari 'cangkang mistis' tadi, gerakan mahasiswa perlu membuka hubungan yang lebih erat dengan kekuatan lain semisal buruh atau masyarakat sipil. Kesatuan gerak ini sebenarnya dapat kita lihat pada tahun 1998. Sejarah mencatat, gerakan mahasiswa takkan dapat bertahan jika sebelumnya tidak ada kekuatan rakyat yang melawan di level basis. Selain juga karena kontradiksi kapitalisme yang dibangun oleh Orde Baru.

Dalam konteks gerakan antikorupsi, aliansi strategis dengan masyarakat sipil dan masyarakat akademik yang kritis perlu dibangun lebih erat. Walau bagaimanapun, LSM ataupun Pusat Studi tidak punya massa untuk digerakkan sehingga perjuangan yang dilakukan lebih cenderung elit. Mahasiswa-lah yang punya massa. Tetapi, mahasiswa juga minim analisis dan jaringan akar-rumput. Kolaborasi ini, jika dilakukan secara konsisten, tentu akan melahirkan format gerakan yang kuat.

Dan untuk itu, perlu kemauan yang kuat dari mahasiswa maupun masyarakat sipil untuk terus berkomunikasi. Saya kira, kita perlu menyeriusinya untuk mengawal KPK selama 4 tahun ke depan, di bawah kepemimpinan Abraham Samad, agar amanah rakyat tidak terganggu di tengah jalan. Cukuplah 4 tahun terakhir ini menjadi sebuah evaluasi bersama bagi pemberantasan korupsi kita saat ini.

Refleksi Bersama
Otokritik gerakan 9 Desember saat ini adalah keterbelahan massa. Dan untuk menyikapinya, saya kira dua hal di atas perlu kita refleksikan bersama. Walau bagaimanapun juga, isu pemberantasan korupsi tetap menjadi isu yang penting bagi Indonesia saat ini. Jangan sampai, agenda pemberantasan korupsi gagal karena kekuatan kelompok masyarakat sipil -termasuk di dalamnya mahasiswa- terfragmentasi oleh problem-problem internal.

Kemauan untuk menyingkirkan ego masing-masing gerakan sangat penting. Dan kemauan untuk membuat sebuah rencana pergerakan yang konsisten juga diperlukan. Mungkin juga hal-hal lain yang masih harus kita inventarisasi bersama.

Dulu, Tan Malaka berhasil mengorganisasi kekuatan 'Persatuan Perjuangan' yang terdiri atas berbagai macam organ dengan latar belakang ideologi berbeda untuk melawan kabinet Sjahrir yang dinilai lemah. Walaupun harus kandas karena tersapu rezim, konsep persatuan perjuangan ini perlu direfleksikan. Persoalan apakah perjuangan ini akan berhasil atau tidak, mari bertawakal kepada Allah, setelah berikhtiar dengan kekuatan-kekuatan yang ada.

Kita masih memerlukan masyarakat yang kuat untuk melawan hegemoni negara dan institusi-insitusi pendukungnya yang korup. Demokrasi masih harus dikawal oleh masyarakat, termasuk juga mahasiswa di dalamnya. Tanpa mahasiswa, pada siapa lagi kita berharap untuk perubahan di masa depan?

Tulisan singkat ini mungkin tidak terlalu apik untuk dibaca. Dan mungkin akan menjadi otokritik sendiri. Tapi berlandas pada sebuah hadits, hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Mari membenahi gerakan kita ke depan. Salam dari Yogyakarta.

Nuun wal Qalami wa Maa Yasthuruun.



Dokumentasi Foto Aksi Hari Antikorupsi: 

 
aksi mahasiswa di Samarinda


 
aksi mahasiswa di Banjarmasin

 
aksi mahasiswa di Yogyakarta

1 komentar:

Aisyah M.Yusuf mengatakan...

" Demokrasi masih harus dikawal oleh masyarakat, termasuk juga mahasiswa di dalamnya. Tanpa mahasiswa, pada siapa lagi kita berharap untuk perubahan di masa depan? " waw . . . tak maulah aku ikut jadi pengawal demokrasi . . . kan sudah ada 1700 orang pengawalnya dinegeri kita ni.