Kamis, 01 Mei 2008

Buruh dan Pasar Bebas 2020

Menyambut Hari Buruh Internasional

Waktu telah menginjak tahun 2008. Kira-kira dua belas tahun lagi, Indonesia akan memulai babak baru ekonomi dengan bergulirnya era perdagangan bebas yang telah disepakati pada APEC Economic Leaders Meeting (AELM) IX di Shanghai, Cina, tahun 2001. Dengan adanya perdagangan bebas ini, pasar domestik akan mengalami pergeseran orientasi dengan masuknya produk-produk asing yang kompetitif dan menyaingi produk lokal.

Semakin dekatnya era perdagangan bebas ini mengingatkan kita pada sebuah pertanyaan penting: bagaimana nasib buruh di tengah kompetitifnya produk asing? Vladimir Lenin (1913)[1] menulis bahwa fenomena subordinasi majikan-buruh pada industri juga terjadi di bidang pertanian karena mekanisasi dan kapitalisasi yang hanya menguntungkan pemilik modal. Selain itu, posisi buruh dianggap tidak efektif dengan keberadaan mesin produksi sehingga upah buruh juga murah untuk “efisiensi” perusahaan. Fenomena ini yang dikhawatirkan terjadi di era perdagangan bebas nanti.

Berubahnya Arah Perekonomian
Mari kita analisis. Perdagangan bebas yang dicanangkan oleh APEC memang memiliki beberapa dampak bagi Indonesia. Pertama, kurang kompetitifnya produk lokal dikhawatirkan akan membuat harga barang lokal jatuh dan kalah saing. Ini akan memberi kerugian bagi para pengusaha yang berinvestasi di sektor ekonomi rakyat seperti pertanian atau perkebunan.

Kedua, pasar bebas akan mengubah peta perekonomian dunia. Bisa jadi negara yang fundamental ekonominya kuat seperti Malaysia atau Singapura akan menjadi macan Asia baru karena iklim kompetisi yang kondusif. Akan tetapi, negara yang perekonomiannya awut-awutan seperti Indonesia akan ”menangis” karena kalah saing. Negara kita tidak hanya dituntut untuk mempersiapkan produksi, tetapi juga menyiapkan pertahanan moneter dan memperkuat fundamental perekonomian

Ketiga, pasar bebas akan membuat nasib para pekerja semakin tidak jelas. Hal ini dikarenakan para pekerja sangat bergantung dengan pengupahan para majikan dan intervensi pemerintah. Dengan pasar bebas, para pengusaha tentu akan berpikir efisien dalam produksi. Salah satu kebijakannya adalah dengan menurunkan upah pekerja sehingga para pekerja semakin terhimpit atas desakan ekonomi.

Bagaimana Nasib Buruh?
Poin ketiga di atas perlu dicermati. Bergulirnya pasar bebas sangat berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan para buruh jika kondisi sekarang terus dibiarkan. Hal ini, selain dikarenakan ”strategi efisiensi” pengusaha, juga disebabkan oleh berkurangnya intervensi pemerintah dalam mengatur pengupahan pada tahun 2020 yang akan datang. Pemerintah cukup menetapkan upah minimum pekerja tanpa mengatur hal-hal teknis lain. Padahal, upah minimum buruh sekarang saja masih cukup rendah.

Lihatlah upah minimum di beberapa daerah, misalnya, upah para pekerja minimum berkisar antara Rp 700.000-Rp 800.000. Nominal ini bagi sebagian orang cukup kecil, mengingat tugas para buruh cukup berat. Hal ini bahkan sempat diperparah dengan adanya RUU Perburuhan yang sangat tidak memihak buruh. Sehingga, nasib buruh yang identik dengan kemiskinan pun tak dapat terangkat di era pasar bebas.

Nasib buruh pun akan semakin sengsara jika individualisme para pemilik modal dan pemilik kekayaan tetap dipelihara. Dengan upah pas-pasan, tentu buruh harus memikirkan cara untuk menghidupi anak dan isterinya. Oleh karena itu, Islam telah menanamkan konsep zakat sebagai solusi. Jika para majikan mau menyisihkan 2,5% saja dari laba usaha untuk santunan kepada buruh, nasib buruh dapat terangkat. Syaratnya, zakat tersebut dikelola secara profesional oleh sebuah lembaga dan disalurkan secara tepat.

Buruh, disadari atau tidak, adalah salah satu elemen penting dalam produksi. Jika para buruh/pekerja melakukan mogok sehari saja, misalnya, produktivitas perusahaan akan terganggu sehingga laba pun akan turun. Dengan demikian, pemerintah harus melakukan pemihakan terhadap buruh dengan meregulasi upah minimum yang layak bagi buruh secara tepat. Ini akan berdampak pada pasar bebas tahun 2020 nanti.

Saya berkesimpulan, era perdagangan bebas 2020 yang telah berada di depan mata harus terus dipersiapkan. Hal terpenting adalah dengan pemihakan kepada buruh sehingga buruh dapat meningkatkan produktivitasnya. Terpenting, peningkatan koalitas produk harus menjadi prioritas. Semoga perdagangan bebas dapat memberi implikasi positif bagi bangsa kita.



[1] Lenin, Vladimir J. 1913. The Three Sources and Three
Component Parts of Marxism
. Diakses dari http://www.marxist.org/ dan diterjemahkan dari
Collective Works, vol. 19 hlm. 23-28. Moscow: Progress Publishers.

Tidak ada komentar: