Sabtu, 01 November 2008

Dicari: Pelajar Reformis

Reformasi tak dapat dilepaskan dari peranan pelajar dan mahasiswa sebagai aktor utamanya. Dimulai pada tanggal 12 mei 1998 ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak, gejolak pun meluas dan mengakibatkan kekacauan di mana-mana. Puncaknya, selama tiga hari gedung DPR-MPR dikepung oleh ribuan aktivis dan mahasiswa yang meneriakkan satu kata : Reformasi! Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatan presiden dan menyerahkan kedudukan kepada BJ Habibie.

Sekarang, tak terasa sembilan tahun sudah reformasi bergulir. Selama sembilan tahun tersebut, terjadi dinamika dan pergantian kepemimpinan pada level nasional, sehingga menyebabkan pola pergerakan mahasiswa dan pelajar tidaklah sesignifikan era 1998 lalu. Peta perpolitikan sekarang lebih cenderung menampilkan elit-elit politik di lembaga legislatif dan eksekutif sebagai aktor, sedangkan pelajar, mahasiswa, aktivis, dan buruh lebih diposisikan sebagai “penikmat”.

Hal ini berimplikasi pada penurunan idealisme pelajar yang akhirnya menyebabkan para pelajar cenderung back to school. Kondisi seperti ini terus terjadi sampai sekarang, di mana para pelajar lebih diarahkan untuk belajar dengan giat agar dapat lulus Ujian Nasional yang disebut-sebut sebagai “pintu keberhasilan siswa”.

Episode seperti ini merupakan hal yang tak dapat dipungkiri dalam realitas negara kita yang sedang tumbuh dan berjuang menghadapi krisis. Memang, sah-sah saja jika pemerintah menginginkan agar para pelajar Indonesia memiliki kapasitas intelektual yang tinggi sehingga untuk ke depan diharapkan muncul figur-figur yang berpotensi mengangkat bangsa ini menjauhi jurang keterpurukan.

Akan tetapi, sikap pemerintah yang secara tidak langsung mengalihkan perhatian pelajar dari pentingnya berkontribusi secara nyata di masyarakat ini juga akan berdampak pada ketidaksiapan mental pelajar ketika ia dilepas ke dunia nyata pada saat mahasiswa. Oleh karena itu, sangat diperlukan pelajar-pelajar yang tidak hanya “unggul”, tetapi juga “reformis”.

Sekarang muncul pertanyaan baru : Bagaimanakah karakteristik pelajar reformis? Dalam pandangan penulis, pelajar reformis memiliki empat karakteristik yang terintegrasi dalam pola pikirnya.

Pertama, pelajar reformis adalah pelajar yang mampu menganalisis problematika sosial secara kritis dengan pandangannya sendiri, bukan dengan pandangan orang lain. Pelajar reformis akan mampu menganalisis permasalahan secara kritis tanpa adanya pengaruh pandangan orang lain. Jikapun ada, pandangan orang lain tersebut tidaklah signifikan ada pada pandangan pelajar, melainkan hanya menjadi acuan agar buah pemikirannya memiliki legitimasi teoritis yang kuat.

Kedua, pelajar reformis adalah pelajar yang memiliki kepekaan dengan perubahan yang terjadi. Pelajar reformis seyogianya tidak stagnan pada satu isu, tetapi juga memerhatikan isu-isu lain dan menganalisisnya secara kritis tanpa mengesampingkan nilai-nilai kesopanan di masyarakat.

Ketiga, pelajar reformis adalah pelajar yang berpikiran maju dan futuristik, tidak terpaku dengan kondisi yang dialami sekarang. Pemikiran pelajar reformis tidak hanya menjangkau apa yang akan dicapai pada saat ini, tetapi juga bersifat jangka panjang, sehingga pelajar dapat memikirkan implikasi-implikasi dari apa yang telah dilakukannya.

Keempat, pelajar reformis adalah pelajar yang tak kenal lelah memerjuangkan kepentingannya dan selalu bekerja keras agar kepentingannya dapat terpenuhi. Karakteristik terakhir ini seringkali memicu konflik antara siswa dan sekolah, sehingga berimplikasi pada pencitraan negatif pelajar yang memiliki karakteristik seperti ini. Oleh karena itu, karakteristik ini juga memerlukan kontrol dan pembinaan dari orang yang lebih tua.

Jika kita melihat realitas pelajar sekarang yang mayoritas lebih berorientasi pada kesenangan semu, sangat sulit untuk mencari pelajar dengan karakteristik di atas. Hal ini, menurut penulis, disebabkan oleh adanya paradigma yang salah yang menimpa pelajar.

Paradigma tersebut antara lain paradigma school-centered, yaitu paradigma pelajar yang menganggap bahwa sekolah adalah segala-galanya, sehingga yang ada pada benaknya hanya belajar, belajar, dan belajar. Paradigma seperti ini keliru, sebab seorang pelajar juga harus melihat aspek sosial dari ilmu yang dipelajari. Apa gunanya sebuah ilmu jika hanya menjadi hafalan tanpa diimplementasikan?

Paradigma kedua adalah paradigma parent-centered atau teacher-centered, yang menganggap bahwa semua persoalan harus dikembalikan pada orang yang lebih tua dengan alasan pengalaman yang lebih bayak dan ilmu yang lebih tua. Sekilas anggapan ini benar saja, akan tetapi jika paradigma ini terus-menerus dipertahankan, di mana letak kemandirian pelajar? Pelajar tidak akan dapat mengeluarkan idealismenya, karena di mata orang tua idealisme pelajar akan dianggap sebagai tindakan ‘melawan arus’.

Pemikiran pelajar harus didasari oleh kemampuan untuk mengembangkan ide-ide pribadi yang berarti membuka cakrawala pemikiran pelajar. Jika unsur pemikiran orang lain terlalu dominan, praktik brainwashing dapat dilakukan dengan mudah, dan ini harus dihindari oleh pelajar yang reformis.

Paradigma ketiga ialah paradigma friend-centered, di mana sikap pelajar lebih cenderung untuk berpikiran sehaluan dengan teman-temannya. Pemikiran ini jelas akan membuat idealisme pelajar terpasung, sementara pemikirannya tidak akan berkembang. Sejatinya, pemikiran teman hanya berfungsi sebagai konsiderasi bagi pelajar dalam mengambil sikap, bukan sebagai decider dari sikap pelajar tersebut.

Paradigma-paradigma seperti ini jika kita telaah lebih dalam akan bermuara pada satu karakteristik, yaitu keragu-raguan. Keragu-raguan akan membuat pelajar diombang-ambingkan oleh gelombang globalisasi yang tidak hanya memberi dampak positif, tetapi juga membawa nilai-nilai yang tidak sejalan dengan identitas bangsa. Keragu-raguan ini harus dihilangkan dari dalam diri pelajar, dan sikap kemandirian harus ditanamkan dalam identitas pelajar.

Jika para pelajar mau sedikit saja merenungkan makna reformasi, Insya Allah karakteristik pelajar reformis dapat dikembangkan dalam diri pelajar. Walaupun gejolak terjadi, pelajar akan mampu mengambil sikap yang strategis dan tidak terombang-ambingkan oleh kepentingan yang tidak jelas. Untuk itu, perubahan dari dalam diri pelajar harus dilakukan sekarang juga, dan paradigma sesat harus segera dihilangkan. Ingat, pelajarlah harapan bangsa ini di masa depan!

Dimuat di Banjarmasin Post, 4 Agustus 2007.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Masih banyak pelajar ynag berpikiran reformis meskipun di zaman seperti sekarang ini. permasalahan utamanya bukan pada school-centered atau pun pada perent-centered, akan tetapi pada kebingungan bagaimana menyampaikan pemikiran mereka. Sebenarnya pelajar peduli dengan negeri ini walaupun keadaan tidak seperti rezim orde baru lagi, pelajar juga melihat keadaan Indonesia yang selalu dilanda masalah. Mulai dari Para birokasinya sampai pada masalah SDA yang selalu dieksplorasi kaum kapitalis.
Hanya saja pelajar-pelajar tersebut belum bisa seperti ANDa yang bisa dengan laluasa menulis pekiran dan opininya. Para pelajar banyak yang kurang percaya diri jika disuruh menulis.
Saya kiraanda juga perlu memecahkan masalah ini. Anda bukanlah seorang berlian, anda adalah sebuah kayu yang hanyut pada sebuah aliran sungai untuk berjalan dan mengarungi sungai hingga bisa mengarungi samudera.
Masih banyak pelajar yang berfikiran seperti anda sewaktu SMA
Salam Reformasi!!

wassalamualaikum,,,