Kamis, 12 Juni 2008

Kesalahan Logika BLT

Tepatkah Mengganti Subsidi BBM dengan Bantuan Langsung Tunai?

Kenaikan harga BBM telah berada di depan mata. Pemerintah akhirnya mengambil kebijakan kontroversial ini setelah harga minyak dunia mencapai rekor baru, $127 per barrel. Akibatnya, APBN terus mengalami defisit karena asumsi harga minyak dunia pada APBN-Perubahan hanya berkisar $95 per barrel, sementara subsidi BBM di APBN terus meningkat dan menghabiskan 13% dari total belanja pemerintah pusat.

Untuk mengganti subsidi BBM yang dicabut, pemerintah mencanangkan pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada keluarga miskin. Subsidi ini diberikan setiap bulan sebesar Rp 100.000 dan diambil per tiga bulan, sehingga rakyat miskin akan mendapat Rp 300.000 tiap mengambil BLT. Pemberian BLT ini sendiri adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang menurun akibat kenaikan harga BBM.

Persoalannya, tepatkah pemberian BLT untuk mengganti subsidi BBM? Kita perlu menganalisis dampak kenaikan harga BBM terlebih dulu. Setidaknya akan ada dua implikasi yang muncul jika harga BBM benar-benar dinaikkan.

Pertama, kenaikan biaya produksi bagi para pengusaha kecil. Kenaikan biaya produksi ini akan membuat produsen menaikkan harga produk untuk memperkecil margin kerugian. Implikasi lanjutannya, laju inflasi pun akan terdorong lebih cepat. Situasi demikian dalam literatur ekonomi disebut sebagai cost-push inflation, atau inflasi yang disebabkan oleh pergeseran jumlah penawaran karena kenaikan biaya produksi.

Kedua, Menurunnya daya beli masyarakat. Karena harga barang di pasar naik secara signifikan, masyarakat pun mulai membatasi jumlah konsumsi. Ini akan membuat masyarakat miskin tercekik karena tingkat konsumsi mereka yang tidak terlalu besar harus semakin diperkecil. Implikasi lainnya, sebagian produsen akan mengalami kerugian karena konsumen mengurangi pembelian atas produk-produk mereka.

Namun, keputusan untuk memberi subsidi BLT pun juga tidak tepat. Secara umum, ada beberapa ketidaktepatan logika pemerintah dalam pemberian subsidi BLT ini. Mari kita analisis.

Pertama, pemberian bantuan BLT tidak akan berpengaruh terhadap kenaikan harga barang. Ketika BLT dibagikan, indeks harga barang tetap akan naik karena biaya produksi meningkat. Akibatnya kesejahteraan masyarakat tidak terangkat sebab mereka tetap akan membeli barang kebutuhan pokok yang lebih besar dari jumlah uang yang mereka terima. Sehingga, dana BLT yang dibagikan habis untuk biaya transport, makan, atau sekolah dalam tempo singkat.

Kedua, jumlah tabungan masyarakat tidak akan meningkat dengan BLT. Memang rakyat miskin akan memiliki tambahan dana untuk konsumsi. Akan tetapi, apakah dengan bantuan tersebut rakyat miskin memiliki preferensi untuk meningkatkan jumlah tabungan? Dana yang diterima pun hanya akan habis untuk konsumsi. Ini akan berpengaruh pada penarikan dana nasabah di Bank yang akan membuat BI menaikkan suku bunganya.

Ketiga, persebaran penerima BLT dapat dikatakan tidak merata. Hal ini disebabkan oleh tidak sesuainya standard pemerintah untuk menentukan penduduk miskin dengan situasi sebenarnya. Akibatnya, banyak rakyat yang sebenarnya mengalami kesulitan hidup tidak mendapatkan bantuan BLT dengan alasan sepele: tidak dikategorikan sebagai penduduk miskin. Padahal masyarakat miskin terus bertambah tiap bulannya.

Keempat, Besaran dana BLT tidak sebanding dengan pengorbanan yang dikeluarkan masyarakat untuk membeli harga BBM. Kita perlu mempertanyakan, cukupkah uang Rp 300.000 untuk biaya hidup selama tiga bulan? Dengan uang tersebut, rakyat hanya dapat membeli beras untuk jatah tiga bulan tanpa lauk. Mereka tetap membutuhkan dana untuk kebutuhan lain sementara harga barang di pasar naik. Ingat, kebutuhan rakyat miskin tidak hanya makan, tetapi juga sekolah, transportasi, dan kebutuhan primer lain.

Kelima, bantuan BLT mendidik rakyat untuk konsumtif dan tergantung pada pemerintah. Ketika pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp 300.000 per tiga bulan, rakyat tentu hanya berpikir untuk menerima dana tersebut dan menggunakannya tanpa harus bekerja. Logika sederhana saja, berapa persen rakyat yang menggunakan dana tersebut untuk modal usaha? Tentu hanya sedikit. Bantuan BLT sama saja dengan menyuruh rakyat untuk tetap miskin, karena toh pemerintah terus menggelontorkan dana untuk menghidupi keluarganya.

Alangkah baiknya jika pemerintah mengubah sedikit skema pengalihan subsidi BBM. Pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk kredit produktif, membuka lapangan kerja, atau melindungi produksi sektor kecil dan mikro agar tetap dapat hidup di negeri ini.

Jadi, perlukah BLT disalurkan sementara kebutuhan lain masih mendesak untuk ditangani?

Tidak ada komentar: