Jumat, 20 Juni 2008

Revitalisasi Peranan Pelajar Muslim Di Era Reformasi



A. Menyibak Tirai Pasca Orde Baru: Sebuah Latar Belakang

Pergerakan Reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998 memang telah mengubah hampir seluruh aspek dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sistem Politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, bahkan hukum mengalami perubahan secara struktural. Dengan perubahan tersebut, mulailah mencuat berbagai harapan untuk memajukan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh para founding fathers dalam Mukadimah UUD 1945.

Tak banyak yang mengetahui bahwa Reformasi tersebut ternyata digerakkan oleh Kalangan Muda yang terdiri dari aktivis LSM, Mahasiswa, bahkan kalangan Pelajar! Hanya sedikit dari kalangan birokrat dan golongan ‘tua’ yang ikut melancarkan aksi dalam reformasi ini. Mayoritas golongan muda yang ikut dalam aksi ini adalah para aktivis yang bergerak di kampus dan sekolah. Nama-nama seperti Fahri Hamzah (KAMMI), Rama Pratama (BEM UI), Elang Mulya (Universitas Trisakti), Nusron Wahid (PMII), Lukman Firdaus (SMUN 3 Ciledug), Muhammad Yusuf Rizal (Unila) serta banyak nama lainnya menjadi bukti bahwa Reformasi merupakan gejolak kekecewaan generasi muda yang menginginkan perubahan di berbagai aspek kehidupan.

Akan tetapi seiring perjalanan waktu, aktivitas reformasi tersebut diwarnai oleh berbagai situasi yang menimbulkan sedikit problem internal di berbagai gerakan. Suksesi kepemimpinan nasional yang terjadi beberapa kali mengakibatkan adanya pergeseran visi pergerakan. Para pejuang reformasi kadangkala kurang kritis dalam menangkap gejala perubahan, sehingga menyebabkan reformasi terbawa arus yang dapat mengubah visi awal reformasi.

Di sinilah perlunya peranan pelajar dalam meneruskan cita-cita reformasi, karena pelajar menyimpan potensi besar sebagai aset masa depan. Sebagai bagian dari generasi muda, pelajar pada umumnya masih memiliki semangat yang masih berkobar-kobar, berpadu dengan idealisme dan pikiran yang kritis. Selain itu, para pelajar juga memiliki jiwa intelektualitas sebagai bagian dari dunia pendidikan yang dapat mendorong semangat mereka menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Keunggulan-keunggulan tersebut jika dioptimalkan nantinya akan menghasilkan output cemerlang yang kaya akan gagasan dan ide-ide brilian. Oleh karena itu, pantaslah jika pelajar dianggap sebagai ‘pilar kebangkitan umat’ oleh Imam Hassan Al-Banna.

Akan tetapi, pelajar pun memiliki kekurangan di balik kelebihan tersebut, yaitu ketidakstabilan emosi dan ketidakpercayaan akan diri sendiri. Kekurangan tersebut merupakan suatu kewajaran, mengingat para pelajar masih belum memiliki banyak pengalaman, dan masih belum berinteraksi kepada dunia sekitarnya. Di samping itu, gelora semangat para pelajar yang menggebu-gebu tidak diimbangi dengan kearifan berpikir, sehingga terkadang dalam menghadapi suatu permasalahan pelajar cenderung hanya menggunakan naluri emosional dan mengesampingkan kebijaksanaan berpikir. Walau demikian, para pelajar masih memiliki banyak potensi yang harus terus dikembangkan melalui jalur-jalur pendidikan formal, non-formal, ataupun informal.

Dengan kekurangan dan kelebihan tersebut, pelajar –terutama pelajar muslim— sudah seharusnya menyesuaikan diri kepada lingkungan mereka dengan lebih mengoptimalkan jiwa sosial, dipadukan dengan semangat idealisme dan kualitas intelektual. Perpaduan ketiga aspek ini ditambah dengan konsistensi beragama akan dapat menghasilkan output pelajar muslim yang kritis serta berguna bagi bangsa, negara, dan agama.

B. Asumsi dan Argumen Teoritis

Asumsi dasar penulis dalam karya tulis ini berpijak pada tiga kata kunci : intelektualitas, perubahan sosial, dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Ketiga aspek tersebut merupakan hal yang dapat direalisasikan oleh para pelajar karena sesuai dengan kemampuan dan kapasitas mereka sebagai calon pemimpin masa depan di masyarakat.

Penulis berargumen bahwa pelajar memiliki kapasitas sebagai calon intelektual yang diharapkan dapat memberi kontribusi di masyarakat. Menurut Subcomandante Marcos, intelektual merupakan bagian dari masyarakat yang membuat analisis dan kritik mengenai kenyataan sosial, mencari segala sesuatu yang mendua, dan mengungkapkan segala yang kabur. Adapun Paul Baran berpendapat bahwa seorang intelektual pada azasnya adalah kritikus masyarakat, seorang yang pekerjaannya mengidentifikasi, menganalisis dan mengusahakan tercapainya susunan masyarakat yang lebih berperikemanusiaan dan rasional. Al-Utsaimin dalam kitabnya Min Musykilatisy Syabaab secara eksplisit menggambarkan remaja yang memergunakan akalnya (bashirah/intelektual) sebagai remaja yang konsisten. Sedangkan Azizah (2005) menggunakan istilah Ulul Albaab untuk menggambarkan intelektual.

Argumen ini disandarkan pada asumsi bahwa pelajar adalah bagian dari dunia pendidikan yang memberikan dasar-dasar keilmuan (basic of sciences). Dasar-dasar keilmuan ini merupakan konsep dasar dari intellectual point yang akan dipelajari lebih mendalam pada tingkat perguruan tinggi. Dasar-dasar keilmuan ini juga membentuk pola pikir dasar pelajar, sehingga jika pelajar mampu memahami dan menyerap dasar-dasar keilmuan tersebut dengan baik, ia akan mampu bersikap dan menyatakan pendapatnya dengan baik pula. Di sinilah letak potensi intelektual pelajar.

Selain itu, penulis juga berargumen bahwa pelajar merupakan agen dari perubahan sosial. Argumen ini disandarkan pada asumsi bahwa para pelajar juga berinteraksi dalam kehidupan sosial di masyarakat. Interaksi di masyarakat ini sedikit banyaknya membuat pelajar merasa peka akan kehidupan sosial yang begitu carut-marut akibat krisis. Jika pelajar mampu melakukan sesuatu pada masyarakat tersebut, pelajar telah menjadi agen perubahan sosial dengan sendirinya.

Sebagai dasar teori, perubahan sosial didefinisikan oleh Samuel Koenig (dalam Muin,2004:86) sebagai modifikasi yang terjadi pada pola-pola kehidupan masyarakat. Merujuk pada Selo Soemarjan, perubahan-perubahan sosial ini disebabkan oleh adanya dinamika dalam perkembangan kehidupan manusia. Adapun agen perubahan sosial adalah para pelaku yang memelopori perubahan sosial tersebut. Sebagai contoh dapat kita lihat pada kasus reformasi, di mana yang menjadi agen dari perubahan sosial-industri pada era tersebut adalah para mahasiswa, pelajar, dan aktivis-aktivis yang menginginkan perubahan lain. Agen perubahan sosial ini pada dasarnya merupakan para aktivis yang memerjuangkan keinginan mereka dan terus berjuang dengan melewati berbagai halangan serta rintangan.

Terakhir, penulis juga berargumen bahwa pelajar juga memiliki potensi dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Dakwah amar ma’ruf nahi munkar ini bukan hanya menyeru orang untuk mengerjakan ibadah saja, tetapi juga dengan melakukan perbuatan baik.

Adapun dakwah berasal dari kata du’a – yad’u –da’wata yang artinya seruan. Perintah Allah untuk berdakwah ini ada dalam Al-Qur’an Surah Ali-Imran ayat 104 yang berbunyi, “Dan hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat yang menyeru kepada kebaikan dan melarang dari yang munkar”. Adapun menurut Syamsuri (2004:184), dakwah ialah menyeru atau mengajak orang untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT sesuai dengan ketentuan akidah, syariat dan akhlak yang islami.

Peran pelajar sebagai dakwah sangat penting, mengingat generasi muda Indonesia tengah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Derasnya arus informasi yang masuk sekarang tidak hanya memberi kemudahan bagi generasi muda, tetapi juga memberikan dampak negatif bagi perkembangan perilaku generasi muda yang kian lama kian jauh dari agama. Fenomena seperti ini cukup memprihatinkan, karena jika dibiarkan akan semakin memerburuk episode kelam bangsa ini.

Di sinilah peran pelajar sangat penting, karena pelajar dapat berperan sebagai peer educator kepada rekan sesama pelajarnya.

C. Outline Peranan Pelajar 1945-2004

Peranan pelajar sebagai salah satu agen dan pejuang reformasi tak dapat dinafikan dan dipinggirkan begitu saja. Sejak dulu, pemudalah yang membawa perubahan dan memegang kunci reformasi. Sebut saja Hassan Al-Banna, yang mulai berjuang mendirikan Ikhwanul Muslimin dalam usia yang masih sangat muda, 23 tahun. Begitu juga dengan KH. Ahmad Dahlan dan tokoh muda lain.

Di Indonesia, pelajar telah memainkan peranan sejak lama. Pada era 1940-an, berdiri Pelajar Islam Indonesia. Pada tahun 1961, Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang kini bernama Ikatan Remaja Muhammadiyah dideklarasikan.. Langkah serupa juga diikuti oleh NU, yang juga mendirikan IPNU dan IPPNU sebagai organisasi pelajar mereka. Organisasi-organisasi pelajar ini mampu berdiri tegak, bahkan mereka juga aktif dalam kekuatan antikomunisme, dan menggabungkan diri dalam KAPPI (Kesatuan Aksi Pelajar dan Pemuda Indonesia). Sayang, pada era orde baru gaung pelajar seakan mati suri karena tidak terlalu kedengaran gaungnya.

Situasi pergerakan pelajar dapat digambarkan sebagai berikut :


1945-1959
Pelajar Islam Indonesia (PII) berdiri, disusul oleh Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU). HMI dideklarasikan oleh Mas Dahlan Ranuwiharjo dkk.
Organisasi mulai berkembang.
Aktivis Pelajar dan Mahasiswa, seperti PII, HMI, IPM, IPNU, dll. Dahlan Ranuwiharjo menjadi pelopor

1959
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Masyumi dan PSI dibubarkan, HMI ingin dibekukan. Demokrasi ’dikebiri’. Usdek, Manipol, dan Nasakom menjadi doktrin negara. PKI berkuasa.
Protes dari mahasiswa Islam, gerakan anti komunis merebak di mana-mana.
Aktivis HMI, Dewan Mahasiswa berbagai universitas, PII, dll.

1966
G30S/PKI, Soekarno dan kekuatan orde lama-nya tumbang. Gerakan pelajar dan mahasiswa bersatu mendesak turunnya Soekarno.
Aksi Massa
KAMI dan KAPPI, HMI dengan tokoh Marsilam Simanjuntak, Lukman Harun, Mar’ie Muhammad, Subchan ZE, Adi Sasono, dll.
1974
Soeharto dan kroni-kroninya berkuasa dan mengundang investor asing yang dibackup oleh CSIS dan mafia.
Aksi massa
Aktor ”Malapetaka Lima Belas Januari (Malari)” seperti Hariman Siregar, Jumhur Hidayat, dll.
1978
Penataan kembali kehidupan kampus dan pelajar. NKK-BKK diberlakukan kampus yang mengebiri aktivitas kemahasiswaan.
Awal Student Government oleh Dewan Mahasiswa.
Heri Akhmadi, Farid Faqih, dll.
1980-an
Tekanan politik dan sosial orde baru kepada semua elemen kemasyarakatan yang menentang kekuasaan. Asas Tunggal Pancasila menjadi doktrin ”wajib”, Penataran P4 di mana-mana. PII menjadi organisasi bawah tanah karena menolak asas tunggal, HMI terpecah dua menjadi HMI Diponegoro yang menerima Astung dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak.Terjadi Peristiwa Tanjung Priok yang menyeret beberapa aktivis ke penjara.
Penyesuaian dengan kebijakan dan organisasi bawah tanah.
Eggi Sudjana, AM Fatwa, dll.
1990-an
Peninjauan kembali NKK-BKK. Penempatan OSIS sebagai satu-satunya organisasi di sekolah yang legal. Kerohanian Islam mulai muncul di sekolah dan kampus. Kelompok diskusi muncul di kampus-kampus. IPM mengganti nama menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah..
Pembentukan kembali Senat Mahasiswa. Kelompok-kelompok diskusi dan Halaqah keislaman.
Ferry Mursyidan Baldan dari HMI, Ferry Julianto dari Presidium Pro-Demokrasi.
Jamaah Mesjid UI, Shalahuddin UGM, dan Mesjid Salman ITB.
1998
Reformasi dideklarasikan. Empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur. Lukman Firdaus (Pelajar SMUN 3 Ciledug) tertembak.
Aksi massa mengepung gedung parlemen.
Aktivis pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI, BEM UI, Forkot, Famred, PMII, HMI, PII, IRM, dll.
2000-an
Pelajar mulai berbenah dengan munculnya organisasi-organisasi intra maupun ekstra sekolah.. Aktivitas kerohanian mulai mendapat tempat, pemikiran kritis pelajar mulai tumbuh.
Iqro’ Club Jakarta dideklarasikan, disusul Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia (KAPMI). Pembentukan Badan Eksekutif Mahasiswa di berbagai universitas.
Iqro’ Club, KAPMI, dll. Bahtiar Firdaus menjadi Ketua BEM UI pertama, Vijaya Fitriyasa di ITB.
2004
Pemilihan Presiden Langsung
Kontrak Politik yang dipelopori oleh Mahasiswa, Pelajar mulai menentukan sikap
BEM Se-Jabotabek, Famred, dll.


D. Pelajar Muslim Sebagai Agen Intelektual

Pembahasan mengenai intelektual ini biasanya berkisar pada pembahasan yang berkaitan dengan kemahasiswaan. Akan tetapi, dasar-dasar intelektual sebenarnya telah dimiliki oleh pelajar, sehingga pelajar dapat mengaplikasikan sedikit dari konsep yang mereka terima ke masyarakat. Pelajar sebagai intelektual memang kurang mendapat sorotan dari pengamat-pengamat pendidikan. Hal ini mungkin disebabkan adanya pandangan bahwa pelajar masih belum memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam berpendapat. Pendapat ini jelas keliru, mengingat setiap orang memiliki hak untuk bersuara dalam batas-batas kewajaran. Yang harus dilakukan praktisi pendidikan adalah membina potensi intelektual tersebut agar terarah dan sesuai dengan kondisi.

Menurut Subcomandante Marcos, seorang revolusioner Zapatista asal Mexico, intelektual merupakan bagian dari masyarakat sejak terbitnya kemanusiaan di dunia. Pekerjaan mereka adalah membuat analisis dan kritik, melihat kenyataan sosial, menganalisis bukti-bukti, mencari segala sesuatu yang mendua, dan mengungkapkan segala yang kabur. Mereka kadang tak setuju dengan apapun dan siapapun -kekuatan sosial politik, negara pemerintah, media, seni, agama dan seterusnya. Mereka adalah bagian dari masyarakat, sebuah adegan konfrontasi tanpa akhir antara mereka yang menggunakan kekuasaan untuk memelihara status quo dan mereka yang berjuang demi perubahan.

Adapun Paul Baran berpendapat bahwa seorang intelektual pada azasnya adalah kritikus masyarakat, seorang yang pekerjaannya mengidentifikasi, menganalisis dan dengan demikian membantu mengatasi rintangan-rintangan jalan yang menghambat tercapainya susunan masyarakat yang lebih baik lebih berperikemanusiaan dan lebih rasional. Dengan demikian ia menjadi hati nurani masyarakat dan juru bicara dari kekuatan-kekuatan progresif yang terdapat dalam tiap periode tertentu dari sejarah (http://www.bem.ui.ac.id/).

Peranan pelajar sebagai intelektual ini sangat berperan pada era reformasi. Seorang pelajar dituntut untuk tidak hanya mengorientasikan pendidikan yang diterimanya kepada nilai atau ranking semata, tetapi juga memerhatikan aspek-aspek sosial yang akan dilakukannya ketika berinteraksi dengan dunia. Sebagai seorang intelektual, pelajar harus mampu menganalisis segala macam problematika sosial dengan konsep ilmu yang mereka terima, dan tidak hanya menerima ‘doktrin’ yang diterima dari tenaga pendidik/pengajar. Memang, dalam hal ini peranan pelajar tidaklah sesignifikan mahasiswa, karena pelajar masih dibatasi ruang gerak mereka oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh otoritas sekolah. Kadar keilmuan mereka pun masih belum begitu maksimal didapatkan. Akan tetapi, pelajar tetap harus mengembangkan potensi intelektual mereka sebagai permulaan dari perjuangan. Tentunya, di sini perlu bimbingan dan rambu-rambu dalam ruang gerak bagi pelajar, agar para pelajar tidak ”kebablasan” dalam bergerak.

Potensi pelajar secara intelektual tersebut antara lain dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar ini, yang pertama kali harus diubah oleh pelajar adalah pola menerima pelajaran. Jika selama ini pelajar hanya menerima pengetahuan secara ‘satu arah’, dalam artian peran pendidik dan pengajar sangat dominan, pelajar harus mengubahnya dengan berpikir kritis atas pengetahuan yang mereka terima tersebut. Dalam benak para pelajar harus tergambar pertanyaan-pertanyaan di sekitar pengetahuan yang diterima tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut jangan hanya ditanyakan secara lisan saja, tetapi juga dikaji sebagai persoalan yang harus dihadapi oleh pelajar. Dengan kata lain, pola pikir ilmiah harus selalu menyertai pelajar dalam interaksi mereka dengan pengajar.

Sebagai contoh adalah dalam mata pelajaran Sosiologi. Ketika pengajar memerkenalkan konsep pertentangan kelas yang dibawa oleh Karl Marx, di dalam benak pelajar harus tergambar pertanyaan-pertanyaan menyangkut pola pemikiran yang dibawa oleh Marx tersebut, dan apakah relevan jika diterapkan di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selain ditanyakan kepada guru juga harus dikaji oleh pelajar, dengan cara membandingkannya dengan teori-teori lain, sehingga pelajar dapat mengambil hikmah dan dapat memergunakan teori tersebut sesuai dengan pemikirannya.

Dari sini permasalahan lain muncul. Sistem pendidikan di negara kita ternyata tidak memberi porsi berlebih kepada intelectual-counter tersebut. Biasanya pelajar hanya diberi teori-teori yang telah baku tanpa adanya pembanding. Hal ini pada satu sisi dapat dimaklumi, mengingat keterbatasan sumber daya manusia dan modal dalam pelaksanaan teori tersebut. Akan tetapi di sisi lain kondisi seperti ini dapat menurunkan potensi intelektual pelajar, karena mereka hanya mengkaji satu permasalahan tanpa ada pembanding. Implikasi negatifnya, ketika pelajar berbeda pendapat mereka tak mampu mengutarakannya karena tidak memiliki sandaran, hanya bersandar pada logika-logika subjektif belaka.

Selain itu, pelajar juga dapat mengoptimalkan perannya melalui organisasi di sekolah. Belajar berorganisasi merupakan salah satu langkah untuk memersiapkan diri menuju dunia kampus yang lebih kompleks. Di sini, pelajar diharapkan mampu berinteraksi secara baik dengan rekan-rekannya, pihak sekolah, dan masyarakat. Selain itu, pelajar juga diharapkan mendapat kemampuan dalam hal manajerial kepemimpinan dan kapabilitas untuk memecahkan permasalahan yang tak diajarkan dalam kurikulum pendidikan formal.

Persoalan yang biasanya dihadapi oleh para pelajar di sekolah adalah benturan kepentingan antara pelajar dan sekolah dalam permasalahan dana. Idealisme pelajar biasanya menyebabkan ketidakpuasan dan kritik atas kebijakan-kebijakan sekolah, terutama yang menyangkut pungutan dana atas hal-hal yang tidak jelas. Bagi pelajar kritis, adanya pungutan dari sekolah tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis, mengenai tujuan dan realisasi pungutan tersebut. Pelajar-pelajar idealis biasanya memertanyakan hal tersebut kepada otoritas sekolah. Jika hal tersebut terjadi, biasanya akan terjadi ‘benturan kepentingan’ antara pelajar yang kritis-idealis dengan manajemen sekolah yang otoritatif.

Benturan tersebut akan dapat teratasi jika pelajar memiliki posisi tawar di sekolah. Di sinilah kemunculan figur-figur pelajar kritis sangat diperlukan, karena sebenarnya mengubah keadaan di sekolah dapat dilakukan para pelajar. Posisi tawar para pelajar memang tak dapat terlalu besar. Akan tetapi, jika pelajar mampu berkomunikasi dengan masyarakat secara optimal, posisi tawar yang lemah tersebut akan diperkuat. Kuncinya adalah keberanian untuk bersikap kritis dan berbicara vokal.

Salah satu contohnya adalah dalam kasus dana OSIS. Kita tahu bahwa Dana Operasional OSIS merupakan dana yang bersumber dari iuran OSIS yang dibayar oleh para siswa. Seyogianya dana operasional OSIS ini dikelola oleh OSIS sendiri, sehngga dapat dipergunakan sesuai dengan keperluan OSIS yang notabene merupakan representasi dari keinginan siswa di sekolah. Namun anehnya ada sekolah yang begitu getol mengusahakan agar dana OSIS dikelola oleh Wakil Kepala Sekolah urusan Kesiswaan beserta staf-satafnya. Mereka beralasan bahwa dana tersebut dipertanggungjawabkan oleh Wakasek Kesiswaan kepada Komite Sekolah, sehingga demi ’tertib administrasi’ dana tersebut dipegang oleh kesiswaan.

Hal ini jelas merupakan sebuah penyimpangan. Dana OSIS merupakan dana siswa yang dipergunakan untuk kepentingan siswa, bukan untuk kepentingan guru, walaupun beliau mengatasnamakan Wakasek Kesiswaan. Pengelolaan dana haruslah sepenuhnya diserahkan kepada siswa, sebagai salah satu langkah pembelajaran dalam hal administrasi, keuangan, dan rasa tanggung jawab yang tidak diajarkan dalam kurikulum pendidikan formal. Jika dana itu diserahkan pengelolaannya kepada guru, mana aspek pembelajaran bagi siswa? Belum lagi jika ada pemotongan-pemotongan dana, kemana pertanggungjawaban uang tersebut? Masih wajar jika ada pertanggungjawaban secara rinci dari sekolah kepada siswa. Jika tidak ada, hal ini dapat memunculkan perkara “sensitif” di lingkungan sekolah.

Di sinilah letak pentingnya kemampuan intelektual pelajar. Seharusnya, para pelajar tidak tinggal diam dalam hal ini. Harus ada protes atau minimal pernyataan ketidaksetujuan atas kebijakan ini. Pernyataan ketidaksetujuan ini harus dilakukan dengan tutur yang sopan namun tajam dan mampu menciptakan sesuatu yang kondusif. Jika ternyata terjadi kebuntuan, para pelajar tak boleh menyerah. Mereka harus melakukan upaya lain, salah satunya adalah dengan membawa permasalahan ini kepada publik melalui surat pembaca, opini, atau pemberitaan di media massa agar ada “efek bola salju” yang ditimbulkan dari aksi ini. Tentunya, aksi ini tidak dilakukan secara anarkis, tetapi melalui sebuah proses pergulatan intelektual.

Keberhasilan para siswa di sebuah SMA di Kalimantan Selatan yang mampu membuat Walikota mereka turun menginvestigasi manajemen sekolah patut dijadikan sebuah contoh. Hal tersebut menunjukkan potensi-potensi pelajar kritis patut dijadikan sebuah batu loncatan agar para pelajar kini semakin menampakkan jiwa mereka yang reformis dan menginginkan perubahan. Jika para pelajar telah mampu membentuk suatu perubahan, pintu gerbang kemunculan era baru reformasi akan dapat segera dibuka. Kuncinya ada di tangan pelajar.

Oleh karena itu, semangat idealisme, daya kritis, dan potensi intelektual di kalangan pelajar harus terus dibina dan dipertahankan agar tidak hilang. Akan tetapi, juga diperlukan adanya pendekatan moral dalam mengontrol idealisme tersebut, sehingga kearifan berpikir dan kesantunan perilaku juga terjaga. Selain itu, sisi intelektualitas pelajar juga harus terus dibina secara perlahan, agar semua aspek tersebut dapat disinergikan untuk menghasilkan output yang cemerlang dan penuh dengan ide-ide brilian yang membawa perubahan.

E. Pelajar Muslim Sebagai Agen Perubahan Sosial

Gillin seperti ditulis oleh Muin (2004:86) mendefinisikan perubahan sosial sebagai suatu variasi cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk maupun karena adanya difusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Hal ini menurut Prof. Selo Soemarjan disebabkan oleh adanya dinamika dalam perkembangan kehidupan manusia. Perubahan sosial ini dikelompokkan menjadi perubahan sosial secara cepat dan perubahan sosial lambat. Adapun perubahan sosial cepat dibagi lagi ke dalam perubahan sosial fundamental (revolusi) dan perubahan sosial struktural (reformasi). Antara revolusi dan reformasi memiliki perbedaan, antara lain dalam ruang lingkup perubahan. Revolusi menginginkan adanya perubahan sampai ke elemen paling mendasar yang memengaruhi jalannya sistem sosial yang lama. Revolusi pada dasarnya bersifat ideologis, karena memiliki konsep tandingan yang dianggap lebih baik oleh para pendukungnya. Salah satu contoh adalah pada Revolusi Bolshevik di Rusia yang dilancarkan oleh Vladimir Lenin dan pendukung-pendukungnya. Mereka merasa bahwa konsep sosialisme-komunisme yang mereka anut lebih memberi manfaat daripada konsep yang diberikan oleh Tsar sebelumnya.

Adapun reformasi pada esensinya tidak menjangkau hal-hal yang bersifat fundamental. Reformasi lebih memusatkan perubahan pada hal-hal yang bersifat struktural (ada pada sistem lama), dan tidak mengubah hal-hal mendasar. Para pendukung reformasi berpendapat bahwa kegagalan tidak berada pada dasar pemikiran, tetapi pada sistem sosial tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan-perbaikan pada sistem tanpa mengubah dasar dari sistem tersebut. Salah satu contoh nyata adalah Indonesia, yang melakukan reformasi pada tahun 1998. Buktinya adalah tidak adanya perubahan pada Pancasila sebagai dasar negara dan Mukadimah UUD ’45. Selain itu, basic structure dari elemen kenegaraan juga tak diubah, hanya fungsi dan peranan mereka yang ditinjau ulang.

Sebenarnya, pelajar memiliki peran sebagai agen perubahan sosial. Sejarah membuktikan bahwa pada tahun 1966 pelajar telah berkontribusi dalam reformasi dari orde lama ke orde baru. Golongan pelajar pada waktu itu melebur ke dalam KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Pada tahun 1998 pun PII juga turut serta memerjuangkan aksi reformasi, walaupun gaung mereka kurang terdengar.

Dalam realitas negara kita yang tengah belajar berdemokrasi ini, pelajar diharapkan mampu berkontribusi dalam sumbangsih pemikiran dan peranan dalam upaya-upaya mengembalikan makna reformasi ke hakikatnya semula. Pelajar dalam konteksnya sebagai bagian dari dunia pendidikan memang memiliki beberapa kelebihan.

Pertama, semangat yang masih berkobar-kobar. Semangat yang tinggi ini memungkinkan pelajar untuk melakukan perubahan di sekelilingnya, terutama jika ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada lingkungannya. Sikap pelajar bisa menjadi sangat idealis dengan adanya semangat ini. Semangat untuk melakukan perubahan dan perbaikan inilah yang tidak dimiliki oleh orang-orang tua dan menjadi ujung tombak kekuatan pelajar.

Kedua, pikiran yang kritis dan idealis. Pemkiran pelajar –terutama pelajar SMA— dalam menyikapi perkembangan zaman bisa dikatakan sangat reaktif, apalagi jika didukung dengan arus informasi yang masuk. Pemikiran pelajar yang kritis tersebut sangat penting karena pelajar memiliki hak-hak, baik ketika ia berada di lingkungan pendidikan atau lingkungan keluarga. Dengan adanya idealisme, seorang pelajar akan mampu menyuarakan keinginan-keinginannya dan memertahankan hak-haknya. Sedangkan daya kritis berfungsi dalam memfilter segala macam bentuk pengaruh yang masuk, baik yang berupa doktrin-doktrin pendidikan formal atau arus informasi di lingkungan pergaulan. Idealisme dan daya kritis tersebut harus selalu dipupuk, agar para pelajar memiliki wawasan dan keberanian sehingga ke depannya akan menghasilkan figur-figur aktivis yang peka akan perubahan dan kritis dengan kondisi bangsanya.

Akan tetapi, pelajar pun memiliki kekurangan di balik kelebihan tersebut, yaitu ketidakstabilan emosi dan ketidakpercayaan akan diri sendiri.

Pertama, kurangnya self-confident yang merupakan konsekuensi dari masa pubertas dan pencarian jati diri. Kurangnya self-confident tersebut berimplikasi pada kurangnya perhatian pelajar pada masa depannya, sehingga banyak dari pelajar yang enggan mengurusi persoalan masa depan. Akhirnya, para pelajar pun terhanyut ke dalam pusaran arus modernisasi yang cenderung mengarah kepada kesenangan absurd dan kepuasan sesaat. Ketidakpercayaan diri ini juga menyebabkan melemahnya daya kritis pelajar terhadap kondisi sekelilingnya, sehingga berimplikasi pada apatisme yang cenderung melemahkan masa depan bangsa.

Kedua, ketidakstabilan emosi para pelajar yang juga merupakan konsekuensi dari masa pencarian jati diri. Emosi yang meledak-ledak seringkali menyebabkan para pelajar terbawa kepada naluri emosionalnya ketika menghadapi sebuah permasalahan, sehingga acapkali tidak berpikir secara bijaksana. Akibatnya, seringkali idealisme para pelajar dianggap sebagai sebuah pembangkangan atas suatu peraturan, yang menyebabkan para pelajar terlibat permasalahan dengan objek-objek tertentu yang tidak disenanginya, semisal sekolah.

Kekurangan-kekurangan tersebut tidak lantas menggugurkan argumen bahwa pelajar harus memiliki idealisme dan pikiran yang kritis. Idealisme dan daya kritis tersebut sangat penting dalam menyuarakan dan memertahankan hak-haknya serta. memfilter segala macam bentuk pengaruh yang masuk melalui saluran-saluran komunikasi yang ada. Idealisme dan daya kritis tersebut harus terus dibina, agar para pelajar memiliki wawasan dan keberanian sehingga akan muncul figur-figur aktivis yang peka dan kritis akan perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya.

Salah satu sarana mengeluarkan pikiran kritis dan idealisme adalah dengan melalui organisasi, baik organisasi intra sekolah ataupun organisasi ekstra sekolah. Dengan ikut berorganisasi, pemikiran kritis pelajar dapat tersalurkan dengan baik. Dengan berorganisasi pula pelajar dapat belajar hidup di masyarakat dan turut serta dalam kehidupan sosial. Akan tetapi, pelajar tetap harus menyeimbangkan waktu antara berorganisasi dan belajar, agar prestasi di sekolah dapat tetap terjaga.

Salah satu contoh organisasi pelajar yang memelopori perubahan sosial di Indonesia adalah Pelajar Islam Indonesia. Pelajar Islam Indonesia (PII) didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya antara lain Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji. Terbentuknya organisasi ini dilatarbelakangi oleh adanya dua sistem pendidikan pada masa tersebut, yaitu pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren diangga; lebih berorientasi ke “akhirat” sementara sekolah umum berorientasi ke “dunia”. Akibatnya, pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk ko-lonial Belanda Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren sebagai kolot dan tradisional(http://www.pii-mesir.org/).

Merenungi kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947, terlintas dalam pikiran Yoesdi Ghozali sebuah gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodining-ratan, Yogyakarta yang disambut baik oleh kawan-kawannya.

Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Yoesdi Ghozali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1 April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, kongres kemudian memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.

Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili Bagian Pelajar GPII, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta siap meleburkan diri dalam sebuah organisasi pelajar Islam. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).

Di kemudian hari, terbukti bahwa PII ternyata mampu memelopori berbagai perubahan sosial. Dimulai pada era 1960-an, PII telah aktif dalam mengcounter faham komunisme dan terlibat dalam berbagai aksi. Puncaknya adalah ketika terjadi G30S/PKI, PII pun bergabung dengan “kakak”nya HMI memberangus PKI dan antek-anteknya. Pada Orde Baru, PII pun terlibat permasalahan dengan pemerintah karena menolak asas tunggal pancasila, sehingga menyebabkan PII bergerak di bawah tanah. Di sinilah peran pelajar sebagai agen perubahan sosial berperan, terutama dalam era reformasi yang memungkinkan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab ini.

F. Pelajar Muslim Sebagai Agen Dakwah

Abdullah Nashih ’Ulwan (1985:11) dalam bukunya Hatta Ya’lamussyabaab yamg diterjemahkan oleh Jamaluddin Sais ke dalam buku Pesan Untuk Pemuda Muslim berkata, ”Wahai pemuda muslim, kalian diciptakan untuk tetap konsekuen kepada konsepsi Rabbani yang suci dari rona-rona kebatilan, baik yang datang dari depan maupun dari belakang”. Kalimat ini menunjukkan bahwa pemuda muslim adalah pemuda yang taat kepada syariat Allah, bukan pemuda yang larut dalam kehidupan dunia yang hedonistik. Kalimat ini dipertegas oleh perkataan Asy-Syahid Imam Hassan Al-Banna dalam bukunya, Risalah Pergerakan, “Pemuda merupakan pilar kebangkitan, pemuda adalah rahasia dari sebuah kekuatan. Dalam setiap pergerakan, pemuda adalah pengibar panji-panjinya”. Oleh karena itu, pelajar muslim sebagai bagian dari pemuda muslim harus tetap istiqamah pada jalan Allah.

Apa yang mendasari perkataan kedua ulama Mesir ini? Abdullah Nashih ‘Ulwan (1985:16) mengambil sirah Nabi Muhammad sebagai dasar pemikiran. Beliau menulis bahwa generasi muda pertama Islam adalah para pemuda tangguh. Dapat dilihat pada Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdurrahman bin ‘Auf, Al-Arqam bin Al-Arqam, Mush’ab bin Umair, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, dan banyak pemuda tangguh lainnya. Dari tangan merekalah terbit fajar Islam. Mereka mau menanggung beban dan tanggung jawab dari risalah dakwah, bekerja siang dan malam sampai akhirnya sebuah negara Islam terbentuk. Dari tangan-tangan pemuda itulah dua imperium super power Persia dan Rumawi dapat dikalahkan.

Ada lima semboyan pemuda muslim menurut Nashih ‘Ulwan (1985:20). Lima semboyan itu antara lain Allah Tujuan Kami, Rasulullah Panutan Kami, Al-Qur’an Qanun Kami, Jihad Jalan Kami, dan Mati di Jalan Allah Cita-Cita Kami Tertinggi. Kelima semboyan itu sangat baik diimplementasikan oleh pemuda muslim, karena mampu membangkitkan ghirah dan semangat dakwah.

Lebih khusus, Hassan Al-Banna merinci bahwa ternyata sejak dulu pemuda telah menjadi pilar kebangkitan umat. Hal ini dapat dilihat pada sosok Ali bin Abi Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud, Imam Asy-Syafi’i, Shalahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-Fatih, dan pemuda-pemuda lain yang telah menggetarkan dunia melalui kualitas kepribadian mereka. Kuncinya adalah pembinaan sejak dini. Pembinaan yang dilakukan Rasulullah telah nampak pada kader-kader dakwah muda di zaman beliau. Mereka antara lain Ali bin Abi Thalib, Ja’far bin Abi Thalib, dan Zubair bin Awwam yang telah dibina oleh Rasulullah sejak usia 8 tahun. Lalu ada lagi Zaid bin Haritsah, Arqam bin Arqam, atau Usman bin Affan yang telah dikader sejak usia belasan tahun. Di kemudian hari, mereka pun ambil bagian pada perubahan besar (Widiyantoro,2003:6).

Euforia pemuda yang menjadi ikon dakwah ini pun berlanjut pada era-era selanjutnya. Mereka bertindak sebagai pionir reformasi, bukan sebagai pion dari kekuatan berkedok ‘reformasi’. Pada pertengahan abad ke-18, ketika umat Islam tengah dilanda perpecahan antarmazhab, lahir seorang pemuda bernama Muhammad Ibnu Abdul Wahab. Pemikirannya yang kritis membawanya pada suatu kesimpulan, bahwa perlu adanya pemurnian Islam terutama permasalahan aqidah. Selain itu, ia juga menganggap perlu adanya persatuan antarumat Islam dalam menentang imperialisme dan kolonialisme dari bangsa Barat. Atas dasar pemikiran tersebut, Muhammad Ibnu Abdul Wahab membentuk sebuah gerakan pemurnian Islam di Jazirah Arabia.

Di Indonesia, seorang pemuda dari Yogya bernama Ahmad Dahlan pada tahun 1912 mendirikan persyarikatan Muhammadiyah yang disebut-sebut sebagai organisasi Islam reformis pertama di Indonesia. Munculnya Muhammadiyah ini juga menyadarkan umat Islam akan pentingnya persatuan sebagai alat menuju kebangkitan. Hasilnya, pergerakan Islam muncul dan berkembang. Nama-nama seperti Ahmad Hassan, HAMKA, Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Anwar Haryono, Hussein Umar merupakan output dari pembinaan generasi muda muslim yang berkesinambungan.

Tapi apa yang terjadi sekarang ? Remaja kita tengah dilenakan oleh fenomena westernisasi dan modernisasi yang ujung-ujungnya mengarah pada kristenisasi secara perlahan. Pacaran yang di dalam islam dilarang, sekarang dibudayakan dalam pergaulan. Padahal sudah jelas dikatakan dalam Al-Qur’an: Janganlah mendekati zina! Mendekatinya saja tidak boleh, apalagi melakukannya.

Belum lagi jika kita lihat persoalan seks bebas. Dalam sebuah seminar di FISIP Universitas Airlangga, yang diselenggarakan oleh LPA Jawa Timur, terungkap sebuah fakta yang disampaikan oleh Dr. Khofifah Indar Parawangsa bahwa pada tahun 2000 angka aborsi mencapai 2,3 Juta dengan trend peningkatan tiap tahunnya. Majalah Sabili pernah melansir data bahwa 10%-15% aborsi tersebut dilakukan oleh remaja (Widiyantoro, 2003).

Idola generasi muda kita pun bukan lagi Rasulullah, melainkan berganti dengan musisi-musisi tenar barat semacam Kurt Cobain, Yngwie Malmsteen, Helloween, atau Queen yang semuanya bukan orang-orang islam. Orang yang mati bunuh diri seperti Kurt Cobain atau meninggal karena penyakit AIDS seperti Freddie Mercury saja ternyata digandrungi oleh jutaan generasi muda kita, padahal mereka bukan dari golongan islam. Ini menunjukkan bahwa budaya barat telah merasuki jiwa generasi muda kita, sehingga mereka tidak lagi berpikir secara kritis mengenai kebangkitan islam. Sehingga ketika ada seorang aktivis islam menyuarakan sesuatu yang haq, dia dianggap ekstrim, dianggap aneh, bahkan dianggap kuper.

Di sinilah letak potensial peranan dakwah bagi pelajar. Dimulai dari bangku sekolah, pelajar seharusnya mampu menularkan kebaikan yang dilakukannya kepada saudara-saudaranya. Inilah yang dinamakan dengan dakwah. Dakwah yang dilakukan pelajar tersebut sebaiknya dimulai dengan menggunakan prinsip 3M yang dicetuskan oleh KH. Abdullah Gymnastiar: Mulai dari hal terkecil, Mulai dari diri sendiri, dan Mulai saat ini. Dakwah harus dimulai pada hal-hal yang terkesan sepele, seperti sopan-santun atau adab pergaulan. Setelah itu, dakwah terus dikembangkan secara kontinyu dan berkesinambungan.

Widiyantoro (2003:22) menyebutkan ada tiga alasan utama mengapa dakwah perlu dikembangkan di kalangan pelajar.

Poin pertama adalah efektif. Berdakwah di kalangan pelajar sangat efektif dalam mengubah paradigma yang hedonistik, seperti kata pepatah Arab, “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, dan belajar di waktu tua bagai mengukir di atas air”. Mudahnya pelajar mencerna dan menerima dakwah menyebabkan efektifnya dakwah di kalangan ini.

Poin kedua adalah massif. Banyaknya jumlah pelajar tentunya lebih memberi manfaat, karena jika dakwah tersebut berhasil, pengaruh yang dihasilkan pun diharapkan juga akan bersifat massif.

Poin ketiga adalah strategis. Peran pelajar yang merupakan calon-calon pemimpin juga merupakan sebuah alasan mengapa dakwah sangat diperlukan di kalangan pelajar. Jika pelajar telah mampu mengoptimalkan perannya sebagai seorang da’i, secara tidak langsung ia juga telah memberi pengaruh pada perkembangan moral di masa depan. Seorang pelajar yang da’i dan berkarakter intelektual akan dapat menjadi vocal point dalam menentukan masa depan bangsa.

Peran pelajar sebagai agen dakwah sangat ditentukan oleh lingkungan yang mendidiknya. Tanpa ada lingkungan yang mendukung dan kondusif bagi masuknya nilai-nilai keislaman, sebuah dakwah tak akan mampu berjalan. Di sinilah perlunya ada bimbingan dari tenaga pendidik agar mampu menciptakan kondisi yang islami. Memang, hal ini cukup sulit untuk dilakukan di sekolah dengan latar belakang agama yang beragam. Akan tetapi, hal ini dapat disiasati oleh pendidik dengan mengoptimalkan mata pelajaran yang dipegangnya sebagai lahan dakwah, terutama dalam mata pelajaran agama Islam. Kerjasama yang baik dari guru dan siswa akan memberi hasil yang optimal, Insya Allah.

Dakwah bagaimanakah yang dapat dikembangkan oleh pelajar? Dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl : 125 Allah telah menggariskan 3 metode dakwah secara umum. Ketiga metode tersebut antara lain Hikmah, atau penyampaian dakwah dengan mengedepankan kebijaksanaan dalam menghadapi objek dakwah ketika menyampaikan isi dakwah. Kebijaksanaan tersebut antara lain dengan mengetahui background dari objek dakwah. Cara kedua yaitu Mau’izhah Al-Hasanah, atau memberi keteladanan, nasehat yang baik, atau dengan pengajaran yang mengedepankan kebaikan-kebaikan. Sedangkan cara ketiga adalah Mujaadilu bil-latii hiya ahsan. Cara ini ditempuh melalui diskusi dan tukar pikiran dengan cara yang baik dan tanpa kekerasan. Cara ini ditempuh pada masyarakat yang berpikir kritis.

Menurut hemat penulis, cara yang paling baik dalam dakwah di kalangan pelajar adalah dengan cara Hikmah, dengan harapan kebijaksanaan tersebut mampu disebarkan kepada objek dakwah yang lain. Jika tidak mampu, pelajar dapat mengambil metode Mau’izhah Al-Hasanah, dengan memberi keteladanan yang baik kepada rekan-rekan pelajar. Sebisa mungkin jangan menggiring rekan pelajar ke arah perdebatan-perdebatan agar tidak terjadi polemik dalam dakwah. Jika jalan memang sangat sulit, ajaklah bertukar pikiran dengan penuh kesopanan, objektif, dan saling menghormati.

Pelajar Muslim pun juga memiliki tugas-tugas di yang harus dilakukan selain berdakwah. Untuk dapat berperan dalam posisinya secara benar, tentu saja pelajar muslim harus mempersiapkan diri untuk masa depannya.

Tugas yang pertama adalah belajar dan menguasai iptek. Pada sebuah ayat Allah berfirman, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”(Al-Qur’an, Ali Imran :190). Untuk mengetahui tanda-tanda di balik penciptaan bumi tersebut, seorang pelajar muslim harus tetap belajar dan mencari ilmu pengetahuan.

Tugas yang kedua adalah belajar dan memahami Islam (QS .3:18, 35:28, 58:11). Sebagai konsekuensi kita seorang muslim kita harus memelajari apa itu Islam dan apa saja yang dikandungnya, yaitu dengan mempelajari Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal tersebut sangat penting, karena Islam memandang bahwa umat Islam akan mengalami kemajuan dan kesuksesan jika umatnya merujuk Al Qur’an dan Sunnah Rosul dalam setiap tingkah laku di segala aspek kehidupan.

Tugas berikutnya adalah mengimani segenap ajaran Islam, baik yang termasuk dalam hal aqidah, ibadah, syariah, atau muamalah sebagai konsekuensi sebagai seorang muslim yang terpelajar. Dalam mengimani Islam, kita dituntut untuk tidak hanya paham Islam saja, melainkan juga diyakini dan diimplementasikan dalam kehidupan.

Tugas yang keempat yaitu mengamalkan dan menda’wahkan Islam sebagai konsekuensi dari keimanan seorang muslim yang terpelajar. Hassan Al-Banna pernah berkata, “Nahnu Du’at Qabla Kulli syai’in”. Kita ini adalah pendakwah sebelum segala sesuatunya. Maksudnya adalah, semua pemahaman Islam yang kita miliki tidak cukup hanya untuk diri kita pribadi saja. Sebisa mungkin kita haru mengajarkan atau menda’wahkan ilmu yang kita miliki ke orang-orang sekitar kita, dengan harapan orang-orang di sekitar kita akan berubah dan juga memahami Islam secara benar.

Oleh karena itu, peran pelajar sebagai aktivis dakwah sangat urgent di era reformasi ini. Selain karena posisi pelajar yang strategis, keunggulan-keunggulan fisik dan emosional, serta keefektifan dakwah sebaya yang dijalankan. Di sini, penulis tambahkan perkataan dari Ahmad Syauqi, “Eksistensi sebuah bangsa jika akhlak melekat pada mereka. Jika akhlaknya lenyap, mereka pun tiada”. Perkataan Ahmad Syauqi ini dapat diterima dan menunjukkan bahwa moral bangsa harus diperbaiki, dan yang harus memerbaiki moral tersebut adalah pelajar. Jika pelajar telah menunjukkan kualitasnya, pintu gerbang kebangkitan bangsa ini akan ada di depan mata, Insya Allah.

G. Mencermati Fakta, Menyusun Agenda: Sebuah Kesimpulan

Pelajar di era reformasi memang menghadapi sebuah dilema dalam berinteraksi di masyarakat. Di satu sisi, pelajar dituntut hanya untuk menuntut ilmu di sekolah. Di sisi lain, pelajar juga dituntut untuk belajar bermasyarakat sebagai bekal dalam kehidupan di masyarakat. Benturan ini mengakibatkan pelajar di era reformasi sekarang ini mengalami sedikit loss identity, sehingga berimplikasi pada ketidakmunculan peranan pelajar itu sendiri, baik dalam konteks sebagai seorang penuntut ilmu atau dalam konteks sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini jelas merupakan kemunduran, mengingat dulu para pelajar juga ambil bagian dari masyarakat.

Padahal, pelajar memiliki keunggulan-keunggulan. Pertama, semangat yang masih berkobar-kobar. Kedua, pikiran yang kritis dan idealis. Keunggulan-keunggulan ini jika mampu dioptimalkan akan mampu memberi hasil yang maksimal, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual.

Berdasarkan uraian-uraian dia atas, dapat kita simpulkan bahwa secara normatif peran-peran pelajar yang diharapkan antara lain :

Secara intelektual, pelajar harus mampu memberi kontribusi nyata dalam pemikiran-pemikirannya kepada masyarakat. Pembelajaran dan pendidikan yang diterima di bangku sekolah tidak hanya disimpan, tapi juga digunakan dalam realitas sosial,

Dalam kapasitasnya sebagai agent of social change, pelajar juga diharapkan berkontribusi sesuai dengan kemampuannya, dengan cara kritis terhadap perkembangan zaman dan aktif dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Dari bangku sekolah, pelajar diharapkan mampu mengkaji berbagai problematika dalam dialektika pemikiran yang sederhana, dan yang terpenting mampu diimplementasikan dalam masyarakat,

Dakwah amar ma’ruf nahi munkar tidak mustahil dilakukan pelajar, karena pelajar memiliki kapabilitas lebih untuk hal tersebut. Cara-cara dakwah harus menghindari konflik dan memberi manfaat bagi lingkungannya.

H. Rekomendasi

Berdasarkan analisis di atas, penulis memberi rekomendasi sebagai berikut :

Pengajaran di sekolah sebaiknya tidak hanya membuka cakrawala pengetahuan pelajar, tetapi juga membuka kesempatan bagi pelajar untuk mengembangkan sayapnya di masyarakat.

Daya kritis dan idealisme pelajar harus dipupuk sejak di bangku sekolah. Pemikiran kritis ini dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah, baik dalam kerangka formal ataupun informal.

Ada pendidikan untuk intelectual counter bagi pelajar dalam menyikapi realitas sosial di masyarakat, agar pelajar mampu menganalisis problem tersebut dalam kerangka berpikir yang ilmiah, tidak sekedar menonjolkan idealisme belaka.

Pelajar sebaiknya aktif di kegiatan-kegiatan sosial ekstrasekolah atau intrasekolah, dengan catatan harus ada penyeimbangan waktu antara belajar dan bersosialisasi.

Praktik-praktik ‘pencucian otak’ atau brainwashing yang dilakukan oleh guru-guru atau elemen masyarakat luar sebisa mungkin dihindari. Yang harus dilakukan oleh pelajar adalah mengkaji berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Guru dan orang-orang lain hanyalah sebagai pembina dan pembimbing pelajar agar pelajar mampu mengoptimalkan potensi mereka dan tidak keluar dari koridor yang umum berlaku.

Peran pelajar dalam dakwah harus sinergis dengan situasi dan kondisi di sekolah dan isi dakwah harus relevan dengan kebutuhan pelajar itu sendiri.

Pelajar sebaiknya memberi teladan berupa tingkah laku mereka di sekolah dalam berdakwah, agar kuantitas objek dakwah menjadi lebih banyak dan substansi dakwah dapat tersampaikan dengan baik.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.

Al-Banna, Hasan, 1998. Risalah Pergerakan. Solo : Intermedia.

Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. Problematikan Remaja dan Solusinya dalam Islam (pent. Abu Naoval). Solo:At-Tibyan.

Amin, Shadiq, 2006. Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal (Pent. Syarif Ridwan). Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat.

Azizah, Abu Azmi, 2005. Berpikir Cerdas Berbasis Al-Qur’an : Membentuk Cendekiawan yang Tak Salah Jalan. Solo : Bina Insani Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.

________________, Sosiologi SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.

Nashih Ulwan, Abdullah, 1985. Pesan untuk Pemuda Islam (pent. Jamaluddin Sais). Jakarta : Gema Insani Press.

Widiyantoro, Nugroho, 2003. Panduan Dakwah Sekolah : Kerja Keras untuk Perubahan Besar. Bandung : Syaamil Cipta Media.

Mardhatillah, Ahmad Rizky, 2006. Mempersoalkan (Kembali) Transparansi Sekolah. Artikel dimuat di Radar Banjarmasin, 11 Oktober 2006.

______________________, 2006. Bangkitlah Gerakan Pelajar. Artikel dimuat di Kalimantan Post, 15 November 2006.

______________________, 2007. Revitalisasi Gerakan Pelajar. Artikel dimuat di Banjarmasin Post, 15 Januari 2007.

______________________, 2007. Gerakan Tajdid Membangun Peradaban. Artikel dimuat di Radar Banjarmasin, 17 Februari 2007.

______________________, 2007. Pelajar dan Idealisme. Artikel dimuat di Kalimantan Post, 12 April 2007.

______________________, 2007. Membangun Pemikiran Kritis Pelajar. Artikel dimuat di Mata Banua, 30 April 2007.

______________________, 2007. Nasib Reformasi di Tangan Pelajar. Artikel dimuat di Banjarmasin Post, 12 Mei 2007.

______________________, 2007. Membangun Moral Generasi Muda : Tanamkan Tauhid Kepada Mereka. Dimuat di Banjarmasin Post, 10 Januari 2007

______________________, 2007. Idealisme Pelajar di Persimpangan Jalan. Dimuat di Radar Banjarmasin, 1 April 2007.

Syamsuri, 2004. Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2 Untuk Kelas XI. Jakarta : Erlangga.

Saksi, Minggu Kedua April 2004.

http://www.bem.ui.ac.id/

http://www.pii-mesir.org/.

www.freewebs.com/komuneppj/index.htm

http://liqo.wordpress.com/

http://semanggipeduli.com/pahlawan

Gerakan Tajdid Membangun Peradaban

Sebuah Perspektif Menyelamatkan Ummat


“Kita akan berdiri di hadapan gelombang tirani kezaliman yang berasal dari dunia materi hingga ia lenyap dari bumi yang kita pijak, agar kaum kita terbebas dari petakanya”.

(Asy-Syahid Hassan Al-Banna)

Secara etimologi, Tajdid berasal dari bahasa Arab, yang berarti pembaharuan. Konsep Tajdid dalam sejarahnya pertama kali dibawa oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia. Gerakan Tajdid yang dibawa oleh Syekh Ibnu Abdul Wahab di Dariyah ini pada perkembangannya dikenal dengan Wahabi. Selanjutnya, muncul konsep Tajdid yang dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani di Mesir. Gerakan ini memfokuskan diri untuk menyuarakan perlunya revitalisasi pemahaman Islam yang pada waktu tersebut kurang memberi perhatian pada urusan dunia, sehingga menumbuhsuburkan praktik-praktik imperialisme yang dibawa oleh bangsa Barat. Selain itu, gerakan yang dibawa oleh Syekh Al-Afghani juga menyuarakan semangat anti-penjajahan yang pada waktu tersebut banyak terjadi di dunia Islam.

Gerakan yang dibawa oleh Syekh Ibnu Abdul Wahab dan Al-Afghani ini memberikan dampak positif pada pergerakan-pergerakan Islam. Di Mesir sendiri, pada tahun 1929 Hassan Al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin yang berorientasi pada dakwah secara syumuliah (komprehensif) dan pembinaan pemuda muslim. Di India, Muncul Jami’atul Islam yang dicetuskan oleh Abul A’la al-Maududi. Sementara itu, di Libya muncul gerakan As-Sanusiyah yang berorientasi tasawuf, namun juga memberikan andil pada pergerakan anti-imperialisme asing. Terakhir, di Indonesia sendiri pada tahun 1912 berdiri persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, Persatuan Islam yang didirikan oleh ulama-ulama pembaharu di Jawa Barat, dan Al-Irsyad yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkaty As-Sudani yang merepresentasikan masyarakat keturunan Arab di Indonesia.

Gerakan-gerakan pembaharuan ini memiliki interpretasi pemahaman Islam yang bervariasi, akan tetapi mengakar pada konsep yang sama : Ketauhidan yang benar. Gerakan-gerakan ini pada umumnya berprinsip, pada persoalan akidah semuanya harus bersatu dengan pemahaman yang sama. Akan tetapi, mereka memiliki pola orientasi pergerakan yang berbeda namun tetap berjalan pada koridor yang ditetapkan dalam Islam.

Pergerakan Muhammadiyah, misalnya, sejak pertama kali didirikan pada tahun 1912 selalu menekankan pentingnya pembaharuan Islam. Pembaharuan dalam konteks ini tidak diartikan sebagai tindakan merombak pemahaman keagamaan yang berlaku atau mengubah hukum yang telah ditetapkan. Tajdid dalam perspektif kemuhammadiyahan berarti kembali kepada sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, umat Islam akan memiliki sumber kekuatan moral yang diharapkan dapat mereformasi kehidupan yang morat-marit akibat krisis berkepanjangan.

Menurut Haedar Nashir (2006), domain tajdid yang dilakukan mengimplikasikan adanya pemahaman yang luas dan mendalam terhadap Islam sehingga gerakan tajdid yang dilakukan dapat masuk ke ruang publik. Di sini, lanjut Haedar, diperlukan perangkat-perangkat konseptual, epistemologi, dan metodologi yang lengkap agar pemurnian Islam yang dikehendaki dari gerakan tajdid tersebut dapat berlangsung secara komprehensif, bukan secara parsial atau setengah-setengah.

Hal yang terlebih dahulu harus kita lakukan untuk mengimplikasikan Tajdid yang benar adalah dengan meluruskan fondasi keimanan, Yaitu Tauhid. Sebagaimana yang umum diketahui, unsur tauhid tercantum dalam kalimat Syahadat, yaitu “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, Tiada Tuhan Selain Allah. Kesaksian ini harus terlebih dulu diluruskan serta dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan nyata di kehidupan sehari-hari.

Dalam perspektif kemuhammadiyahan, tauhid yang benar tidak cukup hanya dilakukan dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Diperlukan adanya implementasi atas kesaksian tersebut dalam realitas empiris, sebagai bukti bahwa Tauhid kita benar. Selain itu, perilaku kita juga harus sesuai dengan tauhid kita. Jangan sampai dalam perbuatan sehari-hari ternyata ada perilaku yang menjerumuskan kepada perbuatan menyekutukan Allah.

Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, ada tiga hal yang harus dijauhi oleh umat Islam dalam upaya mengimplementasikan tauhid tersebut. Mereka antara lain Syirik (Menyekutukan Allah), Takhayul (kepercayaan magis tradisional), Bid’ah (mengada-ada dalam permasalahan agama), dan Khurafat (kepercayaan akan benda-benda syirik) yang selanjutnya dikenal dengan istilah TBC.

Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari. Selain itu, perbuatan ini juga mengisyaratkan bahwa kita meminta pertolongan kepada selain Allah. Dalam kacamata agama, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an.

Selain tauhid yang berkaitan dengan pengesaan Allah dan manifestasinya (tauhid akidah), juga ada konsep Tauhid Sosial yang menurut Amien Rais (1997) merupakan dimensi sosial dari Tauhid Akidah. Dalam pandangan Akhmad Muzakki (2004), konsep Tauhid Sosial ini dimaksudkan oleh Amien Rais agar tauhid akidah yang telah terintegrasi ke dalam pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan dalam realitas sosial secara konsisten.

Dalam kacamata Amien Rais, ada lima dimensi Tauhid Sosial. Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah (Unity of Godhead); Kedua, keyakinan atas penciptaan dari Sang Pencipta (Unity of Creation); Ketiga, keyakinan atas dasar-dasar kemanusiaan (Unity of Mankind); Keempat, keyakinan atas adanya pedoman hidup yang mengatur manusia (Unity of Guidance); Kelima, keyakinan atas tujuan hidup manusia sebagai umat muslim (Unity of The Purpose of Life).

Melalui Tauhid Sosial tersebut, umat Islam dituntut untuk mempraktikkan nilai-nilai Tauhid akidah ke dalam realitas sosial secara benar. Dalam terminologi Amien Rais, seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan menjauhi Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat, tetapi juga harus peka terhadap urusan kemanusiaan. Selain itu, seorang muslim juga dituntut untuk menerapkan fungsi keadilan, karena kepekaan terhadap hak-hak kemanusiaan mengharuskan adanya perilaku adil kepada Allah, sesama manusia, maupun kepada lingkungan sekitar.

Adapun Nurcholish Madjid merumuskan dua dimensi dari tauhid, yaitu self-liberation dan social liberation. Istilah pertama berarti pembebasan diri dari hawa nafsu yang menolak kebenaran karena kesombongan diri. Istilah kedua bermakna pembebasan masyarakat dari segala bentuk thaghut atau kekuasaan sewenang-wenang, tirani, dan zalim

Jika konsep-konsep tauhid tersebut telah dapat diintegrasikan dalam aktivitas kenegaraan, perilaku-perilaku penyelenggara negara dapat lebih terkontrol. Implikasinya, perbuatan korupsi yang merugikan negara dapat direduksi, sehingga perekonomian negara pun dapat diperbaiki.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita memersiapkan bangsa ini untuk mereformasi diri dengan Tajdid demi kebangkitan Islam yang diharapkan. Yakinlah, bahwa Allah telah menurunkan Islam secara kaffah atau Par Excellence. Hanya saja, ke-kaffah-an Islam tersebut harus selalu direvitalisasi, agar umat Islam tidak tersesat ke arah yang salah. Dengan tajdid yang benar, Insya Allah gerbang kebangkitan umat akan segera kita temui.

Mempersoalkan (Kembali) Transparansi Sekolah


(Artikel ini pernah dimuat di Radar Banjarmasin dan cukup bersejarah karena merupakan artikel pertama penulis di media massa lokal dan pernah menuai polemik dengan wakasek kesiswaan yang kebakaran jenggot ketika membaca tulisan ini)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)


Pendidikan merupakan tahapan terpenting dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Dengan adanya pendidikan yang berorientasi kepada penyeimbangan mutu Sumber Daya Manusia masyarakat kita secara Intelektual, Emosional, maupun Spiritual maka masyarakat kita akan berpikir lebih maju, kritis, serta dapat mengeluarkan bangsa dari krisis yang berkepanjangan ini.

Namun jika sistem pendidikan kita salah, maka masyarakat Indonesia yang beradab dan mempunyai peradaban tak akan pernah dapat tercapai. Mengapa demikian? Karena pendidikan yang benar akan mampu mengubah pola pikir masyarakat yang terlanjur pragmatis, materialistis, dan Money-Oriented.

Sebagai upaya dalam membangun pendidikan yang benar, maka pemerintah memperkenalkan sistem pendidikan yang diharapkan mampu menyeimbangkan aspek Iptek dan Imtaq. Dalam perkembangannya, pemerintah telah beberapa kali merevisi sistem pendidikan guna mendapatkan kualitas Sumber Daya Manusia masyarakat Indonesia yang baik dan berdaya saing tinggi.

Sistem teranyar adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang lebih menekankan kepada keaktifan siswa di kelas, dan menjadikan guru sebagai pengarah dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan beberapa inovasi, diantaranya memberikan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) kepada Siswa-siswa yang kurang mampu, sehingga pendidikan dapat menjangkau masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

Dengan sistem yang telah beberapa kali direvisi tersebut, seyogyanya pemerintah mampu menghasilkan output pendidikan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, serta mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis berkepanjangan ini. Namun apa hasil yang dapat kita lihat sekarang? Indonesia masih belum dapat keluar dari jeratan krisis.

Secara intelektual, pendidikan kita memang mampu menghasilkan figur-figur yang berprestasi dalam skala Internasional. Keberhasilan Tim Olimpiade Fisika Indonesia dalam merebut juara Umum pada Olimpiade Fisika Internasional di Singapura memang patut diacungi jempol, sebagai indikasi kesuksesan pendidikan Iptek di negara kita.

Namun di sisi lain, meningkatnya kasus-kasus kejahatan, baik kejahatan yang dikategorikan sebagai Blue-Collar Crime seperti pencurian maupun kejahatan yang dikategorikan sebagai White-Collar Crime seperti korupsi mengindikasikan turunnya kualitas Moral masyarakat Indonesia. Bahkan Majalah Playboy yang merupakan majalah paling vulgar di Amerika Serikat dapat terbit di Indonesia. Sungguh, ini merupakan sebuah pukulan telak bagi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.

Nah, jika kita tarik akar permasalahannya, maka akan muncul pertanyaan, apakah ada yang salah dalam sistem pendidikan kita? Sebagian kalangan menjawab Ya, dan sebagian lagi berpendapat tidak.

Kalangan yang mengatakan bahwa ada kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia beragumentasi bahwa pemerintah tidak menyediakan porsi pendidikan moral yang cukup dalam kurikulum baru. Pendapat ini ada benarnya, mengingat pemerintah hanya menyediakan porsi pendidikan Agama selama dua jam dalam seminggu. Waktu ini terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jam pelajaran lain seperti Matematika atau IPA. Selain itu Sistem pendidikan kita tidak menyediakan kontrol pasca-pembelajaran, sehingga tidak menjamin diaplikasikannya nilai-nilai moral selepas jam pelajaran sekolah oleh siswa.

Namun ada juga yang mengatakan bahwa sistem pendidikan kita tidak mengalami masalah, tetap yang menjadi sumber permasalahan adalah para aparat pelaksana pendidikan yang kurang memahami konsep pendidikan, sehingga para siswa juga tidak menerima pendidikan secara utuh, dan hal tersebut dikembalikan kepada masing-masing individu untuk mengaplikasikan pendidikan yang diterimanya di sekolah.

Tetapi terlepas dari pro-kontra tersebut, memang patut diakui bahwa pendidikan kita sekarang hanya menghasilkan output yang berkualitas secara intelektual, tetapi secara moral, kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan.

Transparansi Sekolah Dipertanyakan

Sistem pendidikan kita memang terus menjadi polemik dalam beberapa dekade terakhir ini. Akan tetapi terlepas dari permasalahan tersebut, ada permasalahan yang patut kita cermati berkaitan dengan pendidikan ini, yaitu manajemen lembaga pendidikan. Sekolah Negeri sebagai lembaga pendidikan pemerintah seyogyanya mampu memberikan manajemen yang terstruktur, solid, dan transparan.

Namun apa yang dapat kita lihat di negara kita? Sekolah –terutama Sekolah Menengah Atas— tidak mempunyai manajemen yang teruji akuntabilitasnya. Banyak sekolah-sekolah yang tidak transparan mengenai keuangan dan pendanaan, bahkan kepada siswa-siswinya sendiri. Dapat kita lihat sebuah kasus yang menimpa sebuah SMA di Banjarbaru, dimana rasa kekecewaan siswa yang memuncak terhadap guru dan manajemen Sekolah akhirnya mengakibatkan permasalahan tersebut dibawa kepada Walikota untuk ditangani lebih lanjut.

Hal ini mengindikasikan kurangnya transparansi sekolah kepada siswa sehingga mengakibatkan kekecewaan yang mendalam dan akhirnya berujung pada aksi mobilisasi massa. Tentunya hal ini adalah suatu keanehan, mengingat para siswa telah banyak memberikan kontribusi kepada sekolah, namun sekolah sendiri tidak pernah menjelaskan bagaimana keuangan mereka. Bahkan beberapa sekolah seringkali meminta dana kepada siswa untuk menyelenggarakan suatu proyek yang sama sekali tidak melibatkan siswa.

Memang merupakan suatu hal yang cukup baik jika diadakan proyek-proyek yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Akan tetapi jika proyek itu ternyata hanya memberatkan siswa, maka proyek tersebut seyogyanya jangan dijadikan prioritas. Apalagi jika pendanaan itu hanya akan memangkas dana OSIS atau keperluan siswa yang lain. Seharusnya dana tersebut digunakan untuk keperluan siswa dan untuk menunjang kegiatan pembelajaran, baik secara formal (KBM) maupun secara non-formal (organisasi).

Kurang transparannya sekolah mengenai permasalahan program dan pendanaan ini ternyata bukan hanya terjadi di satu sekolah, tapi juga di sekolah-sekolah lain! Mari kita perhatikan, adakah sekolah –khususnya di Banjarmasin dan Banjarbaru— yang betul-betul transparan dalam pengelolaan dana? Hal ini sangat jarang ditemukan, hanya sekolah-sekolah yang mempunyai akuntabilitas tinggi yang mau mengajak perwakilan siswa untuk duduk dalam satu forum dan membicarakan problematika-problematika sekolah, baik dalam manajemen, birokrasi, keuangan, maupun program. Sementara sekolah-sekolah lain tak ada yang melibatkan siswa.

Sebagai contoh dapat kita lihat dalam penyusunan Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (APBS). Adakah sekolah yang melibatkan para siswa untuk ikut berpartisipasi dalam penyusunan APBS tersebut? Pasti banyak yang menjawab tidak. Yang terjadi di lapangan APBS tersebut disusun oleh jajaran petinggi sekolah untuk kemudian diserahkan kepada Komite Sekolah untuk direvisi. Kemudian untuk keperluan siswa seperti dana bantuan ekstrakurikuler langsung ditangani oleh Wakasek.

Bukankah ini sesuatu yang rawan terhadap penyelewengan? Ini artinya sama sekali tak ada keterbukaan sekolah terhadap manajemen yang ada di dalamnya. Sehingga implikasinya, ketika sekolah dimintai pertanggungjawabannya oleh siswa yang memang concern dalam hal ini, akhirnya sekolah tak mampu memberikan jawaban.

Nah, Permasalahan-permasalahan semacam ini seyogyanya diperhatikan oleh pemerintah guna membangun sistem pendidikan ideal di negara kita.

Manajemen Sekolah Ideal di Persimpangan Jalan

Sekolah yang ideal adalah sekolah yang mampu menghadirkan manajemen yang baik serta dapat mengoptimalkan sistem pembelajaran yang ada sehingga dapat menghasilkan prestasi dan menimbulkan prestise. Tipe sekolah yang seperti ini memang sangat diidam-idamkan oleh semua pihak, namun sayangnya hanya segelintir sekolah yang mampu melakukannya. Banyak sekolah yang mempunyai banyak prestasi di level lokal, daerah, nasional, bahkan ada yang mampu mencapai prestasi di level internasional. Namun jika kita lebih melihat ke dalam, maka akan kita dapatkan suatu keadaan yang memprihatinkan.

Sekedar ilustrasi, ada sekolah yang seringkali membuat keputusan sepihak melalui Wakasek-wakaseknya. Disebut sepihak karena dalam yang menetapkan kebijakan hanyalah Kepala Sekolah, Wakasek-wakasek, dan beberapa orang guru, tanpa sama sekali melibatkan partisipasi siswa. Bahkan, dana APBS Sekolah yang juga mencakup dana-dana operasional kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler juga sama sekali tidak melibatkan siswa dalam penyusunannya. Padahal yang menikmati fasilitas sekolah adalah siswa, namun anehnya siswa tidak dilibatkan dalam penyusunan anggaran.

Bahkan yang lebih aneh lagi, dana-dana siswa yang dianggarkan secara sepihak oleh manajemen sekolah tersebut tidak diperlihatkan kepada siswa, sehingga ketika OSIS ingin meminta dana untuk pelaksanaan suatu kegiatan mereka harus meminta kepada Wakasek Kesiswaan beserta pembantu-pembantunya. Bukankah sistem yang seperti ini dapat menimbulkan penyelewengan dana oleh segelintir oknum yang ingin memperkaya diri mereka sendiri?

Belum lagi jika kita mempertanyakan transparansi sekolah, apakah ada pertanggungjawaban dari sekolah mengenai dana APBS yang mencapai ratusan juta rupiah tersebut kepada siswa, maka kita tak akan pernah mendapatkan jawabannya. Maka, berkaca dari permasalahan ini patut kiranya sekolah memberi legitimasi kepada perwakilan siswa –bukan komite sekolah— dalam pengawasan penggunaan dana sekolah.

Ada juga ilustrasi lain yang cukup menarik untuk dijadikan bahan renungan. Dana Operasional OSIS merupakan dana yang bersumber dari iuran OSIS. Beberapa sekolah memungut iuran ini dari siswa ketika daftar ulang, yang pembayarannya digabungkan dengan iuran-iuran lain. Seyogyanya dana operasional OSIS ini dikelola oleh OSIS sendiri, sehngga dapat dipergunakan sesuai dengan keperluan OSIS.

Namun anehnya ada sekolah yang begitu keras memperjuangkan agar dana OSIS dikelola oleh Wakil Kepala Sekolah urusan Kesiswaan beserta staf-satafnya. Mereka beralasan bahwa dana tersebut dipertanggungjawabkan oleh Wakasek Kesiswaan kepada Komite Sekolah, sehingga demi ’tertib administrasi’ dana tersebut dipegang oleh kesiswaan. Mereka juga berargumentasi bahwa ketika dana tersebut dipegang oleh pengurus OSIS, tidak ada pertanggungjawaban yang jelas dari OSIS kepada Wakasek Kesiswaan atau Pembina OSIS, sehingga pertanggungjawaban kepada Komite pun akhirnya tidak jelas.

Hal ini sungguh ironis! Dana OSIS merupakan dana siswa yang dipergunakan untuk kepentingan siswa, bukan untuk kepentingan guru, walaupun beliau mengatasnamakan Wakasek Kesiswaan. Pengelolaan dana haruslah sepenuhnya diserahkan kepada siswa, sebagai salah satu langkah pembelajaran dalam hal administrasi, keuangan, dan rasa tanggung jawab yang tidak diajarkan dalam kurikulum pendidikan formal.

Jika dana itu diserahkan pengelolaannya kepada guru, mana aspek pembelajaran bagi siswa? Belum lagi jika ada pemotongan-pemotongan dana, kemana pertanggungjawaban uang tersebut? Masih wajar jika ada pertanggungjawaban secara rinci dari sekolah kepada siswa. jika tidak ada, maka hal ini dapat memunculkan Kolusi di lingkungan sekolah. Sungguh, sebuah hal yang ironis jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut.

Perlunya Keterlibatan Siswa

Tahun 2007 merupakan era baru bagi dunia pendidikan kita, mengingat akan diberlakukannya Kurikulum baru yang akan menggantikan Kurikulum 2004. Kurikulum yang bernama KTSP mengambil metode Otonomi Sekolah, sehingga Sekolah diberi kebebasan untuk melakukan eksplorasi metode pengajaran dengan difasilistasi oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Sebenarnya Kurikulum ini cukup efektif, namun perlu diingat bahwa masih banyak sekolah yang belum mempunyai manajemen yang baik. Para siswa dibebankan dana yang banyak –satu tahun bisa lebih dari Satu Juta Rupiah—, namun siswa sendiri tidak mengetahui kemana aliran dana sebanyak itu. Ini menjadi salah satu faktor penghambat keberhasilan kurikulum tersebut.

Yang patut dilakukan oleh sekolah adalah rekonstruksi manajemen, Sejauh mana sistem tersebut dapat dioptimalkan guna memperlancar Kegiatan Pembelajaran. Jika sistem birokrasi tersebut memicu gejolak di kalangan siswa, maka sudah seharusnya Sekolah merevisi sistem yang ada. Namun caranya bukan dengan cara membuat kebijakan sepihak yang cenderung otoriter, melainkan dengan duduk bersama dalam satu forum bersama perwakilan siswa untuk membahas permasalahan-permasalahan siswa.

Apalagi jika yang dibicarakan adalah dana OSIS, maka sungguh suatu sikap yang apatis dan sewenang-wenang jika Sekolah bersikeras ingin mengalihkan pengelolaan dana. Hal ini mengindikasikan adanya sesuatu yang tidak beres di dalam sekolah.

Berkaitan dengan keterlibatan siswa dalam pengawasan penggunaan dana sekolah tersebut, sebenarnya dalam salah satu rekomendasi Kongres Anak Indonesia IV tahun 2004 di Yogyakarta disebutkan bahwa Pemerintah seyogyanya melibatkan Siswa dalam penyusunan Kurikulum dan Program Sekolah. Apalagi jika program-program tersebut menggunakan dana yang tiap bulan dibayarkan oleh siswa, maka sangat realistis jika siswa diberi kesempatan untuk terlibat –atau minimal mengetahui—dalam penyusunan anggaran.

Satu hal yang patut diingat, Komite Sekolah yang beranggotakan Orangtua siswa bukanlah representasi siswa, melainkan hanyalah representasi dari orangtua siswa yang sama sekali tidak berkepentingan dalam penggunaan fasilitas sekolah. Sungguh ironis jika dana komite yang berjumlah milyaran rupiah tersebut tidak jelas penggunaannya, Sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kekecewaaan yang berujung pada aksi unjuk rasa. Ini pun bukan penyelesaian yang baik dalam mengakhiri krisis di Sekolah.

Jadi, tidak ada alasan bagi sekolah untuk tidak transparan kepada siswa –direpresentasikan oleh OSIS dan MPK—mengenai penggunaan dana Komite Sekolah.

Kesimpulan

Dari apa yang telah dibahas di atas tadi, maka dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa Sekolah haruslah transparan kepada para siswa. Transparansi ini haruslah diwujudkan dengan membuka forum dan dialog kepada para siswa, sehingga tidak muncul suatu gejolak kekecewaan dari para siswa. Langkah ini pun hanya akan dapat berjalan optimal jika didukung oleh segenap manajemen sekolah.

Dengan berkaca kepada Kasus di Banjarbaru dimana terjadi aksi unjuk rasa dari para siswa, maka patutlah bagi sekolah untuk segera bersikap transparan kepada siswa. Marilah kita bersama-sama mewujudkan sistem pendidikan yang ideal guna menyongsong era Pasar Global. Kalau tidak kita mulai sekarang, kapan lagi??

Banjarmasin, 11 Oktober 2006


*) Penulis adalah Ketua Umum MPK SMAN 1 Banjarmasin Periode 2006/2007


Untukmu, Elang!

Di sana tubuhmu terbaring tanpa daya
Bersimbah darah
Berakhir di ujung popor senapan sang serdadu yang lapar

Dua belas Mei Sembilan Belas Sembilan Delapan
Tragedi kelam
Elang Mulya Lesmana
Gugur Sebagai Pahlawan Bangsa
Di bumi tercinta
Di bawah senjata serdadu yang buta

Di sana tubuhmu terbaring tanpa daya
Bersimbah darah
Berakhir di ujung popor senapan sang serdadu yang lapar

Tiga puluh dua tahun waktu yang panjang
Penuh cengkeraman
Penuh kecemasan
Penuh pengorbanan
Penuh ketidakadilan

Bangsa ini berada di titik nadir
Luka oleh amanat yang dipelintir
Mengapa kita masih berdiri tegak,
Sementara di samping kita rakyat terhimpit tak bergerak?

Di sana tubuhmu terbaring tanpa daya
Bersimbah darah
Berakhir di ujung popor senapan sang serdadu yang lapar


Depan komputer warnet, 20 Juni 2008

Didedikasikan untuk alm. Elang Mulya Lesmana (Mahasiswa Arsitektur Universitas Trisakti) , Sang Pahlawan Reformasi

Rabu, 18 Juni 2008

Perbedaan Hari Raya, Bagaimana menyikapinya?

Merekat Ukhuwah dalam Perbedaan

Idul Fitri tahun ini, seperti yang sudah-sudah, kembali diwarnai oleh perbedaan penetapan hari. Perbedaan klasik, memang, yang terjadi karena perbedaan metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Tercatat ada empat hari yang diklaim oleh pihak yang berbeda sebagai Idul Fitri kemarin.

Pertama, hari Kamis tanggal 11 Oktober 2007. Pada hari Kamis ini, Jamaah An-Nadzir di Sulawesi Selatan dan Tarekat Naqsabandiyah merayakan Idul Fitri seperti dilansir oleh MetroTV. Jamaah An-Nadzir diberitakan mengambil fenomena pasang-surut air laut sebagai patokan Idul Fitri.

Kedua, tanggal 12 Oktober 2007. Pada hari Jum’at ini, sebagian umat Islam di Indonesia, Filipina, Palestina, dan beberapa penjuru dunia lain menyelenggarakan shalat ‘Ied dan merayakan Idul Fitri.

Ketiga, tanggal 13 Oktober 2007. Pada tanggal ini, giliran Pemerintah RI dan beberapa negara seperti Malaysia dan Brunei Darussalam yang merayakan Idul Fitri.

Keempat, tanggal 14 Oktober 2007 yang dianggap oleh Jamaah Naqsabandiyah Khalidiyyah di Peterongan, Jombang sebagai awal bulan Syawal.

Memang, ada lima kelompok yang memiliki metode tertentu dalam penetapan awal Ramadhan.

Pertama, Nahdhatul Ulama (NU) yang berpatokan pada metode rukyatul hilal. Dengan metode ini, berarti harus ada proses melihat bulan secara langsung (ru’yat) untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan.

Kedua, Muhammadiyah yang berpegangan pada metode hisab hakiki. PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa jika bulan telah berada di atas ufuk (berada di atas 0o jika dihitung secara astronomis), umat Islam telah dapat mengakhiri Ramadhan..

Ketiga, Persatuan Islam (PERSIS) yang menggunakan metode wujudul hilal fi wilayatul hukmi. Pada dasarnya, metode ini tidak jauh berbeda dengan metode PP Muhammadiyah. Akan tetapi, metode ini mengisyaratkan bahwa bulan baru akan ditentukan jika hilal telah wujud di keseluruhan wilayah. Pendapat ini berbeda dengan PP Muhammadiyah yang berpendapat bahwa bulan baru telah masuk ketika ada wilayah yang telah melihat hilal.

Keempat, Pemerintah (Departemen Agama) yang menggunakan metode imkanur ru’yah sebagai patokan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Metode ini pada dasarnya bertujuan untuk menjembatani perbedaan antara NU yang menggunakan rukyat dan Muhammadiyah yang menggunakan hisab. Dengan metode ini, hisab yang disyaratkan untuk dapat dijadikan patokan sebagai awal bulan baru adalah 20. Hasil hisab pemerintah ini kemudian dikaji melalui sidang itsbat yang tiap tahun diadakan. Kelima, metode-metode lain yang digunakan oleh beberapa kelompok kecil seperti Jamaah An-Nadzir atau Tarekat Naqsabandiyah.

Interpretasi Dalil

Fenomena perbedaan Idul Fitri ini memang sangat sering terjadi di Indonesia. Perbedaan yang terjadi sebenarnya adalah pada metode penetapan awal bulan. Perbedaan ini terjadi dalam cara menafsirkan dalil penentuan awal dan akhir Ramadhan, yaitu sebuah hadits yang berbunyi, “Berpuasalah kamu dengan melihat bulan (li ru’yatihi), dan berbukalah kamu dengan melihat bulan (li ru’yatihi). Jika pandangan kamu tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Ramadhan menjadi 30 hari”.

Hal yang diperdebatkan dalam hadits tersebut adalah frase li ru’yatihi, atau melihat bulan. Ada yang berpendapat bahwa melihat bulan di sini harus diartikan secara letterlijk, atau melihat bulan dengan mata telanjang. Pendapat ini dipegang oleh pemerintah dan Nahdhatul Ulama sekarang. Ada pula yang berpendapat bahwa melihat bulan di sini dapat dilakukan dengan ilmu pengetahuan, tidak harus dengan telanjang. Hadits di atas harus dihubungkan dengan asbabul wurud dari hadits tersebut, yaitu hadits “Kita adalah kaum yang ummi yang tidak dapat melakukan hisab”. Dengan kata lain, harus ada pendekatan sains yang lebih akurat untuk melakukan penentuan awal dan akhir Ramadhan.

Pendekatan astronomis atau hisab dianggap cukup relevan dengan kondisi zaman. Kebolehan pendekatan ini juga dikarenakan penentuan awal dan akhir Ramadhan bukan merupakan persoalan ta’abbudi yang dituntut harus sesuai tuntunan secara utuh, melainkan telah memasuki persoalan furu’ yang memungkinkan ijtihad di dalamnya. Dalam hal ini, Muhammadiyah berpatokan pada posisi hilal, bukan dengan melihat keberadaan hilal. Pendapat ini juga didukung oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Muhammad Rasyid Ridha, dan Mustafa Ahmad Az-Zarqa dalam salah satu fatwanya.

Pada hisab berdasarkan imkanur rukyah, masuknya awal bulan baru ditetapkan jika pada saat matahari terbenam, hilal masih berada di atas ufuk dan telah memenuhi kriteria bisa diamati. Departemen Agama mengambil kriteria tinggi minimum hilal bisa diamati adalah 2 derajat. Kriteria Departemen Agama ini sebenarnya masih banyak dipertanyakan oleh sebagian ahli. Sebagai perbandingan, dalam Persidangan Hilal Negara-negara Islam Sedunia di Istanbul, Turki (1978), disepakati kriteria hilal bisa diamati jika : (1) Tinggi hilal tidak kurang dari 5 derajat dari ufuk barat, (2) Jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang dari 8 derajat, dan (3) Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak terjadi. Akan tetapi, kriteria ini masih belum dapat diterapkan di Indonesia dan bahkan berbeda dengan kriteria di Asia Tenggara.

Pada awal Ramadhan lalu, semua hisab menunjukkan bahwa hilal di bawah ufuk, sehingga semua pihak sepakat bahwa hilal tidak mungkin dirukyat, karena memang di bawah ufuk. Semua sepakat untuk istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari). Akan tetapi di akhir bulan Ramadhan, posisi hilal pada posisi kritis yakni berada di bawah 2 derajat menurut perhitungan hisab yang akurat. Ada hilal yang berada di bawah 10, ada yang setengah dan di Indonesia Timur bahkan berada di bawah ufuk. Karena itu, timbul perbedaan dalam penentuan Idul Fitri.

Pentingkan Ukhuwah dan Tasamuh

Poin penting yang harus digarisbawahi di sini adalah membangun ukhuwah dalam perbedaan. Adanya perbedaan pendapat dalam hal-hal metodologis merupakan bentuk ujian yang menuntut kita agar berpengetahuan luas dan berlapang dada dalam menerima perbedaan tersebut. Apalagi jika perbedaan tersebut masih berada dalam koridor furu'iyyah. Perbedaan dalam bidang furu'iyyah ini merupakan alat untuk menjalin ukhuwah dalam keberagaman bagi umat Islam selama tidak menimbulkan perpecahan.

Untuk itu, diperlukan sebuah pemahaman untuk tasamuh (bertoleransi) antara kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. Toleransi ini antara lain dapat dibuktikan dengan kelapangan dada dalam pemberian izin fasilitas shalat ied dan tidak membuat pernyataan yang bernada provokatif dengan meminta kelompok yang berbeda untuk shalat ied bersama-sama. Dengan kata lain, ukhuwah tidak selalu dinyatakan dalam bentuk kesamaan pendapat, tapi juga kelapangan dada dalam menerima perbedaan.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Selasa, 17 Juni 2008

Legitimacy, Trust, and Progressive Democracy

Behind Controversies of Independent Candidates in General Election
“A Great Democracy cannot be called great or to be called as democracy if it is not progressive”

(Theodore Roosevelt, 1910).

Reformation Movement, which was triggered in 1998 has altered almost entire aspects of life in Indonesia. Reformation in government, economic, law, and even Political system have been followed by a radical social change. Along the journey of time, the reformation activity has been “coloured” by various situation. Democracy, for example, cannot be implemented well in last ten years. Many frictions between many groups occurred, even in DPR which has been established as people representatives. It implicates commutation of national and local leaders that happened several times.

We can see one of the friction that happens this year in Depok, about the changing of major in that city. The election was won by Dr. Nurmahmudi Ismail (candidate from PKS) after a long and hard struggle. His challenger, Badrul Kamal (candidate from Golkar and PKB) was not pleased with ther result and send a protest to Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Unpredictably, Badrul’s protest had been accepted and The Court of Justice changed the result. The condition became strained when Nurmahmudi Ismail went to Mahkamah Agung for having a judicial review to the result. After his hard struggle, the Mahkamah Agung accept their judicial review because his evidence was stronger than Badrul Kamal’s.

One of those political paradigm which should be changed by our government is the paradigm that put political party as “single player” in election arena. There should be independent candidate who has no deal with any political party. It can make the election gains more benefit in practice because the independent candidate does not only belong to “mass-based” or “money-based” program, but also to programs which are aside to public welfare. Thus, independent candidate is the best way to implement progressive democracy in Indonesia.

Democracy in Indonesia: Between Reality and Ideality

If we are talking about democracy, we should know about what the substance of democracy is. According to Budiarjo (1994), democracy considered as a political system which is controlled by whole population in the state. Thus, the authority is belonging to people, not to person. As a matter of fact, the authority has been given from the people to their representatives by the mechanism of general election. The representatives would claim the aspiration from their voters in House of Representative. Thus, the person who want to be a representative of people should use a political party as his/her media.

In Indonesia, democracy has not been settled as a substantive democracy. It is true that in Indonesia there are so many political parties which compete in general election. But in fact, many of political parties use their voters to make their interests. Parliament, which originally considered as a media to implement democracy, changes onto a media to implement some interests. Political parties do not make the aspiration of their voters as their program. There are so many political deals which damaged the substance of democracy in Indonesia itself. It implicates corruption as a logical consequence.

According to philosophy of democracy, there is an adagium that is very popular among our politicians: Vox Populi, Vox Dei. This adagium means that sound of people considered as ‘sound of God’ in democracy. Thus, people have a legitimacy to decide their future by themselves. There should not be any intervention from any person unless they have legitimacy by people. We may not recognize this adagium as an obligation that should be implemented in a Moslem country. But in fact, this adagium clearly recommend that people’s voice is not only spoken by political parties. There are some alternative ways to implement the substances of democracy. In general election, there should be independent candidate who has more capabilities to lead his/her people and being trusted by people.

Positive Impacts of Legalizing Independent Candidates

If the government legalize the existence of independent candidates, there are some positive impacts.

Firstly, independent candidates can be trusted by people better than candidates from political party. We can see election result in Aceh. There are six couples of candidates fought; one of them was Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar which was independent. They did not have any political party but having more than 3% of Aceh people who supported them. In the “fighting day”, almost none of political observer predicted them to win. But in result, they won. This fact is an evidence that people does not always trust political party. After the election, we can see that there is no turbulence in Aceh. Although Irwandi Yusuf used to be a member of Gerakan Aceh Merdeka, there is no intension that Irwandi Yusuf will do any separatical effort for GAM. Even the contrary, he tries to persuade GAM for coming back to Republic of Indonesia.

Secondly, independent candidate will offer many populist programs but having no deal with political party. We can see in Jakarta when KPUD noticed that not all citizen used their vote rights. We all know that in Jakarta Governor election there are only two candidates who fought in the election, Fauzi Bowo and Adang Daradjatun. Many academist questioning the absence of Sarwono Kusumaatmaja and Faisal Basri, who offered realistic programs to make Jakarta better than before. The problem is actually simple; They do not make any political deal with any political party. Although they had many realistic and prosperous programs to offer, they could not join the election. Whereas, we do not doubt their integrity to lead Jakarta.

Thirdly, the existence of independent candidates will open the chance for people to participate in political arena. If the government permits independent candidate to compete in election, people will not see politics as “a kind of bad thing” anymore. They will consider politics as a media to express their aspiration. As long as the government keep controlling the mechanism of election, there will not be any political disorder in governor election. Even it will increase people’s spirit to participate in politics. “Participating” here does not only mean as applying for the candidate. “Participating” can mean expression of people’s aspiration to make crucial sectors of development better than before. Here, the existence of independent candidate will be very useful to motivate people to participate in development.

Negative Consequences of Legalizing Independent Candidates

Besides, the existence of independent candidates also being questioned by some people. They have an argument that independent candidate will have no power in house of representative (DPRD) because there is no political party supporting their programs. If there is no consolidation between the governor from independent candidate and the parliament, the development will be impeded, even the government can loose people’s confidence. It is true, but as long as the independent candidate is consistent with his/her commitment in Pilkada and do his/her job based on the principles of Good Governance and Clean Government, it does not matter. The independent candidates should show a hardwork and consistency during his period if he won the election. If there are any frictions between him and DPRD, the candidate should show patience and political maturity to end the conflict. Thus, there should be capability to manage conflict by the independent candidate.

Another reason is the heterogenity of people in Indonesia. There will be many interest and platform that can block idealism of independent candidate. It is also true, but as long as independent candidate can control the conflict and capable to manage the people, it also will not bother too much. One that the candidate should do is making a priority scale during his period. Also, two-ways communication is very urgent to be built by independent candidate to avoid conflict because of heterogeneity itself.

Conclusion

According to Roosevelt (1910), democracy should be progressive. In Indonesia, one of the manifestation of progressive and substantive democracy is by legalizing independent candidate. Not just because of people’s legitimacy, but also the prospect to emerge people’s spirit for envolving in development. As long as the government could manage the mechanism of independent candidate to compete in election, there will be no hard obstacle in it.


Senin, 16 Juni 2008

Paradigma, Perspektif, dan Wacana Kesetaraan Gender


“There will be no peace if there is no justice, and there will be no justice if there is no equity”.

(Rigoberta Menchu Tum, 2001)

Diskursus mengenai kesetaraan gender mencuat baru-baru ini, dimana dalam diskursus tersebut isu kesetaraan derajat antara pria dan wanita menjadi sorotan hangat publik[1]. Seiring dengan mencuatnya isu tersebut, muncullah berbagai respons dari masyarakat akan wacana tersebut. Ada yang menentang wacana tersebut, tetapi ada pula yang mendukungnya. Beragam opini dan argumen pun dilontarkan kepada media, baik yang bernada mengecam maupun yang bernada mendukung. Memang, sah-sah saja jika terjadi perbedaan pendapat akan suatu isu publik di negara dengan atmosfer demokrasi. Akan tetapi, sebuah perbedaan pendapat tak boleh menjadi alat pemicu konflik di tengah multikulturalisme bangsa. Yang seharusnya dilakukan adalah menganalisis permasalahan tersebut untuk kemudian diformulasikan sebagai solusi permasalahan dan dijadikan sebuah pemikiran yang memerkaya khazanah keilmuan bangsa.

Artikel ini mencoba untuk menganalisis kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berbagai perspektif (point of view), untuk kemudian diformulasikan dan disimpulkan menjadi sebuah paradigma (point of thinking) yang fleksibel dan merefleksikan pandangan publik mengenai isu kesetaraan laki-laki dan perempuan[2].

A. Definisi dan Argumen

“Wacana” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “satuan bahasa terlengkap yang realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dsb”[3]. Dalam Bahasa Inggris, “wacana” ditranslasikan sebagai kata discourse, yang kemudian diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai kata diskursus[4]. Kata ini belum ada dalam literatur Bahasa Indonesia, tetapi ada kata yang mendekati kesamaan dengan kata tersebut, yaitu diskursif yang berarti “berkaitan dengan nalar”.

Menurut Musa Maliki (2005), kata diskursif digolongkan sebagai kata sifat, di mana makna kata tersebut mempunyai kedekatan dengan istilah wacana. Lebih spesifik lagi, Geff Danaher dkk. (dalam Maliki,2005) mendefinisikan diskursif/wacana sebagai format bahasa yang berhubungan dengan ide-ide dan lontaran-lontaran pernyataan yang menampakkan nilai-nilai dasar. Definisi ini paralel dengan pemikiran Michael Foucault –tokoh post-structuralism— tentang konsepsi wacana.[5]

Adapun kata “setara” diartikan sebagai “sejajar; sama tingkatnya (kedudukan,dsb.); sebanding; seimbang”. Dalam bahasa Inggrtis, kata setara ditranslasikan sebagai “be equal, equivalent”, yang merujuk pada arti kesamaan antara beberapa hal. Dalam kamus Sosiologi (Soekanto, 1993), kesetaraan dikenal dengan istilah equility, yaitu persamaan kedudukan, kesempatan, dan perlakuan.[6] Dengan demikian, kesetaraan dapat didefinisikan sebagai kesamaan tingkat dan derajat antara beberapa hal, dalam konteks ini yaitu antara laki-laki dan perempuan.

Wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan berkaitan erat dengan status dan peran (role) individu di masyarakat.[7] Status dalam kamus Sosiologi didefinisikan sebagai Posisi dalam suatu hierarkhi; Suatu wadah bagi hak dan kewajiban; Aspek statis dari peran (role); prestise yang dikaitkan dalam suatu posisi; Jumlah peran ideal dari seseorang. Istilah status ini paralel dengan kata “kedudukan”. Adapun peran (role) diartikan sebagai Aspek dinamis dari status; perangkat hak dan kewajiban; Perilaku aktual dari pemegang kedudukan; Bagian dari aktivitas yang dimainkan seseorang. [8]

Adapun paradigma kesetaraan gender yang ada di masyarakat tak dapat dilepaskan dari perubahan sosial[9], atau seperti dikatakan Samuel Koenig (dalam Muin,2004:86) adalah modifikasi yang terjadi pada pola-pola kehidupan masyarakat. Merujuk pada Selo Soemarjan, perubahan-perubahan sosial ini disebabkan oleh adanya dinamika dalam perkembangan kehidupan manusia. [10]Korelasi antara wacana kesetaraan gender dengan social change ini dibuktikan dengan adanya pola pandang yang berbeda mengenai kesetaraan gender pada tiap-tiap generasi, sehingga wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan ini selalu mengalami pergeseran dan perubahan tiap generasinya.

B. Gender dan Struktur Sosial

Wacana kesetaraan gender memiliki keterkaitan erat dengan struktur sosial yang berlaku di masyarakat beserta elemen-elemennya, terutama status dan peranan sosial. Dalam konteks kesetaraan gender, laki-laki dan perempuan sebenarnya memiliki kesamaan derajat, dikarenakan mereka mempunyai status sosial yang sama, yaitu Ascribed Status atau status sosial yang secara otomatis ‘diberikan’ sejak kelahiran.[11]

Ascribed Status ini merupakan status yang tak dapat diubah oleh manusia, sehingga, derajat dan tingkat antara laki-laki dan perempuan secara fundamental adalah sama. Sebagai implikasinya, pembahasan mengenai wacana kesetaraan gender ini tak boleh dimasukkan ke dalam pembahasan stratifikasi sosial (vertical classification), melainkan hanya dapat dibahas dari kacamata diferensiasi sosial (horizontal classification) secara terbatas.[12]

Kesamaan dan kesederajatan status tersebut tidak lantas memunculkan opini bahwa peranan antara laki-laki dan perempuan secara keseluruhan adalah sama. Dalam konteks ini, kesamaan status –ascribed status—tidak berimplikasi pada kesamaan peranan di masyarakat. Memang, secara fundamental status laki-laki dan perempuan tak boleh dibedakan. Akan tetapi, dalam realitas di masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki job description masing-masing yang khas dan disesuaikan dengan kondisi yang ada.

Laki-laki pada umumnya memiliki kondisi fisik yang memungkinkan untuk melakukan pekerjaan lapangan, walaupun sebagian perempuan juga memiliki kapabilitas untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sebaliknya, perempuan memiliki kemampuan manajerial yang memungkinkan untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan kerumahtanggaan, walaupun sebagian laki-laki juga memiliki kapabilitas untuk melakukan pekerjaan tersebut. Pembagian kerja ini ada kalanya bersifat fleksibel, akan tetapi fleksibilitas ini tak dapat digeneralisasi secara keseluruhan, karena fleksibilitas tersebut tidak terjadi secara merata.[13]

Agar tidak terjadi penyimpangan di masyarakat, ada sebuah hal yang menjadi catatan dalam menilai pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Adanya pembagian job description ini tidak boleh menjadi alat untuk melakukan dikotomisasi gender yang kemudian menjurus kepada stratifikasi sosial, sehingga tidak memunculkan opini publik bahwa perempuan adalah warga ‘kelas dua’. Akan tetapi, pembagian job description ini harus dijadikan tonggak kesetaraan gender, dengan mengopinikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang signifikan di masyarakat tanpa harus dibedakan dalam kelas-kelas tertentu secara dikotomis.

Dalam perspektif fungsionalis, adanya pembagian kerja di suatu masyarakat sebenarnya bukanlah sebuah alat untuk menomorduakan sesuatu.[14] Sebaliknya, adanya pembagian kerja dapat berfungsi sebagai pembentuk solidaritas sosial di masyarakat. Perspektif fungsionalis mengisyaratkan bahwa peranan individu memberikan sumbangan pada stabilitas masyarakat, dengan cara merealisasikan peranan tersebut secara nyata sesuai dengan pembagian kerja yang telah disesuaikan dengan kondisi. Pembagian kerja tersebut jika telah disinergikan oleh masyarakat akan berimplikasi pada kemunculan solidaritas sosial.

Solidaritas sosial tersebut dibagi oleh Emile Durkheim (dalam Mu’in,2004:17) ke dalam dua bentuk, yaitu Mechanic Solidarity atau solidaritas yang didasarkan pada persamaan-persamaan antarelemen yang bersifat segmenter dan tidak terpadu, serta Organic Solidarity, atau solidaritas yang terjadi karena kompleksitas sistem di masyarakat, didasarkan pada diferensiasi fungsi-fungsi dan adanya keterpaduan dan kerjasama antarelemen di sebuah struktur sosial, dan dilakukan demi kepentingan keseluruhan sistem tersebut.[15] Oleh karena itu, pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan jika ditinjau dari perspektif fungsionalis dapat menjadikan sebuah solidaritas antarindividu tanpa memandang unsur gender.

C. Gender dan Perubahan Sosial

Selain berkaitan dengan status dan peranan individu, artikel ini juga berargumen bahwa wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan berkaitan erat dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Merujuk pada Kingsley Davis (dalam Mu’in, 2004), perubahan sosial terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.[16] Perubahan-perubahan tersebut terjadi karena adanya perbedaan pola pikir (paradigma) antara sebuah generasi dengan generasi berikutnya, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran tindakan yang dilakukan secara signifikan. Soedjono Dirdjosisworo (1973:121) menyatakan bahwa perubahan sosial yang biasa terjadi di masyarakat adalah perubahan struktur dan sistem sosial di masyarakat, di samping perubahan yang terjadi secara sosio-kultural (adat, kebiasaan, kesenian, dll).[17]

Dalam perspektif fungsionalis, perubahan-perubahan sosial tersebut terjadi karena ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosial mereka.[18] Ketidakpuasan tersebut kemudian berimplikasi pada keinginan untuk mencari penemuan-penemuan baru yang memengaruhi konsepsi berpikir mereka. William Ogburn memerkenalkan konsep cultural lag (kejutan budaya) sebagai salah satu faktor perubahan sosial, di mana menurut Ogburn terjadi gap (kesenjangan) antara unsur-unsur masyarakat, sehingga beberapa unsurnya berubah secara cepat, dan unsur-unsur lainnya tidak secepat unsur tersebut.[19] Pandangan ini dipertegas oleh Polak (1960:391), yang menyebutkan bahwa perubahan sosial berpangkal pada kebudayaan, baik itu materiil maupun non-materiil[20].

Dalam kacamata Arnold Toynbee, perubahan sosial dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kemasyarakatan yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu tantangan dan tanggapan (challenge and response). Menurut Toynbee, jika suatu masyarakat –elemen masyarakat—mampu menyesuaikan diri dengan tantangan-tantangan tersebut, mereka akan mampu untuk tetap eksis di tengah perubahan.[21] Tesis Arnold Toynbee inilah yang idealnya dipegang dalam memandang kesetaraan gender, bahwa sebenarnya konsepsi kesetaraan gender terus mengalami tantangan dan sedikit deviasi dalam perjalanannya. Agar tetap eksis, konsepsi ini harus mampu menyesuaikan diri dalam merespons tantangan-tantangan tersebut dengan adanya sebuah paradigma dasar yang benar. [22]

Jika kita berbicara mengenai kesetaraan gender, korelasi yang terjadi antara wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan dengan perubahan sosial adalah mengenai batasan-batasan kesetaraan itu sendiri. Pada masing-masing periode, terjadi perbedaan pandangan yang berimplikasi pada perbedaan point of thinking (paradigma) di masyarakat. Pada abad ke-5, Bangsa Arab dengan nilai-nilai Islamnya memelopori konsepsi kesetaraan gender yang pada masa tersebut berorientasi pada perlindungan hak-hak dan kehormatan perempuan.

Konsepsi tersebut mengacu pada teks-teks keagamaan, baik itu Al-Qur’an, Hadits, Kitab-kitab ulama, dll. Perlindungan hak-hak ini juga memberikan jaminan kesamaan derajat dengan kaum laki-laki dalam hal kehidupan beragama. Ajaran Islam telah mengatur status dan peran perempuan, dengan memberikan batasan-batasan akhlak dan aturan-aturan yang bersifat melindungi hak laki-laki/perempuan. Dalam konsepsi Islam, laki-laki memang memiliki kewajiban sebagai pemimpin, dan wanita memiliki kewajiban sebagai pengelola hak-hak suami. Di sinilah letak kesetaraan gender yang berorientasi pada pembagian kerja dalam Islam agar tercipta solidaritas yang kuat[23].

Berbeda lagi dengan konsep kesetaraan gender di Eropa. Nilai kesetaraan gener di sini baru muncul jauh setelah kemunculan Islam. Gerakan ini dimulai pada era renaissance atau era pencerahan, sekitar abad ke-17. Pada era ini juga muncul wacana baru tentang kesetaraan gender, yaitu mengenai kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam berpendapat. Wacana ini kurang dapat diimplementasikan pada masa tersebut, karena ruang gerak perempuan masih bersifat terbatas akibat kondisi sosial masyarakat Eropa yang baru melepaskan diri dari praktik-praktik feodalisme dan kapitalisme tradisonal yang berorientasi pada monopoli golongan tertentu. Ide ini kemudian diteruskan pada abad ke-19 oleh gerakan feminisme yang mewacanakan konsepsi kesamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, yang juga berarti kebebasan berpendapat dan bergerak bagi kaum perempuan.

Pada periode ini juga muncul gerakan feminisme ekstrem di Eropa dan Amerika, yang secara radikal menolak institusi perkawinan serta menghindari integrasi dengan kaum laki-laki. Pemikiran ini cenderung dikotomis dan stratifikatif, karena masih menganggap kaum laki-laki sebagai kaum yang bertindak semena-mena terhadap perempuan, sehingga masih melakukan vertical classification antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran ini pun menurut hemat penulis masih terpengaruh asumsi publik yang salah bahwa perempuan adalah ‘masyarakat kelas dua’. Penyebab kemunculan gerakan ekstrem ini adalah ketidakadaan fondasi agama dan norma-norma, sehingga mengarah pada sekulerisasi dan liberalisasi yang tak mengenal batasan.[24]

D. Paradigma Kesetaraan Gender: Perlukah Sama Rata?

Secara fundamental, sebenarnya derajat antara laki-laki dan perempuan adalah sama, dengan konsiderasi bahwa laki-laki dan perempuan merupakan ketentuan yang telah dibawa sejak lahir. Ketentuan ini bermakna bahwa laki-laki dan perempuan merupakan ascribed status yang telah dibawa sejak lahir. Status ini sama antara laki-laki dan perempuan.

Akan tetapi, pada perkembangannya ternyata kesamaan ascribed status ini tak dapat disamakan dalam pembagian kerja, dan harus ada diferensiasi antara laki-laki dan perempuan. Diferensiasi ini tetap menganggap bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama secara status, dan tidak mempunyai kelas-kelas. Jika terjalin kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah institusi pernikahan yang sah, akan terbentuk solidaritas yang kuat, seperti yang telah diutarakan oleh Emile Durkheim melalui pendekatan fungsionalisnya.

Konsepsi kesetaraan gender ini pun seyogianya tidak disalahtafisrkan oleh publik dengan mengatakan bahwa bahwa kesetaraan gender merupakan kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Asumsi ini dapat menyebabkan mispersepsi publik yang mengubah paradigma dasar dari kesetaraan gender tersebut, sehingga menimbulkan implikasi-implikasi negatif. Seharusnya, kesetaraan gender ditafsirkan sebagai kesejajaran derajat –bukan kesamaan total di segala hal— antara laki-laki dan perempuan yang berarti ada perlindungan hak dan jaminan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan dalam batasan-batasan tertentu.

Menurut hemat penulis, wacana kesetaraan gender yang mencuat sekarang ini akan lebih menampakkan hasil di masyarakat jika wacana tersebut disinergikan dengan ajaran agama, karena pada dasarnya setiap agama telah memiliki konsep yang sangat jelas mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan. Konsep ajaran agama manapun telah menjamin kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, Jika masih ada penggolongan-penggolongan, hal tersebut berarti ada perlindungan hak-hak kaum perempuan/laki-laki, dan bukan merupakan sebuah ‘pengekangan’ atas aktivitas perempuan/ laki-laki. Sebaliknya, ajaran agama telah memberikan perlindungan atas kebenaran dan hak-hak asasi. [25]

Paradigma tersebut tak akan terealisasi jika tidak diintegrasikan dalam realitas empiris secara komprehensif. Oleh karena itu, sudah seyogianya ketentuan-ketentuan yang berlaku di masyarakat tidak berorientasi gender, sehingga tidak muncul asumsi yang salah dari publik. Akan tetapi, ketentuan yang berlaku di masyarakat harus berorientasi pada perlindungan hak-hak laki-laki dan perempuan, agar tidak ada yang merasa terzalimi dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan berlaku di masyarakat.[26]

E. Catatan Akhir

Wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan memang merupakan sebuah fenomena yang menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Terlepas dari silang pendapat tersebut, ada sebuah hal yang patut kita ambil sebagai hikmah, bahwa sebenarnya kedudukan dan Hak-hak asasi antara laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga tak boleh distratifikasikan secara dikotomis.[27] Mengenai pro-kontra kerumahtanggaan, hal yang harus dijadikan catatan adalah terbentuk solidaritas yang kuat antara laki-laki dan perempuan melalui sebuah institusi pengikat hubungan yang sah. Oleh karena itu, kesetaraan gender pun harus diimplementasikan melalui pernikahan yang sah, bukan melalui perselingkuhan atau free sex yang dilarang oleh norma di masyarakat.[28]

Maka, hal yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat kita bukanlah berkonflik, tetapi menjadikan perbedaan tersebut sesuatu yang memberi kekuatan. Ingatlah, persatuan yang kuat akan membawa bangsa ini keluar dari krisis berkepanjangan menuju gerbang kebangkitan yang dinanti-nantikan.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.

Andi, Hepi. Memuliakan Kaum Hawa. Sabili No. 21 Th. XII 5 Mei 2006/26 Rabiul Awal 1426.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Dirdjosisworo, Soedjono, 1973. Pengantar Sosiologi. Bandung : Penerbit Alumni.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Maliki, Musa, “Wacana Kearifan Kapitalis dalam Dunia Postmodern : Tinjauan atas Kampanye ONE/Live8”, Global, Jurnal Politik Internasional Vol. 8 no. 1 Desember 2005.

Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.

________________, Sosiologi SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.

Nurdi, Herry. “Setara tapi Tidak Sama”. Sabili No. 21 Th. XII 5 Mei 2006/26 Rabiul Awal 1426.

Polak, J.B.A.F Mayor, 1960, Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Malang : Ichtiar.

Rochayati, Nurul, dan Suzanne Maria A., “Debt Relief Melalui HIPC Initiatives dan Tantangan Mengatasi Kemiskinan Dunia”, Global, Jurnal Politik Internasional Vol.8 no.1 Desember 2005.

Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

________________, 1993, Kamus Sosiologi. Jakarta : CV. Rajawali.


Endnotes


[1] Beberapa waktu yang lalu, Kementrian Pemberdayaan Perempuan mencanangkan isu Keadilan dan Kesetaraan Gender sebagai isu yang akan diperjuangkan dalam beberapa tahun terakhir ini. Isu keadilan dan kesetaraan gender ini ditanggapi beragam oleh masyarakat, baik di level pusat maupun daerah. Di harian Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin, muncul berbagai tulisan yang mengomentari isu ini, baik yang pro maupun yang kontra.
[2] Tujuan penulisan artikel ini adalah menganalisis isu kesetaraan gender dalam pendekatan Ilmu Sosiologi, sehingga diharapkan penulis dapat memberikan sumbangsih komentar dan pemikiran yang khas dan merefleksikan ide-ide penulis tanpa melupakan aspek keilmuan yang dijadikan sumber rujukan dan konsep dasar.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka.
[4] Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.
[5] Maliki, Musa, “Wacana Kearifan Kapitalis dalam Dunia Postmodern : Tinjauan atas Kampanye ONE/Live8”, dalam Global, Vol. 8 no. 1 Desember 2005, hlm. 69.
[6] Soekanto, Soerjono, 1993, Kamus Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali.
[7]Argumen ini diberikan dengan asumsi dasar bahwa persoalan kesetaraan gender dimulai dari pandangan sebagian masyarakat yang menganggap status perempuan di masyarakat lebih rendah dari laki-laki, dikarenakan peranan laki-laki yang lebih besar dalam mencari nafkah dan penghidupan di masyarakat.
[8] Lihat Soekanto, Soerjono, 1993, Kamus Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali.
[9] Argumen ini diberikan dengan asumsi dasar bahwa pada masing-masing zaman, konsep mengenai kesetaraan gender selalu berubah-ubah, sesuai dengan kondisi sosio-kultural yang ada.
[10] Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga, hlm. 86.
[11] Ibid, hlm. 80.
[12] Stratifikasi sosial didefinisikan oleh Pitrim Sorokin sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan ke dalam kelas rendah, kelas sedang, dan kelas tinggi. Sedangkan diferensiasi sosial didefinisikan oleh Prof. Soerjono Soekamto sebagai variasi pekerjaan, prestise, dan kekuasaan kelompok di masyarakat, yang dikaitkan dengan interaksi atau akibat umum dari proses interaksi sosial yang lain.
[13] Pembagian kerja ini didasarkan pada kondisi fisik dan psikis yang ada pada laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki yang memiliki kemampuan fisik sangat cocok untuk ditempatkan pada pekerjaan yang memerlukan kondisi fisik yang prima. Sebaliknya, sangat tidak cocok menempatkan perempuan untuk bekerja pada pekerjaan yang memerlukan keahlian fisik yang besar. Penggolongan ini tak bermaksud mengelaskan gender, tetapi hanya menjaga pengondisian agar nantinya ketika laki-laki dan perempuan bekerjasama, terbentuk solidaritas yang kuat.
[14] Pendekatan fungsionalis ini diperkenalkan oleh Emile Durkheim, dan pada dasarnya sejalan dengan pandangan Herbert Spencer dengan pendekatan organisnya.
[15] Lihat Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga, hlm. 17.
[16] Soekanto, Soerjono, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo, hlm. 304.
[17] Dirdjosisworo, Soedjono, 1973, Pengantar Sosiologi. Bandung : Penerbit Alumni, hlm. 121.
[18] Pendekatan fungsionalis mengenai perubahan sosial ini diangkat oleh William Ogburn dengan konsep cultural lagnya.
[19] Lihat Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga, hlm. 88.
[20] Pandangan Ogburn ini dipertegas oleh Drs. JBAF Mayor Polak dalam Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas, Malang : Ichtiar, 1960, hlm. 391
[21] Lihat Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga, hlm. 89. Tesis Arnold Toynbee ini menggunakan pendekatan siklis dalam menganalisis perubahan sosial.
[22] Rekomendasi ini diberikan karena merefleksikan pendapat tokoh-tokoh sosiologi yang ada. Tesis Toynbee ini menurut hemat penulis memiliki kedekatan dengan realita yang ada, terutama dalam konteks pewacanaan kesetaraan gender. Penulis menilai bahwa jawaban atas perubahan sosial dalam konteks diskursus kesetaraan gender diperlukan dengan adanya paradigma dasar yang benar.
[23] Konsepsi hak-hak wanita dalam Islam ini diulas dalam Majalah Sabili, No. 21 Th. XII 5 Mei 2006/26 Rabiul Awal 1426, hlm. 39. Dalam ulasan tersebut, Sabili menyatakan bahwa Islam sebenarnya telah menempatkan perempuan pada posisinya, dan derajat mereka tidak berada di bawah laki-laki.Keadilan bukan berarti sama, tetapi menempatkan sesuatu pada posisinya. Inilah bentuk kemanusiaan Islam dalam konteks kesetaraan gender. Pandangan Sabili ini paralel dengan konsep Insaniyah yang diangkat oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Lihat buku Yusuf Al-Qaradhawi, Kebudayaan Islam Eksklusif atau Inklusif, pent. Jasiman, Solo : Era Intermedia, 2001, hlm.38.
[24] Menurut hemat penulis, konsep kesetaraan gender yang dibawa oleh gerakan humanisme dan feminisme ini memiliki banyak kelemahan. Di antaranya ialah tidak adanya tolak ukur pasti mengenai konsep kesetaraan gender tersebut. Konsep yang dibawa oleh gerakan feminisme ini hanya menyuarakan persamaan, tanpa ada tolak ukur mengenai kesamaan tersebut. Berbeda dengan Islam yang memiliki Al-Qur’an dan Hadits sebagai acuan utama konsep kesetaraan gender. Selain itu, konsep kesetaraan gender yang dibawa oleh gerakan feminisme ini juga tidak memberikan konsep mengenai perlindungan hak-hak perempuan, dan cenderung menutup mata dengan kemampuan fisik dan psikis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Implikasinya, wacana yang mereka bawa terperangkap sendiri oleh gejolak liberalisme, sehingga muncullah mazhab feminisme ekstrem yang menolak integrasi dengan laki-laki melalui institusi pernikahan yang sah. Pada akhirnya, aspek moralitas menjadi hilang dan luntur dengan mengemukanya kebebasan yang kebablasan ini.
[25] Dalam ajaran Islam, kesejajaran derajat ini dibuktikan dengan adanya Al-Qur’an Surah Al-Hujurat : 13, “Sesungguhnya yang paling baik di antara kamu ialah yang paling bertakwa” dan di Surah An-Nisa :124 yang artinya, “Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan , sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk surga danmereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. Tak ada penggolongan sama sekali. Jika dalam ayat lain ada konsep penggolongan laki-laki dan perempuan, maka itulah bentuk perlindungan dari Islam kepada hak-hak manusia. Sekali lagi, Hak Asasi Manusia yang paling humanis menurut hemat penulis adalah Hak Asasi yang ditawarkan oleh ajaran agama, agama manapun itu.
[26] Di sinilah peran pemerintah. Seharusnya, kebijakan-kebijakan yang dituangkan oleh pemerintah memberikan perlindungan atas hak-hak laki-laki/perempuan.
[27] Prof. Dr. Chamamah Soeratno (dalam Majalah Sabili, No. 21 Th. XII 5 Mei 2006/26 Rabiul Awal 1426, hlm. 46) juga menyebutkan hal demikian, bahwa posisi antara laki-laki dan perempuan bukan pada relasi hierarkhis.
[28] Pernikahan merupakan salah satu upaya untuk membentuk solidaritas, yang dimanifestasikan dalam institusi keluarga. Menurut Prof. Dr. Chamamah Soeratno, salah satu langkah riil dalam mengimplementasikan solidaritas adalah dengan membentuk keluarga sakinah, sehingga jika dalam keluarga telah tertanam nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender, Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat direduksi secara signifikan.