Senin, 19 Mei 2008

Krisis Harga BBM, Siapa Salah?

Analisis Kenaikan Harga BBM dari Sisi Produksi dan Kebijakan Luar Negeri

Kenaikan harga BBM telah di depan mata. Keputusan yang mengundang demonstrasi besar-besaran ini kelihatannya akan benar-benar direalisasikan oleh pemerintah. Padahal, beragam protes terlontar dari masyarakat karena kenaikan ini akan membawa dampak yang cukup penting bagi perekonomian masyarakat.

Setidaknya ada dua implikasi yang akan muncul dari kenaikan harga BBM ini.

Pertama, kenaikan biaya produksi bagi para pengusaha kecil. Kenaikan biaya produksi ini akan mendorong pengusaha untuk menaikkan harga produk di pasar. Implikasi lanjutannya, laju inflasi pun akan terdorong lebih cepat. Situasi demikian dalam literatur ilmu ekonomi mikro disebut sebagai cost-push inflation, atau inflasi yang diakibatkan oleh terdorongnya jumlah penawaran karena kenaikan biaya produksi.

Kedua, Menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini merupakan implikasi dari kenaikan harga di atas. Karena harga barang di pasar naik secara signifikan, masyarakat pun mulai membatasi konsumsi dan memperkecil jumlah tabungan mereka. Ini akan membuat masyarakat kecil ambruk karena tingkat konsumsi mereka yang pas-pasan harus semakin diperkecil. Implikasi lainnya, sebagian produsen akan mengalami kerugian karena konsumen mengurangi pembelian atas produk-produk mereka.

Namun jika BBM tidak dinaikkan, pemerintah pun akan mendapat kerugian.

Pertama, APBN-Perubahan akan membengkak. Subsidi yang terlalu besar yang tidak dibarengi oleh membaiknya indikator makroekonomi berpotensi membangkrutkan negara. Terlebih, harga minyak dunia semakin melambung (kabarnya mencapai $127,7 per barel) tanpa dapat dikontrol oleh OPEC.

Kedua, kenaikan harga BBM akan membawa implikasi negatif di pasar modal. Analisis Purbaya Yudhi Sadewa (ekonom Danareksa) menyebutkan bahwa harga saham di IHSG cenderung mengalami penurunan dalam triwulan pertama (Januari-Maret). Jika APBN benar-benar jebol, harga tersebut akan semakin turun karena sentimen negatif pelaku pasar.

Hal ini jika dibiarkan akan memicu pembalikan arus modal ke luar negeri secara radikal sehingga memicu terdepresiasinya Rupiah seperti tahun 1998. Namun sebenarnya sentimen negatif juga akan muncul ketika kenaikan harga BBM diberlakukan, walaupun dampak negatifnya lebih kecil.

Di sini kita patut menganalisis, perlukah pemerintah menaikkan harga BBM ketika rakyat dilanda keterpurukan ekonomi? Kita patut melihat kondisi sekeliling kita. Harga beras dunia naik, tetapi harga gabah di pasar domestik justru ambruk karena permainan spekulan yang melakukan aksi borong gabah dengan harga murah. Fenomena serupa terjadi pada pasar komoditas kedelai. Padahal, beras dan kedelai merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Mereka adalah komoditas ekspor yang sangat penting dalam perdagangan internasional.

Apa yang salah dari kebijakan ekspor minyak sekarang? Mari kita analisis kesalahan-kesalahan tersebut.

Pertama, produksi minyak. Jika dibandingkan dengan situasi di tahun 1962, kita masih menjadi salah satu ekspotir minyak dengan produksi sekitar 1,6 Juta barel per hari dan konsumsi kurang dari 1 juta barel per hari. Bagaimana sekarang? Situasi terbalik dengan produksi sekitar 846.000 barel per hari (Kompas, 7 Mei 2008). Ini menandakan, ada kesalahan dalam kebijakan perminyakan nasional.

Kedua, konsumsi minyak. Negara kita dengan pengguna transportasi berbahan bakar energi yang cukup besar memerlukan pasokan minyak yang besar pula. Konsumsi yang besar ini tidak dibarengi oleh produksi yang besar. Akibatnya, negara kita menjadi pengimpor minyak. Ini jelas merugikan. Konsumsi minyak kita yang sangat besar juga semakin memojokkan kita dengan subsidi yang memakan APBN. Jelas, pemerintah perlu meminta pertanggungjawaban Menteri ESDM untuk urusan ini.

Ketiga, ketergantungan pada OPEC. Disadari atau tidak, OPEC sekarang semakin terjebak pada fluktuasi harga. Tentunya semua anggota OPEC harus menggunakan patokan harga ini karena terikat pada sebuah kartel. Ketika pasokan minyak mentah menurun radikal, harga semakin naik. Ini akan melemahkan fondasi ekonomi negara-negara yang terpaksa harus mengimpor minyak seperti Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia justru semakin terbebani karena di samping harus patuh pada harga OPEC, Indonesia juga harus membayar iuran OPEC sebesar 2 Juta Euro per tahun (Sekitar 28 Miliar Rupiah). Jelas, perlu ada sikap tegas dari pemerintah untuk melepaskan diri dari kungkungan ekonomi OPEC yang semakin kapitalistik.

Keempat, pemborosan APBN. Pemerintah harus menyadari bahwa APBN yang tidak efisien juga berperan serta dalam kenaikan harga BBM. Apalagi dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang melambat, hanya sekitar 6% per tahun dengan fluktuasi harga minyak dunia yang kian tak terkendali. Cara yang patut dilakukan adalah penghematan fiskal, antara lain dengan pengurangan belanja-belanja yang tak penting dan minimalisasi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum aparatur negara.

Dengan demikian, keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM patut dievaluasi kembali. Pemerintah seyogianya tidak hanya memperhatikan indikator makroekonomi, tetapi juga melihat pada kondisi ekonomi masyarakat. Kesiapan pemerintah dan masyarakat untuk menerima kenaikan BBM ini sangat diperlukan. Yang paling utama, pandanglah persoalan krisis BBM ini dalam perspektif yang lebih kritis.


*) Artikel ini pernah dimuat di Radar Banjarmasin, 15 Mei 2008

Tidak ada komentar: