Kamis, 22 Mei 2008

Mampukah PKS Menjadi Kekuatan Politik Baru di Indonesia?

Membaca Perolehan Suara PKS di Empat Pilkada

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[1]


A. Pengantar

Fenomena kemenangan calon yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menjadi catatan tersendiri dalam pelaksanaan pilkada. Tercatat ada beberapa daerah seperti Jawa Barat (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf) dan Sumatera Utara (Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho), yang dimenangkan oleh kader PKS. Di tingkat kabupaten/kota, kader PKS mampu menang di Kota Depok (Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra) Kota Banjarmasin (Yudhi Wahyuni-Alwi Sahlan), Hulu Sungai Selatan (Muhammad Safi’i-Ardiansyah), atau Halmahera Selatan (Abdul Gani Kasuba-Rusli Wali).

PKS juga berkali-kali memasang kadernya di berbagai pilkada walaupun harus ”mengakui” keunggulan kandidat lain. Kita dapat menyebut pilkada Jakarta, di mana PKS mengusung Adang Daradjatun-Dani Anwar. Selain itu, PKS juga ikut berkompetisi di Banten (Zulkiflimansyah-Marissa Haque), Sumatera Barat (Irwan Prayitno-Ikasuma Hamid), Kalimantan Selatan (Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar), Nangroe Aceh Darussalam (Azwar Abubakar-Nasir Jamil), dan Maluku Utara (Thaib Armain-Abdul Gani Kasuba). Walaupun kandidat PKS tidak memenangi pilkada, mereka tetap dapat membuka mata rakyat bahwa sebuah kekuatan politik baru telah muncul di Indonesia.

B. PKS: Kekuatan Politik Baru?

Berdasarkan data pemilu 2004, tercatat bahwa PKS mampu mendulang 8.325.020 suara atau 7,34% dari total jumlah pemilih. Perolehan suara tersebut menempatkan PKS di peringkat ke-6 setelah Golkar (21,58%), PDIP (18,53%), PKB (10,57%), PPP (8,15%) dan Partai Demokrat (7,45%). Dari perolehan tersebut, PKS tercatat memenangi pemilu legislatif di DKI Jakarta (Daerah Pemilihan I dan II), di mana mereka mampu meraih 5 tiket kursi di DPR-RI untuk daerah pemilihan tersebut.

Sementara di daerah lain, PKS tidak memenangi pemilu tetapi mampu mengantarkan kader-kadernya di DPR. Nangroe Aceh Darussalam ”menyumbangkan” dua kadernya (Nasir Jamil dan Andi Salahuddin). Provinsi ujung sebelah timur, Maluku, mengirimkan seorang kader ke DPR-RI (Abdul Aziz Arbi). PKS secara akumulatif meraih 45 kursi di DPR-RI, setara dengan 8% dari total 550 kursi di sana.

Muncul pertanyaan, mengapa PKS dapat menjelma menjadi sebuah kekuatan politik alternatif beberapa tahun terakhir ini? Tak lain, PKS mampu mentransformasi diri dalam politik Indonesia karena mereka memiliki sistem kader yang kuat. Dalam tradisi PKS, orang-orang tua tidak duduk di kepengurusan Dewan Pimpinan partai. Orang-orang tua lebih banyak duduk di Majelis Pertimbangan atau Dewan Syuro. Selebihnya, anak-anak mudalah yang menggerakkan partai.

Bahkan, beberapa anggota DPR-RI tidak mencapai 35 tahun ketika diangkat, seperti Rama Pratama atau Andi Rahmat. Anggota DPR-RI yang tua pun dapat dihitung dengan jari, seperti Ustadz Soeripto, Ustadz Djalaluddin Asy-Syathibi, Ustadz Yusuf Supendi, atau Ustadz Abu Ridho (Abdi Sumaithi). Kekuatan anak muda inilah yang menyebabkan PKS dapat bergerak lincah dalam program kerjanya. Dengan dukungan kaum muda pulalah PKS mampu melakukan sosialisasi ke kalangan grass-root, prestasi yang jarang bisa dilakukan oleh partai-partai yang telah mapan.

Memang selain PKS ada Partai Demokrat yang mampu mendulang 56 kursi di DPR-RI. Akan tetapi, kemenangan Partai Demokrat lebih dikarenakan faktor popularitas Susilo Bambang Yudhoyono yang memang dekat dengan rakyat. Partai Demokrat juga mampu secara finansial. Perbedaannya, PKS tidak menonjolkan seorang figur sentral. Mereka lebih menonjolkan platform dan sikap politik yang jelas-jelas memasukkan Islam sebagai visi ideologis. Lantas, bagaimana strategi politik PKS dalam meraih dukungan besar di beberapa daerah yang notabene merupakan basis partai lain? Mari kita analisis.

C. Studi atas Empat Pilkada

1. Pilkada Jawa Barat

Berkaca dari pilkada Jawa Barat, PKS telah membuktikan bahwa mereka patut diperhitungkan pada pemilu 2009 yang akan datang. Jika kita tinjau secara regiopolitik, Jawa Barat bukanlah basis kekuatan PKS. PKS hanya menguasai daerah-daerah tertentu seperti Depok yang memang sejak tahun 2004 telah menjadi basis PKS. Secara total, perolehan suara mereka pun hanya berkisar antara 11%-12% saja.

Jelas, hitung-hitungan suara ini akan kalah dengan kandidat yang diusung oleh partai besar yang memiliki basis kuat di daerah ini. Para analis politik lebih mengunggulkan Dani Setiawan atau Agum Gumelar yang notabene lebih akrab dengan masyarakat Jawa Barat. Dani Setiawan, seperti kita ketahui, adalah calon incumbent yang memiliki basis kuat di kalangan birokrat dan masyarakat kelas menengah ke atas.

Adapun Agum Gumelar pernah mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden dari PPP. Suara dari PPP yang diambil pada Pemilu Presiden tahun 2004 saja telah menjamin 810.519 suara akan diperoleh oleh Agum. Ini belum termasuk suara PDIP, PKB, dan partai pendukung lain yang memiliki jumlah suara lebih besar. Sementara untuk Ahmad Heryawan-Dede Yusuf, para analis menilai pasangan ini hanya akan menjadi kuda hitam. Analisis Saiful Mujani di MetroTV bahkan tidak menganggap pasangan ini sebagai unggulan, karena masyarakat dianggap masih belum terlalu kenal dengan Ahmad Heryawan yang sehari-hari tinggal di Jakarta.

Akan tetapi, fakta berkata lain. Kandidat PKS berhasil memenangi pilkada dengan meraup dukungan sebesar 40%! Fakta menunjukkan PKS berhasil memperoleh suara besar di kantong suara milik partai lain seperti Cirebon yang pada tahun 2004 merupakan basis PDIP. Di samping itu, PKS juga mampu mengakselerasi mesin politik dengan menggerakkan kader dan simpatisan untuk mendukung kandidat yang diusung. Ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa bagi PKS.

Dari pilkada ini kita dapat mendapatkan beberapa fenomena. Mari kita analisis fenomena-fenomena tersebut.

Pertama, masyarakat memiliki kecenderungan untuk memilih pemimpin baru yang membawa angin perubahan. Indikatornya terlihat dari menurunnya dukungan untuk Dani Setiawan yang merupakan calon incumbent. Padahal sebelum pilkada, LSI dan MetroTV masih mengunggulkan Dani Setiawan untuk memenangi pilkada. Mereka beranggapan bahwa popularitas Dani masih lebih tinggi dibanding calon lain.

Kedua, bergesernya preferensi masyarakat dalam politik. Jika kita menggunakan perbandingan dengan hasil pemilu 2004, terlihat bahwa PKS tidak memperoleh suara yang cukup untuk memenangi pilkada. Pasangan yang berpeluang kuat untuk memperoleh suara terbanyak dari partai politik ini justru adalah Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim yang didukung oleh koalisi beberapa partai. Dengan kemenangan Ahmad Heryawan, terlihat bahwa ada pergeseran preferensi masyarakat dalam memilih partai politik. Bisa jadi ini merupakan awal dari berubahnya peta kekuatan politik di pemilu 2009 yang akan datang.

Ketiga, PKS menjelma menjadi sebuah kekuatan politik baru di Jawa Barat. Hal ini tak dapat dipungkiri dengan kemenangan HADE. DI Jawa Barat, suara PKS yang hanya berkisar antara 11%-12% ternyata bertambah hingga mencapai 40% pada pilkada. Ini menunjukkan beralihnya simpati masyarakat yang pada awalnya merupakan pendukung partai lain hingga mau memilih kandidat yang diusung oleh PKS. Selain itu, PKS juga mampu melakukan konsolidasi kader dan konstituen hingga mesin politik dapat diakselerasi pada Pilkada.

Keempat, bangkitnya kepercayaan masyarakat pada kaum muda. Seperti diketahui, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf masih dikategorikan sebagai pemuda. Umur mereka belum mencapai 50 tahun dan pemikiran mereka pun merepresentasikan pemikiran kaum muda. Ditambah lagi dengan kondisi fisik yang prima. Sehingga, masyarakat pun dapat dianggap menaruh harapan besar dengan kehadiran kandidat kaum muda.

Kelima, kemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf menunjukkan bahwa data Pemilu 2004 sangat sulit dijadikan acuan dalam memprediksi hasil pilkada. Hal ini mengingat banyak faktor yang mempengaruhi perolehan suara yang diraih oleh seorang calon sehingga banyak korelasi yang terbentuk antara satu variabel dengan variabel lainnya. Kemenangan HADE menunjukkan bahwa partai yang dianggap sebagai ”kuda hitam politik” pun masih bisa meraih kemenangan jika strategi pemenangan dirancang dengan tepat.

Lima fenomena tersebut pada intinya menegaskan bahwa demokratisasi telah berjalan dengan cukup baik di Jawa Barat, meski kita tak dapat memungkiri bahwa kelompok ”golongan putih” yang apolitik masih bercokol di sana. Akan tetapi, hasil yang diperoleh tetap merepresentasikan suara rakyat. Ini juga menjadi catatan bahwa akan ada pergeseran peta kekuatan politik pada tahun 2009 yang akan datang.

2. Pilkada Sumatera Utara

Kondisi serupa juga terjadi di Sumatera Utara. Di daerah yang notabene bukan merupakan basis kekuatan PKS ini, calon yang diusung PKS (Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho) juga berhasil memenangkan pilkada. Di daerah ini, PKS berkoalisi dengan 10 partai lain seperti PPP, PPNUI, PNI Marhaenisme, dan partai-partai lain.

Seperti di Jawa Barat, kemenangan ini cukup mengejutkan banyak pihak. Banyak yang mengira PDIP atau Golkar yang akan mendominasi. Apalagi kedua calon tidak merepresentasikan suara kaum Batak. Syamsul Arifin lebih dekat dengan etnis Melayu Deli, sedangkan Gatot Pujo Nugroho mewakili kaum perantauan di Medan. Praktis, banyak kalangan yang memperkirakan suara orang Batak yang merupakan mayoritas di Sumatera Utara akan beralih ke calon lain seperti Maratua Simanjuntak, Benny Siregar, atau RE Siahaan.

Memang, faktor etnopolitik cukup berperan penting di Sumatera Utara. Kita dapat melihat komposisi etnis yang ada. Jika dipetakan, daerah Tapanuli Selatan didominasi oleh etnis Mandailing yang beragama Islam. Sementara daerah pegunungan sebelah utara Medan didiami oleh Batak Karo dan Simalungun yang kebanyakan beragama Kristen.

Begitu pula dengan daerah pantai Barat Sumatera Utara, banyak didiami oleh Batak Pakpak meskipun masih banyak juga etnis lain yang tinggal di sana. Sedangkan daerah sekitar danau Toba mayoritas didiami oleh Batak Toba yang dikenal ”keras” dan beragama kristen. Adapun daerah Medan, Deli Serdang, dan sekitarnya lebih banyak didiami oleh etnis Melayu yang sering pula disebut sebagai ”Melayu Deli”.

Kembali jika kita lihat latar belakang etnis masing-masing calon, terlihat ada keberagaman di antara mereka. Calon nomor urut 1, Ali Umri-Maratua Simanjuntak lebih dekat dengan entitas Batak Toba. Hal ini disebabkan oleh latar belakang cawagub. Apalagi, mereka didukung oleh Partai Golkar yang pada Pemilu 2004 lalu berhasil mendapatkan 6 kursi di DPR-RI.

Sedangkan Calon nomor urut 2, Tritamtomo-Benny Pasaribu juga memiliki kedekatan dengan etnis Toba. Mereka diusung oleh PDIP yang memang merupakan salah satu kekuatan politik besar di Sumatera Utara. Calon nomor urut 3, RE Siahaan-Suherdi, merupakan konfigurasi ”Batak-Pendatang”. RE Siahaan berlatar belakang etnis dari Batak Toba, sedangkan wakilnya merupakan representasi non-Batak. Adapun calon nomor urut 4 (Abdul Wahab Dalimunthe-Raden Syafi’i) yang didukung oleh PAN, Partai Demokrat, dan PBR lebih merepresentasikan etnis Mandailing. Terakhir, Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho mewakili etnis Melayu Deli yang berbasis di daerah Langkat dan sekitarnya (Syamsul Arifin adalah Bupati Langkat sekarang).

Dari komposisi etnis di atas, terlihat bahwa suara masyarakat Batak akan tersebar ke tiga calon. Persebaran ini diperkirakan akan mengacu pada partai politik yang mengusung. Konstituen Partai Golkar tentu akan mendukung Ali Umri, sedangkan massa PDIP lebih cenderung pada Tritamtomo. Sisanya diperkirakan akan menuju RE Siahaan. Analisis Saiful Mujani sebelum penghitungan Quick Count di metroTV lebih cenderung mendukung RE Siahaan.

Lagi-lagi, LSI salah. Calon yang menang justru Syamsul Arifin yang hanya diplot oleh para analis politik sebagai kuda hitam. Syamsul Arifin mendulang 28% suara, disusul oleh Tritamtomo yang hanya mendapatkan 22%. Sama seperti Jawa Barat, perolehan suara ini mengindikasikan perubahan peta politik dan terkonsolidasinya suara konstituen PKS dan PPP untuk mengegolkan calon yang diusung.

Mengapa kandidat PKS dapat memenangkan pilkada di daerah yang notabene merupakan daerah non-Islam? Mari kita analisis.

Pertama, konsolidasi antarpartai Islam berjalan lancar di daerah ini. Kita lihat, hampir semua partai berplatform Islam kecuali PBR mendukung pasangan ini. Konsolidasi ini kemungkinan bertambah dengan suara konstituen PKB, karena sikap politik PKB ternyata mendukung pasangan non-Islam (RE Siahaan-Suherdi). Hal ini semakin memperkuat semangat untuk mendukung calon yang berlatarbelakang muslim.

Kedua, terpecahnya suara masyarakat Batak. Seperti kita lihat, ada tiga calon yang merepresentasikan masyarakat Batak Toba, yaitu Maratua Simanjuntak, Benny Pasaribu, dan RE Siahaan. Kondisi ini membuat suara masyarakat Kristen dengan gereja terpecah. Analisis Saiful Mujani menjelang penghitungan Quick Count menyebutkan bahwa dua gereja terbesar di Sumatera Utara berbeda pendapat dalam mendukung calon.

Ketiga, menurunnya dukungan untuk partai-partai besar. Dukungan yang paling jauh menurun adalah Partai Golkar. Pada Pemilu 2004, pemenang pemilu di daerah ini adalah Partai Golkar. Mereka mampu meraih enam kursi di DPR-RI serta memiliki modal suara yang cukup besar. Akan tetapi, perolehan suara mereka di Pilkada ini anjlok menjadi hanya sekitar 15%. Ini diakibatkan oleh terpecahnya kader-kader Partai Golkar, karena Syamsul Arifin, Abdul Wahab Dalimunthe, dan Ali Umri merupakan kader-kader Golkar.

Tiga fenomena ini secara umum juga menunjukkan kemenangan strategi partai-partai Islam dalam memenangkan calonnya, di samping memanfaatkan perpecahan yang melanda partai-partai lain. Pilkada Sumatera Utara ini dapat dijadikan sebagai momentum konsolidasi PKS dalam menghadapi Pemilu 2009 yang akan datang.

3. Pilkada DKI Jakarta

Fenomena lain yang juga mengindikasikan kemunculan PKS sebagai kekuatan politik baru adalah di DKI Jakarta. Pada pilkada ini ada dua calon yang maju, yaitu Adang Daradjatun-Dani Anwar yang diusung oleh PKS melawan Fauzi Bowo-Priyanto yang didukung oleh koalisi 20 partai. Jika dilihat sekilas, pilkada ini tak ubahnya seperti pertarungan David vs Goliath; berat sebelah. Walaupun PKS memenangi Pemilu 2004 di daerah ini, mereka tetap tidak memi;karena melawan koalisi 20 partai yang jika dihitung secara kasar akan memperoleh minimal 75% suara!

Di atas kertas, Adang-Dani diperkirakan para analis hanya akan mendulang suara sekitar 20%-25% saja. Jumlah ini merupakan asumsi suara PKS yang diperoleh pada Pemilu 2004. Mereka diprediksi akan mengalami kekalahan karena jumlah suara yang akan diterima oleh Fauzi Bowo-Priyanto cukup besar.

Pilkada pun berjalan. Hasilnya, seperti diprediksi oleh para analis politik, memang dimenangkan oleh Fauzi Bowo. Akan tetapi, hasil yang diperoleh ternyata tidak begitu jauh terpaut. Adang Daradjatun memperoleh suara sekitar 40%, sedangkan Fauzi Bowo memperoleh 60%. Ini berarti, perolehan suara Fauzi turun dari dukungan koalisi 20 partai. Hal ini juga membuktikan banyak suara yang ”lari” mendukung Adang Daradjatun.

Sekali lagi, ada beberapa implikasi yang dapat kita analisis pada perolehan suara PKS di DKI Jakarta ini.

Pertama, PKS mampu memaksimalkan kekuatan yang dimilikinya untuk memenangkan calon yang diusung. Dalam kasus pilkada ini, PKS mampu mengakselerasi kekuatan yang ada dari level wilayah hingga level ranting. Dengan demikian, kekuatan PKS di DKI Jakarta telah terkonsolidasi secara baik. Ini menunjukkan kesiapan PKS DKI Jakarta dalam menghadapi Pemilu 2009.

Kedua, Ada ”pelarian suara” dari partai politik lain ke calon yang diusung PKS akibat isu-isu politik yang dihembuskan menjelang pilkada. Sebelum pilkada memang ada beberapa calon gubernur yang telah siap berkompetisi melamar ke partai politik. Sebut saja Faisal Basri atau Sarwono Kusumaatmadja. Mereka bahkan secara terang-terangan menyatakan kesiapan untuk maju pada berbagai kesempatan.

Kita ambil kasus Sarwono Kusumaatmadja. Pada kasus ini, ada sedikit kesalahpahaman antara Sarwono dengan PAN dan PKB yang awalnya menyatakan diri mendukung pencalonan diri Sarwono sebagai calon gubernur. Akan tetapi, secara mengejutkan PAN mencabut dukungannya dan memilih untuk mendukung Fauzi Bowo-Priyanto beberapa hari sebelum pendaftaran ditutup. Hal ini jelas menimbulkan kekecewaan dari pendukung Sarwono, sehingga muncul kemungkinan sebagian besar suara konstituen PAN yang tadinya mendukung Sarwono beralih ke Adang.

Ketiga, Perolehan suara ini dapat berimplikasi pada lonjakan suara yang akan diterima oleh PKS pada Pemilu 2009 nanti. Kenaikan suara sebesar 15% pada pilkada ini, menurut penulis, berpotensi diikuti oleh kenaikan suara PKS di Pemilu 2004 nanti. Syaratnya, PKS harus terus melakukan sosialisasi dan pencitraan diri sehingga dikenal di masyarakat luas.

Tiga fenomena di atas bisa menjadi modal awal PKS dalam menempuh Pemilu 2009. DKI Jakarta yang sejak awal telah menjadi basis PKS harus dijadikan pilar kekuatan dalam meraih konsituten. Ini tentunya memerlukan kerja keras disertai doa, agar dakwah parlemen terus meraih momentum untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

4. Pilkada Kalimantan Selatan

Terakhir, kita akan menganalisis perolehan suara PKS di Kalimantan Selatan, daerah kebanggaan kita. Di daerah ini, PKS mampu meloloskan dua orang kadernya di pemerintahan, yaitu Alwi Sahlan (Wakil Walikota Banjarmasin) dan Ardiansyah (Wakil Bupati Hulu Sungai Selatan). Selain itu, koalisi PKS dengan partai lain juga berjalan sukses dengan mengantarkan nama-nama seperti Adriansyah-Atmari (Tanah Laut), Idis Nurdin Halidi-Ahmad Fauzi (Tapin), atau Fakhruddin-Aunul Hadi (Hulu Sungai Utara).

Kalimantan Selatan secara kultural adalah daerah yang sangat religius. Di daerah ini kita akan sangat jarang mendapati daerah yang tidak memiliki mesjid, walaupun jamaah mesjid tersebut terkadang hanya seorang imam dan seorang makmum. Bahkan dalam persoalan politik pun, seorang politisi harus memiliki nuansa keislaman yang kental untuk ”bermain” di daerah ini.

Kita dapat mengambil contoh dalam Pilkada provinsi tahun 2005 yang lalu. Pada saat kampanye atau pencalonan, masing-masing kandidat pasti akan menyempatkan diri untuk bersilaturrahim ke seorang Tuan Guru (Kyai). Mereka saling menggalang dukungan di komunitas pesantren dan komunitas religius di pedesaan. Sedangkan di perkotaan, para kandidat berlomba-lomba memberi bantuan kepada mesjid/mushalla dan panti asuhan.

Pada pemilu tahun 2004, Partai Golkar memperoleh suara terbanyak dengan 323.298 suara, disusul oleh PPP dengan 220.735 suara. PKS sendiri menempati peringkat ketiga dengan 166.847 atau sekitar 10,71% dari total suara keseluruhan. PKS mampu memenangkan pemilu di dua kabupaten, yaitu Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan. Sedangkan di Kota Banjarmasin, PKS menempati peringkat kedua dengan 38.606 suara (13,99%).

Adapun pada Pilkada 2005, PKS memilih berkoalisi dengan PAN untuk mengusung Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar Al-Habsyi. Pasangan ini menghadapi empat kandidat lain, yaitu Rudi Ariffin-Rosehan NB (PPP-PKB), Gusti Iskandar SA-Hafiz Anshary (Golkar), Muhammad Ramlan-Baderani (Partai Demokrat-Koalisi partai kecil), dan Sjachriel Darham-Noor Aidi (PDIP-PBR). Hasilnya, Rudi Arifin-Rosehan memenangi pilkada dan menjadi gubernur-wakil gubernur terpilih.

Mari kita analisis hasil pilkada tersebut. Jika kita lihat lebih dalam, ada beberapa fenomena yang terlihat.

Pertama, terbaginya Kalimantan Selatan ke dalam beberapa daerah konsentrasi politik. Daerah pertama adalah daerah Hulu Sungai (HSS-HSU). Daerah ini adalah basis kekuatan PKS, terbukti dengan kemenangan Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar di semua daerah tersebut. Pada pemilu 2004, PKS juga dapat memenangi daerah HSS dan HST, dan menempati peringkat ketiga di HSU.

HSU sendiri adalah basis kekuatan PPP, karena daerah ini adalah kampung halaman KH. Ideham Khalid, mantan Ketua PBNU dan Ketua MPR-RI. Adapun Balangan dan Tabalong, meski termasuk daerah Hulu Sungai, tidak dikuasai PKS. Tabalong adalah basis kekuatan PAN dan Golkar, sedangkan Balangan dikuasai oleh PDIP.

Daerah kedua adalah Kabupaten Banjar dan Tapin. Daerah ini adalah basis kekuatan PKB yang memperoleh kemenangan di Tapin dan menempati peringkat ketiga di Kabupaten Banjar. Dua daerah ini kemudian menjadi lumbung suara Rudi Ariffin-Rosehan yang akhirnya dapat menutupi perolehan suara Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar yang menang di Hulu Sungai.

Daerah ketiga adalah Kotabaru dan Tanah Bumbu. Dua daerah ini secara etnografis merupakan permukiman para transmigran dan mayoritas penduduknya beretnis Bugis. Peta politik di dua daerah ini hampir sama dengan Sulawesi Selatan yang didominasi oleh Golkar. Terbukti dengan kemenangan Gusti Iskandar di Kotabaru. Meski demikian, Tanah Bumbu justru menjadi daerah kemenangan Rudi Ariffin-Rosehan. Selain di daerah ini, Golkar juga memenangi pemilihan di Barito Kuala yang menjadi penyumbang suara terbesar Partai Golkar. Bahkan Golkar mampu mendudukkan kadernya, Hasanuddin Murad, sebagai Bupati di sini.

Daerah keempat adalah daerah perkotaan, yaitu Banjarmasin dan Banjarbaru. Walaupun Golkar memenangkan Pemilu di daerah ini, kita tidak dapat mengklaim bahwa dua kawasan ini adalah basis kekuatan Golkar. Pada pilkada yang lalu, dua kawasan ini bahkan dimenangkan oleh Rudi Ariffin-Rosehan. Meski demikian, PKS dan PAN pun juga memiliki kekuatan yang tak dapat diremehkan, karena mereka mampu mendudukkan kader mereka sebagai walikota dan wakil walikota di Banjarmasin.

Kedua, konsentrasi kekuatan politik tersebut membuat peta politik di Kalimantan Selatan terlihat jelas. Jika kita kaitkan dengan latar belakang sosial-keagamaan pun, keempat daerah di atas memiliki ciri khas tersendiri. Daerah pertama (Hulu Sungai) lebih condong kepada kaum Habaib dan Tuan Guru lokal. Sehingga, orientasi keagamaan lebih condong kepada tuan guru yang berada di Hulu Sungai itu sendiri. Secara politik, mereka lebih condong kepada PPP dan PKS.

Hal ini berbeda dengan latar belakang sosial-keagamaan di Kabupaten Banjar dan Tapin. Walaupun sama-sama berbasis pada NU, tetapi orientasi masyarakat di daerah ini lebih condong kepada pemahaman agama Islam yang dibawa oleh Syekh Arsyad Al-Banjari. Mereka lebih mengorientasikan diri pada figur ulama Martapura atau Kalampayan, seperti Alm. KH. Zaini Ghani (Guru Sekumpul). Secara politik, mereka lebih condong kepada PKB.

Adapun daerah ketiga adalah daerah yang nuansa keagamaannya berbeda dengan daerah di Hulu Sungai atau Martapura. Orientasi keagamaan di daerah ini sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, masyarakat di daerah ini juga memiliki apresiasi yang kurang terhadap partai Islam. Mereka lebih memilih partai yang berbasis nasionalis tetapi membawa nilai-nilai Islam seperti Golkar. Orientasi politik mereka paralel dengan orientasi politik masyarakat Sulawesi Selatan.

Sedangkan daerah perkotaan (Banjarmasin dan Banjarbaru) lebih cenderung heterogen dan terdiferensiasi. Masyarakat di daerah ini memiliki tingkat pendidikan politik yang cukup baik sehingga pandangan politik pun beragam. Kalangan menengah ke atas, misalnya, lebih cenderung ke Golkar, tetapi banyak orang-orang lain dari strata ini yang mendukung partai lain. Kalangan aktivis Mesjid lebih cenderung ke PKS, tetapi aktivis di mesjid-mesjid yang berkarakter Nahdhiyyin cenderung memilih PKB atau PPP. Jadi, terdapat keberagaman yang menyebabkan masyarakat di kawasan ini terfragmentasi ke beberapa kekuatan politik yang agak sulit dipetakan.

D. Implikasi dan Prospek: Mampukah PKS Menjadi Kekuatan Politik Nasional?

Berbicara mengenai prospek ke depan, penulis menganalisis ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan evaluasi PKS. Hal-hal tersebut antara lain:

Pertama, PKS dapat memaksimalkan potensi suara di kantung-kantung suara seperti HSS di Kalimantan Selatan, Depok di Jawa Barat, DKI Jakarta dan sekitarnya, dan Sumatera Utara sebagai modal awal dalam menggalang dukungan di Pemilu 2009. Di daerah-daerah tersebut, PKS meraih kemenangan yang cukup besar pada Pemilu 2004 dan Pilkada. Potensi tersebut dapat dikembangkan melalui aksi simpatik dan pendidikan politik yang efektif, selain komunikasi politik yang intens dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Sekadar mengingat kembali, PKS mampu mendudukkan beberapa kaderya di jajaran kepala daerah seperti Ardiansyah, SHut sebagai Wakil Bupati HSS, Abdul Gani Kasuba, Lc. sebagai Bupati Halmahera Selatan, Drs. Alwi Sahlan, M.Si. sebagai Wakil Walikota Banjarmasin, Dr. Ir. Nurmahmudi Ismail, M.Sc. sebagai Walikota Depok, Ahmad Heryawan, Lc. sebagai Gubernur Jawa Barat, dan Gatot Pujo Nugroho sebagai Wakil Gubernur Sumatera Utara. Ini berarti, PKS telah memiliki potensi yang cukup besar untuk melipatgandakan suara pada Pemilu 2009.

Kedua, PKS perlu memperhitungkan para pemilih pemula. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah pemilih yang berusia cukup muda dan tidak memiliki pengetahuan politik yang memadai. Sementara pemilih tua banyak yang telah meninggal dunia atau memiliki preferensi politik tertentu. Caranya, PKS dapat mengoptimalkan event-event dakwah yang akrab dengan kawula muda dan mencerminkan kepedulian terhadap penyelamatan generasi muda dari fenomena loss generation.

PKS juga dapat mengoptimalkan peran aktivis-aktivis dakwah, baik di kalangan kampus atau sekolah. Hal ini beranjak dari pengalaman DKI Jakarta dan Jawa Barat di mana potensi mahasiswa UI yang memang didominasi oleh aktivis dakwah dapat memberi sumbangan suara yang signifikan bagi PKS. Apalagi berbagai kampus di DKI Jakarta sejak lama telah dibina oleh Tarbiyah, apalagi di UI yang selalu meloloskan kader-kader dakwah sebagai pimpinan organisasi mahasiswa sejak era Eep Saefullah Fatah sampai era Edwin Nofsan Naufal sekarang (Sidiq, 2003).

Hal tersebut dapat dilakukan karena PKS memiliki basis kader yang cukup kuat dari kalangan aktivis mahasiswa atau orang-orang yang pernah berkecimpung dalam gerakan tersebut. Di kalangan tua kita mengenal Soeripto yang dulu pernah aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dalam menentang PKI pada tahun 1965. Beliau dulu memegang bendera Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) yang merupakan underbouw dari Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir (Setiawanto dkk, 2001). Namun, beliau aktif di dakwah kampus sejak tahun 1998 dan sekarang menjadi anggota legislatif dari PKS.

Di kalangan muda sendiri cukup banyak aktivis mahasiswa yang bergabung di PKS. Sebut saja Fahri Hamzah, SE (Ketua Umum KAMMI tahun 1998), Fitra Arsil, SH, MH (Ketua KAMMI 1998-2000), Andi Rahmat, SE (Ketua KAMMI 2000-2002), Rama Pratama, SE, Ak (Ketua SM UI 1997-1998), Haryo Setyoko (Ketua BEM UGM 1997-1998), atau Dr. Zulkiflimansyah, SE, M.Sc. (Ketua SM UI 1995-1996). Mereka banyak yang terlibat dalam pendudukan gedung DPR-MPR tahun 1998 yang berhasil membuat Soeharto mundur dari jabatannya (Sidiq, 2002).

Ketiga, PKS perlu melakukan konsolidasi-konsolidasi di level pusat maupun daerah. Konsolidasi ini dapat berbentuk (1) melakukan kegiatan yang melibatkan kader dalam magnitude massa yang besar; (2) melakukan kaderisasi dengan ekspos media massa yang tepat; atau (3) melakukan aksi-aksi sosial yang tidak menggunakan tenaga kader yang terlalu banyak tetapi mampu menarik simpati kalangan grass-root.

Konsolidasi ini bukan dimaknai sebagai unjuk kekuatan PKS jelang pemilu 2009, melainkan sebagai media sosialisasi PKS di masyarakat. PKS dengan sistem kaderisasi yang terarah memiliki kemungkinan besar untuk melakukan konsolidasi ini. Terlebih, militansi dan kedisiplinan kader yang terbina melalui liqo’ harian juga cukup kuat. Sehingga, PKS diharapkan dapat lebih terjun ke masyarakat untuk sosialisasi. Kasus pilkada Jawa Barat menjadi contoh nyata.

Tiga poin ini penulis tawarkan untuk kepada PKS agar perolehan suara PKS dapat memenuhi target pada 2009 nanti. PKS sebagai salah satu kekuatan politik nasional harus tetap konsisten dengan visinya untuk membangun negeri yang sejahtera. Oleh karena itu, keberadaan PKS di lembaga-lembaga politik, baik eksekutif maupun legislatif, sangat diperlukan. Maju terus PKS, maju terus kekuatan politik dakwah!


Daftar Pustaka

Bastoni, Hepi Andi, 2006. Penjaga Nurani Dewan, Lebih Dekat dengan 45 Anggota DPR-RI Fraksi PKS. Bogor: Al-Bustan.


Detikcom: Situs Warta Era Digital. Quick Count LSI: Jago PKS-PPP-PBB Menangi Pilkada Sumut. http://www.detik.com/


______________________________. Sumatera Utara Gelar Pilkada. http://www.detik.com/


Rudy Resmi Gubernur. Banjarmasin Post, 12 Juli 2005.


Sidiq, Mahfudz. 2003. KAMMI dan Pergulatan Reformasi (Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi. Solo: Era Intermedia.


Setiawanto, Budi dkk. 2001. Menguak Tabir Perjuangan Soeripto. Jakarta: Aksara Kurnia.


Safi’i Tak Terbendung, PKS Kembali Membuat Kejutan. Banjarmasin Post, 28 April 2008.


Situs Resmi Komisi Pemilihan Umum, http://www.kpu.go.id/.


Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. Mencermati Hasil Pilkada Jawa Barat: Munculnya Kekuatan Politik Baru. Artikel dimuat di Banjarmasin Post, 22 April 2008.


Situs Resmi DPW PKS Kalimantan Selatan, http://www.pks-kalsel.or.id/


Gatot dan Komitmen Melayani. Kompas, 10 April 2008.


Catatan Pinggir:

[1] Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Siswa SMAN 1 Banjarmasin. Aktif menulis di Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Makalah ini merupakan opini pribadi penulis, dan didedikasikan untuk Gema Keadilan Kalsel yang akan dilaunching sebentar lagi. Penulis dapat dikunjungi di http://ibnulkhattab.blogspot.com/ atau e-mail rizky_mardhatillah@yahoo.co.id

Senin, 19 Mei 2008

Krisis Harga BBM, Siapa Salah?

Analisis Kenaikan Harga BBM dari Sisi Produksi dan Kebijakan Luar Negeri

Kenaikan harga BBM telah di depan mata. Keputusan yang mengundang demonstrasi besar-besaran ini kelihatannya akan benar-benar direalisasikan oleh pemerintah. Padahal, beragam protes terlontar dari masyarakat karena kenaikan ini akan membawa dampak yang cukup penting bagi perekonomian masyarakat.

Setidaknya ada dua implikasi yang akan muncul dari kenaikan harga BBM ini.

Pertama, kenaikan biaya produksi bagi para pengusaha kecil. Kenaikan biaya produksi ini akan mendorong pengusaha untuk menaikkan harga produk di pasar. Implikasi lanjutannya, laju inflasi pun akan terdorong lebih cepat. Situasi demikian dalam literatur ilmu ekonomi mikro disebut sebagai cost-push inflation, atau inflasi yang diakibatkan oleh terdorongnya jumlah penawaran karena kenaikan biaya produksi.

Kedua, Menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini merupakan implikasi dari kenaikan harga di atas. Karena harga barang di pasar naik secara signifikan, masyarakat pun mulai membatasi konsumsi dan memperkecil jumlah tabungan mereka. Ini akan membuat masyarakat kecil ambruk karena tingkat konsumsi mereka yang pas-pasan harus semakin diperkecil. Implikasi lainnya, sebagian produsen akan mengalami kerugian karena konsumen mengurangi pembelian atas produk-produk mereka.

Namun jika BBM tidak dinaikkan, pemerintah pun akan mendapat kerugian.

Pertama, APBN-Perubahan akan membengkak. Subsidi yang terlalu besar yang tidak dibarengi oleh membaiknya indikator makroekonomi berpotensi membangkrutkan negara. Terlebih, harga minyak dunia semakin melambung (kabarnya mencapai $127,7 per barel) tanpa dapat dikontrol oleh OPEC.

Kedua, kenaikan harga BBM akan membawa implikasi negatif di pasar modal. Analisis Purbaya Yudhi Sadewa (ekonom Danareksa) menyebutkan bahwa harga saham di IHSG cenderung mengalami penurunan dalam triwulan pertama (Januari-Maret). Jika APBN benar-benar jebol, harga tersebut akan semakin turun karena sentimen negatif pelaku pasar.

Hal ini jika dibiarkan akan memicu pembalikan arus modal ke luar negeri secara radikal sehingga memicu terdepresiasinya Rupiah seperti tahun 1998. Namun sebenarnya sentimen negatif juga akan muncul ketika kenaikan harga BBM diberlakukan, walaupun dampak negatifnya lebih kecil.

Di sini kita patut menganalisis, perlukah pemerintah menaikkan harga BBM ketika rakyat dilanda keterpurukan ekonomi? Kita patut melihat kondisi sekeliling kita. Harga beras dunia naik, tetapi harga gabah di pasar domestik justru ambruk karena permainan spekulan yang melakukan aksi borong gabah dengan harga murah. Fenomena serupa terjadi pada pasar komoditas kedelai. Padahal, beras dan kedelai merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Mereka adalah komoditas ekspor yang sangat penting dalam perdagangan internasional.

Apa yang salah dari kebijakan ekspor minyak sekarang? Mari kita analisis kesalahan-kesalahan tersebut.

Pertama, produksi minyak. Jika dibandingkan dengan situasi di tahun 1962, kita masih menjadi salah satu ekspotir minyak dengan produksi sekitar 1,6 Juta barel per hari dan konsumsi kurang dari 1 juta barel per hari. Bagaimana sekarang? Situasi terbalik dengan produksi sekitar 846.000 barel per hari (Kompas, 7 Mei 2008). Ini menandakan, ada kesalahan dalam kebijakan perminyakan nasional.

Kedua, konsumsi minyak. Negara kita dengan pengguna transportasi berbahan bakar energi yang cukup besar memerlukan pasokan minyak yang besar pula. Konsumsi yang besar ini tidak dibarengi oleh produksi yang besar. Akibatnya, negara kita menjadi pengimpor minyak. Ini jelas merugikan. Konsumsi minyak kita yang sangat besar juga semakin memojokkan kita dengan subsidi yang memakan APBN. Jelas, pemerintah perlu meminta pertanggungjawaban Menteri ESDM untuk urusan ini.

Ketiga, ketergantungan pada OPEC. Disadari atau tidak, OPEC sekarang semakin terjebak pada fluktuasi harga. Tentunya semua anggota OPEC harus menggunakan patokan harga ini karena terikat pada sebuah kartel. Ketika pasokan minyak mentah menurun radikal, harga semakin naik. Ini akan melemahkan fondasi ekonomi negara-negara yang terpaksa harus mengimpor minyak seperti Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia justru semakin terbebani karena di samping harus patuh pada harga OPEC, Indonesia juga harus membayar iuran OPEC sebesar 2 Juta Euro per tahun (Sekitar 28 Miliar Rupiah). Jelas, perlu ada sikap tegas dari pemerintah untuk melepaskan diri dari kungkungan ekonomi OPEC yang semakin kapitalistik.

Keempat, pemborosan APBN. Pemerintah harus menyadari bahwa APBN yang tidak efisien juga berperan serta dalam kenaikan harga BBM. Apalagi dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang melambat, hanya sekitar 6% per tahun dengan fluktuasi harga minyak dunia yang kian tak terkendali. Cara yang patut dilakukan adalah penghematan fiskal, antara lain dengan pengurangan belanja-belanja yang tak penting dan minimalisasi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum aparatur negara.

Dengan demikian, keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM patut dievaluasi kembali. Pemerintah seyogianya tidak hanya memperhatikan indikator makroekonomi, tetapi juga melihat pada kondisi ekonomi masyarakat. Kesiapan pemerintah dan masyarakat untuk menerima kenaikan BBM ini sangat diperlukan. Yang paling utama, pandanglah persoalan krisis BBM ini dalam perspektif yang lebih kritis.


*) Artikel ini pernah dimuat di Radar Banjarmasin, 15 Mei 2008

Indonesia and Primitive Democacy

Demokrasi di Indonesia Masih Primitif

“A great democracy cannot be called great or to be called as a democracy if it is not progressive.”

(Theodore Roosevelt, 1910)

Apakah demokrasi di Indonesia salah kaprah? Pertanyaan tersebut kadangkala terlontar dari kalangan yang kecewa melihat realitas objektif yang mencerminkan kesalahan dalam menafsirkan demokrasi. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia selain membingungkan, kadang-kadang juga membawa efek domino yang mengganggu stabilitas

Sebut saja kasus suap yang melibatkan anggota DPR, usul pembubaran KPK oleh seorang anggota DPR, kecurangan dalam Ujian Nasional, anjloknya harga gabah di pasar akibat aksi borong para spekulan, munculnya kelompok-kelompok sempalan yang berlindung di balik nama besar sebuah agama, korupsi di berbagai daerah, sampai muktamar “ganda” yang dilakukan oleh sebuah partai politik.

Kebingungan ini semakin menjadi-jadi ketika beredar kabar bahwa harga BBM akan naik 30%. Sungguh aneh, dengan harga Premium Rp 4.500 seperti sekarang saja sudah cukup membuat rakyat miskin awut-awutan. Produksi di sektor rakyat pun ambruk akibat kenaikan biaya produksi. Lha sekarang, dengan dalih “penyelamatan APBN” ada yang ingin menaikkan harga BBM.

Inilah yang disebut demokrasi: Semua boleh berbicara tanpa peduli bahwa yang dibicarakannya adalah kebohongan publik, provokasi, atau fitnah. Cukup membingungkan, memang. Apakah demokrasi sejatinya penuh kontroversi? Tentu kita tak dapat menggeneralisasi pernyataan ini hanya dalam konteks Indonesia yang notabene masih belum terlalu lama berdemokrasi.

Pertanyaannya, benarkah demokrasi selalu membawa dampak negatif? Kita perlu menelaah pernyataan Theodore Roosevelt (1910). Kata beliau, demokrasi yang diterapkan di suatu negara tidak dapat dikatakan baik jika tidak progresif Maksudnya, demokrasi tersebut harus membawa kemajuan. Sehingga, demokratisasi tidak cukup hanya di bidang politik dan pemerintahan, tetapi juga di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Dengan fakta yang telah saya beberkan di atas, kita tidak dapat menyalahkan sebuah asumsi yang menyatakan bahwa Indonesia masih belum dewasa dalam berdemokrasi. Indonesia masih saja terlena dengan demokrasi primitif, demokrasi yang justru membawa masalah baru. Demokrasi di negeri ini dimainkan secara formalistik belaka tanpa mengindahkan substansi moral yang terkandung di dalamnya. Akhirnya, berkembanglah mental-mental korup yang menjadikan reformasi untuk kepentingan pribadinya. Inilah demokrasi primitif.

Ada beberapa karakteristik dari demokrasi primitif.

Pertama, demokrasi yang dijalankan penuh dengan kultus individu atau figure-based. Di Indonesia, banyak perilaku politik yang penuh dengan karakteristik ini. Perilaku politik dengan karakteristik ini adalah munculnya sikap sami’na wa atho’na pada ucapan seseorang yang berada pada strata politik tertinggi. Apapun yang diperintahkan oleh tokoh ini, anggota mesti mematuhinya. Jika tidak, anggota akan dipecat dan diblacklist dari keorganisasian.

Kedua, kentalnya budaya patron-client dalam kehidupan politik. Seorang politisi, ketika memiliki kedekatan dengan politisi lainnya, bersedia melindungi politisi lainnya ketika bermasalah. Bahkan ketika aparat ingin menggeledah kantornya pun mesti dilindungi. Yang lebih parah, ada yang berpendapat aparat penegak keadilan harus dibubarkan.

Ketiga, berkembangnya paradigma lassez-faire dalam politik: Keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya tanpa memedulikan orang lain. Biasanya, politisi memainkan jurus permainan anggaran untuk hal ini. Boro-boro menaikkan anggaran pendidikan, para legislator malah meminta laptop padahal di masing-masing ruangan telah tersedia komputer! Apakah gaji anggota dewan yang mencapai puluhan juta itu tidak cukup untuk keperluan pribadi?

Keempat, muncul persaingan tidak sehat dalam politik yang ditandai dengan sikap tak mau kalah. Suatu ketika di suatu forum ada yang berkata, ”Saudara Ketua, anda harus mundur dengan alasan bla..bla..bla..!” Lantas apa jawab sang Ketua? ”Saya tidak akan mundur karena bla..bla..bla..!”. Kedua belah pihak tak mau mengalah dan membawa masalah ke meja hijau. Hasilnya, organisasi ini hancur karena ditinggalkan pendukungnya!

Kelima, dipeliharanya sikap sekuler dengan memisahkan hidup dengan agama. Bagi mereka, hidup ya hidup, agama ya agama. Akhrinya ketika memasuki dunia politik, mereka terjebak pada kepentingan golongan yang serba pragmatis. Implikasi yang paling berbahaya ialah jika seseorang mulai berorientasi pada uang. Muncullah perilaku korupsi dan suap.

Lima karakteristik dari demokrasi primitif ini mungkin hanya segelintir dari perilaku menyimpang yang melanda negeri kita. Tradisi demokrasi primitif ini harus dihilangkan, jika bangsa ini ingin maju. Maka, pembenahan pun harus dilakukan secara komprehensif. Tak salah kiranya jika saya katakan bahwa tak ada jalan lain selain Reformasi total!



Note:
Apresiasi untuk Muktamar Luar Biasa PKB Versi Muhaimin Iskandar dan Abdurrahman Wahid.

Senin, 12 Mei 2008

Kami Bersamamu, Kossovo!

(Sebuah Catatan Pelajar untuk Dunia Islam)

Pertengahan Februari 2008, sebuah sejarah baru tercipta di semenanjung Balkan. Kossovo, sebuah daerah mayoritas muslim yang berada di bawah pengawasan PBB beberapa tahun belakangan ini, menyatakan kemerdekaan mereka dari Serbia yang dulu bergabung bersama Federasi Yugoslavia. Pernyataan kemerdekaan Kossovo ini langsung mendapat apresiasi positif dari masyarakat internasional dan juga mendapat pengakuan dari United Nations (PBB) beserta anggota-anggotanya.

Akan tetapi, kemerdekaan Kossovo bukannya tanpa halangan. Serbia merasa kemerdekaan Kossovo adalah ”kemerdekaan palsu”. Hal ini karena, seperti Taiwan, Kossovo adalah provinsi yang bermasalah sejak berada dalam pangkuan Federasi Yugoslavia. Oleh karena itu, Serbia seakan-akan tidak rela dan terus melakukan demonstrasi menuntut kembalinya Kossovo ke tangan mereka.

Sementara itu, dukungan internasional terus mengalir. Amerika Serikat mengakui kemerdekaan Kossovo dalam forum di United Nations. Begitu pula banyak anggota dari Uni Eropa yang bertetangga dengan Kossovo. Dukungan internasional ini memperkuat kepercayaan diri Kossovo dalam melaksanakan pembangunan awal setelah sebelumnya hancur oleh konflik berkepanjangan.

Serbia dan Konflik Balkan
Jika kita analisis, kemerdekaan Kossovo ini merupakan sebuah peristiwa yang didahului oleh peristiwa penting lain di semenanjung Balkan. Kita tahu, Federasi Yugoslavia didirikan oleh negara-negara di kawasan Balkan seperti Slovenia, Serbia, Montenegro, Bosnia, dan Macedonia. Federasi ini memiliki posisi yang kuat pada era 1950-an ketika Joseph Broz Tito menjadi presiden.

Kendati memiliki hubungan yang cukup erat dengan Uni Sovyet, Yugoslavia memiliki pengaruh yang cukup besar dalam Gerakan Non-Blok. Federasi ini lebih memilih untuk tidak terlibat langsung dalam pertikaian ideologi pada saat perang dingin, tetapi lebih memilih untuk melakukan konsolidasi internal. Terbukti, tangan dingin Broz Tito dapat menyatukan tiga kekuatan yang berlawanan: Serbia dengan sosialisme yang kuat, Bosnia dengan Islam, dan Macedonia-Kroasia dengan Kristen Ortodoks yang kental.

Akan tetapi, keharmonisan Yugoslavia melemah setelah berakhirnya era Joseph Broz Tito. Pengganti-penggantinya kurang kuat dalam melakukan harmonisasi dan perbaikan. Klimaksnya, Slobodan Milosevic dari Serbia berkuasa di akhir era 1990-an dan menandai subordinasi Serbia atas anggota-anggota Yugoslavia lain.

Di era tersebut, Milosevic dan tangan kanannya, Radovan Karadzic melakukan ethnic cleansing atau yang lazim dikenal dengan genosida di Bosnia. Puluhan ribu umat Islam tak berdosa menjadi korban. Baik para ulama, wanita, bahkan anak-anak sekalipun. Protes internasional terbit. Semua organisasi Islam bersepakat untuk menekan PBB agar menindak praktik genosida atas umat Islam ini. Pasukan internasional pun diterjunkan dan berhasil menetralisir keadaan. Puncaknya, federasi Yugoslavia pecah dan hanya tersisa Serbia serta Montenegro saja yang akhirnya juga berpisah.

Slobodan Milosevic ditangkap dan dipenjara di Den Haag. Sementara itu, Radovan Karadzic dan perwira militer lain yang terlibat dalam pembersihan etnis di Bosnia buron; ada beberapa yang tertangkap. Belakangan, Milosevic dikabarkan bunuh diri di selnya di Den Haag ketika menunggu putusan tetap dari International Court of Justice.

Akhirnya, pada tahun 2006 yang lalu Federasi Yugoslavia dibubarkan. Serbia dan Montenegro memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri tanpa satu ikatan politis. Akhirnya, Februari 2008 menjadi tonggak sejarah baru bagi Kossovo dengan deklarasi kemerdekaan yang didukung oleh NATO, Uni Eropa, dan PBB.

Refleksi dan Rekomendasi
Sekarang, Kossovo telah merdeka. Di sini, penulis ingin memberikan sedikit saran kepada semua pihak yang terkait dalam persoalan-persoalan internasional.

Pertama, Indonesia dalam kapasitas sebagai anggota Dewan Keamanan PBB harus mendukung –minimal mengakui— kemerdekaan dan kedaulatan Kossovo. Pengakuan kedaulatan ini penting mengingat adanya ikatan persaudaraan antara Indonesia dan Kossovo yang notabene berpenduduk mayoritas muslim. Indonesia harus mengingat bahwa ketika awal kemerdekaan, Ikhwanul Muslimin dan pemerintah Mesirlah yang mengakui kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 atas dasar Ukhuwah Islamiyah.

Kedua, Indonesia harus aktif sebagai mediator jika terjadi konflik antara Kossovo dan Serbia yang didukung oleh Rusia. Dalam forum DK, posisi Indonesia harus netral, berada di tengah namun tetap tegas terhadap persaudaraan Islam. Yang terpenting, perang saudara dapat dielakkan dan dihindarkan dari tanah Balkan. Penggunaan militer harus mendapat sorotan tajam dalam perundingan keamanan internasional terkait masalah Kossovo ini. Di sini, kejelian Marty Natalegawa sebagai Diplomat Indonesia untuk PBB kita harapkan agar dapat mengakomodasi kepentingan perdamaian dan kedaulatan negara.

Ketiga, Indonesia juga harus siap jika perang memang benar-benar terjadi di Kossovo. Kendati NATO dan pasukan perdamaian PBB masih memegang peranan penting di Kossovo, sinyal dari Serbia untuk melakukan protes tetap ada. Apalagi Perdana Menteri Serbia Vojislav Kostunica dan Presiden Serbia Boris Tadic telah melegitimasi aksi demonstrasi dan upaya blokade perbatasan Serbia-Kossovo. Kembali, peran Indonesia untuk menjadi alat perdamaian kita harapkan.

Keempat, penulis meminta dukungan umat Islam di Indonesia untuk terus mendoakan saudara-saudara di Kossovo, agar fase pembangunan awal di negara ini dapat berjalan lancar. Gangguan pasti ada, tetapi harus ada upaya untuk bangkit dari keterpurukan dan memulai awal baru. Para ulama telah menyuruh kita untuk mendoakan umat Islam yang sedang berada dalam kesusahan, seperti yang dialami oleh ikhwah di Kossovo ini.

Terakhir, kita hanya bisa berharap agar Kossovo dapat menjadi negara muslim yang teguh memegang syariat dan istiqomah membangun diri. Ingatlah, kita cinta perdamaian tetapi lebih mengutamakan kemerdekaan. Terpenting, kedaulatan Kossovo diakui di mata masyarakat transnasional. Kami bersamamu, Kossovo!


Artikel pernah dimuat di harian Radar Banjarmasin beberapa waktu yang lalu


Jumat, 09 Mei 2008

Sekolah ”Unggul” atau ”Unggulan”?

Mempertanyakan Labelisasi Sekolah Unggulan dan Beragam Implikasinya

Banjarmasin penuh dengan sekolah "unggulan". Kita tak dapat memungkiri sebuah fakta bahwa beberapa sekolah yang memiliki prestasi tersendiri sering disebut-sebut sebagai sekolah unggulan. Antara lain, jika kita menyebut nama, ada SMAN 1 Banjarmasin dan SMAN 7 Banjarmasin yang disebut-sebut sebagai sebuah sekolah unggulan. Kedua sekolah ini menyelenggarakan PSB mandiri dengan memberlakukan tes masuk bagi siswa baru di tahun ajaran nanti (Mungkin meniru UGM dan UNAIR). Namun, benarkah mereka pantas menyandang gelar "sekolah unggulan" di atas?

Kita perlu meninjau kembali apa arti frase ”Sekolah Unggulan” itu. Saya yakin, belum ada teoritisi pendidikan yang memberikan definisi frase di atas secara tepat. Yang saya temui sekarang ini, frase ”Sekolah Unggulan” justru diberikan oleh para praktisi pendidikan yang sangat ambisius dengan prestise sekolahnya. Artinya, frase ”Sekolah Unggulan” telah mengalami deviasi makna menjadi cenderung subjektif. Implikasi yang mengkhawatirkan, frase di atas dapat menimbulkan penyelewengan makna lanjutan menjadi ”sekolah mahal” yang berarti telah jauh berpindah ke arah materialisasi dan komersialisasi pendidikan. Ini yang penulis khawatirkan.

Saya sebagai seorang siswa sejatinya memiliki pendapat bahwa sekolah unggulan patut ”ditiadakan”. Saya berpendapat, sekolah unggulan hanyalah sebuah titel belaka, bukan sebuah penghargaan yang diberikan secara subjektif. Saya tidak mengetahui parameter apa yang digunakan untuk mengukur kata ”unggulan” ini. Mungkin ada yang berpendapat sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu membuka kelas ”akselerasi”. Atau sekolah yang mampu ”meloloskan” siswa ke kompetisi di level nasional (padahal sekolah tidak memberi dana kepada siswa tersebut). Pendeknya, yang dikedepankan adalah prestasi siswa dan ”prestasi” sekolah.

Baiklah, mari kita analisis.

Mengapa dibukanya kelas ”akselerasi” sering diukur sebagai parameter sekolah unggul? Argumentasi yang berkembang, kelas akselerasi ditujukan bagi siswa dengan bakat akademis yang excellent. Nah, bagaimana dengan siswa yang berbakat secara akademis tetapi tidak memiliki kesempatan karena berada nun jauh di pelosok sana? Ini menandakan istilah unggulan hanya dimonopoli oleh sekolah di kota-kota besar. Saya tidak berani mengatakan kelas akselerasi yang dijadikan dalil merata persebarannya di seluruh Indonesia. Yang ada justru banyak sekolah yang memaksakan diri untuk membuka kelas akselerasi dengan bayaran melangit.

Jika ada yang menggunakan parameter prestasi untuk mengukur ”keunggulan” sebuah sekolah, mengapa sekolah-sekolah pinggiran yang berhasil menelurkan siswa berprestasi tidak dihadiahi predikat di atas? Atau bagaimana dengan sekolah-sekolah yang memiliki prestasi biasa saja, tetapi ternyata mampu menjadi sekolah yang berwawasan lingkungan dan berdisiplin tinggi, apakah mereka bukan sekolah unggulan? Ujung-ujungnya, parameter yang berlaku adalah uang untuk biaya operasional sekolah yang tinggi.

Di sini, saya menggunakan istilah ”Sekolah Unggul”, bukan ”Sekolah Unggulan”. Mengapa unggul? Karena istilah sekolah unggul dapat dimiliki oleh siapa saja, tidak harus dimiliki oleh sekolah yang memiliki dana berlebihan. ”Sekolah Unggul” bukanlah predikat yang harus disandang sebuah sekolah, tetapi ia lebih menjadi sebuah objek yang harus dinilai dengan parameter yang berbasis pada kualitas, bukan uang.

Apa bedanya ”Unggul” dengan ”Unggulan”? Mungkin ini akan dipertanyakan oleh banyak orang, apalagi oleh Pak Sandy sendiri. Saya memiliki argumentasi sendiri berkaitan dengan penggunaan kata ini.

Pertama
, seperti yang telah dijelaskan di atas, kata unggul dapat dimiliki oleh siapa saja. Ia bukan sebuah istilah yang diberikan, tetapi ia adalah sebuah implikasi dari kerja keras dan prestasi yang diraih. Sekolah pinggiran atau sekolah di tengah kota, semua memiliki hak.

Kedua, istilah sekolah unggulan sekarang lebih sering dimaknai sebagai sekolah ”mahal”. Buktinya ada di sekolah saya yang sering dikatakan (lebih tepatnya ”menyatakan diri”) sebagai sekolah unggulan. Saya betul-betul tidak paham, apakah dengan adanya predikat unggulan sekolah berhak memungut dana kepada siswa dengan nominal yang besar? Ironisnya, sekolah yang memungut dana besar ternyata tidak memiliki akuntabilitas dan transparansi yang tinggi. Saya telah banyak menganalisis penyimpangan-penyimpangan APBS yang dimonopoli oleh birokrat sekolah tanpa adanya aksesibilitas kepada siswa (bahkan pada orang tua yang tidak berada dalam circle of authority).

Ketiga, sekolah unggulan seringkali mendapatkan perhatian yang berlebih dari pemerintah. Seakan-akan sekolah unggulan adalah sebuah proyek yang akan menghasilkan keuntungan besar. Seharusnya, pemerintah lebih memprioritaskan program pada pemerataan. Ingat, masih banyak sekolah yang memerlukan sarana dan prasarana memadai, sementara standard Ujian Nasional terus meningkat setiap tahun. Belum lagi dengan tuntutan dunia kerja yang mengisyaratkan sekolah untuk membekali siswa tentang life skill dan specialty yang sangat berguna ketika siswa berkarier atau kuliah, yang berarti harus ada kurikulum yang adaptif dan responsif terhadap gejala perubahan sosial. Sekolah unggul mengisyaratkan pemerintah untuk melakukan pemerataan tersebut.

Keempat, sekolah unggul juga berarti ada upaya untuk meminimalisasi biaya tinggi dalam pendidikan. Bahkan, sekolah unggul harus menyediakan akses seluas-luasnya bagi para siswa untuk mengetahui keperluan sekolah. Selain itu, birokratisasi pendidikan juga harus dihentikan. Siswa memiliki kewajiban yang harus dilakukan selama digembleng dalam institusi pendidikan, tetapi siswa juga punya hak untuk tahu. Apalagi, UU No 20 tahun 2003 sebagai basis legitimasi dari pelaksanaan pendidikan sekarang mengisyaratkan hal yang demikian.

Demikianlah, seyogianya pemerintah mengganti istilah ”sekolah unggulan” menjadi ”sekolah unggul” yang disertai pemerataan, aksesibilitas, dan interkoneksi yang memungkinkan semua warga negara Indonesia menikmati pendidikan secara wajar. Jangan sampai tujuan filosofis pendidikan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dinodai oleh para praktisi pendidikan itu sendiri. Ingat, kebangkitan bangsa ada di tangan para pelajar!

*) Pelajar SMAN 1 Banjarmasin

Sekelumit Harapan Pilkada HSS

Membaca Peluang Cabup-Cawabup HSS

Genderang Pemilihan Bupati HSS 2008-2013 sepertinya sudah mulai ditabuh. Di berbagai media massa, kita mendengar ada tiga pasang calon Bupati dan Wakil Bupati yang mengisyaratkan akan maju dalam perhelatan demokrasi daerah kali ini: Muhammad Safi’i-Ardiansyah diusung oleh PPP, PKS, PAN, dan PKB, Bachdar Djoehan-Samsuri Yusuf diusung oleh Partai Golkar, PBR, dan koalisi partai-partai kecil serta Ariffin Noor-Anwar Hamidi yang diusung oleh PBB-PDIP.

Jika kita tinjau dari partai politik yang mengusung (mesin politik), dapat kita cermati bahwa ada persaingan yang cukup ketat dari masing-masing calon. Dari data hasil pemilu 2004, dapat kita kalkulasikan dukungan mesin politik dari masing-masing calon adalah sebagai berikut: Safi’i-Ardiansyah memiliki jumlah pemilih awal sebesar 49.106 pemilih (51,1%). Bachdar Djoehan-Samsuri Yusuf mendapat dukungan 18.597 pemilih (19,3%). Arifin Noor-Anwar Hamidi memiliki “modal” sebesar 12.569 pemilih (13,1%). Jumlah pemilih ini belum termasuk dukungan PKB dan partai-partai kecil yang jika dikalkulasikan pun tetap tidak mengubah peluang masing-masing calon.

Memang dari data di atas, kans Safi’i-Ardiansyah sangat terbuka. Jika kita lakukan kilas balik pada Pilkada Gubernur tahun 2005 lalu, akan kita dapati kenyataan bahwa kandidat yang diusung oleh PAN-PKS (Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar) cukup berjaya di daerah ini. Apalagi jika ditambah dengan perolehan suara PPP yang berjumlah 10.071 suara. Kita masih menunggu kepastian dari PKB yang masih belum menentukan sikap politik mereka.

Membaca Peluang
Dengan data “pembanding” pada pemilu 2004 tesebut, potensi masing-masing calon sebenarnya masih terbuka jika mereka dapat memaksimalkan isu-isu strategis dan dapat mengambil hati para pemilih dengan komunikasi politik yang efektif. Terlebih bagi Muhammad Safi’i-Ardiansyah yang memiliki “modal” cukup besar, yaitu 40,6% suara. Dengan konfigurasi “Urang Negara-Urang Kandangan” yang diwakili oleh kedua figur deserta popularitas keduanya.

Bachdar Djoehan-Samsuri Yusuf pun masih memiliki peluang jika mampu menarik simpati massa grass-root. Calon harus mampu memaksimalkan peran mesin politik dan lebih berkonsentrasi pada pemilih arus bawah. Mereka sebaiknya tidak melakukan manuver politik dengan “menyerang” calon lain, tetapi sebaiknya menarik simpati kalangan arus bawah dengan menunjukkan isu-isu perubahan dan peningkatan kesejahteraan.

Begitu pula dengan Arifin Noor-Anwar Hamidi. Walaupun dalam kalkulasi mereka memiliki dukungan sedikit, tetapi mereka harus dapat “melipatgandakan” suara yang diterima dengan isu-isu yang populis. Selain itu, calon juga sebaiknya membangun citra yang baik di masyarakat dan memaksimalkan kampanye untuk menarik dukungan dari massa. Mobilisasi massa pada waktu kampanye mungkin dapat dilakukan, tetapi ada baiknya calon memperhatikan konstituen di daerah luar Negara dan Kandangan.

Dukungan Massa
Secara umum, penulis berpendapat bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi dukungan massa dalam pemilihan kepala daerah secara umum, terutama dalam Pilkada Hulu Sungai Selatan ini.

Pertama, figuritas. Popularitas dari masing-masing calon dan charisma yang dipancarkan, serta kepercayaan masyarakat pada figur sang calon cukup menentukan besarnya dukungan rakyat terhadap sang kepala daerah. Dapat kita lihat pada fenomena Pilkada Tangerang yang dimenangkan oleh Ismet Iskandar dan Rano Karno.

Kedua, finansial. Faktor ini sangat efektif bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, karena dukungan bagi mereka sangat terkait dengan persoalan ekonomi. Faktor uang juga berpengaruh dalam besaran dana kampanye yang dikeluarkan, juga akan berpengaruh dalam mendongkrak popularitas partai politik yang bersangkutan.
Ketiga, mesin politik atau partai politik yang mengusung. Faktor partai politik ini dapat kita analisis pada perolehan suara Pemilu yang biasanya memiliki hubungan lurus dengan perolehan suara Pilkada. Faktor suara partai politik ini cukup efektif pada daerah-daerah basis partai politik yang memiliki massa fanatik. Contoh kasus adalah pada Pilkada DKI Jakarta yang mencerminkan keefektifan partai politik dalam memenangkan kandidat yang mereka usung.

Pada Pilkada Jakarta yang mempertemukan Fauzi Bowo-Priyanto dengan Adang Daradjatun-Dani Anwar tersebut, PKS harus menghadapi koalisi 20 partai. Di atas kertas, Adang-Dani diperkirakan para analis hanya akan mendulang suara sekitar 20%-25% saja. Tetapi fakta di lapangan, perolehan suara mereka terdongkrak sampai lebih dari 40%! Walaupun jumlah ini tidak cukup untuk memenangi Pilkada, tetapi fspsy kita lihat efektivitas parpol yang dapat melipatgandakan suara dari prediksi awal para analis politik.

Thus, kita hanya berharap pentas demokrasi dapat dimaksimalkan oleh masing-masing calon. Tinggallah kita nantikan pertarungan di arena demokrasi rakyat 2008 mendatang, mudah-mudahan para calon bupati dapat lebih dicintai oleh rakyat dan mengerti aspirasi urang pahuluan. Nantikanlah Kandangan dan Negara memilih!

Selasa, 06 Mei 2008

Siapkah Boediono Menjadi Gubernur BI?

Menanti Gubernur Baru Bank Indonesia[1]

Suasana di Gedung Bank Indonesia sekarang mulai hangat. Burhanuddin Abdullah yang telah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia sejak tahun 2003 akan digantikan oleh gubernur baru. Situasi kian memanas setelah Komisi XI menolak dua calon yang diajukan oleh presiden: Agus Martowardoyo dan Raden Pardede. Mereka dianggap kurang memiliki kapabilitas untuk memimpin sebuah institusi moneter yang amat menentukan kondisi perekonomian nasional. Terlebih, mereka bukan calon yang berasal dari internal Bank Indonesia sendiri. FPDIP dan FPKS menjadi avant garde penolakan dua calon ini.

Memang, banyak kalangan mempertanyakan keputusan presiden mencalonkan Agus Martowardoyo dan Raden Pardede sebagai calon Gubernur BI. Alasannya, keduanya bukan orang yang berlatarbelakang karier di lingkungan Bank Indonesia. Agus Martowardoyo dan Raden Pardede sehari-hari bergelut di dunia perbankan umum dan belum memiliki pengalaman sebagai pengambil keputusan moneter. Sehingga, kedua calon ini dinilai belum memiliki memiliki kapabilitas sebagai penjaga gawang moneter Indonesia.

Suasana kian menghangat setelah Presiden mengajukan Boediono sebagai calon tunggal Gubernur BI. Kredibilitas Boediono tak perlu dipertanyakan. Sejak ia menggantikan Aburizal Bakrie sebagai Menko Perekonomian, prestasi-prestasi telah banyak dicapai. Antara lain menjaga tingkat inflasi berada dalam lingkaran 6% per tahun, menjaga kestabilan nilai kurs pada kisaran 9.200 per Dolar AS, sampai stabilisasi keuangan dengan anggaran yang terbatas. Sehingga, muncul kabar bahwa DPR-RI pun siap melanggengkan beliau sebagai Gubernur BI.

Berkaca pada Krisis 1997
Siapapun Gubernur BI yang akan terpilih nanti pada dasarnya tidak dipersoalkan oleh rakyat. Mengingat, Bank Indonesia hanya mengatur stabilitas ekonomi dalam tataran makro, tidak langsung turun ke grass-root. Akan tetapi perlu diingat bahwa stabilitas moneter kita akan sangat dipertaruhkan pada posisi ini.

Kita mungkin masih ingat bagaimana parahnya krisis keuangan yang melanda Indonesia pada 1997. Nilai rupiah terdepresiasi sampai 55%, mencapai kisaran 15.000 per Dolar AS pada 1998. Negeri kita seakan menjadi ”surga” bagi para spekulan yang melakukan aksi borong Dolar dan mengakibatkan nilai rupiah anjlok. Parahnya lagi, depresiasi ini berimplikasi pada inflasi berat yang menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar akibat naiknya biaya produksi. Akibatnya bisa ditebak: pengangguran di mana-mana, harga bahan kebutuhan pokok naik, dan tingkat kesejahteraan menurun drastis.

Memang, krisis pada tahun 1997 tersebut tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain di Asia Tenggara. Malaysia dan Thailand yang disebut-sebut memiliki fundamental ekonomi yang kuat juga mengalami krisis, meski tidak separah Indonesia. Thailand dikabarkan menghabiskan sebagian besar cadangan devisanya selama beberapa minggu hanya untuk melindungi nilai Baht dari aksi ”teror uang” para spekulan. Sementara nilai Ringgit Malaysia juga terdepresiasi sekitar 31%. Akan tetapi, mereka mampu bangkit dengan cepat, sehingga krisis tidak sampai menjalar ke mana-mana.

Langkah Strategis
Kita nantikan saja kepiawaian Boediono (jika lulus fit and proper test) dalam melakukan stabilisasi moneter dengan kartu kebijakan yang sesuai. Prestasi harus dicatat, dan terpenting inflasi harus dihindarkan. Untuk itu, penulis mencoba memberi beberapa pandangan terhadap pemegang kendali moneter Indonesia yang baru.

Pertama, Gubernur BI harus memiliki ketegasan sikap dalam persoalan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kita tidak mengharapkan munculnya obligor baru yang menilep uang negara sebanyak triliunan rupiah tanpa bisa mengembalikannya. Di sini, ketegasan sikap dari dewan gubernur BI sangat menentukan. Jika Gubernur BI tidak memahami trik-trik para obligor dan debitur BLBI yang hanya bisa lari ketika dimintai pertanggungjawaban mengenai kredit macet mereka, bukan tidak mungkin ”Sjamsul Nursalim dan Eddy Tanzil” baru akan bermunculan di mana-mana.

Kedua, Bank Indonesia harus mampu mengelola kebijakan open market selling dengan baik dan tidak ”asal jual”. Keputusan BI untuk menerbitkan ORI (Obligasi Ritel Indonesia) yang konon telah mencapai seri kelima merupakan kebijakan yang cukup bagus untuk didukung. Hal ini, di samping membantu menekan laju inflasi, juga dapat menggembirakan pelaku pasar modal dengan komoditas baru. Hanya saja, perlu diingat bahwa harus ada kehati-hatian dalam menerbitkan obligasi ritel ini.

Ketiga, peredaran uang harus benar-benar terkontrol oleh Gubernur BI. Selain harus menertibkan penerbitan uang palsu, Bank Indonesia juga harus menggunakan instrumen moneter lain. Antara lain, misalnya, dengan penggalakan menabung di Bank sebagai wujud dari society moral persuation. Selain itu, kredit selektif harus benar-benar dilakukan oleh BI, jangan sampai kasus ”debitur-debitur palsu” yang suka menilep uang negara dan kabur ke Singapura terulang kembali.

Demikianlah saran penulis pada Gubernur BI yang baru. Siapapun yang terpilih, penulis mengapresiasi dan mendukung asalkan disertai dengan kapabilitas dalam mengendalikan roda moneter di negara kita. Silakan berdebat, yang penting membawa hasil. Benar toh?




[1] Artikel ini dimuat di Radar Banjarmasin, April 2008
[2] Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Pelajar SMAN 1 Banjarmasin. Pengamat masalah Ekonomi dan Politik

Kamis, 01 Mei 2008

Potret Pengkhianatan Intelektual

Menelaah Perilaku Organisasi Siswa Sekolah

Pelajar tengah dilanda oleh gelombang pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar pendidikan. Dalam bahasa penulis, pelajar tengah dilanda oleh gejala ”pengkhianatan intelektual” yang cukup berbahaya.

Apa saja indikatornya? Mari kita analisis tiga fenomena di bawah ini.

Fenomena pertama, banyak di antara pelajar yang cenderung untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang miskin nilai dan hampa tujuan. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pelajar seringkali kontraproduktif dengan tujuan pelajar dalam bersekolah. Gejala ini kemudian diperparah oleh masuknya unsur hura-hura bahkan kecenderungan untuk belajar materialistik dalam memandang sesuatu.

Salah satu contoh, ironisnya, terjadi di sekolah saya sendiri, di mana para siswa justru melakukan pengkhianatan intelektual tersebut dengan menyelenggarakan sebuah kegiatan yang sarat unsur hura-hura dan miskin makna di sekolah. Baiklah, mungkin ada yang berpendapat bahwa kegiatan tersebut murni dilaksanakan untuk mengembangkan kreativitas siswa. Atau mungkin ada yang berargumentasi bahwa kegiatan tersebut adalah kegiatan yang umum dilaksanakan di kalangan pelajar di Banjarmasin, bahkan di luar daerah ada yang menyelenggarakan pentas seni yang lebih besar

Di sini, ada hal yang patut dicermati. Fenomena pertama, kegiatan tersebut sangat miskin nilai positif bagi pelajar. Okelah, mungkin ada yang beranggapan bahwa kegiatan yang sarat unsur hura-hura diselenggarakan untuk mengembangkan kreativitas pelajar. Tetapi, apakah ada unsur solidaritas, sosial, atau moral dari festival ini? Atau adakah rasa kepedulian siswa bagi saudara-saudaranya dengan kegiatan tersebut?

Sangat disayangkan, jika kita melihat betapa banyaknya korban banjir di Jawa Tengah yang kehilangan tempat tinggal atau banyaknya anak yang terpaksa tidak bersekolah akibat kurangnya biaya. Sementara di Banjarmasin, pelajarnya justru menghambur-hamburkan uang untuk sebuah event yang terkesan hura-hura. Atau jika kita berperspektif lebih global, kita akan mendapati kenyataan bahwa banyak sekali anak-anak di Palestina yang menjadi yatim karena ayah-ayah mereka dibunuh! Inikah yang dirasakan oleh anak-anak di Banjarmasin yang notabene adalah saudara-saudara mereka?

Fenomena kedua, ada kesan bahwa siswa dikondisikan untuk berbisnis, atau dengan kata lain memasukkan komoditas bisnis ke sekolah. Untuk menyelenggarakan sebuah kegiatan, tentu faktor finansial menjadi perhatian utama. Pada suatu penyelenggaraan, apalagi pada penyelenggaraan dengan estimasi dana besar seperti kegiatan ini, dana yang diperlukan mestilah besar. Implikasinya, ada deal-deal tertentu antara pihak pelajar dan perusahaan yang ingin memasarkan produknya di sekolah.

Katakanlah kita tidak mempermasalahkan siswa yang ingin mencari dana. Silakan, dana dapat dikumpulkan dengan cara apapun. Silakan siswa melakukan deal apapun dengan pihak sponsor. Tetapi perlu diingat, apa tugas siswa di sekolah? Apakah siswa datang ke sekolah untuk mengembangkan usaha? Tentu tidak.

Pada dasarnya, siswa sah-sah saja melakukan perjanjian dengan pihak sponsor. Hanya saja, perjanjian tersebut tidak lantas diikuti oleh praktik bisnis di sekolah. Yang lebih menyakitkan, kadang kala pihak sekolah ”mengipasi” persoalan ini dengan justru membuat perjanjian baru dengan pihak sponsor. Bahkan, ada sekolah yang melakukan praktik komersialisasi aset sekolah dengan menyewakan lapangan kepada siswanya sendiri pada saat kegiatan.

Fenomena ketiga, banyak kegiatan yang justru bersifat destruktif terhadap siswa. Contohnya adalah dengan menyelenggarakan sebuah ”festival” musik di sekolah sendiri. Yang dapat penulis tangkap, selain miskin makna dan hampa nilai festival tersebut juga tidak memberi kontribusi moral yang berarti bagi pelajar. Banyak di antara para pelajar yang keluar-masuk area kegiatan dengan pasangan mereka. Kemudian, di tengah kegiatan hura-hura tersebut, banyak praktik “bermesraan-ria” di area penyelenggaraan. Belum lagi dengan asap rokok bertebaran di mana-mana. Inikah identitas pelajar yang disebut-sebut sebagai calon intelektual masa depan bangsa?

Penulis memaklumi jika pelajar masih ingin mengembangkan kreativitas mereka. Memang, kreativitas adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dari generasi muda. Hanya saja, tak bisakah jika kreativitas tersebut disalurkan dalam kegiatan positif yang konstruktif dan sarat nilai positif? Atau tak bisakah jika pelajar sedikit mengalihkan kreativitas tersebut ke dalam kerangka nilai sosial yang bermanfaat bagi pelajar lain?

Ingat, masih banyak saudara-saudara kita yang memerlukan uluran tangan kita semua. Jika di sini para pelajar hanya membuang-buang uang untuk sebuah ”kreativitas” sementara di tempat lain banyak saudara kita yang tak bisa menyalurkan kreativitas mereka ke dalam sebuah kegiatan positif, bukankah ini yang dinamakan sebagai pemborosan? Mana jiwa intelektual pelajar jika tidak tanggap sasmita terhadap nasib saudaranya?

Oleh sebab itu, wahai pelajar, renungkanlah! Kita adalah insan cendekia yang diharapkan dapat merekonstruksi kepribadian bangsa di masa depan. Janganlah kita mengkhianati tujuan luhur kita; Janganlah menjadi pengkhianat intelektual yang hanya tahu urusan korupsi belaka. Perjalanan panjang ini harus kita mulai, sekarang!


*) Artikel ini merupakan wujud keprihatinan atas diselenggarakannya festival band oleh OSIS SMAN 1 Banjarmasin. Artikel ini pernah dimuat di Radar Banjarmasin, beberapa waktu yang lalu.

Supersemar dan Sisi Lain Sejarah

Mencoba untuk Lebih Adil Menilai G30S

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) merupakan sebuah dokumen penting di penghujung era Orde Lama. Asumsi umum yang mengemuka selama ini adalah bahwa Supersemar merupakan sebuah ’mandat’ yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Mayjend Soeharto untuk memberantas Gerakan 30 September yang menculik tujuh perwira tinggi AD. Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadi kelompok yang bertanggungjawab atas terjadinya gerakan ini.

Sejarah Supersemar sendiri, mengacu pada buku teks sejarah, berawal dari kedatangan tiga perwira militer ke kediaman Presiden Soekarno di Istana Bogor, yaitu Basuki Rahmat, M Yusuf, dan Amir Machmud. Ketiga perwira ini menyampaikan pesan dari Mayjend Soeharto selaku Pangkostrad bahwa ia dapat menyelesaikan tugas untuk memberantas G30S dengan mandat dari Presiden. Akhirnya, supersemar pun terbit.

Supersemar kemudian diikuti oleh sebuah peristiwa yang kita kenal dengan Nawaksara, pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno yang ditolak oleh MPRS pada tanggal 12 Maret 1967. Sejak saat itu, kedudukan Mayjend Soeharto semakin kuat sampai akhirnya dilantik sebagai Presiden pada tahun 1968.

Mempertanyakan Supersemar
Ada beberapa pertanyaan yang mengganggu penulis dalam persoalan Supersemar. Supersemar yang tadinya dianggap sebagai bukti absolut dari “pengharaman” PKI dan ormas-ormasnya memendam beberapa hal yang patut untuk dianalisis lebih dalam.

Pertama, mengapa sampai sekarang teks asli Supersemar tidak diketahui publik? Hal ini cukup aneh mengingat Supersemar merupakan dokumen peralihan kekuasaan yang sangat penting untuk bukti sejarah. Dokumen-dokumen penting, apalagi yang dihasilkan untuk memberi mandat harus jelas. Contoh, dokumen Sumpah Pemuda, dokumen teks asli Proklamasi (tulisan tangan Soekarno dan ketikan Sayuti Melik), serta dokumen pidato pengunduran diri Soeharto. Nah, bagaimana dengan teks asli Supersemar? Tak ada satupun yang mengetahui secara detail isi dari surat perintah ini.

Kedua, mengapa peran Soeharto jauh lebih besar dari peran Mayjend Pranoto? Supersemar (Atau peraturan yang mengikutinya) tidak hanya memberikan mandat kepada Mayjend Soeharto, tetapi juga kepada Mayjend Pranoto Reksosamudro yang diberi mandat untuk melakukan perbaikan militer secara administratif. Seharusnya, Mayjend Pranoto dengan kedudukan hierarkhis yang sejajar dengan Soeharto juga memiliki wewenang dalam pengambilan kebijakan. Terlebih, sesuai instruksi Presiden Soekarno beliau diposisikan sebagai Men/Pangad walaupun diboikot oleh Soeharto.

Ketiga, ada apa di balik munculnya pasukan tanpa identitas di Istana Bogor pada hari itu? Dalam catatan sejarah, sebelum Supersemar ditandatangani memang ada laporan bahwa banyak pasukan tanpa identitas mengepung Istana Bogor. Kemudian Presiden Soekarno yang tengah memimpin rapat kabinet pulang setelah mendengar laporan tersebut. Selanjutnya, datanglah tiga perwira AD ke Istana Bogor dengan membawa pesan Mayjend Soeharto. Apakah ada keterkaitan antara peristiwa-peristiwa tersebut?

Keempat, apakah benar ada dokumen yang disebut sebagai ”Supertasmar” atau Surat Perintah Tiga Belas Maret yang berisi pemberian wewenang Supersemar secara tepat oleh Presiden Soekarno? Jika benar ada, maka keberadaan Mayjend Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar secara hukum menjadi tidak jelas. Dokumen ini perlu ditelusuri kembali agar ada pelurusan dan objektivisasi sejarah G30S di ranah publik.

Empat pertanyaan ini perlu kita cermati agar sejarah Supersemar tidak terdistorsi oleh kepentingan politik pemerintah. Perlu adanya analisis mendalam sehingga fakta yang kabur dapat diperjelas. Perspektif yang berbeda pun perlu diketengahkan.

Sisi Lain Sejarah
Kehadiran Supersemar juga memiliki sisi lain dan hal ini juga berkaitan dengan persolan G30S. Prof. Peter Dale Scott, misalnya, menganalisis bahwa ada campur tangan CIA dalam peristiwa ini. Beliau dalam salah satu thesisnya berpendapat bahwa G30S memang sengaja dikondisikan prematur untuk memudahkan pemberantasan. Tesis ini didukung oleh adanya dokumen Gilchrist yang dikeluarkan oleh pihak AS berkaitan dengan adanya G30S dengan istilah yang sangat mencurigakan, ”our local army friend”.

Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, dalam beberapa artikelnya berpendapat bahwa ada sesuatu yang kebablasan dalam pemberantasan PKI. Memang, PKI adalah aktor G30S. Tetapi, apakah logis jika pemerintah melakukan pelanggaran HAM dengan membantai aktivis PKI di Pulau Buru? Tentu kita perlu berpikir jernih dan rasional dalam bertindak.

Kemudian, arah kebijakan Soeharto yang menjauhi Moskow-Beijing dan mendekati Washington juga patut dicermati. Apalagi, penanaman modal asing semakin digalakkan pada era Orde Baru. Apakah ini semacam ”balas jasa” atas apa yang dilakukan pada 1965? Kita tentu tak boleh berprasangka. Tetapi yang jelas, sikap ini adalah sebuah sikap yang patut dicermati karena berpengaruh pada periode selanjutnya di tahun 1998.

Terakhir, penulis ingin memberikan sebuah catatan bahwa Supersemar harus dikaji ulang keabsahannya dan diperiksa kebenarannya. Mungkin Supersemar diterima sebagai basis legitimasi politik oleh Soeharto, tetapi keabsahan sejarahnya masih perlu diperiksa. Terpenting, kita tidak dibodohi atau dibodoh-bodohkan oleh kenyataan. Tetaplah kritis.



*) Artikel ini dimuat di Harian Banjarmasin Post, 11 Maret 2008

Pendidikan Koruptif

Ke Mana Pendidikan Kita Akan Dibawa?

Seorang pakar pendidikan, Paulo Freire, pernah memperkenalkan sebuah sindroma yang menimpa bangsanya dalam dunia pendidikan. “Pendidikan bisu”, beliau menyebutnya. Sindroma tersebut pada intinya membuat seorang pendidik dan peserta didik tak berdaya dalam menghadapi realitas, tak mampu berinovasi dengan kemampuan, serta hanya terkooptasi pada lakon pendidikan yang serba pragmatis.

Sindroma ini ternyata terjadi di negeri kita, sekarang. Berkedok ujian nasional, sistem yang berlaku ternyata mengadaptasi kebisuan ini. Begitu banyak siswa yang harus menggantungkan harapan pada handphone pada waktu ujian. Begitu banyak siswa yang harus berkonspirasi dalam mencari bocoran soal sebelum ujian nasional.

Kita patut prihatin. Kasus terbaru, 16 guru di Deli Serdang harus ditangkap karena tertangkap tangan mengganti lembar jawaban siswa. Kasus lain, ujian nasional di beberapa daerah harus diulang karena indikasi kecurangan. Juga ratusan kasus lain yang penulis yakini terjadi pada saat ujian nasional tahun ini.

Kita heran, mengapa pendidikan bisa jadi koruptif seperti ini? Siswa diajari kejujuran, tetapi dalam ujian nasional diajak untuk curang. Siswa diajari kepercayaan diri, tetapi dalam ujian nasional diajak berkonspirasi dengan memberi kunci jawaban.

Lebih mengherankan lagi, guru dijadikan kambing hitam ketika terjadi kecurangan. Ketika soal ujian bocor, guru yang pertama kali disalahkan. Apakah semua kesalahan mesti ditimpakan kepada guru?

Tentu tidak. Faktanya, semua harus bertanggung jawab. Guru tidak salah. Motif para guru yang membocorkan soal ujian hanyalah untuk memenuhi target yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah! Ada yang menargetkan kelulusan lebih dari 80% dan seterusnya. Ini menjadi problem baru pada ujian nasional.

Kita juga tak dapat menyalahkan sekolah. Mereka melakukan konspirasi kecurangan pada dasarnya hanyalah karena tekanan kondisi dan menyelamatkan prestise sekolah! Dengan adanya ujian nasional, seakan-akan sekolah yang tak mampu meloloskan siswanya dianggap sebagai sekolah yang tak becus. Ini pun menjadi masalah baru dalam ujian nasional.

Juga, kita tak dapat menyalahkan siswa karena berbuat curang. Siswa tentu berpikir, kerja kerasnya selama 3 tahun –bahkan selama 12 tahun—harus musnah ketika menghadapi ujian nasional yang hanya berlangsung selama tiga hari! Lebih jauh dari itu, siswa pun mendapat tekanan untuk mendapat nilai yang baik, tak peduli dengan cara apa ia mendapatkannya.

Apakah yang salah pemerintah? Jawabnya tidak. Pemerintah telah berpikiran benar dengan melakukan standardisasi melalui ujian nasional untuk mencetak sumber daya manusia yang kompetitif ketika di dunia kerja kelak. Apalagi, era pasar bebas telah berada di depan mata. Wajar jika pemerintah memperketat standard kelulusan.

Lantas, siapa yang salah? Kembali pada logika di atas, semua harus ikut bertanggungjawab. Berikut saran penulis dalam perbaikan sistem pen

Pertama, sistem ujian nasional yang koruptif harus dievaluasi. Pemerintah menetapkan standard berdasarkan ujian yang sangat rentan dengan kecurangan. Harus ada komponen ujian nasional yang dievaluasi agar kecurangan dapat diminimalisasi tanpa mengurangi kepercayaan diri siswa.

Kedua, fasilitas pendidikan harus dibenahi. Begitu banyak bangunan sekolah yang rusak dan suasana belajar yang tidak kondusif. Pemerintah tak dapat memaksakan sekolah-sekolah di daerah terpencil untuk mengikuti standard yang tinggi tanpa disertai perbaikan fasilitas sekolah.
Ketiga, Kekeliruan logika pemerintah bahwa semua daerah harus mengikuti sebuah standard nasional patut diluruskan. Masing-masing sekolah dan siswa memiliki kemampuan yang terbatas. Bahkan untuk ukuran beberapa sekolah, soal yang diberikan dianggap sangat sulit karena pembelajaran rutin tidak mencakup hal tersebut.

Keempat, alokasi anggaran harus ditambah. Tidak mungkin pemerintah ingin memperbaiki pendidikan jika kuota 20% anggaran pendidikan tak kunjung direalisasikan. Bahkan, anggaran ujian nasional harus ditambah untuk mengantisipasi kesalahan soal dan kekacauan yang terjadi di mana-mana.

Ini akan menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Saran penulis, tetaplah bijaksana karena ujian memiliki efek domino yang besar dalam kehidupan bangsa kita. Selamat hari pendidikan nasional!

Buruh dan Pasar Bebas 2020

Menyambut Hari Buruh Internasional

Waktu telah menginjak tahun 2008. Kira-kira dua belas tahun lagi, Indonesia akan memulai babak baru ekonomi dengan bergulirnya era perdagangan bebas yang telah disepakati pada APEC Economic Leaders Meeting (AELM) IX di Shanghai, Cina, tahun 2001. Dengan adanya perdagangan bebas ini, pasar domestik akan mengalami pergeseran orientasi dengan masuknya produk-produk asing yang kompetitif dan menyaingi produk lokal.

Semakin dekatnya era perdagangan bebas ini mengingatkan kita pada sebuah pertanyaan penting: bagaimana nasib buruh di tengah kompetitifnya produk asing? Vladimir Lenin (1913)[1] menulis bahwa fenomena subordinasi majikan-buruh pada industri juga terjadi di bidang pertanian karena mekanisasi dan kapitalisasi yang hanya menguntungkan pemilik modal. Selain itu, posisi buruh dianggap tidak efektif dengan keberadaan mesin produksi sehingga upah buruh juga murah untuk “efisiensi” perusahaan. Fenomena ini yang dikhawatirkan terjadi di era perdagangan bebas nanti.

Berubahnya Arah Perekonomian
Mari kita analisis. Perdagangan bebas yang dicanangkan oleh APEC memang memiliki beberapa dampak bagi Indonesia. Pertama, kurang kompetitifnya produk lokal dikhawatirkan akan membuat harga barang lokal jatuh dan kalah saing. Ini akan memberi kerugian bagi para pengusaha yang berinvestasi di sektor ekonomi rakyat seperti pertanian atau perkebunan.

Kedua, pasar bebas akan mengubah peta perekonomian dunia. Bisa jadi negara yang fundamental ekonominya kuat seperti Malaysia atau Singapura akan menjadi macan Asia baru karena iklim kompetisi yang kondusif. Akan tetapi, negara yang perekonomiannya awut-awutan seperti Indonesia akan ”menangis” karena kalah saing. Negara kita tidak hanya dituntut untuk mempersiapkan produksi, tetapi juga menyiapkan pertahanan moneter dan memperkuat fundamental perekonomian

Ketiga, pasar bebas akan membuat nasib para pekerja semakin tidak jelas. Hal ini dikarenakan para pekerja sangat bergantung dengan pengupahan para majikan dan intervensi pemerintah. Dengan pasar bebas, para pengusaha tentu akan berpikir efisien dalam produksi. Salah satu kebijakannya adalah dengan menurunkan upah pekerja sehingga para pekerja semakin terhimpit atas desakan ekonomi.

Bagaimana Nasib Buruh?
Poin ketiga di atas perlu dicermati. Bergulirnya pasar bebas sangat berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan para buruh jika kondisi sekarang terus dibiarkan. Hal ini, selain dikarenakan ”strategi efisiensi” pengusaha, juga disebabkan oleh berkurangnya intervensi pemerintah dalam mengatur pengupahan pada tahun 2020 yang akan datang. Pemerintah cukup menetapkan upah minimum pekerja tanpa mengatur hal-hal teknis lain. Padahal, upah minimum buruh sekarang saja masih cukup rendah.

Lihatlah upah minimum di beberapa daerah, misalnya, upah para pekerja minimum berkisar antara Rp 700.000-Rp 800.000. Nominal ini bagi sebagian orang cukup kecil, mengingat tugas para buruh cukup berat. Hal ini bahkan sempat diperparah dengan adanya RUU Perburuhan yang sangat tidak memihak buruh. Sehingga, nasib buruh yang identik dengan kemiskinan pun tak dapat terangkat di era pasar bebas.

Nasib buruh pun akan semakin sengsara jika individualisme para pemilik modal dan pemilik kekayaan tetap dipelihara. Dengan upah pas-pasan, tentu buruh harus memikirkan cara untuk menghidupi anak dan isterinya. Oleh karena itu, Islam telah menanamkan konsep zakat sebagai solusi. Jika para majikan mau menyisihkan 2,5% saja dari laba usaha untuk santunan kepada buruh, nasib buruh dapat terangkat. Syaratnya, zakat tersebut dikelola secara profesional oleh sebuah lembaga dan disalurkan secara tepat.

Buruh, disadari atau tidak, adalah salah satu elemen penting dalam produksi. Jika para buruh/pekerja melakukan mogok sehari saja, misalnya, produktivitas perusahaan akan terganggu sehingga laba pun akan turun. Dengan demikian, pemerintah harus melakukan pemihakan terhadap buruh dengan meregulasi upah minimum yang layak bagi buruh secara tepat. Ini akan berdampak pada pasar bebas tahun 2020 nanti.

Saya berkesimpulan, era perdagangan bebas 2020 yang telah berada di depan mata harus terus dipersiapkan. Hal terpenting adalah dengan pemihakan kepada buruh sehingga buruh dapat meningkatkan produktivitasnya. Terpenting, peningkatan koalitas produk harus menjadi prioritas. Semoga perdagangan bebas dapat memberi implikasi positif bagi bangsa kita.



[1] Lenin, Vladimir J. 1913. The Three Sources and Three
Component Parts of Marxism
. Diakses dari http://www.marxist.org/ dan diterjemahkan dari
Collective Works, vol. 19 hlm. 23-28. Moscow: Progress Publishers.