Kamis, 01 Mei 2008

Pendidikan Koruptif

Ke Mana Pendidikan Kita Akan Dibawa?

Seorang pakar pendidikan, Paulo Freire, pernah memperkenalkan sebuah sindroma yang menimpa bangsanya dalam dunia pendidikan. “Pendidikan bisu”, beliau menyebutnya. Sindroma tersebut pada intinya membuat seorang pendidik dan peserta didik tak berdaya dalam menghadapi realitas, tak mampu berinovasi dengan kemampuan, serta hanya terkooptasi pada lakon pendidikan yang serba pragmatis.

Sindroma ini ternyata terjadi di negeri kita, sekarang. Berkedok ujian nasional, sistem yang berlaku ternyata mengadaptasi kebisuan ini. Begitu banyak siswa yang harus menggantungkan harapan pada handphone pada waktu ujian. Begitu banyak siswa yang harus berkonspirasi dalam mencari bocoran soal sebelum ujian nasional.

Kita patut prihatin. Kasus terbaru, 16 guru di Deli Serdang harus ditangkap karena tertangkap tangan mengganti lembar jawaban siswa. Kasus lain, ujian nasional di beberapa daerah harus diulang karena indikasi kecurangan. Juga ratusan kasus lain yang penulis yakini terjadi pada saat ujian nasional tahun ini.

Kita heran, mengapa pendidikan bisa jadi koruptif seperti ini? Siswa diajari kejujuran, tetapi dalam ujian nasional diajak untuk curang. Siswa diajari kepercayaan diri, tetapi dalam ujian nasional diajak berkonspirasi dengan memberi kunci jawaban.

Lebih mengherankan lagi, guru dijadikan kambing hitam ketika terjadi kecurangan. Ketika soal ujian bocor, guru yang pertama kali disalahkan. Apakah semua kesalahan mesti ditimpakan kepada guru?

Tentu tidak. Faktanya, semua harus bertanggung jawab. Guru tidak salah. Motif para guru yang membocorkan soal ujian hanyalah untuk memenuhi target yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah! Ada yang menargetkan kelulusan lebih dari 80% dan seterusnya. Ini menjadi problem baru pada ujian nasional.

Kita juga tak dapat menyalahkan sekolah. Mereka melakukan konspirasi kecurangan pada dasarnya hanyalah karena tekanan kondisi dan menyelamatkan prestise sekolah! Dengan adanya ujian nasional, seakan-akan sekolah yang tak mampu meloloskan siswanya dianggap sebagai sekolah yang tak becus. Ini pun menjadi masalah baru dalam ujian nasional.

Juga, kita tak dapat menyalahkan siswa karena berbuat curang. Siswa tentu berpikir, kerja kerasnya selama 3 tahun –bahkan selama 12 tahun—harus musnah ketika menghadapi ujian nasional yang hanya berlangsung selama tiga hari! Lebih jauh dari itu, siswa pun mendapat tekanan untuk mendapat nilai yang baik, tak peduli dengan cara apa ia mendapatkannya.

Apakah yang salah pemerintah? Jawabnya tidak. Pemerintah telah berpikiran benar dengan melakukan standardisasi melalui ujian nasional untuk mencetak sumber daya manusia yang kompetitif ketika di dunia kerja kelak. Apalagi, era pasar bebas telah berada di depan mata. Wajar jika pemerintah memperketat standard kelulusan.

Lantas, siapa yang salah? Kembali pada logika di atas, semua harus ikut bertanggungjawab. Berikut saran penulis dalam perbaikan sistem pen

Pertama, sistem ujian nasional yang koruptif harus dievaluasi. Pemerintah menetapkan standard berdasarkan ujian yang sangat rentan dengan kecurangan. Harus ada komponen ujian nasional yang dievaluasi agar kecurangan dapat diminimalisasi tanpa mengurangi kepercayaan diri siswa.

Kedua, fasilitas pendidikan harus dibenahi. Begitu banyak bangunan sekolah yang rusak dan suasana belajar yang tidak kondusif. Pemerintah tak dapat memaksakan sekolah-sekolah di daerah terpencil untuk mengikuti standard yang tinggi tanpa disertai perbaikan fasilitas sekolah.
Ketiga, Kekeliruan logika pemerintah bahwa semua daerah harus mengikuti sebuah standard nasional patut diluruskan. Masing-masing sekolah dan siswa memiliki kemampuan yang terbatas. Bahkan untuk ukuran beberapa sekolah, soal yang diberikan dianggap sangat sulit karena pembelajaran rutin tidak mencakup hal tersebut.

Keempat, alokasi anggaran harus ditambah. Tidak mungkin pemerintah ingin memperbaiki pendidikan jika kuota 20% anggaran pendidikan tak kunjung direalisasikan. Bahkan, anggaran ujian nasional harus ditambah untuk mengantisipasi kesalahan soal dan kekacauan yang terjadi di mana-mana.

Ini akan menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Saran penulis, tetaplah bijaksana karena ujian memiliki efek domino yang besar dalam kehidupan bangsa kita. Selamat hari pendidikan nasional!

Tidak ada komentar: