Kamis, 01 Mei 2008

Potret Pengkhianatan Intelektual

Menelaah Perilaku Organisasi Siswa Sekolah

Pelajar tengah dilanda oleh gelombang pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar pendidikan. Dalam bahasa penulis, pelajar tengah dilanda oleh gejala ”pengkhianatan intelektual” yang cukup berbahaya.

Apa saja indikatornya? Mari kita analisis tiga fenomena di bawah ini.

Fenomena pertama, banyak di antara pelajar yang cenderung untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang miskin nilai dan hampa tujuan. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pelajar seringkali kontraproduktif dengan tujuan pelajar dalam bersekolah. Gejala ini kemudian diperparah oleh masuknya unsur hura-hura bahkan kecenderungan untuk belajar materialistik dalam memandang sesuatu.

Salah satu contoh, ironisnya, terjadi di sekolah saya sendiri, di mana para siswa justru melakukan pengkhianatan intelektual tersebut dengan menyelenggarakan sebuah kegiatan yang sarat unsur hura-hura dan miskin makna di sekolah. Baiklah, mungkin ada yang berpendapat bahwa kegiatan tersebut murni dilaksanakan untuk mengembangkan kreativitas siswa. Atau mungkin ada yang berargumentasi bahwa kegiatan tersebut adalah kegiatan yang umum dilaksanakan di kalangan pelajar di Banjarmasin, bahkan di luar daerah ada yang menyelenggarakan pentas seni yang lebih besar

Di sini, ada hal yang patut dicermati. Fenomena pertama, kegiatan tersebut sangat miskin nilai positif bagi pelajar. Okelah, mungkin ada yang beranggapan bahwa kegiatan yang sarat unsur hura-hura diselenggarakan untuk mengembangkan kreativitas pelajar. Tetapi, apakah ada unsur solidaritas, sosial, atau moral dari festival ini? Atau adakah rasa kepedulian siswa bagi saudara-saudaranya dengan kegiatan tersebut?

Sangat disayangkan, jika kita melihat betapa banyaknya korban banjir di Jawa Tengah yang kehilangan tempat tinggal atau banyaknya anak yang terpaksa tidak bersekolah akibat kurangnya biaya. Sementara di Banjarmasin, pelajarnya justru menghambur-hamburkan uang untuk sebuah event yang terkesan hura-hura. Atau jika kita berperspektif lebih global, kita akan mendapati kenyataan bahwa banyak sekali anak-anak di Palestina yang menjadi yatim karena ayah-ayah mereka dibunuh! Inikah yang dirasakan oleh anak-anak di Banjarmasin yang notabene adalah saudara-saudara mereka?

Fenomena kedua, ada kesan bahwa siswa dikondisikan untuk berbisnis, atau dengan kata lain memasukkan komoditas bisnis ke sekolah. Untuk menyelenggarakan sebuah kegiatan, tentu faktor finansial menjadi perhatian utama. Pada suatu penyelenggaraan, apalagi pada penyelenggaraan dengan estimasi dana besar seperti kegiatan ini, dana yang diperlukan mestilah besar. Implikasinya, ada deal-deal tertentu antara pihak pelajar dan perusahaan yang ingin memasarkan produknya di sekolah.

Katakanlah kita tidak mempermasalahkan siswa yang ingin mencari dana. Silakan, dana dapat dikumpulkan dengan cara apapun. Silakan siswa melakukan deal apapun dengan pihak sponsor. Tetapi perlu diingat, apa tugas siswa di sekolah? Apakah siswa datang ke sekolah untuk mengembangkan usaha? Tentu tidak.

Pada dasarnya, siswa sah-sah saja melakukan perjanjian dengan pihak sponsor. Hanya saja, perjanjian tersebut tidak lantas diikuti oleh praktik bisnis di sekolah. Yang lebih menyakitkan, kadang kala pihak sekolah ”mengipasi” persoalan ini dengan justru membuat perjanjian baru dengan pihak sponsor. Bahkan, ada sekolah yang melakukan praktik komersialisasi aset sekolah dengan menyewakan lapangan kepada siswanya sendiri pada saat kegiatan.

Fenomena ketiga, banyak kegiatan yang justru bersifat destruktif terhadap siswa. Contohnya adalah dengan menyelenggarakan sebuah ”festival” musik di sekolah sendiri. Yang dapat penulis tangkap, selain miskin makna dan hampa nilai festival tersebut juga tidak memberi kontribusi moral yang berarti bagi pelajar. Banyak di antara para pelajar yang keluar-masuk area kegiatan dengan pasangan mereka. Kemudian, di tengah kegiatan hura-hura tersebut, banyak praktik “bermesraan-ria” di area penyelenggaraan. Belum lagi dengan asap rokok bertebaran di mana-mana. Inikah identitas pelajar yang disebut-sebut sebagai calon intelektual masa depan bangsa?

Penulis memaklumi jika pelajar masih ingin mengembangkan kreativitas mereka. Memang, kreativitas adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dari generasi muda. Hanya saja, tak bisakah jika kreativitas tersebut disalurkan dalam kegiatan positif yang konstruktif dan sarat nilai positif? Atau tak bisakah jika pelajar sedikit mengalihkan kreativitas tersebut ke dalam kerangka nilai sosial yang bermanfaat bagi pelajar lain?

Ingat, masih banyak saudara-saudara kita yang memerlukan uluran tangan kita semua. Jika di sini para pelajar hanya membuang-buang uang untuk sebuah ”kreativitas” sementara di tempat lain banyak saudara kita yang tak bisa menyalurkan kreativitas mereka ke dalam sebuah kegiatan positif, bukankah ini yang dinamakan sebagai pemborosan? Mana jiwa intelektual pelajar jika tidak tanggap sasmita terhadap nasib saudaranya?

Oleh sebab itu, wahai pelajar, renungkanlah! Kita adalah insan cendekia yang diharapkan dapat merekonstruksi kepribadian bangsa di masa depan. Janganlah kita mengkhianati tujuan luhur kita; Janganlah menjadi pengkhianat intelektual yang hanya tahu urusan korupsi belaka. Perjalanan panjang ini harus kita mulai, sekarang!


*) Artikel ini merupakan wujud keprihatinan atas diselenggarakannya festival band oleh OSIS SMAN 1 Banjarmasin. Artikel ini pernah dimuat di Radar Banjarmasin, beberapa waktu yang lalu.

Tidak ada komentar: