Kamis, 12 Juni 2008

Era Baru Bank Indonesia

Mengulas Prospek Kemajuan Bank Indonesia di bawah Boediono

Akhirnya, Boediono dilantik sebagai gubernur Bank Indonesia menggantikan Burhanuddin Abdullah. Kehadiran Boediono yang merupakan Menteri Koordinator Perekonomian sekarang ini dapat dikatakan sebagai sebuah comeback, mengingat beliau pernah menjabat sebagai direktur makroekonomi Bank Indonesia beberapa waktu yang lalu. Kehadiran beliau diharapkan dapat memperbaiki citra BI di samping menakhodai ‘kapal’ moneter Indonesia tersebut dalam jangka waktu lima tahun ke depan.

Sebagai seorang akademisi dan mantan menteri, pengalaman Boediono tentu tak diragukan lagi. Beliau merupakan staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, pernah menjadi direktur di Bank Indonesia, malang melintang sebagai pengamat ekonomi, dan pernah menjabat sebagai menteri dalam dua periode.

Sebagai seorang pengamat ekonomi, beliau tentu mengerti betul teori-teori makroekonomi dan perbankan. Beliau tentu juga mampu mengembangkan model kebijakan makroekonomi versi klasik (Smith dan Ricardo), versi modern (Keynesian) atau versi alternatif. Beliau juga memiliki pandangan yang cukup kritis dengan kebijakan ekonomi yang bertumpu pada pasar sebagai prioritas utama, bukan pada pemenuhan kesejahteraan rakyat.

Adapun sebagai mantan menteri, beliau pasti mengetahui hambatan dan tantangan dalam implementasi kebijakan. Beliau juga tidak akan beradaptasi lama dengan data-data makro dan mampu menganalisis kondisi makro Indonesia yang sedikit terpuruk dengan kenaikan harga minyak dunia. Di sini, saya kira Pak Boediono tak akan mengalami halangan berarti.

Pertanyaannya, mampukah Pak Boediono menjawab tantangan dan harapan tersebut di tengah kondisi makroekonomi yang tidak menjanjikan seperti sekarang? Mari kita analisis.

Tantangan Makroekonomi Ke Depan

Tantangan utama yang akan dihadapi oleh Boediono adalah memperbaiki kondisi makroekonomi Indonesia yang dilanda kekalutan akibat pengaruh melemahnya perekonomian global. Kondisi yang kacau inilah yangmenyebabkan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan kontroversial : pencabutan subsidi BBM.

Kondisi makroekonomi Indonesia di tahun ini memang cukup berat. Perbedaan ekspektasi antara APBN, APBN-Perubahan, realitas, dan prediksi ekonomi memang berbeda karena pengaruh perekonomian global yang ”kembang-kempis”. Arah perekonomian global yang menerima pengaruh dari resesi ekonomi di AS diperkirakan akan mempersulit negara berkembang, karena harga minyak dunia yang terus naik tanpa disertai pertumbuhan ekonomi yang cepat.

Setidaknya kita dapat melihat perbedaan tersebut pada asumsi APBN. Pertumbuhan ekonomi nasional pada APBN-Perubahan diprediksi hanya akan berada di angka 6,4%, turun dari asumsi APBN yang berada pada angka 6,8%. Laju inflasi justru meningkat menjadi 6,5%. Nilai tukar Rupiah diperkirakan ”aman” dalam posisi Rp 9.100 per Dollar AS (kendati ada fluktuasi sekitar Rp 9.100 – Rp 9.200 per Dollar AS).

Adapun tingkat suku bunga juga mengalami kenaikan sebesar 25 basis poin, tetapi dengan persentase tetap, sebesar 7,5%. Sementara harga minyak dunia diasumsikan akan melonjak dari $60 menjad $95 per barel. Produksi minyak nasional justru stagnan, bahkan cenderung menurun menjadi kurang dari 1 juta barel per hari.

Kondisi makroekonomi ini tak semuanya sesuai dengan realitas. Kita dapat menganalisis pada harga minyak dunia. Di New York, pergerakan harga minyak dunia bahkan telah mencapai $130 per barel, melonjak lebih 100% dari asumsi APBN. Tak hanya itu, produksi minyak kita hanya mampu mencapai angka 846.000 barel per hari tanpa kondensat (Kompas, 7 Mei 2008). Sementara pergerakan nilai mata uang juga relatif mengkhawatirkan kendati masih dalam band yang diprediksi.

Kondisi ini memang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, Boediono dituntut untuk dapat mengatur suku bunga agar jangan sampai terpengaruh dengan AS yang terpaksa harus memangkas suku bunga acuan sebesar 200 basis poin (Economic and Business Research, April 2008). Selain itu, Boediono juga diharapkan dapat mengatur laju inflasi agar tidak terdorong signifikan akibat kenaikan harga BBM ini.

Harapan dan Tantangan

Penulis mencoba memberi sedikit saran kepada Bank Indonesia ke depan.
Pertama, Bank Indonesia dapat mempergunakan cadangan devisa Indonesia yang cukup besar. Data terakhir menyebutkan cadangan devisa Indonesia masih mencapai lebih dari $50 Milyar, cukup untuk membuat neraca pembayaran seimbang. Dengan cadangan devisa yang besar ini, pemerintah dapat menurunkan laju inflasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.

Kedua, Bank Indonesia harus dapat menyemarakkan kembali pasar modal. Keuntungan yang dapat diambil oleh pemerintah adalah pasar obligasi, di mana pemerintah dapat mendapatkan cashflow dari penerbitan surat utang negara. Penerbitan obligasi ritel juga harus terus didorong dan situasi pasar harus didongkrak dengan kenyamanan investasi.

Ketiga, tight money policy atau kebijakan uang ketat untuk menghadapi inflasi harus diperhitungkan secara cermat, mengingat hal ini cukup berisiko dalam menurunkan daya beli masyarakat. Masyarakat masih memerlukan persuasi moral dalam menghadapi kenaikan harga BBM.

Keempat, Bank Indonesia harus melakukan sinergisasi kerja dengan KPK dan Kejaksaan Agung dalam proses recovery aset-aset negara yang hilang akibat kasus BLBI. Selain itu, penyidikan kasus BLBI juga harus tetap dilanjutkan. Ini sangat strategis dalam proses penegakan hukum dan stabilisasi kondisi makroekonomi Indonesia, mengingat aset negara yang hilang mencapai puluhan triliun rupiah.

Empat langkah tersebut penulis tawarkan untuk mengantisipasi krisis yang menerpa bangsa ini. Untuk itu, ketegasan dan kerja dari gubernur baru Bank Indonesia, Boediono, sangat diperlukan. Dengan kapabilitas, kompetensi, dan pengalaman yang cukup banyak, Boediono harus mampu menyelamatkan kapal moneter bangsa ini dari badai keterpurukan.
Selamat Memimpin Bank Indonesia, Pak Boediono!

Tidak ada komentar: