Jumat, 20 Juni 2008

Mempersoalkan (Kembali) Transparansi Sekolah


(Artikel ini pernah dimuat di Radar Banjarmasin dan cukup bersejarah karena merupakan artikel pertama penulis di media massa lokal dan pernah menuai polemik dengan wakasek kesiswaan yang kebakaran jenggot ketika membaca tulisan ini)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)


Pendidikan merupakan tahapan terpenting dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Dengan adanya pendidikan yang berorientasi kepada penyeimbangan mutu Sumber Daya Manusia masyarakat kita secara Intelektual, Emosional, maupun Spiritual maka masyarakat kita akan berpikir lebih maju, kritis, serta dapat mengeluarkan bangsa dari krisis yang berkepanjangan ini.

Namun jika sistem pendidikan kita salah, maka masyarakat Indonesia yang beradab dan mempunyai peradaban tak akan pernah dapat tercapai. Mengapa demikian? Karena pendidikan yang benar akan mampu mengubah pola pikir masyarakat yang terlanjur pragmatis, materialistis, dan Money-Oriented.

Sebagai upaya dalam membangun pendidikan yang benar, maka pemerintah memperkenalkan sistem pendidikan yang diharapkan mampu menyeimbangkan aspek Iptek dan Imtaq. Dalam perkembangannya, pemerintah telah beberapa kali merevisi sistem pendidikan guna mendapatkan kualitas Sumber Daya Manusia masyarakat Indonesia yang baik dan berdaya saing tinggi.

Sistem teranyar adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang lebih menekankan kepada keaktifan siswa di kelas, dan menjadikan guru sebagai pengarah dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan beberapa inovasi, diantaranya memberikan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) kepada Siswa-siswa yang kurang mampu, sehingga pendidikan dapat menjangkau masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

Dengan sistem yang telah beberapa kali direvisi tersebut, seyogyanya pemerintah mampu menghasilkan output pendidikan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, serta mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis berkepanjangan ini. Namun apa hasil yang dapat kita lihat sekarang? Indonesia masih belum dapat keluar dari jeratan krisis.

Secara intelektual, pendidikan kita memang mampu menghasilkan figur-figur yang berprestasi dalam skala Internasional. Keberhasilan Tim Olimpiade Fisika Indonesia dalam merebut juara Umum pada Olimpiade Fisika Internasional di Singapura memang patut diacungi jempol, sebagai indikasi kesuksesan pendidikan Iptek di negara kita.

Namun di sisi lain, meningkatnya kasus-kasus kejahatan, baik kejahatan yang dikategorikan sebagai Blue-Collar Crime seperti pencurian maupun kejahatan yang dikategorikan sebagai White-Collar Crime seperti korupsi mengindikasikan turunnya kualitas Moral masyarakat Indonesia. Bahkan Majalah Playboy yang merupakan majalah paling vulgar di Amerika Serikat dapat terbit di Indonesia. Sungguh, ini merupakan sebuah pukulan telak bagi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.

Nah, jika kita tarik akar permasalahannya, maka akan muncul pertanyaan, apakah ada yang salah dalam sistem pendidikan kita? Sebagian kalangan menjawab Ya, dan sebagian lagi berpendapat tidak.

Kalangan yang mengatakan bahwa ada kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia beragumentasi bahwa pemerintah tidak menyediakan porsi pendidikan moral yang cukup dalam kurikulum baru. Pendapat ini ada benarnya, mengingat pemerintah hanya menyediakan porsi pendidikan Agama selama dua jam dalam seminggu. Waktu ini terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jam pelajaran lain seperti Matematika atau IPA. Selain itu Sistem pendidikan kita tidak menyediakan kontrol pasca-pembelajaran, sehingga tidak menjamin diaplikasikannya nilai-nilai moral selepas jam pelajaran sekolah oleh siswa.

Namun ada juga yang mengatakan bahwa sistem pendidikan kita tidak mengalami masalah, tetap yang menjadi sumber permasalahan adalah para aparat pelaksana pendidikan yang kurang memahami konsep pendidikan, sehingga para siswa juga tidak menerima pendidikan secara utuh, dan hal tersebut dikembalikan kepada masing-masing individu untuk mengaplikasikan pendidikan yang diterimanya di sekolah.

Tetapi terlepas dari pro-kontra tersebut, memang patut diakui bahwa pendidikan kita sekarang hanya menghasilkan output yang berkualitas secara intelektual, tetapi secara moral, kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan.

Transparansi Sekolah Dipertanyakan

Sistem pendidikan kita memang terus menjadi polemik dalam beberapa dekade terakhir ini. Akan tetapi terlepas dari permasalahan tersebut, ada permasalahan yang patut kita cermati berkaitan dengan pendidikan ini, yaitu manajemen lembaga pendidikan. Sekolah Negeri sebagai lembaga pendidikan pemerintah seyogyanya mampu memberikan manajemen yang terstruktur, solid, dan transparan.

Namun apa yang dapat kita lihat di negara kita? Sekolah –terutama Sekolah Menengah Atas— tidak mempunyai manajemen yang teruji akuntabilitasnya. Banyak sekolah-sekolah yang tidak transparan mengenai keuangan dan pendanaan, bahkan kepada siswa-siswinya sendiri. Dapat kita lihat sebuah kasus yang menimpa sebuah SMA di Banjarbaru, dimana rasa kekecewaan siswa yang memuncak terhadap guru dan manajemen Sekolah akhirnya mengakibatkan permasalahan tersebut dibawa kepada Walikota untuk ditangani lebih lanjut.

Hal ini mengindikasikan kurangnya transparansi sekolah kepada siswa sehingga mengakibatkan kekecewaan yang mendalam dan akhirnya berujung pada aksi mobilisasi massa. Tentunya hal ini adalah suatu keanehan, mengingat para siswa telah banyak memberikan kontribusi kepada sekolah, namun sekolah sendiri tidak pernah menjelaskan bagaimana keuangan mereka. Bahkan beberapa sekolah seringkali meminta dana kepada siswa untuk menyelenggarakan suatu proyek yang sama sekali tidak melibatkan siswa.

Memang merupakan suatu hal yang cukup baik jika diadakan proyek-proyek yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Akan tetapi jika proyek itu ternyata hanya memberatkan siswa, maka proyek tersebut seyogyanya jangan dijadikan prioritas. Apalagi jika pendanaan itu hanya akan memangkas dana OSIS atau keperluan siswa yang lain. Seharusnya dana tersebut digunakan untuk keperluan siswa dan untuk menunjang kegiatan pembelajaran, baik secara formal (KBM) maupun secara non-formal (organisasi).

Kurang transparannya sekolah mengenai permasalahan program dan pendanaan ini ternyata bukan hanya terjadi di satu sekolah, tapi juga di sekolah-sekolah lain! Mari kita perhatikan, adakah sekolah –khususnya di Banjarmasin dan Banjarbaru— yang betul-betul transparan dalam pengelolaan dana? Hal ini sangat jarang ditemukan, hanya sekolah-sekolah yang mempunyai akuntabilitas tinggi yang mau mengajak perwakilan siswa untuk duduk dalam satu forum dan membicarakan problematika-problematika sekolah, baik dalam manajemen, birokrasi, keuangan, maupun program. Sementara sekolah-sekolah lain tak ada yang melibatkan siswa.

Sebagai contoh dapat kita lihat dalam penyusunan Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (APBS). Adakah sekolah yang melibatkan para siswa untuk ikut berpartisipasi dalam penyusunan APBS tersebut? Pasti banyak yang menjawab tidak. Yang terjadi di lapangan APBS tersebut disusun oleh jajaran petinggi sekolah untuk kemudian diserahkan kepada Komite Sekolah untuk direvisi. Kemudian untuk keperluan siswa seperti dana bantuan ekstrakurikuler langsung ditangani oleh Wakasek.

Bukankah ini sesuatu yang rawan terhadap penyelewengan? Ini artinya sama sekali tak ada keterbukaan sekolah terhadap manajemen yang ada di dalamnya. Sehingga implikasinya, ketika sekolah dimintai pertanggungjawabannya oleh siswa yang memang concern dalam hal ini, akhirnya sekolah tak mampu memberikan jawaban.

Nah, Permasalahan-permasalahan semacam ini seyogyanya diperhatikan oleh pemerintah guna membangun sistem pendidikan ideal di negara kita.

Manajemen Sekolah Ideal di Persimpangan Jalan

Sekolah yang ideal adalah sekolah yang mampu menghadirkan manajemen yang baik serta dapat mengoptimalkan sistem pembelajaran yang ada sehingga dapat menghasilkan prestasi dan menimbulkan prestise. Tipe sekolah yang seperti ini memang sangat diidam-idamkan oleh semua pihak, namun sayangnya hanya segelintir sekolah yang mampu melakukannya. Banyak sekolah yang mempunyai banyak prestasi di level lokal, daerah, nasional, bahkan ada yang mampu mencapai prestasi di level internasional. Namun jika kita lebih melihat ke dalam, maka akan kita dapatkan suatu keadaan yang memprihatinkan.

Sekedar ilustrasi, ada sekolah yang seringkali membuat keputusan sepihak melalui Wakasek-wakaseknya. Disebut sepihak karena dalam yang menetapkan kebijakan hanyalah Kepala Sekolah, Wakasek-wakasek, dan beberapa orang guru, tanpa sama sekali melibatkan partisipasi siswa. Bahkan, dana APBS Sekolah yang juga mencakup dana-dana operasional kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler juga sama sekali tidak melibatkan siswa dalam penyusunannya. Padahal yang menikmati fasilitas sekolah adalah siswa, namun anehnya siswa tidak dilibatkan dalam penyusunan anggaran.

Bahkan yang lebih aneh lagi, dana-dana siswa yang dianggarkan secara sepihak oleh manajemen sekolah tersebut tidak diperlihatkan kepada siswa, sehingga ketika OSIS ingin meminta dana untuk pelaksanaan suatu kegiatan mereka harus meminta kepada Wakasek Kesiswaan beserta pembantu-pembantunya. Bukankah sistem yang seperti ini dapat menimbulkan penyelewengan dana oleh segelintir oknum yang ingin memperkaya diri mereka sendiri?

Belum lagi jika kita mempertanyakan transparansi sekolah, apakah ada pertanggungjawaban dari sekolah mengenai dana APBS yang mencapai ratusan juta rupiah tersebut kepada siswa, maka kita tak akan pernah mendapatkan jawabannya. Maka, berkaca dari permasalahan ini patut kiranya sekolah memberi legitimasi kepada perwakilan siswa –bukan komite sekolah— dalam pengawasan penggunaan dana sekolah.

Ada juga ilustrasi lain yang cukup menarik untuk dijadikan bahan renungan. Dana Operasional OSIS merupakan dana yang bersumber dari iuran OSIS. Beberapa sekolah memungut iuran ini dari siswa ketika daftar ulang, yang pembayarannya digabungkan dengan iuran-iuran lain. Seyogyanya dana operasional OSIS ini dikelola oleh OSIS sendiri, sehngga dapat dipergunakan sesuai dengan keperluan OSIS.

Namun anehnya ada sekolah yang begitu keras memperjuangkan agar dana OSIS dikelola oleh Wakil Kepala Sekolah urusan Kesiswaan beserta staf-satafnya. Mereka beralasan bahwa dana tersebut dipertanggungjawabkan oleh Wakasek Kesiswaan kepada Komite Sekolah, sehingga demi ’tertib administrasi’ dana tersebut dipegang oleh kesiswaan. Mereka juga berargumentasi bahwa ketika dana tersebut dipegang oleh pengurus OSIS, tidak ada pertanggungjawaban yang jelas dari OSIS kepada Wakasek Kesiswaan atau Pembina OSIS, sehingga pertanggungjawaban kepada Komite pun akhirnya tidak jelas.

Hal ini sungguh ironis! Dana OSIS merupakan dana siswa yang dipergunakan untuk kepentingan siswa, bukan untuk kepentingan guru, walaupun beliau mengatasnamakan Wakasek Kesiswaan. Pengelolaan dana haruslah sepenuhnya diserahkan kepada siswa, sebagai salah satu langkah pembelajaran dalam hal administrasi, keuangan, dan rasa tanggung jawab yang tidak diajarkan dalam kurikulum pendidikan formal.

Jika dana itu diserahkan pengelolaannya kepada guru, mana aspek pembelajaran bagi siswa? Belum lagi jika ada pemotongan-pemotongan dana, kemana pertanggungjawaban uang tersebut? Masih wajar jika ada pertanggungjawaban secara rinci dari sekolah kepada siswa. jika tidak ada, maka hal ini dapat memunculkan Kolusi di lingkungan sekolah. Sungguh, sebuah hal yang ironis jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut.

Perlunya Keterlibatan Siswa

Tahun 2007 merupakan era baru bagi dunia pendidikan kita, mengingat akan diberlakukannya Kurikulum baru yang akan menggantikan Kurikulum 2004. Kurikulum yang bernama KTSP mengambil metode Otonomi Sekolah, sehingga Sekolah diberi kebebasan untuk melakukan eksplorasi metode pengajaran dengan difasilistasi oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Sebenarnya Kurikulum ini cukup efektif, namun perlu diingat bahwa masih banyak sekolah yang belum mempunyai manajemen yang baik. Para siswa dibebankan dana yang banyak –satu tahun bisa lebih dari Satu Juta Rupiah—, namun siswa sendiri tidak mengetahui kemana aliran dana sebanyak itu. Ini menjadi salah satu faktor penghambat keberhasilan kurikulum tersebut.

Yang patut dilakukan oleh sekolah adalah rekonstruksi manajemen, Sejauh mana sistem tersebut dapat dioptimalkan guna memperlancar Kegiatan Pembelajaran. Jika sistem birokrasi tersebut memicu gejolak di kalangan siswa, maka sudah seharusnya Sekolah merevisi sistem yang ada. Namun caranya bukan dengan cara membuat kebijakan sepihak yang cenderung otoriter, melainkan dengan duduk bersama dalam satu forum bersama perwakilan siswa untuk membahas permasalahan-permasalahan siswa.

Apalagi jika yang dibicarakan adalah dana OSIS, maka sungguh suatu sikap yang apatis dan sewenang-wenang jika Sekolah bersikeras ingin mengalihkan pengelolaan dana. Hal ini mengindikasikan adanya sesuatu yang tidak beres di dalam sekolah.

Berkaitan dengan keterlibatan siswa dalam pengawasan penggunaan dana sekolah tersebut, sebenarnya dalam salah satu rekomendasi Kongres Anak Indonesia IV tahun 2004 di Yogyakarta disebutkan bahwa Pemerintah seyogyanya melibatkan Siswa dalam penyusunan Kurikulum dan Program Sekolah. Apalagi jika program-program tersebut menggunakan dana yang tiap bulan dibayarkan oleh siswa, maka sangat realistis jika siswa diberi kesempatan untuk terlibat –atau minimal mengetahui—dalam penyusunan anggaran.

Satu hal yang patut diingat, Komite Sekolah yang beranggotakan Orangtua siswa bukanlah representasi siswa, melainkan hanyalah representasi dari orangtua siswa yang sama sekali tidak berkepentingan dalam penggunaan fasilitas sekolah. Sungguh ironis jika dana komite yang berjumlah milyaran rupiah tersebut tidak jelas penggunaannya, Sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kekecewaaan yang berujung pada aksi unjuk rasa. Ini pun bukan penyelesaian yang baik dalam mengakhiri krisis di Sekolah.

Jadi, tidak ada alasan bagi sekolah untuk tidak transparan kepada siswa –direpresentasikan oleh OSIS dan MPK—mengenai penggunaan dana Komite Sekolah.

Kesimpulan

Dari apa yang telah dibahas di atas tadi, maka dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa Sekolah haruslah transparan kepada para siswa. Transparansi ini haruslah diwujudkan dengan membuka forum dan dialog kepada para siswa, sehingga tidak muncul suatu gejolak kekecewaan dari para siswa. Langkah ini pun hanya akan dapat berjalan optimal jika didukung oleh segenap manajemen sekolah.

Dengan berkaca kepada Kasus di Banjarbaru dimana terjadi aksi unjuk rasa dari para siswa, maka patutlah bagi sekolah untuk segera bersikap transparan kepada siswa. Marilah kita bersama-sama mewujudkan sistem pendidikan yang ideal guna menyongsong era Pasar Global. Kalau tidak kita mulai sekarang, kapan lagi??

Banjarmasin, 11 Oktober 2006


*) Penulis adalah Ketua Umum MPK SMAN 1 Banjarmasin Periode 2006/2007


Tidak ada komentar: