Jumat, 20 Juni 2008

Gerakan Tajdid Membangun Peradaban

Sebuah Perspektif Menyelamatkan Ummat


“Kita akan berdiri di hadapan gelombang tirani kezaliman yang berasal dari dunia materi hingga ia lenyap dari bumi yang kita pijak, agar kaum kita terbebas dari petakanya”.

(Asy-Syahid Hassan Al-Banna)

Secara etimologi, Tajdid berasal dari bahasa Arab, yang berarti pembaharuan. Konsep Tajdid dalam sejarahnya pertama kali dibawa oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia. Gerakan Tajdid yang dibawa oleh Syekh Ibnu Abdul Wahab di Dariyah ini pada perkembangannya dikenal dengan Wahabi. Selanjutnya, muncul konsep Tajdid yang dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani di Mesir. Gerakan ini memfokuskan diri untuk menyuarakan perlunya revitalisasi pemahaman Islam yang pada waktu tersebut kurang memberi perhatian pada urusan dunia, sehingga menumbuhsuburkan praktik-praktik imperialisme yang dibawa oleh bangsa Barat. Selain itu, gerakan yang dibawa oleh Syekh Al-Afghani juga menyuarakan semangat anti-penjajahan yang pada waktu tersebut banyak terjadi di dunia Islam.

Gerakan yang dibawa oleh Syekh Ibnu Abdul Wahab dan Al-Afghani ini memberikan dampak positif pada pergerakan-pergerakan Islam. Di Mesir sendiri, pada tahun 1929 Hassan Al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin yang berorientasi pada dakwah secara syumuliah (komprehensif) dan pembinaan pemuda muslim. Di India, Muncul Jami’atul Islam yang dicetuskan oleh Abul A’la al-Maududi. Sementara itu, di Libya muncul gerakan As-Sanusiyah yang berorientasi tasawuf, namun juga memberikan andil pada pergerakan anti-imperialisme asing. Terakhir, di Indonesia sendiri pada tahun 1912 berdiri persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, Persatuan Islam yang didirikan oleh ulama-ulama pembaharu di Jawa Barat, dan Al-Irsyad yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkaty As-Sudani yang merepresentasikan masyarakat keturunan Arab di Indonesia.

Gerakan-gerakan pembaharuan ini memiliki interpretasi pemahaman Islam yang bervariasi, akan tetapi mengakar pada konsep yang sama : Ketauhidan yang benar. Gerakan-gerakan ini pada umumnya berprinsip, pada persoalan akidah semuanya harus bersatu dengan pemahaman yang sama. Akan tetapi, mereka memiliki pola orientasi pergerakan yang berbeda namun tetap berjalan pada koridor yang ditetapkan dalam Islam.

Pergerakan Muhammadiyah, misalnya, sejak pertama kali didirikan pada tahun 1912 selalu menekankan pentingnya pembaharuan Islam. Pembaharuan dalam konteks ini tidak diartikan sebagai tindakan merombak pemahaman keagamaan yang berlaku atau mengubah hukum yang telah ditetapkan. Tajdid dalam perspektif kemuhammadiyahan berarti kembali kepada sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, umat Islam akan memiliki sumber kekuatan moral yang diharapkan dapat mereformasi kehidupan yang morat-marit akibat krisis berkepanjangan.

Menurut Haedar Nashir (2006), domain tajdid yang dilakukan mengimplikasikan adanya pemahaman yang luas dan mendalam terhadap Islam sehingga gerakan tajdid yang dilakukan dapat masuk ke ruang publik. Di sini, lanjut Haedar, diperlukan perangkat-perangkat konseptual, epistemologi, dan metodologi yang lengkap agar pemurnian Islam yang dikehendaki dari gerakan tajdid tersebut dapat berlangsung secara komprehensif, bukan secara parsial atau setengah-setengah.

Hal yang terlebih dahulu harus kita lakukan untuk mengimplikasikan Tajdid yang benar adalah dengan meluruskan fondasi keimanan, Yaitu Tauhid. Sebagaimana yang umum diketahui, unsur tauhid tercantum dalam kalimat Syahadat, yaitu “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, Tiada Tuhan Selain Allah. Kesaksian ini harus terlebih dulu diluruskan serta dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan nyata di kehidupan sehari-hari.

Dalam perspektif kemuhammadiyahan, tauhid yang benar tidak cukup hanya dilakukan dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Diperlukan adanya implementasi atas kesaksian tersebut dalam realitas empiris, sebagai bukti bahwa Tauhid kita benar. Selain itu, perilaku kita juga harus sesuai dengan tauhid kita. Jangan sampai dalam perbuatan sehari-hari ternyata ada perilaku yang menjerumuskan kepada perbuatan menyekutukan Allah.

Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, ada tiga hal yang harus dijauhi oleh umat Islam dalam upaya mengimplementasikan tauhid tersebut. Mereka antara lain Syirik (Menyekutukan Allah), Takhayul (kepercayaan magis tradisional), Bid’ah (mengada-ada dalam permasalahan agama), dan Khurafat (kepercayaan akan benda-benda syirik) yang selanjutnya dikenal dengan istilah TBC.

Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari. Selain itu, perbuatan ini juga mengisyaratkan bahwa kita meminta pertolongan kepada selain Allah. Dalam kacamata agama, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an.

Selain tauhid yang berkaitan dengan pengesaan Allah dan manifestasinya (tauhid akidah), juga ada konsep Tauhid Sosial yang menurut Amien Rais (1997) merupakan dimensi sosial dari Tauhid Akidah. Dalam pandangan Akhmad Muzakki (2004), konsep Tauhid Sosial ini dimaksudkan oleh Amien Rais agar tauhid akidah yang telah terintegrasi ke dalam pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan dalam realitas sosial secara konsisten.

Dalam kacamata Amien Rais, ada lima dimensi Tauhid Sosial. Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah (Unity of Godhead); Kedua, keyakinan atas penciptaan dari Sang Pencipta (Unity of Creation); Ketiga, keyakinan atas dasar-dasar kemanusiaan (Unity of Mankind); Keempat, keyakinan atas adanya pedoman hidup yang mengatur manusia (Unity of Guidance); Kelima, keyakinan atas tujuan hidup manusia sebagai umat muslim (Unity of The Purpose of Life).

Melalui Tauhid Sosial tersebut, umat Islam dituntut untuk mempraktikkan nilai-nilai Tauhid akidah ke dalam realitas sosial secara benar. Dalam terminologi Amien Rais, seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan menjauhi Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat, tetapi juga harus peka terhadap urusan kemanusiaan. Selain itu, seorang muslim juga dituntut untuk menerapkan fungsi keadilan, karena kepekaan terhadap hak-hak kemanusiaan mengharuskan adanya perilaku adil kepada Allah, sesama manusia, maupun kepada lingkungan sekitar.

Adapun Nurcholish Madjid merumuskan dua dimensi dari tauhid, yaitu self-liberation dan social liberation. Istilah pertama berarti pembebasan diri dari hawa nafsu yang menolak kebenaran karena kesombongan diri. Istilah kedua bermakna pembebasan masyarakat dari segala bentuk thaghut atau kekuasaan sewenang-wenang, tirani, dan zalim

Jika konsep-konsep tauhid tersebut telah dapat diintegrasikan dalam aktivitas kenegaraan, perilaku-perilaku penyelenggara negara dapat lebih terkontrol. Implikasinya, perbuatan korupsi yang merugikan negara dapat direduksi, sehingga perekonomian negara pun dapat diperbaiki.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita memersiapkan bangsa ini untuk mereformasi diri dengan Tajdid demi kebangkitan Islam yang diharapkan. Yakinlah, bahwa Allah telah menurunkan Islam secara kaffah atau Par Excellence. Hanya saja, ke-kaffah-an Islam tersebut harus selalu direvitalisasi, agar umat Islam tidak tersesat ke arah yang salah. Dengan tajdid yang benar, Insya Allah gerbang kebangkitan umat akan segera kita temui.

Tidak ada komentar: