Selasa, 06 Mei 2008

Siapkah Boediono Menjadi Gubernur BI?

Menanti Gubernur Baru Bank Indonesia[1]

Suasana di Gedung Bank Indonesia sekarang mulai hangat. Burhanuddin Abdullah yang telah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia sejak tahun 2003 akan digantikan oleh gubernur baru. Situasi kian memanas setelah Komisi XI menolak dua calon yang diajukan oleh presiden: Agus Martowardoyo dan Raden Pardede. Mereka dianggap kurang memiliki kapabilitas untuk memimpin sebuah institusi moneter yang amat menentukan kondisi perekonomian nasional. Terlebih, mereka bukan calon yang berasal dari internal Bank Indonesia sendiri. FPDIP dan FPKS menjadi avant garde penolakan dua calon ini.

Memang, banyak kalangan mempertanyakan keputusan presiden mencalonkan Agus Martowardoyo dan Raden Pardede sebagai calon Gubernur BI. Alasannya, keduanya bukan orang yang berlatarbelakang karier di lingkungan Bank Indonesia. Agus Martowardoyo dan Raden Pardede sehari-hari bergelut di dunia perbankan umum dan belum memiliki pengalaman sebagai pengambil keputusan moneter. Sehingga, kedua calon ini dinilai belum memiliki memiliki kapabilitas sebagai penjaga gawang moneter Indonesia.

Suasana kian menghangat setelah Presiden mengajukan Boediono sebagai calon tunggal Gubernur BI. Kredibilitas Boediono tak perlu dipertanyakan. Sejak ia menggantikan Aburizal Bakrie sebagai Menko Perekonomian, prestasi-prestasi telah banyak dicapai. Antara lain menjaga tingkat inflasi berada dalam lingkaran 6% per tahun, menjaga kestabilan nilai kurs pada kisaran 9.200 per Dolar AS, sampai stabilisasi keuangan dengan anggaran yang terbatas. Sehingga, muncul kabar bahwa DPR-RI pun siap melanggengkan beliau sebagai Gubernur BI.

Berkaca pada Krisis 1997
Siapapun Gubernur BI yang akan terpilih nanti pada dasarnya tidak dipersoalkan oleh rakyat. Mengingat, Bank Indonesia hanya mengatur stabilitas ekonomi dalam tataran makro, tidak langsung turun ke grass-root. Akan tetapi perlu diingat bahwa stabilitas moneter kita akan sangat dipertaruhkan pada posisi ini.

Kita mungkin masih ingat bagaimana parahnya krisis keuangan yang melanda Indonesia pada 1997. Nilai rupiah terdepresiasi sampai 55%, mencapai kisaran 15.000 per Dolar AS pada 1998. Negeri kita seakan menjadi ”surga” bagi para spekulan yang melakukan aksi borong Dolar dan mengakibatkan nilai rupiah anjlok. Parahnya lagi, depresiasi ini berimplikasi pada inflasi berat yang menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar akibat naiknya biaya produksi. Akibatnya bisa ditebak: pengangguran di mana-mana, harga bahan kebutuhan pokok naik, dan tingkat kesejahteraan menurun drastis.

Memang, krisis pada tahun 1997 tersebut tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain di Asia Tenggara. Malaysia dan Thailand yang disebut-sebut memiliki fundamental ekonomi yang kuat juga mengalami krisis, meski tidak separah Indonesia. Thailand dikabarkan menghabiskan sebagian besar cadangan devisanya selama beberapa minggu hanya untuk melindungi nilai Baht dari aksi ”teror uang” para spekulan. Sementara nilai Ringgit Malaysia juga terdepresiasi sekitar 31%. Akan tetapi, mereka mampu bangkit dengan cepat, sehingga krisis tidak sampai menjalar ke mana-mana.

Langkah Strategis
Kita nantikan saja kepiawaian Boediono (jika lulus fit and proper test) dalam melakukan stabilisasi moneter dengan kartu kebijakan yang sesuai. Prestasi harus dicatat, dan terpenting inflasi harus dihindarkan. Untuk itu, penulis mencoba memberi beberapa pandangan terhadap pemegang kendali moneter Indonesia yang baru.

Pertama, Gubernur BI harus memiliki ketegasan sikap dalam persoalan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kita tidak mengharapkan munculnya obligor baru yang menilep uang negara sebanyak triliunan rupiah tanpa bisa mengembalikannya. Di sini, ketegasan sikap dari dewan gubernur BI sangat menentukan. Jika Gubernur BI tidak memahami trik-trik para obligor dan debitur BLBI yang hanya bisa lari ketika dimintai pertanggungjawaban mengenai kredit macet mereka, bukan tidak mungkin ”Sjamsul Nursalim dan Eddy Tanzil” baru akan bermunculan di mana-mana.

Kedua, Bank Indonesia harus mampu mengelola kebijakan open market selling dengan baik dan tidak ”asal jual”. Keputusan BI untuk menerbitkan ORI (Obligasi Ritel Indonesia) yang konon telah mencapai seri kelima merupakan kebijakan yang cukup bagus untuk didukung. Hal ini, di samping membantu menekan laju inflasi, juga dapat menggembirakan pelaku pasar modal dengan komoditas baru. Hanya saja, perlu diingat bahwa harus ada kehati-hatian dalam menerbitkan obligasi ritel ini.

Ketiga, peredaran uang harus benar-benar terkontrol oleh Gubernur BI. Selain harus menertibkan penerbitan uang palsu, Bank Indonesia juga harus menggunakan instrumen moneter lain. Antara lain, misalnya, dengan penggalakan menabung di Bank sebagai wujud dari society moral persuation. Selain itu, kredit selektif harus benar-benar dilakukan oleh BI, jangan sampai kasus ”debitur-debitur palsu” yang suka menilep uang negara dan kabur ke Singapura terulang kembali.

Demikianlah saran penulis pada Gubernur BI yang baru. Siapapun yang terpilih, penulis mengapresiasi dan mendukung asalkan disertai dengan kapabilitas dalam mengendalikan roda moneter di negara kita. Silakan berdebat, yang penting membawa hasil. Benar toh?




[1] Artikel ini dimuat di Radar Banjarmasin, April 2008
[2] Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Pelajar SMAN 1 Banjarmasin. Pengamat masalah Ekonomi dan Politik

Tidak ada komentar: