Sabtu, 26 Juli 2008

Santri, Pilkada, dan Kecerdasan Politik

Pendahuluan

Suksesi kepemimpinan di Jawa Timur memasuki babak baru. Pilkada yang digelar pada Rabu (23/7) berdasarkan survey LSI (Denny JA dan Saiful Mujani) harus menuju tahap kedua karena tidak ada satupun calon yang meraih suara lebih dari 30%. Khofifah Indar Parawangsa-Mudjiono (KAJI) yang diusung oleh koalisi 11 partai diprediksi akan berhadapan dengan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KARSA) yang diusung oleh PAN-PD-PKS dalam pilkada babak kedua.
Kekalahan Mengejutkan

Hasil yang didapatkan oleh quick count dua lembaga survey ini mengejutkan banyak pihak. Sebab, tiga calon yang diusung oleh tiga partai besar harus rontok dengan perolehan suara yang jauh dari harapan. Mereka harus mengakui keunggulan kandidat yang tidak didukung oleh mesin politik yang kuat, KAJI dan KARSA.

Kandidat PKB, Achmady-Suhartono (Achsan), yang pada Pemilu 2004 menguasai hampir seluruh wilayah Jawa Timur justru meraih pencapaian suara terendah, yaitu berkisar 7,18%. Begitu juga dengan Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR) yang diusung oleh PDIP dan Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) yang diusung oleh Partai Gollkar. Keduanya terkapar dengan perolehan suara 21% dan 18%.

Hasil ini membuat kita bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi sehingga PKB yang memiliki basis massa kuat di Jawa Timur harus mengalami kekalahan pahit, dengan perolehan suara kurang dari 8%? Mari kita analisis fenomena ini.

Basis Politik Santri

Secara kultural, Jawa Timur tak terpisahkan dengan budaya pesantren. Mulai dari pesisir utara sampai daerah selatan, pesantren mewarnai kehidupan masyarakat Jawa Timur. Ada beberapa poros pesantren yang memiliki basis kuat, seperti Langitan (KH. Abdullah Faqih), Jombang (Alm. KH. Yusuf Hasyim), Malang (KH. Hasyim Muzadi), atau Pasuruan (KH. Mas Subadar). Belum lagi pesantren-pesantren lain.

Keberadaan pesantren ini memiliki implikasi politik, yaitu munculnya kekuatan politik Islam dengan basis tradisionalitas disertai peran sentral Kyai dalam menentukan pilihan. Dalam konteks ini, ketokohan Kyai menjadi sebuah referensi politik bagi santri dan masyarakat sekitar.
Berangkat dari pemahaman di atas, sentralitas Kyai yang berlatarbelakang pemahaman keagamaan yang kuat pada gilirannya melahirkan pola konsentrasi politik yang berbasis pada partai berideologi Islam atau berbasis massa Islam. Masyarakat di Jawa Timur lebih cenderung memilih partai dengan figur-figur ulama di dalamnya.

Akan tetapi, figuritas ulama lebih dominan dibanding kepartaian. Terbukti, Achmady-Suhartono yang notabene diusung oleh PKB dengan dukungan utama Gus Dur harus mengalami kekalahan telak. Rakyat lebih melirik figur santri lain, yaitu Khofifah Indar Parawangsa dan Syaifullah Yusuf.

Apa arti dari semua ini? Penulis berpendapat kekalahan PKB lebih disebabkan oleh kurangnya dukungan ulama. Achsan hanya mengandalkan Gus Dur yang popularitas politiknya meredu. Berbeda dengan KAJI yang didukung oleh Hasyim Muzadi dan beberapa ulama khos lain. Ini mengakibatkan terjadinya polarisasi pada kekuatan politik santri di pilkada Jawa Timur kemarin.

Antiklimaks Parpol?

Hasil pilkada Jawa Timur yang mengejutkan ini juga dapat kita analisis pada kondisi partai politik pengusung. PKB, misalnya, ternyata memiliki konflik internal di tingkat pusat yang mempengaruhi hasil pilkada. Apalagi, pilkada tidak cukup dengan hanya mengandalkan Gus Dur atau Yenny Wahid pada kampanye. Perlu ada dukungan dari kyai kharismatik lain di segenap penjuru Jawa Timur.

Dengan bekal 27 kursi di DPR-RI, seharusnya PKB mampu memaksimalkan dukungan untuk calon yang mereka usung. Di sini, penulis menganalisis bahwa konflik di tingkat pusat didukung oleh tidak populernya figur menyebabkan respons konstituen terhadap calon dari PKB juga rendah. Belum lagi dengan terfragmentasinya kader PKB ke calon lain yang membuat dukungan juga beralih.

Fenomena mirip juga kita dapati di PDIP. Soekarwo, kandidat yang diusung oleh PD, PAN, dan PKS ternyata sebelumnya juga melamar PDIP untuk maju. Apalagi Pakde Karwo lebih berhaluan nasionalis dan pernah menjabat Koordinator GMNI di kampus beliau. Fragmentasi ini menyebabkan basis dukungan Soekarwo juga berasal dari sebagian konstituen PDIP.

Reorientasi Politik Santri

Sebagai refleksi, penulis menyimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran orientasi politik kalangan pesantren di Jawa Timur. Dengan kekalahan PKB, kalangan santri tidak lagi memandang partai politik atau Kyai tertentu sebagai referensi politik mereka. Penulis menilai masyarakat Jawa Timur tidak lagi memandang Jombang (Gus Dur) sebagai acuan, tetapi lebih pada figur santri yang mewakili aspirasi mereka.

Penulis hanya dapat berharap, semoga Pilkada Jawa Timur dapat membawa angin perubahan bagi penyelesaian kasus-kasus nasional seperti Lumpur Lapindo. Dengan demikian, peran dan orientasi politik santri tidak lagi terkooptasi pada kekuasaan, tetapi kembali pada khittahnya untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Semoga.

Hari Anak Nasional : Bagaimana KPAID Kalsel?

Pendahuluan
Perlindungan anak secara global telah mengemuka pada awal 1990 dengan disahkannya Konvensi Hak Anak yang dirumuskan di New York dan disahkan oleh General Assembly of The United Nations (Majelis Umum PBB) pada tanggal 20 November 1989. Konvensi Hak Anak ini pada perkembangannya diratifikasi pada tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden No 36 tahun 1990.

Pada Konvensi Hak Anak Pasal 19 Ayat (1) dan (2), muncul sebuah kewajiban setiap anggota PBB untuk mengambil langkah-langkah secara legislatif (pembuatan peraturan khusus), sosial, administratif dan pendidikan yang layak dalam permasalahan anak. Republik Indonesia telah mempunyai tiga perundang-undangan tentang anak, yaitu UU No 23 tahun 2002, seUU No 3 tahun 1997, dan UU No 4 tahun 1979.

Berdasarkan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak dalam kerangka UU tersebut harus mendapatkan hak-hak berupa hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dengan demikian, upaya-upaya perlindungan anak di Indonesia dapat dimulai dari starting point ini. Sekarang, setelah 18 tahun Konvensi Hak Anak diratifikasi oleh Presiden Soeharto, kembali kita perlu mengevaluasi diri dengan pertanyaan : Apakah semua anak Indonesia telah dilindungi keberadaannya, diakui hak-haknya yang asasi, dan dihormati partisipasinya sebagai warga negara Indonesia? Mari kita analisis.

Kekerasan Pada Anak

Kita mungkin masih belum lupa ketika tiga tahun yang lalu, Februari 2005, terjadi kasus child abuse. Berita Banjarmasin Post 1 Februari 2005 mengungkap hal tersebut. Seorang anak perempuan yang masih di di bawah umur harus menjadi korban kekerasan oleh ibu tirinya yang diduga mengalami gangguan kejiwaan. Lebih mencengangkan lagi, hasil visum Rumah Sakit menyatakan bahwa apa yang dialami oleh anak tadi dikategorikan sebagai kekerasan berat (BPost, 2/2/2005). Kasus ini diblowup oleh media massa dan akhirnya ditangani oleh Kepolisian dengan menggunakan UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Berdasarkan data Plan Indonesia yang dikutip sebuah media cetak nasional, pada tahun 2006 diperkirakan ada 871 kasus kekerasan terhadap anak. Sedangkan dari pengaduan masyarakat melalui hotline services dan pemantauan Pusdatin Komnas Perlindungan Anak terhadap 10 media cetak, selama tahun 2005 dilaporkan terjadi 736 kasus kekerasan terhadap anak ditambah 130 kasus penelantaran anak dengan rincian 327 kasus kekerasan seksual, 233 kasus kekerasan fisik, 176 kasus kekerasan psikis, dan 130 kasus penelantaran anak (Pikiran Rakyat, 24 Maret 2006).

Bila kita tinjau aspek yuridisnya, dapat kita katakan bahwa perilaku-perilaku kekerasan pada anak, bertentangan dengan UU No 23 tahun 2002. Dalam pasal 80 Ayat (1) UU No 30 tahun 2002 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan kepada anak pidana penjaranya tiga tahun enam bulan,dengan dengan denda Rp 72.000.000,00.

Jika anak yang dianiaya luka berat, maka pidana penjaranya yaitu 5 tahun, dengan denda Rp 100.000.000,00. Kemudian jika anaknya meninggal, makapelaku dipidana dengan piana penjara 10 tahun, denda Rp 200.000,00 Kemudian di ayat (4) disebutkan jika yang melakukan orang tua, maka pidana penjara ditambah sepertiganya.

Peran KPAID Kalsel

Dari fakta-fakta di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa masih ada anak Indonesia yang belum menerima perlakuan layak. Ada yang diadili dengan alasan sepele, ada yang harus menerima kekerasan yang memenuhi unsur pidana, dan ada yang ditelantarkan sehingga tidak mendapatkan hak-haknya untuk tumbuh secara wajar.

Dengan demikian, perlindungan hak-hak anak menjadi sangat penting untuk segera dilakukan. Kita telah mempunyai UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU no 3 tahun 1997 tentang peradilan anak, dan UU No 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Kalimantan Selatan bahkan telah membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) sebagai penjaga gawang perlindungan anak di level provinsi.

Memang, wewenang KPAID terbatas. KPAID dapat melakukan sosialisasi institusional, tetapi tidak melakukan sosialisasi directly to person. KPAID juga belum seutuhnya menjalankan advokasi kepada anak yang bermasalah secara hukum dengan orang lain. KPAID, saran penulis, dapat mengambil peranan dalam advokasi anak yang diadili padahal usianya masih di bawah 18 tahun, atau minimal melakukan tindakan preventif dengan pendekatan ke masyarakat dengan berbagai media yang ada.

Penulis hanya berharap, KPAID Kalsel mampu menjalankan fungsinya yang tercantum dalam UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 76 huruf a, yaitu sosialisasi seluruh perundang-undangan tentang perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, serta melakukan penelaahan strategis, pemantauan, dan evaluasi dalam penyelenggaraan perlindungan.

KPAID Kalsel merupakan penjaga gawang perlindungan anak di Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, keberadaannya harus membawa hasil dalam mereduksi kasus-kasus kekerasan anak secara signifikan.
Bravo KPAID, kami mendukungmu!

Pilkada dan Pemuda: Awal Perubahan?

Pendahuluan
Kaum Muda kembali menampakkan “taring”nya di pentas pilkada. Setelah pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf secara mengejutkan memenangi pilkada Jawa Barat, kali ini Zainul Majdi–Badrul Munir yang memenangkan pilkada di NTB. Kemenangan mereka juga mengejutkan sebab pasangan yang dihadapi adalah Lalu Serinata, gubernur incumbent yang diusung oleh koalisi Golkar-PDIP.

Selain dua pasangan muda tersebut, kita juga telah menemukan beberapa figur kaum muda yang berkompetisi di beberapa pilkada. Kita dapat menyebut Rosehan NB (Kalsel), Gatot Pujo Nugroho (Sumut), Syaifullah Yusuf (Jatim), Hadi Mulyadi (Kaltim), Nasir Jamil (Aceh), atau Zulkifliemansyah (Banten).

Pemuda dan Politik Lokal

Ada apa di balik “kemenangan” beberapa pemuda tersebut? Mari kita sedikit menganalisis fenomena ini.

Pertama, fenomena hadirnya kaum muda dalam pentas politik lokal mengindikasikan kebangkitan kembali peran politik pemuda. Selama beberapa dekade, peran politik pemuda tersubordinasi oleh pragmatisme orang-orang tua dan para birokrat yang menguasai pemerintahan. Pemuda seakan terpenjara dengan idealisme mereka masing-masing, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk menonjolkan diri secara politik.

Gaung reformasi yang berhembus di tahun 1998 ternyata mengubah visi ini. Pemuda mulai menunjukkan sinyal kebangkitan dengan munculnya anggota legislatif muda yang idealis di parlemen. Sebut saja nama Nusron Wahid (Golkar), Rama Pratama (PKS), atau Maruarar Sirait (PDIP). Sinyal ini kemudian menguat dengan majunya beberapa pemuda ke pentas pilkada di beberapa daerah. Fenomena ini menjadi tanda kebangkitan kembali peran politik pemuda.

Kedua, kemenangan pemuda dalam pilkada menunjukkan krisis kepercayaan masyarakat dengan “pemain lama” dalam politik. Fenomena Jabar dan NTB membuktikan hal ini. Kemenangan TGB Zainul Majdi (PBB-PKS) menumbangkan prediksi para analis yang lebih menjagokan Lalu Serinata, mengingat posisinya sebagai incumbent dan dukungan dari koalisi dua partai politik besar, yaitu Golkar dan PDIP. Fenomena serupa terjadi di Jabar yang memenangkan Ahmad Heryawan (PKS-PAN) atas Dani Setiawan (Golkar-Demokrat) dan Agum Gumelar (PDIP).

Krisis kepercayaan ini mengemuka karena “pemain lama” tersebut tidak melakukan perubahan berarti di masyarakat. Rakyat yang telah jenuh dengan kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi, dalam pandangan penulis, lebih menginginkan calon yang progresif dan penuh dengan idealisme untuk melakukan perubahan. Kecenderungan ini mengakibatkan rakyat lebih memilih figur pemuda yang berkompetisi di Pilkada.

Ketiga, kemenangan kaum muda dapat disebabkan oleh menguatnya partisipasi politik pemuda dalam pilkada/pemilu. Di NTB, survey Lingkar Survey Indonesia menyebut bahwa tingkat partisipasi pemilih lebih dari 73%, sebuah pencapaian partisipasi politik yang cukup besar. Meski LSI tidak menganalisis hal di atas, penulis menilai kemenangan calon yang mewakili kaum muda (TGB Zainul Majdi) memiliki andil terhadap peningkatan partisipasi pemilih pemuda.

Selama ini, sikap pemuda dalam politik cenderung apatis dan nonpartisan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya intrik dan kontroversi dalam pentas politik nasional. Para pemuda juga menaruh ketidakpercayaan terhadap pemerintah karena seringkali terjadi clash antara aparat pemerintah dengan pemuda yang penuh dengan berbagai tuntutan demi kemajuan bangsa. Disadari atau tidak, masuknya kaum muda ke ranah politik praktis telah membuka mata sebagian besar pemuda akan pentingnya partisipasi dalam demokrasi.

Keempat, kemenangan kaum muda dalam pilkada tersebut dapat ditafsirkan sebagai awal dari perubahan peta politik nasional pada Pemilu dan Pilpes tahun 2009 nanti. Kaum muda akan menjadi sebuah elemen masyarakat yang diperhitungkan eksistensinya pada saat kampanye. Hal ini juga menjadi awal kemenangan partai-partai yang mengusung kepentingan kaum muda.

Dalam konteks yang lebih luas, pergeseran peta politik nasional pada 2009 tersebut setidaknya akan mempengaruhi beberapa hal, seperti munculnya partai politik yang mengusung idealisme pemuda, perubahan program kerja dan visi-misi partai/capres, serta awal dari munculnya kandidat pemuda dalam pemilihan presiden. Benar tidaknya analisis ini dapat dibuktikan pada pesta demokrasi 2009 nanti.

Quo-Vadis Pemuda?

Kemenangan TGB Zainul Majdi-Badrul Munir dalam Pilkada NTB dan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Jabar telah membuka mata dunia bahwa pemuda masih eksis di Indonesia. Sebagai agen perubahan, mereka telah mewakili pemuda dalam membuat awal yang baik dalam demokrasi di Indonesia.

Ke depan, kita tinggal menantikan komitmen dan keberhasilan kerja mereka dalam membangun daerah masing-masing. Semua kontrak politik dan janji kampanye harus direalisasikan secara optimal sebagai konsekuensi amanah yang dipegang. Saya yakin, Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, Lc., MA. dan Ahmad Heryawan, Lc. dapat menjawab tantangan ini.

Salam Pemuda, Salam Reformasi!

Rabu, 16 Juli 2008

Awas! Dunia Dilanda Krisis Minyak

Waspadai Politik Minyak Global

Bulan ini menjadi bulan yang cukup pelik bagi pemerintah SBY-JK. APBN-Perubahan yang telah disusun dengan hati-hati harus menghadapi fenomena terburuk, yaitu meroketnya harga minyak dunia. Di pasar komoditas New York, harga minyak dunia dikabarkan mencapai rekor baru: $147,7 per barel (MetroTV, 12 Agustus 2008). Tak hanya itu, rekor tersebut berpeluang naik hingga melebihi $150 per barel ke depan.

Kenaikan harga minyak dunia tersebut membuat pemerintah harus bersiap-siap menuai badai akibat ketidakmampuan APBN dalam menghadapi harga ini. Pada APBN-Perubahan 2008, asumsi harga minyak dunia adalah sekitar $95 per barrel, sedangkan harga minyak sekarang mengalami kenaikan sebesar 55,47% dari asumsi semula. Itu pun masih berpeluang melonjak karena pergerakan harga yang sulit diprediksi.

Bagi beberapa negara di dunia seperti Rusia, Arab Saudi, atau Qatar, kenaikan harga minyak dunia ini justru menjadi ”panen raya”. Mereka meraup banyak keuntungan karena selisih antara produksi dan konsumsi yang besar, ditambah dengan neraca perdagangan yang positif. Situasi ini sangat kontradiktif dengan Indonesia, yang walaupun dikenal sebagai negara produsen minyak, tetap harus menderita kerugian akibat konsumsi yang cukup besar yang harus ditanggung oleh APBN.

Kenaikan harga minyak dunia sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, berkurangnya pasokan minyak mentah dunia. Hal ini dapat kita lihat pada produksi minyak Indonesia yang menurun drastis, mencapai 846.000 barel per hari. Secara akumulatif, produksi minyak dunia pun hanya sebesar 28 Juta barrel per hari. Ini merupakan sebuah angka yang rendah untuk level produksi dunia di era sekarang.

Kedua, konsumsi minyak dunia yang cukup besar. Konsumsi minyak ini menjadi faktor yang cukup krusial, karena produksi minyak dunia tidak optimal. Dalam teori ekonomi, harga barang akan naik jika permintaan (demand) terus bertambah sementara penawaran (supply) cenderung stagnan atau turun. Indonesia memiliki kecenderungan ini jika pengguna kendaraan bermotor atau kompor minyak terus bertambah tiap tahunnya.

Ketiga, persoalan politik luar negeri. Persoalan ini mengerucut pada tiga poros kekuatan oposisi: Iran-Venezuela-Bolivia. Kita lihat saja Iran. Memanasnya hubungan diplomatik dengan AS dan Israel telah membuat cemas pelaku pasar dunia. Apalagi Israel tengah melakukan persiapan perang dengan serangkaian latihan militer. Akibatnya, sentimen negatif muncul pada sesi perdagangan dan mendongkrak harga minyak.

What is To Be Done?

John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Men, telah menyatakan bahwa bercokolnya korporasi multinasional dan ekonom hit men di sektor perminyakan telah membawa bahaya besar. Contoh terbaik adalah pada Ekuador di era Jaime Roldos atau Chile di era Salvador Allende. Keduanya harus lengser dari kursi kepresidenan karena memiliki pertentangan dengan perusahaan asing. Roldos, misalnya, terbunuh dengan kecurigaan kuat sebagai buntut dari konflik dengan Chevron dan Shell.

Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis minyak dunia ini? Penulis mencoba memberikan beberapa alternatif solusi.

Pertama, penghematan fiskal. Pemerintah patut mengevaluasi belanja-belanja yang kurang penting di APBN-Perubahan agar subsidi BBM tetap dapat berjalan. Penghematan ini juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi penjualan obligasi, laba BUMN, atau cadangan devisa. Langkah Evo Morales di Bolivia yang menasionalisasi aset sumber daya alam yang krusial patut dijadikan referensi.

Kedua, mengoptimalkan potensi hulu migas. Salah satu kesalahan pemerintah adalah memberikan beban yang tinggi kepada Pertamina untuk bergerak di sektor hulu migas dengan menempatkan perusahaan-perusahaan asing besar macam Chevron, Exxon, atau Medco. Sehingga, Pertamina dengan teknologi yang tidak terlalu maju harus berhadapan dengan para ”raksasa minyak” yang memiliki sumber daya cukup besar. Akibatnya dapat ditebak: Keuntungan di sektor hulu migas tidak terlalu maksimal.

Ketiga, mengevaluasi kontrak-kontrak karya migas dengan perusahaan asing seperti Exxon Mobile, di sektor perminyakan. Sesuai ketentuan perundang-undangan, pembagian keuntungan antara pihak penambang minyak asing dengan pemerintah adalah 85%:15%. Akan tetapi perlu dicatat, pembagian keuntungan tersebut harus dikurangi oleh cost recovery. Pemerintah harus menjaga agar biaya produksi yang dikeluarkan tidak dimark-up. Kecurigaan ICW bahwa ada penyelewengan dana di Pertamina EP perlu diusut, karena hal ini berdampak pada kerugian yang berlipat ganda bagi negara.

Keempat, mengurangi impor minyak dari negara lain. Kita harus mencanangkan kembali prinsip ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) yang dulu pernah didengungkan oleh Soekarno. Ini mungkin sulit bagi masyarakat kita yang konsumtif dan western-minded, tetapi secara jangka panjang hal ini menjadi sebuah langkah vital. Kita lihat saja India dengan prinsip Swadeshinya, sekarang mampu bercokol sebagai salah satu ”macan” Asia yang disegani dalam Information Technology bersama Cina.

Empat alternatif solusi di atas penulis tawarkan sebagai manifestasi kewaspadaan kita akan meroketnya harga minyak dunia mencapai rekor mengkhawatirkan. Penulis hanya dapat berharap, semoga kenaikan harga minyak dunia ini tidak disikapi secara gegabah oleh pemerintah. Kita nantikan saja.
Ctt: Banyak sekali agen-agen liberal yang masuk ke Indonesia. Jika anda pernah mendengar nama FREEDOM INSTITUTE, yang ditukangi oleh Andi Mallarangeng, Rizal Mallarangeng, dll. Maka Anda akan melihat bahwa mereka merupakan para kolaborator alias "hantu-hantu" liberal yang ingin menghancurkan Indonesia. Wajar jika SBY-JK terkena imbas dari keberadaan mereka.
Wa Na'udzu Billahi Minasy Syathan ar-Rajim....

Sabtu, 05 Juli 2008

Menuju Pilpres 2009

Mereka yang Berpotensi Duduk di RI-1

Pemilihan umum 2009 memang masih satu tahun lagi. KPU menjadwalkan pemilu akan diselenggarakan pada awal April 2009. Meski demikian, para kontestan Pemilu dan Pilpres telah mulai memasang ”kuda-kuda” untuk mempersiapkan diri menuju hari H. Tercatat beberapa tokoh nasional yang secara terang-terangan mendeklarasikan diri menjadi calon presiden, padahal pemilu yang akan menentukan perolehan partai pengusung mereka masih belum dilangsungkan.

Sepuluh Tokoh

Media massa telah mencatat ada sedikitnya sepuluh kandidat yang berpotensi untuk maju pada pilpres 2009. Berikut sepuluh kandidat yang disebut-sebut di media massa sebagai kandidat presiden di Pilpres tahun depan.

Pertama, MEGAWATI SOEKARNOPUTRI. Mantan Presiden Indonesia ke-V ini telah menyatakan diri untuk maju beberapa waktu yang lalu dengan dukungan penuh dari PDIP, partai yang beliau dirikan. Kans beliau masih cukup kuat berdasarkan survey Indo Barometer beberapa waktu yang lalu (30%), bertengger di peringkat pertama. Apalagi popularitas Presiden SBY menurun karena kisruh di kebijakan BBM.

Kedua, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (Presiden SBY). Beliau memang tidak secara terang-terangan menyatakan diri untuk maju, tetapi sikap politik Partai Demokrat telah menunjukkan kecenderungan itu. Hanya saja, disadari atau tidak, Presiden SBY masih memiliki peluang yang cukup kuat untuk menang meskipun ada penurunan popularitas dari hasil survey LSI (LSI Denny JA dan LSI Saiful Mujani), Survey Indo Barometer (pimpinan M. Qodari) atau Litbang Kompas.

Ketiga, WIRANTO. Beliau tercatat sebagai kandidat yang paling awal melakukan start dan mendeklarasikan diri untuk maju. Kans beliau pada dasarnya masih terbuka, karena beliau pernah menjadi salah satu calon presiden dari Partai Golkar pada 2004. Masalahnya, Partai Hanura sebagai kendaraan politik yang akan membawa beliau nanti masih belum terlihat karena masih belum memiliki peta konstituen yang jelas.

Keempat, SOETRISNO BACHIR. Ketua Umum PAN ini juga telah melakukan pencitraan diri melalui iklan TV. Nama beliau memang masih belum terlalu dikenal, tetapi beliau memiliki dukungan dari Pak Amien Rais yang memiliki basis massa kuat di kalangan Muhammadiyah. Meski demikian, beliau tidak mengafiliasikan diri kepada salah satu ormas keagamaan tertentu. Ini dapat menjadi awal yang baik bagi Pak Tris.

Kelima, PRABOWO SUBIANTO. Sama seperti Wiranto, beliau menggunakan partai baru sebagai kendaraan politik, yaitu Partai Gerindra. Namun, beliau kurang dikenal oleh publik kecuali sebagai Ketua Umum HKTI dan mantan Pangkostrad. Nama beliau sempat mencuat di Konvensi Partai Golkar 2004, namun beliau tidak terpilih. Keuntungan beliau adalah kedekatan dengan petani yang cukup kuat di pedesaan.

Keenam, JUSUF KALLA, Wakil Presiden RI sekarang. Dengan kapasitas sebagai Ketua Umum Partai Golkar, beliau memiliki dukungan yang sangat kuat di kawasan Indonesia Timur dan konstituen Partai Golkar pada umumnya. Posisi beliau sekarang pun cukup strategis, sebagai Wakil Presiden RI. Dengan demikian, modal beliau untuk maju sebenarnya cukup kuat dan tinggal mengoptimalkan mesin politik yang mulai ”loyo” dalam Pilkada.

Ketujuh, HIDAYAT NUR WAHID. Ketua MPR-RI ini populer di kalangan umat Islam karena banyak hal. Selain berpendidikan S3 dari Madinah, kesederhanaan beliau ketika menjalankan tugas kenegaraan juga diacungi jempol. Apalagi beliau jarang memicu kontroversi karena sikap beliau yang sederhana, jujur, dan diplomatis ketika berhadapan dengan publik. Sekarang, tinggal partai pengusung saja yang harus dioptimalkan.

Kedelapan, ABDURRAHMAN WAHID. Mantan Presiden RI ketiga ini memiliki basis massa di kalangan nahdliyyin, baik di perkotaan maupun pedesaan. Hanya saja, faktor kesehatan yang mulai menurun serta sikap beliau yang menjadi kontroversi dan berseberangan dengan umat Islam yang lain menjadi perintang. Meski demikian, beliau paling tidak memiliki dukungan dari ulama-ulama kharismatik di Jawa.

Kesembilan, SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO X. Beliau adalah sultan di Kraton Yogyakarta dan secara formal masih menjabat sebagai Gubernur DIY. Popularitas beliau sangat tinggi di kawasan Yogyakarta-Surakarta dan secara adat beliau memiliki keunggulan. Hanya saja, popularitas beliau di daerah lain kurang sehingga perlu penyeimbang dalam formasi capres-cawapres nanti.

Kesepuluh, SUTIYOSO. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Namun, beliau masih belum memiliki pengusung di Pemilu 2009 nanti. Berbeda dengan Wiranto dan Prabowo Subianto yang memiliki partai, beliau hanya mendeklarasikan diri secara personal sehingga keputusan final harus ditunggu sampai tahun 2009 yang akan datang.

Bagaimana 2009 Nanti?

Analisis di atas mungkin masih belum mengelaborasi potensi calon-calon lain yang sebenarnya juga berniat untuk maju di Pilpres yang akan datang, tetapi masih belum menonjol. Kita dapat melihat bahwa ada beberapa ”wajah lama yang telah malang melintang di kancah perpolitikan nasional disertai beberapa calon alternatif.

Kesepuluh calon tersebut mungkin memiliki basis massa dan basis ideologi yang berbeda. Sekarang, tinggal rakyat yang menimbang di pesta demokrasi yang akan datang semoga pemimpin alternatif di tahun 2009 dapat melepaskan Indonesia dari kungkungan imperialisme ekonomi bangsa asing yang masih bercokol melalui Freeport, Exxon, Medco, dan lain-lain.

Salam Reformasi.

Jumat, 04 Juli 2008

Berhaji Tanpa Gelar

Mengulas Penggunaan Gelar "Haji" sebagai Identitas Diri


“Dan serulah manusia untuk mengerjakan ibadah haji, niscaya mereka akan datang dengan berjalan kaki, atau mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh’”

(Al-Qur’an Surah Al-Hajj:27)

Ibadah Haji, seperti kita ketahui bersama, merupakan salah satu dari rukun Islam ke-5. Ibadah haji diwajibkan kepada setiap muslim yang mampu melaksanakannya, dan ini dapat kita lihat dalam Al-Qur’an Surah Al-Hajj ayat 27 di atas. Dalil lain ada pada Surah Al-Baqarah: 196-203 yang menjelaskan tatacara ibadah haji secara umum.

Karena wajibnya haji itulah, setiap muslim dari penjuru dunia berbondong-bondong mendatangi Baitullah pada bulan Dzulhijjah. Mereka datang dengan berbagai media transportasi: Pesawat terbang, Kapal Laut, bahkan dengan Bus (bagi yang berada di jazirah Arab). Fenomena ini selaras dengan firman Allah di atas.

Kontroversi Gelar “Haji”

Pemberian gelar ”Haji” atau ”Hajjah” telah menjadi sebuah adat dan tradisi di Indonesia. Biasanya, gelar tersebut diberikan bagi seorang yang telah datang dari tanah suci, tak peduli hajinya mabrur atau tidak. Asalkan beliau telah menjalani rukun-rukun haji (ihram, wukuf, dan tawaf), ia berhak menyandang “titel” H. atau Hj. di belakang namanya. Perkara ia melanggar dam atau berbuat sia-sia pada saat menjalankan ibadah haji tak jadi soal; yang penting ia telah menjalankan rukun dengan lancar.

Salahkah pemberian gelar tersebut? Pada dasarnya agama tidak melarangnya. Katakanlah pemberian gelar tersebut hanyalah tradisi untuk mengingatkan bahwa ia telah melaksanakan ibadah haji, karena ibadah ini merupakan sebuah kewajiban bagi seorang yang telah mampu. Al-Qur’an dan Hadits pun secara eksplisit tidak ada yang melarang pemberian gelar ini.

Meskipun demikian, adat ini tidak berasal dari Rasulullah. Tidak ada satupun sahabat nabi yang memasang gelar H. Atau Hj. di belakang nama mereka. Kita tentu tidak pernah mendengar satu teks hadits atau atsar yang menyebutkan nama ”Haji Umar”, ”Haji Abu Bakar”, ”Haji Usman”, dan lain-lain. Para shahabat dan tabi’in yang notabene merupakan mukimin Mekkah (sebagian bermukim di Madinah) menggunakan nama mereka masing-masing tanpa gelar pelengkap ini. Padahal, mereka beribadah haji nyaris setiap tahun.

Pemberian gelar ini pun jika kita lihat dari dimensi yang lain, akan ada kejanggalan-kejanggalan. Terutama jika kita lihat dari aspek sosial.

Pertama, gelar haji akan cenderung mengurangi keikhlasan seseorang. Penulis bukannya berprasangka, tetapi pemberian gelar haji berpotensi membuat niat orang yang beribadah haji tersebut bergeser. Mungkin tidak semua orang demikian. Tetapi, penulis menghawatirkan kondisi ini terjadi pada orang yang tidak memahami substansi dari haji itu sendiri.

Kedua, pemberian gelar haji menyebabkan hikmah dari ibadah haji menjadi kabur. Seseorang yang telah menjalankan ibadah haji merasa cukup dengan adanya gelar haji tersebut. Padahal, Allah telah mengisyaratkan tujuan utama haji dalam Al-Qur’an Surah Al-Hajj ayat 28, ”Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar menyebut nama Allah pada beberapa hari yang ditentukan atas rizki yang Ia turunkan berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah untuk dimakan orang yang sengsara atau fakir”.

Ayat tersebut telah menjelaskan bahwa tujuan haji seseorang adalah untuk mensyukuri nikmat Allah dengan menyembelih hewan ternak dan bersedekah kepada orang yang membutuhkan. Hadits Rasulullah yang lain pun menjelaskan bahwa Haji yang mabrur ganjarannya adalah surga, dan ini membutuhkan syarat-syarat tertentu yaitu baiknya ibadah yang ia lakukan. Pemberian gelar hanya akan mengurangi hikmah ini.

Ketiga, pemberian gelar H. Atau Hj. ini juga berisiko mendatangkan kesombongan. Sekali lagi, penulis tidak ingin berprasangka, tetapi penulis khawatir seseorang yang diberi titel H. Atau Hj. ini akan menggunakan titel ini di kesempatan-kesempatan publik, terutama bagi tokoh masyarakat atau pelaku usaha. Dengan adanya titel H. Atau Hj. tersebut, strata sosialnya akan terangkat di mata masyarakat. Implikasi yang mengkhawatirkan dalam perspektif agama adalah munculnya rasa takabbur atau sombong yang dilarang dalam Islam.

Keempat, pemberian gelar H. Atau Hj. ini berpotensi disalahgunakan untuk komoditas politik atau kepentingan pribadi. Kita dapat melihat pada pemilu, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Semua calon yang berkompetisi seakan ”berlomba” memasang gelar H. Atau Hj. di depan namanya. Akan tetapi, sikap dan perilakunya setelah terpilih tak sesuai denga gelar yang disandangnya. Begitu banyak kita dapatI H. Atau Hj. yang korupsi atau membela kepentingan yang salah (seperti aliran sesat). Inikah yang diinginkan dari ibadah haji? Tentu tidak.

Apa yang Seharusnya Diperhatikan?

Di sini, penulis tidak ingin berprasangka kepada para Haji. Pemberian gelar haji tak dilarang dalam agama.Tetapi perlu diingat, gelar H. Atau Hj. tersebut harus digunakan secara hati-hati tanpa riya’, sum’ah, atau takabbur. Gelar tersebut juga tidak boleh digunakan untuk komoditas bisnis atau politik yang bertentangan dengan etika Islam. Jika tidak mampu, mari berhaji tanpa gelar apapun di belakangnya.

Selain itu, para Haji atau Hajjah hendaknya tidak melupakan kemabruran Haji. Ukuran keberhasilan Haji tidak ditentukan dari jumlah ibadah haji yang ia lakukan, tetapi dari kualitas ibadah pasca Haji tersebut. Toh Rasulullah hanya mengerjakan ibadah haji sekali seumur hidup beliau. Bukan gelar yang menjadi ukuran, tetapi perbaikan amal dan konsistensi ibadah kitalah yang dipertaruhkan.

Untuk itu, marilah kita kesampingkan gelar Haji yang kita terima. Lebih baik kita mengorientasikan Haji kita untuk memperbaiki amal. Ingat, bukankah amal yang diterima adalah amal yang baik, bukan amal yang banyak? Bukankah yang paling mulia di antara kita adalah yang paling bertakwa (Al-Hujurat: 13)?

(Artikel ditulis sebagai wujud keprihatinan atas tergerusnya substansi ibadah oleh trend gengsi dan unsur keduniawian yang lain. Ditulis sepulang Umrah beberapa waktu yang lalu)

Selasa, 01 Juli 2008

Indonesia di Tengah Arus Globalisasi Ekonomi

Kenaikan Harga BBM, Petaka Globalisasi?

Harga minyak dunia terus naik akibat berkurangnya pasokan minyak dunia dan mandegnya produksi di beberapa negara eksportir minyak dunia,. Indeks harga terakhir di NYMex bahkan mencapai $142 per barel, hampir 1,5 kali dari prediksi APBN-P 2008. Implikasi yang besar dialami oleh bangsa kita. Harga BBM bersubsidi harus naik hingga 30% dan ”terancam” naik lagi karena produksi minyak yang jauh dari target. Begitu pula dengan elpiji yang naik sebesar 16%.

Kenaikan harga BBM ini kemudian menyulut berbagai aksi unjuk rasa. Pertama kali unjuk rasa dilakukan oleh mahasiswa Universitas Nasional Jakarta yang berujung pada penyerangan kampus Unas oleh polisi. Tak hanya itu, aksi unjuk rasa juga berlangsung di Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang dikenal sebagai basis mahasiswa Forum Kota (Forkot) dengan cara pemblokiran jalan umum di Cawang.

Krisis masih terus berlanjut. Pascapenyerangan kampus Unas, Indonesia kembali dihebohkan oleh meninggalnya seorang mahasiswa Fakultas Sastra Unas, Maftuh Fauzi yang diduga korban kekerasan aparat. ”heboh” tersebut menyeruak setelah duduga ada pelanggaran kode etik kedokteran oleh pihak rumah sakit yang merawat Maftuh. Bola menjadi semakin liar setelah aliansi mahasiswa gabungan kembali berunjuk rasa –kali ini secara anarkis—di depan gedung DPR/MPR. Semuanya terjadi sebagai respons dari kenaikan harga BBM.

Ada apa gerangan dengan naiknya harga minyak dunia tersebut? Dalam teori ekonomi, salah satu faktor yang mempengaruhi kenaikan harga barang adalah berkurangnya penawaran (supply) yang tidak dibarengi oleh penurunan jumlah permintaan (demand). Atau, jumlah barang yang tersedia (stock) tidak dapat mengimbangi jumlah permintaan atas barang tersebut sehingga produsen menaikkan harga. Hal ini terjadi pada produksi minyak yang tidak melampaui target akibat berkurangnya cadangan minyak mentah dunia dan persoalan geopolitik.

Berkurangnya produksi minyak di beberapa negara eksportir (OPEC) tentu bukan faktor tunggal. Ada banyak fenomena lain yang membelakanginya, seperti persoalan geopolitik di Iraq, nasionalisasi perusahaan minyak di Bolivia, Venezuela, dan Ekuador berkuragnya cadangan minyak mentah di Laut Arktika, sampai eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan multinasional seperti Exxon Mobile, Medco, atau Total E&P. Hal ini merupakan implikasi dari globalisasi ekonomi yang menjadi salah satu agenda dari Washington Consensus (baca Amien Rais, 2008)

Penulis ingin menganalisis dua fenomena yang saling berkaitan dalam rentetan peristiwa ini: kenaikan harga BBM dan hubungannya dengan arus globalisasi ekonomi belakangan ini. Dua variabel ini menurut penulis memiliki keterkaitan yang erat.

Di Balik Kenaikan Harga BBM

Alasan klasik pemerintah dalam menaikkan harga BBM adalah penyelamatan APBN. Memang, subsidi APBN telah menyedot lebih dari 12% dari belanja negara, sebuah angka yang cukup besar. Apalagi asumsi harga yang digunakan oleh pemerintah dalam APBN hanya sekitar $95 per barel, sehingga otomatis terjadi defisit APBN. Dengan menaikkan harga di masyarakat, pemerintah berharap defisit anggaran tersebut dapat diminimalisasi dan disalurkan ke tempat yang lebih tepat.

Sesederhana itukah masalah yang ada? Jelas tidak. Ide untuk menaikkan harga BBM setidaknya harus didahuilui oleh sosialisasi yang tepat dan antisipasi gejolak perekonomian yang bakal terjadi. Pengalaman yang sudah-sudah, kenaikan harga BBM justru diikuti oleh kebijakan yang salah kaprah, tergesa-gesa, dan terkesan mencari popularitas, yaitu Bantuan Langsung Tunai.

Banyak sekali masalah yang ditimbulkan dari subsidi BLT ini jika kita berkaca pada peristiwa tahun 2005. Kericuhan, aksi anarkis, sampai subsidi yang ”salah masuk” mewarnai pemberian subsidi ini. Angka kemiskinan bukannya dapat ditekan, justru semakin melonjak karena menurunnya daya beli masyarakat akibat inflasi.

Kenaikan harga BBM katakanlah tidak tak terelakkan. Tetapi, pemerintah seharusnya terus berupaya agar perekonomian bangsa tidak terpengaruh pada krisis minyak di dunia internasional. Penulis mencatat, kesalahan Indonesia dalam kebijakan perminyakan adalah menempatkan perusahaan-perusahaan multinasional sebagai pesaing Pertamina dalam sektor hulu (produksi mentah). Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan mengakibatkan pemberian kompensasi yang tidak menguntungkan (Lebih jelas lihat Amien Rais, 2008).

Kenaikan ini tidak lepas dari ketergantungan bangsa ini dengan OPEC. Kita lihat, OPEC sekarang sudah kehilangan tajinya dan semakin bergantung pada mekanisme pasar. Di sisi lain, Indonesia justru semakin terbebani juga harus membayar iuran OPEC sebesar 2 Juta Euro per tahun (Sekitar 28 Miliar Rupiah). Ketergantungan dengan OPEC mutlak harus dihilangkan.

Globalisasi Salah Kaprah

John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Man memperingatkan kita bahwa akan ada implikasi negatif dari globalisasi. Berdasarkan pengalamannya, arus globalisasi ekonomi telah membangun axis of evil kekuatan ekonomi dunia: Amerika Serikat-Korporasi Internasional-Economic Hit Men. Peran kelompok ketiga ini sangat berbahaya karena menjelma pada eksekutif yang menawarkan kontrak karya di berbagai negara yang menjadi target eksploitasi AS.

Pengalaman Perkins di Panama, Iran, Ekuador, Arab Saudi, Indonesia, dan negara lain membuktikan hal ini. Perkins mengaku bahwa proyek elektrifikasi (pengadaan listrik) di era Soeharto penuh dengan aksi para economic hit men ini. Panama juga telah menerima dampaknya dengan invasi AS akibat kebijakan Omar Torrijos yang terlalu berani (Invasi terjadi di era Manuel Noriega). Hal yang sama terjadi pada diri Jaime Roldos di Ekuador, Jacobo Arbenz di Guatemala, Salvador Allende di Cile, dan Mullah Muhammad Umar di Afghanistan.

Bagaimana dengan Indonesia? Dampak dari globalisasi saat ini tengah kita rasakan. Produksi minyak kita mandeg karena keserakahan eksploitasi minyak dari koporasi yang secara legal menguras kekayaan alam kita. Belum lagi dengan aksi pembalakan liar yang merugikan negara miliaran Rupiah (Adelin Lis sebagai aktor utama melenggang kangkung dengan bebas). Sementara itu, pembagian keuntungan juga tidak seimbang Seperti inikah pengaruh globalisasi di negara kita?

Globalisasi di Indonesia seharusnya ditangani secara bijak. Indonesia sudah seharusnya melupakan privatisasi BUMN yang mengkhianati nasionalisme bangsa. Indosat, Krakatau Steel, atau perusahaan lain yang telah dijual harus dinasionalisasi dan dipergunakan untuk kemaslahatan rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.

Sebagai sebuah bangsa yang telah lebih setengah abad merdeka, Indonesia sudah seharusnya menampakkan diri sebagai sebuah ”macan” Asia. Lihatlah keberanian pemimpin dunia macam Evo Morales (Bolivia), Hugo Chavez (Venezuela), Rafael Correa (Ekuador), atau Mahmoud Ahmadinejad (Iran) yang dengan gagah berani menentang imperalisme ekonomi AS dengan menasionalisasi aset-aset strategis dan mengusir perusahaan multinasional yang menggerogoti SDA bangsa mereka.

What’s Next?

Petaka globalisasi terbukti telah membawa kenaikan harga BBM yang tak dapat ditangkis oleh bangsa kita. Katakanlah kita tak dapat mengantisipasi kenaikan harga BBM tersebut, tetapi pemerintah harus terus mengantisipasi kenaikan selanjutnya dengan memproteksi produksi dalam negeri.

Dus, kita hanya dapat berharap semoga saja Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro sadar dan bertaubat atas kesalahannya dalam kontrak karya migas. Semoga Meneg BUMN Sofyan Djalil juga tidak sembrono lagi dalam memprivatisasi BUMN. Semoga saja semua itu menjadi kenyataan.


(Artikel sebagai respons atas terbitnya monograf Prof Dr Amien Rais, MA, Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!)