A. Menyibak Tirai Pasca Orde Baru: Sebuah Latar Belakang
Pergerakan Reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998 memang telah mengubah hampir seluruh aspek dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sistem Politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, bahkan hukum mengalami perubahan secara struktural. Dengan perubahan tersebut, mulailah mencuat berbagai harapan untuk memajukan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh para founding fathers dalam Mukadimah UUD 1945.
Tak banyak yang mengetahui bahwa Reformasi tersebut ternyata digerakkan oleh Kalangan Muda yang terdiri dari aktivis LSM, Mahasiswa, bahkan kalangan Pelajar! Hanya sedikit dari kalangan birokrat dan golongan ‘tua’ yang ikut melancarkan aksi dalam reformasi ini. Mayoritas golongan muda yang ikut dalam aksi ini adalah para aktivis yang bergerak di kampus dan sekolah. Nama-nama seperti Fahri Hamzah (KAMMI), Rama Pratama (BEM UI), Elang Mulya (Universitas Trisakti), Nusron Wahid (PMII), Lukman Firdaus (SMUN 3 Ciledug), Muhammad Yusuf Rizal (Unila) serta banyak nama lainnya menjadi bukti bahwa Reformasi merupakan gejolak kekecewaan generasi muda yang menginginkan perubahan di berbagai aspek kehidupan.
Akan tetapi seiring perjalanan waktu, aktivitas reformasi tersebut diwarnai oleh berbagai situasi yang menimbulkan sedikit problem internal di berbagai gerakan. Suksesi kepemimpinan nasional yang terjadi beberapa kali mengakibatkan adanya pergeseran visi pergerakan. Para pejuang reformasi kadangkala kurang kritis dalam menangkap gejala perubahan, sehingga menyebabkan reformasi terbawa arus yang dapat mengubah visi awal reformasi.
Di sinilah perlunya peranan pelajar dalam meneruskan cita-cita reformasi, karena pelajar menyimpan potensi besar sebagai aset masa depan. Sebagai bagian dari generasi muda, pelajar pada umumnya masih memiliki semangat yang masih berkobar-kobar, berpadu dengan idealisme dan pikiran yang kritis. Selain itu, para pelajar juga memiliki jiwa intelektualitas sebagai bagian dari dunia pendidikan yang dapat mendorong semangat mereka menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Keunggulan-keunggulan tersebut jika dioptimalkan nantinya akan menghasilkan output cemerlang yang kaya akan gagasan dan ide-ide brilian. Oleh karena itu, pantaslah jika pelajar dianggap sebagai ‘pilar kebangkitan umat’ oleh Imam Hassan Al-Banna.
Akan tetapi, pelajar pun memiliki kekurangan di balik kelebihan tersebut, yaitu ketidakstabilan emosi dan ketidakpercayaan akan diri sendiri. Kekurangan tersebut merupakan suatu kewajaran, mengingat para pelajar masih belum memiliki banyak pengalaman, dan masih belum berinteraksi kepada dunia sekitarnya. Di samping itu, gelora semangat para pelajar yang menggebu-gebu tidak diimbangi dengan kearifan berpikir, sehingga terkadang dalam menghadapi suatu permasalahan pelajar cenderung hanya menggunakan naluri emosional dan mengesampingkan kebijaksanaan berpikir. Walau demikian, para pelajar masih memiliki banyak potensi yang harus terus dikembangkan melalui jalur-jalur pendidikan formal, non-formal, ataupun informal.
Dengan kekurangan dan kelebihan tersebut, pelajar –terutama pelajar muslim— sudah seharusnya menyesuaikan diri kepada lingkungan mereka dengan lebih mengoptimalkan jiwa sosial, dipadukan dengan semangat idealisme dan kualitas intelektual. Perpaduan ketiga aspek ini ditambah dengan konsistensi beragama akan dapat menghasilkan output pelajar muslim yang kritis serta berguna bagi bangsa, negara, dan agama.
B. Asumsi dan Argumen Teoritis
Asumsi dasar penulis dalam karya tulis ini berpijak pada tiga kata kunci : intelektualitas, perubahan sosial, dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Ketiga aspek tersebut merupakan hal yang dapat direalisasikan oleh para pelajar karena sesuai dengan kemampuan dan kapasitas mereka sebagai calon pemimpin masa depan di masyarakat.
Penulis berargumen bahwa pelajar memiliki kapasitas sebagai calon intelektual yang diharapkan dapat memberi kontribusi di masyarakat. Menurut Subcomandante Marcos, intelektual merupakan bagian dari masyarakat yang membuat analisis dan kritik mengenai kenyataan sosial, mencari segala sesuatu yang mendua, dan mengungkapkan segala yang kabur. Adapun Paul Baran berpendapat bahwa seorang intelektual pada azasnya adalah kritikus masyarakat, seorang yang pekerjaannya mengidentifikasi, menganalisis dan mengusahakan tercapainya susunan masyarakat yang lebih berperikemanusiaan dan rasional. Al-Utsaimin dalam kitabnya Min Musykilatisy Syabaab secara eksplisit menggambarkan remaja yang memergunakan akalnya (bashirah/intelektual) sebagai remaja yang konsisten. Sedangkan Azizah (2005) menggunakan istilah Ulul Albaab untuk menggambarkan intelektual.
Argumen ini disandarkan pada asumsi bahwa pelajar adalah bagian dari dunia pendidikan yang memberikan dasar-dasar keilmuan (basic of sciences). Dasar-dasar keilmuan ini merupakan konsep dasar dari intellectual point yang akan dipelajari lebih mendalam pada tingkat perguruan tinggi. Dasar-dasar keilmuan ini juga membentuk pola pikir dasar pelajar, sehingga jika pelajar mampu memahami dan menyerap dasar-dasar keilmuan tersebut dengan baik, ia akan mampu bersikap dan menyatakan pendapatnya dengan baik pula. Di sinilah letak potensi intelektual pelajar.
Selain itu, penulis juga berargumen bahwa pelajar merupakan agen dari perubahan sosial. Argumen ini disandarkan pada asumsi bahwa para pelajar juga berinteraksi dalam kehidupan sosial di masyarakat. Interaksi di masyarakat ini sedikit banyaknya membuat pelajar merasa peka akan kehidupan sosial yang begitu carut-marut akibat krisis. Jika pelajar mampu melakukan sesuatu pada masyarakat tersebut, pelajar telah menjadi agen perubahan sosial dengan sendirinya.
Sebagai dasar teori, perubahan sosial didefinisikan oleh Samuel Koenig (dalam Muin,2004:86) sebagai modifikasi yang terjadi pada pola-pola kehidupan masyarakat. Merujuk pada Selo Soemarjan, perubahan-perubahan sosial ini disebabkan oleh adanya dinamika dalam perkembangan kehidupan manusia. Adapun agen perubahan sosial adalah para pelaku yang memelopori perubahan sosial tersebut. Sebagai contoh dapat kita lihat pada kasus reformasi, di mana yang menjadi agen dari perubahan sosial-industri pada era tersebut adalah para mahasiswa, pelajar, dan aktivis-aktivis yang menginginkan perubahan lain. Agen perubahan sosial ini pada dasarnya merupakan para aktivis yang memerjuangkan keinginan mereka dan terus berjuang dengan melewati berbagai halangan serta rintangan.
Terakhir, penulis juga berargumen bahwa pelajar juga memiliki potensi dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Dakwah amar ma’ruf nahi munkar ini bukan hanya menyeru orang untuk mengerjakan ibadah saja, tetapi juga dengan melakukan perbuatan baik.
Adapun dakwah berasal dari kata du’a – yad’u –da’wata yang artinya seruan. Perintah Allah untuk berdakwah ini ada dalam Al-Qur’an Surah Ali-Imran ayat 104 yang berbunyi, “Dan hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat yang menyeru kepada kebaikan dan melarang dari yang munkar”. Adapun menurut Syamsuri (2004:184), dakwah ialah menyeru atau mengajak orang untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT sesuai dengan ketentuan akidah, syariat dan akhlak yang islami.
Peran pelajar sebagai dakwah sangat penting, mengingat generasi muda Indonesia tengah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Derasnya arus informasi yang masuk sekarang tidak hanya memberi kemudahan bagi generasi muda, tetapi juga memberikan dampak negatif bagi perkembangan perilaku generasi muda yang kian lama kian jauh dari agama. Fenomena seperti ini cukup memprihatinkan, karena jika dibiarkan akan semakin memerburuk episode kelam bangsa ini.
Di sinilah peran pelajar sangat penting, karena pelajar dapat berperan sebagai peer educator kepada rekan sesama pelajarnya.
C. Outline Peranan Pelajar 1945-2004
Peranan pelajar sebagai salah satu agen dan pejuang reformasi tak dapat dinafikan dan dipinggirkan begitu saja. Sejak dulu, pemudalah yang membawa perubahan dan memegang kunci reformasi. Sebut saja Hassan Al-Banna, yang mulai berjuang mendirikan Ikhwanul Muslimin dalam usia yang masih sangat muda, 23 tahun. Begitu juga dengan KH. Ahmad Dahlan dan tokoh muda lain.
Di Indonesia, pelajar telah memainkan peranan sejak lama. Pada era 1940-an, berdiri Pelajar Islam Indonesia. Pada tahun 1961, Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang kini bernama Ikatan Remaja Muhammadiyah dideklarasikan.. Langkah serupa juga diikuti oleh NU, yang juga mendirikan IPNU dan IPPNU sebagai organisasi pelajar mereka. Organisasi-organisasi pelajar ini mampu berdiri tegak, bahkan mereka juga aktif dalam kekuatan antikomunisme, dan menggabungkan diri dalam KAPPI (Kesatuan Aksi Pelajar dan Pemuda Indonesia). Sayang, pada era orde baru gaung pelajar seakan mati suri karena tidak terlalu kedengaran gaungnya.
Situasi pergerakan pelajar dapat digambarkan sebagai berikut :
1945-1959
Pelajar Islam Indonesia (PII) berdiri, disusul oleh Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU). HMI dideklarasikan oleh Mas Dahlan Ranuwiharjo dkk.
Organisasi mulai berkembang.
Aktivis Pelajar dan Mahasiswa, seperti PII, HMI, IPM, IPNU, dll. Dahlan Ranuwiharjo menjadi pelopor
1959
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Masyumi dan PSI dibubarkan, HMI ingin dibekukan. Demokrasi ’dikebiri’. Usdek, Manipol, dan Nasakom menjadi doktrin negara. PKI berkuasa.
Protes dari mahasiswa Islam, gerakan anti komunis merebak di mana-mana.
Aktivis HMI, Dewan Mahasiswa berbagai universitas, PII, dll.
1966
G30S/PKI, Soekarno dan kekuatan orde lama-nya tumbang. Gerakan pelajar dan mahasiswa bersatu mendesak turunnya Soekarno.
Aksi Massa
KAMI dan KAPPI, HMI dengan tokoh Marsilam Simanjuntak, Lukman Harun, Mar’ie Muhammad, Subchan ZE, Adi Sasono, dll.
1974
Soeharto dan kroni-kroninya berkuasa dan mengundang investor asing yang dibackup oleh CSIS dan mafia.
Aksi massa
Aktor ”Malapetaka Lima Belas Januari (Malari)” seperti Hariman Siregar, Jumhur Hidayat, dll.
1978
Penataan kembali kehidupan kampus dan pelajar. NKK-BKK diberlakukan kampus yang mengebiri aktivitas kemahasiswaan.
Awal Student Government oleh Dewan Mahasiswa.
Heri Akhmadi, Farid Faqih, dll.
Soeharto dan kroni-kroninya berkuasa dan mengundang investor asing yang dibackup oleh CSIS dan mafia.
Aksi massa
Aktor ”Malapetaka Lima Belas Januari (Malari)” seperti Hariman Siregar, Jumhur Hidayat, dll.
1978
Penataan kembali kehidupan kampus dan pelajar. NKK-BKK diberlakukan kampus yang mengebiri aktivitas kemahasiswaan.
Awal Student Government oleh Dewan Mahasiswa.
Heri Akhmadi, Farid Faqih, dll.
1980-an
Tekanan politik dan sosial orde baru kepada semua elemen kemasyarakatan yang menentang kekuasaan. Asas Tunggal Pancasila menjadi doktrin ”wajib”, Penataran P4 di mana-mana. PII menjadi organisasi bawah tanah karena menolak asas tunggal, HMI terpecah dua menjadi HMI Diponegoro yang menerima Astung dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak.Terjadi Peristiwa Tanjung Priok yang menyeret beberapa aktivis ke penjara.
Penyesuaian dengan kebijakan dan organisasi bawah tanah.
Eggi Sudjana, AM Fatwa, dll.
Tekanan politik dan sosial orde baru kepada semua elemen kemasyarakatan yang menentang kekuasaan. Asas Tunggal Pancasila menjadi doktrin ”wajib”, Penataran P4 di mana-mana. PII menjadi organisasi bawah tanah karena menolak asas tunggal, HMI terpecah dua menjadi HMI Diponegoro yang menerima Astung dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak.Terjadi Peristiwa Tanjung Priok yang menyeret beberapa aktivis ke penjara.
Penyesuaian dengan kebijakan dan organisasi bawah tanah.
Eggi Sudjana, AM Fatwa, dll.
1990-an
Peninjauan kembali NKK-BKK. Penempatan OSIS sebagai satu-satunya organisasi di sekolah yang legal. Kerohanian Islam mulai muncul di sekolah dan kampus. Kelompok diskusi muncul di kampus-kampus. IPM mengganti nama menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah..
Pembentukan kembali Senat Mahasiswa. Kelompok-kelompok diskusi dan Halaqah keislaman.
Ferry Mursyidan Baldan dari HMI, Ferry Julianto dari Presidium Pro-Demokrasi.
Jamaah Mesjid UI, Shalahuddin UGM, dan Mesjid Salman ITB.
Peninjauan kembali NKK-BKK. Penempatan OSIS sebagai satu-satunya organisasi di sekolah yang legal. Kerohanian Islam mulai muncul di sekolah dan kampus. Kelompok diskusi muncul di kampus-kampus. IPM mengganti nama menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah..
Pembentukan kembali Senat Mahasiswa. Kelompok-kelompok diskusi dan Halaqah keislaman.
Ferry Mursyidan Baldan dari HMI, Ferry Julianto dari Presidium Pro-Demokrasi.
Jamaah Mesjid UI, Shalahuddin UGM, dan Mesjid Salman ITB.
1998
Reformasi dideklarasikan. Empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur. Lukman Firdaus (Pelajar SMUN 3 Ciledug) tertembak.
Aksi massa mengepung gedung parlemen.
Aktivis pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI, BEM UI, Forkot, Famred, PMII, HMI, PII, IRM, dll.
Reformasi dideklarasikan. Empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur. Lukman Firdaus (Pelajar SMUN 3 Ciledug) tertembak.
Aksi massa mengepung gedung parlemen.
Aktivis pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI, BEM UI, Forkot, Famred, PMII, HMI, PII, IRM, dll.
2000-an
Pelajar mulai berbenah dengan munculnya organisasi-organisasi intra maupun ekstra sekolah.. Aktivitas kerohanian mulai mendapat tempat, pemikiran kritis pelajar mulai tumbuh.
Iqro’ Club Jakarta dideklarasikan, disusul Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia (KAPMI). Pembentukan Badan Eksekutif Mahasiswa di berbagai universitas.
Iqro’ Club, KAPMI, dll. Bahtiar Firdaus menjadi Ketua BEM UI pertama, Vijaya Fitriyasa di ITB.
Pelajar mulai berbenah dengan munculnya organisasi-organisasi intra maupun ekstra sekolah.. Aktivitas kerohanian mulai mendapat tempat, pemikiran kritis pelajar mulai tumbuh.
Iqro’ Club Jakarta dideklarasikan, disusul Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia (KAPMI). Pembentukan Badan Eksekutif Mahasiswa di berbagai universitas.
Iqro’ Club, KAPMI, dll. Bahtiar Firdaus menjadi Ketua BEM UI pertama, Vijaya Fitriyasa di ITB.
2004
Pemilihan Presiden Langsung
Kontrak Politik yang dipelopori oleh Mahasiswa, Pelajar mulai menentukan sikap
BEM Se-Jabotabek, Famred, dll.
Pemilihan Presiden Langsung
Kontrak Politik yang dipelopori oleh Mahasiswa, Pelajar mulai menentukan sikap
BEM Se-Jabotabek, Famred, dll.
D. Pelajar Muslim Sebagai Agen Intelektual
Pembahasan mengenai intelektual ini biasanya berkisar pada pembahasan yang berkaitan dengan kemahasiswaan. Akan tetapi, dasar-dasar intelektual sebenarnya telah dimiliki oleh pelajar, sehingga pelajar dapat mengaplikasikan sedikit dari konsep yang mereka terima ke masyarakat. Pelajar sebagai intelektual memang kurang mendapat sorotan dari pengamat-pengamat pendidikan. Hal ini mungkin disebabkan adanya pandangan bahwa pelajar masih belum memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam berpendapat. Pendapat ini jelas keliru, mengingat setiap orang memiliki hak untuk bersuara dalam batas-batas kewajaran. Yang harus dilakukan praktisi pendidikan adalah membina potensi intelektual tersebut agar terarah dan sesuai dengan kondisi.
Menurut Subcomandante Marcos, seorang revolusioner Zapatista asal Mexico, intelektual merupakan bagian dari masyarakat sejak terbitnya kemanusiaan di dunia. Pekerjaan mereka adalah membuat analisis dan kritik, melihat kenyataan sosial, menganalisis bukti-bukti, mencari segala sesuatu yang mendua, dan mengungkapkan segala yang kabur. Mereka kadang tak setuju dengan apapun dan siapapun -kekuatan sosial politik, negara pemerintah, media, seni, agama dan seterusnya. Mereka adalah bagian dari masyarakat, sebuah adegan konfrontasi tanpa akhir antara mereka yang menggunakan kekuasaan untuk memelihara status quo dan mereka yang berjuang demi perubahan.
Adapun Paul Baran berpendapat bahwa seorang intelektual pada azasnya adalah kritikus masyarakat, seorang yang pekerjaannya mengidentifikasi, menganalisis dan dengan demikian membantu mengatasi rintangan-rintangan jalan yang menghambat tercapainya susunan masyarakat yang lebih baik lebih berperikemanusiaan dan lebih rasional. Dengan demikian ia menjadi hati nurani masyarakat dan juru bicara dari kekuatan-kekuatan progresif yang terdapat dalam tiap periode tertentu dari sejarah (http://www.bem.ui.ac.id/).
Peranan pelajar sebagai intelektual ini sangat berperan pada era reformasi. Seorang pelajar dituntut untuk tidak hanya mengorientasikan pendidikan yang diterimanya kepada nilai atau ranking semata, tetapi juga memerhatikan aspek-aspek sosial yang akan dilakukannya ketika berinteraksi dengan dunia. Sebagai seorang intelektual, pelajar harus mampu menganalisis segala macam problematika sosial dengan konsep ilmu yang mereka terima, dan tidak hanya menerima ‘doktrin’ yang diterima dari tenaga pendidik/pengajar. Memang, dalam hal ini peranan pelajar tidaklah sesignifikan mahasiswa, karena pelajar masih dibatasi ruang gerak mereka oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh otoritas sekolah. Kadar keilmuan mereka pun masih belum begitu maksimal didapatkan. Akan tetapi, pelajar tetap harus mengembangkan potensi intelektual mereka sebagai permulaan dari perjuangan. Tentunya, di sini perlu bimbingan dan rambu-rambu dalam ruang gerak bagi pelajar, agar para pelajar tidak ”kebablasan” dalam bergerak.
Potensi pelajar secara intelektual tersebut antara lain dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar ini, yang pertama kali harus diubah oleh pelajar adalah pola menerima pelajaran. Jika selama ini pelajar hanya menerima pengetahuan secara ‘satu arah’, dalam artian peran pendidik dan pengajar sangat dominan, pelajar harus mengubahnya dengan berpikir kritis atas pengetahuan yang mereka terima tersebut. Dalam benak para pelajar harus tergambar pertanyaan-pertanyaan di sekitar pengetahuan yang diterima tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut jangan hanya ditanyakan secara lisan saja, tetapi juga dikaji sebagai persoalan yang harus dihadapi oleh pelajar. Dengan kata lain, pola pikir ilmiah harus selalu menyertai pelajar dalam interaksi mereka dengan pengajar.
Sebagai contoh adalah dalam mata pelajaran Sosiologi. Ketika pengajar memerkenalkan konsep pertentangan kelas yang dibawa oleh Karl Marx, di dalam benak pelajar harus tergambar pertanyaan-pertanyaan menyangkut pola pemikiran yang dibawa oleh Marx tersebut, dan apakah relevan jika diterapkan di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selain ditanyakan kepada guru juga harus dikaji oleh pelajar, dengan cara membandingkannya dengan teori-teori lain, sehingga pelajar dapat mengambil hikmah dan dapat memergunakan teori tersebut sesuai dengan pemikirannya.
Dari sini permasalahan lain muncul. Sistem pendidikan di negara kita ternyata tidak memberi porsi berlebih kepada intelectual-counter tersebut. Biasanya pelajar hanya diberi teori-teori yang telah baku tanpa adanya pembanding. Hal ini pada satu sisi dapat dimaklumi, mengingat keterbatasan sumber daya manusia dan modal dalam pelaksanaan teori tersebut. Akan tetapi di sisi lain kondisi seperti ini dapat menurunkan potensi intelektual pelajar, karena mereka hanya mengkaji satu permasalahan tanpa ada pembanding. Implikasi negatifnya, ketika pelajar berbeda pendapat mereka tak mampu mengutarakannya karena tidak memiliki sandaran, hanya bersandar pada logika-logika subjektif belaka.
Selain itu, pelajar juga dapat mengoptimalkan perannya melalui organisasi di sekolah. Belajar berorganisasi merupakan salah satu langkah untuk memersiapkan diri menuju dunia kampus yang lebih kompleks. Di sini, pelajar diharapkan mampu berinteraksi secara baik dengan rekan-rekannya, pihak sekolah, dan masyarakat. Selain itu, pelajar juga diharapkan mendapat kemampuan dalam hal manajerial kepemimpinan dan kapabilitas untuk memecahkan permasalahan yang tak diajarkan dalam kurikulum pendidikan formal.
Persoalan yang biasanya dihadapi oleh para pelajar di sekolah adalah benturan kepentingan antara pelajar dan sekolah dalam permasalahan dana. Idealisme pelajar biasanya menyebabkan ketidakpuasan dan kritik atas kebijakan-kebijakan sekolah, terutama yang menyangkut pungutan dana atas hal-hal yang tidak jelas. Bagi pelajar kritis, adanya pungutan dari sekolah tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis, mengenai tujuan dan realisasi pungutan tersebut. Pelajar-pelajar idealis biasanya memertanyakan hal tersebut kepada otoritas sekolah. Jika hal tersebut terjadi, biasanya akan terjadi ‘benturan kepentingan’ antara pelajar yang kritis-idealis dengan manajemen sekolah yang otoritatif.
Benturan tersebut akan dapat teratasi jika pelajar memiliki posisi tawar di sekolah. Di sinilah kemunculan figur-figur pelajar kritis sangat diperlukan, karena sebenarnya mengubah keadaan di sekolah dapat dilakukan para pelajar. Posisi tawar para pelajar memang tak dapat terlalu besar. Akan tetapi, jika pelajar mampu berkomunikasi dengan masyarakat secara optimal, posisi tawar yang lemah tersebut akan diperkuat. Kuncinya adalah keberanian untuk bersikap kritis dan berbicara vokal.
Salah satu contohnya adalah dalam kasus dana OSIS. Kita tahu bahwa Dana Operasional OSIS merupakan dana yang bersumber dari iuran OSIS yang dibayar oleh para siswa. Seyogianya dana operasional OSIS ini dikelola oleh OSIS sendiri, sehngga dapat dipergunakan sesuai dengan keperluan OSIS yang notabene merupakan representasi dari keinginan siswa di sekolah. Namun anehnya ada sekolah yang begitu getol mengusahakan agar dana OSIS dikelola oleh Wakil Kepala Sekolah urusan Kesiswaan beserta staf-satafnya. Mereka beralasan bahwa dana tersebut dipertanggungjawabkan oleh Wakasek Kesiswaan kepada Komite Sekolah, sehingga demi ’tertib administrasi’ dana tersebut dipegang oleh kesiswaan.
Hal ini jelas merupakan sebuah penyimpangan. Dana OSIS merupakan dana siswa yang dipergunakan untuk kepentingan siswa, bukan untuk kepentingan guru, walaupun beliau mengatasnamakan Wakasek Kesiswaan. Pengelolaan dana haruslah sepenuhnya diserahkan kepada siswa, sebagai salah satu langkah pembelajaran dalam hal administrasi, keuangan, dan rasa tanggung jawab yang tidak diajarkan dalam kurikulum pendidikan formal. Jika dana itu diserahkan pengelolaannya kepada guru, mana aspek pembelajaran bagi siswa? Belum lagi jika ada pemotongan-pemotongan dana, kemana pertanggungjawaban uang tersebut? Masih wajar jika ada pertanggungjawaban secara rinci dari sekolah kepada siswa. Jika tidak ada, hal ini dapat memunculkan perkara “sensitif” di lingkungan sekolah.
Di sinilah letak pentingnya kemampuan intelektual pelajar. Seharusnya, para pelajar tidak tinggal diam dalam hal ini. Harus ada protes atau minimal pernyataan ketidaksetujuan atas kebijakan ini. Pernyataan ketidaksetujuan ini harus dilakukan dengan tutur yang sopan namun tajam dan mampu menciptakan sesuatu yang kondusif. Jika ternyata terjadi kebuntuan, para pelajar tak boleh menyerah. Mereka harus melakukan upaya lain, salah satunya adalah dengan membawa permasalahan ini kepada publik melalui surat pembaca, opini, atau pemberitaan di media massa agar ada “efek bola salju” yang ditimbulkan dari aksi ini. Tentunya, aksi ini tidak dilakukan secara anarkis, tetapi melalui sebuah proses pergulatan intelektual.
Keberhasilan para siswa di sebuah SMA di Kalimantan Selatan yang mampu membuat Walikota mereka turun menginvestigasi manajemen sekolah patut dijadikan sebuah contoh. Hal tersebut menunjukkan potensi-potensi pelajar kritis patut dijadikan sebuah batu loncatan agar para pelajar kini semakin menampakkan jiwa mereka yang reformis dan menginginkan perubahan. Jika para pelajar telah mampu membentuk suatu perubahan, pintu gerbang kemunculan era baru reformasi akan dapat segera dibuka. Kuncinya ada di tangan pelajar.
Oleh karena itu, semangat idealisme, daya kritis, dan potensi intelektual di kalangan pelajar harus terus dibina dan dipertahankan agar tidak hilang. Akan tetapi, juga diperlukan adanya pendekatan moral dalam mengontrol idealisme tersebut, sehingga kearifan berpikir dan kesantunan perilaku juga terjaga. Selain itu, sisi intelektualitas pelajar juga harus terus dibina secara perlahan, agar semua aspek tersebut dapat disinergikan untuk menghasilkan output yang cemerlang dan penuh dengan ide-ide brilian yang membawa perubahan.
E. Pelajar Muslim Sebagai Agen Perubahan Sosial
Gillin seperti ditulis oleh Muin (2004:86) mendefinisikan perubahan sosial sebagai suatu variasi cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk maupun karena adanya difusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Hal ini menurut Prof. Selo Soemarjan disebabkan oleh adanya dinamika dalam perkembangan kehidupan manusia. Perubahan sosial ini dikelompokkan menjadi perubahan sosial secara cepat dan perubahan sosial lambat. Adapun perubahan sosial cepat dibagi lagi ke dalam perubahan sosial fundamental (revolusi) dan perubahan sosial struktural (reformasi). Antara revolusi dan reformasi memiliki perbedaan, antara lain dalam ruang lingkup perubahan. Revolusi menginginkan adanya perubahan sampai ke elemen paling mendasar yang memengaruhi jalannya sistem sosial yang lama. Revolusi pada dasarnya bersifat ideologis, karena memiliki konsep tandingan yang dianggap lebih baik oleh para pendukungnya. Salah satu contoh adalah pada Revolusi Bolshevik di Rusia yang dilancarkan oleh Vladimir Lenin dan pendukung-pendukungnya. Mereka merasa bahwa konsep sosialisme-komunisme yang mereka anut lebih memberi manfaat daripada konsep yang diberikan oleh Tsar sebelumnya.
Adapun reformasi pada esensinya tidak menjangkau hal-hal yang bersifat fundamental. Reformasi lebih memusatkan perubahan pada hal-hal yang bersifat struktural (ada pada sistem lama), dan tidak mengubah hal-hal mendasar. Para pendukung reformasi berpendapat bahwa kegagalan tidak berada pada dasar pemikiran, tetapi pada sistem sosial tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan-perbaikan pada sistem tanpa mengubah dasar dari sistem tersebut. Salah satu contoh nyata adalah Indonesia, yang melakukan reformasi pada tahun 1998. Buktinya adalah tidak adanya perubahan pada Pancasila sebagai dasar negara dan Mukadimah UUD ’45. Selain itu, basic structure dari elemen kenegaraan juga tak diubah, hanya fungsi dan peranan mereka yang ditinjau ulang.
Sebenarnya, pelajar memiliki peran sebagai agen perubahan sosial. Sejarah membuktikan bahwa pada tahun 1966 pelajar telah berkontribusi dalam reformasi dari orde lama ke orde baru. Golongan pelajar pada waktu itu melebur ke dalam KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Pada tahun 1998 pun PII juga turut serta memerjuangkan aksi reformasi, walaupun gaung mereka kurang terdengar.
Dalam realitas negara kita yang tengah belajar berdemokrasi ini, pelajar diharapkan mampu berkontribusi dalam sumbangsih pemikiran dan peranan dalam upaya-upaya mengembalikan makna reformasi ke hakikatnya semula. Pelajar dalam konteksnya sebagai bagian dari dunia pendidikan memang memiliki beberapa kelebihan.
Pertama, semangat yang masih berkobar-kobar. Semangat yang tinggi ini memungkinkan pelajar untuk melakukan perubahan di sekelilingnya, terutama jika ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada lingkungannya. Sikap pelajar bisa menjadi sangat idealis dengan adanya semangat ini. Semangat untuk melakukan perubahan dan perbaikan inilah yang tidak dimiliki oleh orang-orang tua dan menjadi ujung tombak kekuatan pelajar.
Kedua, pikiran yang kritis dan idealis. Pemkiran pelajar –terutama pelajar SMA— dalam menyikapi perkembangan zaman bisa dikatakan sangat reaktif, apalagi jika didukung dengan arus informasi yang masuk. Pemikiran pelajar yang kritis tersebut sangat penting karena pelajar memiliki hak-hak, baik ketika ia berada di lingkungan pendidikan atau lingkungan keluarga. Dengan adanya idealisme, seorang pelajar akan mampu menyuarakan keinginan-keinginannya dan memertahankan hak-haknya. Sedangkan daya kritis berfungsi dalam memfilter segala macam bentuk pengaruh yang masuk, baik yang berupa doktrin-doktrin pendidikan formal atau arus informasi di lingkungan pergaulan. Idealisme dan daya kritis tersebut harus selalu dipupuk, agar para pelajar memiliki wawasan dan keberanian sehingga ke depannya akan menghasilkan figur-figur aktivis yang peka akan perubahan dan kritis dengan kondisi bangsanya.
Akan tetapi, pelajar pun memiliki kekurangan di balik kelebihan tersebut, yaitu ketidakstabilan emosi dan ketidakpercayaan akan diri sendiri.
Pertama, kurangnya self-confident yang merupakan konsekuensi dari masa pubertas dan pencarian jati diri. Kurangnya self-confident tersebut berimplikasi pada kurangnya perhatian pelajar pada masa depannya, sehingga banyak dari pelajar yang enggan mengurusi persoalan masa depan. Akhirnya, para pelajar pun terhanyut ke dalam pusaran arus modernisasi yang cenderung mengarah kepada kesenangan absurd dan kepuasan sesaat. Ketidakpercayaan diri ini juga menyebabkan melemahnya daya kritis pelajar terhadap kondisi sekelilingnya, sehingga berimplikasi pada apatisme yang cenderung melemahkan masa depan bangsa.
Kedua, ketidakstabilan emosi para pelajar yang juga merupakan konsekuensi dari masa pencarian jati diri. Emosi yang meledak-ledak seringkali menyebabkan para pelajar terbawa kepada naluri emosionalnya ketika menghadapi sebuah permasalahan, sehingga acapkali tidak berpikir secara bijaksana. Akibatnya, seringkali idealisme para pelajar dianggap sebagai sebuah pembangkangan atas suatu peraturan, yang menyebabkan para pelajar terlibat permasalahan dengan objek-objek tertentu yang tidak disenanginya, semisal sekolah.
Kekurangan-kekurangan tersebut tidak lantas menggugurkan argumen bahwa pelajar harus memiliki idealisme dan pikiran yang kritis. Idealisme dan daya kritis tersebut sangat penting dalam menyuarakan dan memertahankan hak-haknya serta. memfilter segala macam bentuk pengaruh yang masuk melalui saluran-saluran komunikasi yang ada. Idealisme dan daya kritis tersebut harus terus dibina, agar para pelajar memiliki wawasan dan keberanian sehingga akan muncul figur-figur aktivis yang peka dan kritis akan perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya.
Salah satu sarana mengeluarkan pikiran kritis dan idealisme adalah dengan melalui organisasi, baik organisasi intra sekolah ataupun organisasi ekstra sekolah. Dengan ikut berorganisasi, pemikiran kritis pelajar dapat tersalurkan dengan baik. Dengan berorganisasi pula pelajar dapat belajar hidup di masyarakat dan turut serta dalam kehidupan sosial. Akan tetapi, pelajar tetap harus menyeimbangkan waktu antara berorganisasi dan belajar, agar prestasi di sekolah dapat tetap terjaga.
Salah satu contoh organisasi pelajar yang memelopori perubahan sosial di Indonesia adalah Pelajar Islam Indonesia. Pelajar Islam Indonesia (PII) didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya antara lain Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji. Terbentuknya organisasi ini dilatarbelakangi oleh adanya dua sistem pendidikan pada masa tersebut, yaitu pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren diangga; lebih berorientasi ke “akhirat” sementara sekolah umum berorientasi ke “dunia”. Akibatnya, pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk ko-lonial Belanda Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren sebagai kolot dan tradisional(http://www.pii-mesir.org/).
Merenungi kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947, terlintas dalam pikiran Yoesdi Ghozali sebuah gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodining-ratan, Yogyakarta yang disambut baik oleh kawan-kawannya.
Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Yoesdi Ghozali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1 April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, kongres kemudian memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.
Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili Bagian Pelajar GPII, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta siap meleburkan diri dalam sebuah organisasi pelajar Islam. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).
Di kemudian hari, terbukti bahwa PII ternyata mampu memelopori berbagai perubahan sosial. Dimulai pada era 1960-an, PII telah aktif dalam mengcounter faham komunisme dan terlibat dalam berbagai aksi. Puncaknya adalah ketika terjadi G30S/PKI, PII pun bergabung dengan “kakak”nya HMI memberangus PKI dan antek-anteknya. Pada Orde Baru, PII pun terlibat permasalahan dengan pemerintah karena menolak asas tunggal pancasila, sehingga menyebabkan PII bergerak di bawah tanah. Di sinilah peran pelajar sebagai agen perubahan sosial berperan, terutama dalam era reformasi yang memungkinkan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab ini.
F. Pelajar Muslim Sebagai Agen Dakwah
Abdullah Nashih ’Ulwan (1985:11) dalam bukunya Hatta Ya’lamussyabaab yamg diterjemahkan oleh Jamaluddin Sais ke dalam buku Pesan Untuk Pemuda Muslim berkata, ”Wahai pemuda muslim, kalian diciptakan untuk tetap konsekuen kepada konsepsi Rabbani yang suci dari rona-rona kebatilan, baik yang datang dari depan maupun dari belakang”. Kalimat ini menunjukkan bahwa pemuda muslim adalah pemuda yang taat kepada syariat Allah, bukan pemuda yang larut dalam kehidupan dunia yang hedonistik. Kalimat ini dipertegas oleh perkataan Asy-Syahid Imam Hassan Al-Banna dalam bukunya, Risalah Pergerakan, “Pemuda merupakan pilar kebangkitan, pemuda adalah rahasia dari sebuah kekuatan. Dalam setiap pergerakan, pemuda adalah pengibar panji-panjinya”. Oleh karena itu, pelajar muslim sebagai bagian dari pemuda muslim harus tetap istiqamah pada jalan Allah.
Apa yang mendasari perkataan kedua ulama Mesir ini? Abdullah Nashih ‘Ulwan (1985:16) mengambil sirah Nabi Muhammad sebagai dasar pemikiran. Beliau menulis bahwa generasi muda pertama Islam adalah para pemuda tangguh. Dapat dilihat pada Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdurrahman bin ‘Auf, Al-Arqam bin Al-Arqam, Mush’ab bin Umair, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, dan banyak pemuda tangguh lainnya. Dari tangan merekalah terbit fajar Islam. Mereka mau menanggung beban dan tanggung jawab dari risalah dakwah, bekerja siang dan malam sampai akhirnya sebuah negara Islam terbentuk. Dari tangan-tangan pemuda itulah dua imperium super power Persia dan Rumawi dapat dikalahkan.
Ada lima semboyan pemuda muslim menurut Nashih ‘Ulwan (1985:20). Lima semboyan itu antara lain Allah Tujuan Kami, Rasulullah Panutan Kami, Al-Qur’an Qanun Kami, Jihad Jalan Kami, dan Mati di Jalan Allah Cita-Cita Kami Tertinggi. Kelima semboyan itu sangat baik diimplementasikan oleh pemuda muslim, karena mampu membangkitkan ghirah dan semangat dakwah.
Lebih khusus, Hassan Al-Banna merinci bahwa ternyata sejak dulu pemuda telah menjadi pilar kebangkitan umat. Hal ini dapat dilihat pada sosok Ali bin Abi Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud, Imam Asy-Syafi’i, Shalahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-Fatih, dan pemuda-pemuda lain yang telah menggetarkan dunia melalui kualitas kepribadian mereka. Kuncinya adalah pembinaan sejak dini. Pembinaan yang dilakukan Rasulullah telah nampak pada kader-kader dakwah muda di zaman beliau. Mereka antara lain Ali bin Abi Thalib, Ja’far bin Abi Thalib, dan Zubair bin Awwam yang telah dibina oleh Rasulullah sejak usia 8 tahun. Lalu ada lagi Zaid bin Haritsah, Arqam bin Arqam, atau Usman bin Affan yang telah dikader sejak usia belasan tahun. Di kemudian hari, mereka pun ambil bagian pada perubahan besar (Widiyantoro,2003:6).
Euforia pemuda yang menjadi ikon dakwah ini pun berlanjut pada era-era selanjutnya. Mereka bertindak sebagai pionir reformasi, bukan sebagai pion dari kekuatan berkedok ‘reformasi’. Pada pertengahan abad ke-18, ketika umat Islam tengah dilanda perpecahan antarmazhab, lahir seorang pemuda bernama Muhammad Ibnu Abdul Wahab. Pemikirannya yang kritis membawanya pada suatu kesimpulan, bahwa perlu adanya pemurnian Islam terutama permasalahan aqidah. Selain itu, ia juga menganggap perlu adanya persatuan antarumat Islam dalam menentang imperialisme dan kolonialisme dari bangsa Barat. Atas dasar pemikiran tersebut, Muhammad Ibnu Abdul Wahab membentuk sebuah gerakan pemurnian Islam di Jazirah Arabia.
Di Indonesia, seorang pemuda dari Yogya bernama Ahmad Dahlan pada tahun 1912 mendirikan persyarikatan Muhammadiyah yang disebut-sebut sebagai organisasi Islam reformis pertama di Indonesia. Munculnya Muhammadiyah ini juga menyadarkan umat Islam akan pentingnya persatuan sebagai alat menuju kebangkitan. Hasilnya, pergerakan Islam muncul dan berkembang. Nama-nama seperti Ahmad Hassan, HAMKA, Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Anwar Haryono, Hussein Umar merupakan output dari pembinaan generasi muda muslim yang berkesinambungan.
Tapi apa yang terjadi sekarang ? Remaja kita tengah dilenakan oleh fenomena westernisasi dan modernisasi yang ujung-ujungnya mengarah pada kristenisasi secara perlahan. Pacaran yang di dalam islam dilarang, sekarang dibudayakan dalam pergaulan. Padahal sudah jelas dikatakan dalam Al-Qur’an: Janganlah mendekati zina! Mendekatinya saja tidak boleh, apalagi melakukannya.
Belum lagi jika kita lihat persoalan seks bebas. Dalam sebuah seminar di FISIP Universitas Airlangga, yang diselenggarakan oleh LPA Jawa Timur, terungkap sebuah fakta yang disampaikan oleh Dr. Khofifah Indar Parawangsa bahwa pada tahun 2000 angka aborsi mencapai 2,3 Juta dengan trend peningkatan tiap tahunnya. Majalah Sabili pernah melansir data bahwa 10%-15% aborsi tersebut dilakukan oleh remaja (Widiyantoro, 2003).
Idola generasi muda kita pun bukan lagi Rasulullah, melainkan berganti dengan musisi-musisi tenar barat semacam Kurt Cobain, Yngwie Malmsteen, Helloween, atau Queen yang semuanya bukan orang-orang islam. Orang yang mati bunuh diri seperti Kurt Cobain atau meninggal karena penyakit AIDS seperti Freddie Mercury saja ternyata digandrungi oleh jutaan generasi muda kita, padahal mereka bukan dari golongan islam. Ini menunjukkan bahwa budaya barat telah merasuki jiwa generasi muda kita, sehingga mereka tidak lagi berpikir secara kritis mengenai kebangkitan islam. Sehingga ketika ada seorang aktivis islam menyuarakan sesuatu yang haq, dia dianggap ekstrim, dianggap aneh, bahkan dianggap kuper.
Di sinilah letak potensial peranan dakwah bagi pelajar. Dimulai dari bangku sekolah, pelajar seharusnya mampu menularkan kebaikan yang dilakukannya kepada saudara-saudaranya. Inilah yang dinamakan dengan dakwah. Dakwah yang dilakukan pelajar tersebut sebaiknya dimulai dengan menggunakan prinsip 3M yang dicetuskan oleh KH. Abdullah Gymnastiar: Mulai dari hal terkecil, Mulai dari diri sendiri, dan Mulai saat ini. Dakwah harus dimulai pada hal-hal yang terkesan sepele, seperti sopan-santun atau adab pergaulan. Setelah itu, dakwah terus dikembangkan secara kontinyu dan berkesinambungan.
Widiyantoro (2003:22) menyebutkan ada tiga alasan utama mengapa dakwah perlu dikembangkan di kalangan pelajar.
Poin pertama adalah efektif. Berdakwah di kalangan pelajar sangat efektif dalam mengubah paradigma yang hedonistik, seperti kata pepatah Arab, “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, dan belajar di waktu tua bagai mengukir di atas air”. Mudahnya pelajar mencerna dan menerima dakwah menyebabkan efektifnya dakwah di kalangan ini.
Poin kedua adalah massif. Banyaknya jumlah pelajar tentunya lebih memberi manfaat, karena jika dakwah tersebut berhasil, pengaruh yang dihasilkan pun diharapkan juga akan bersifat massif.
Poin ketiga adalah strategis. Peran pelajar yang merupakan calon-calon pemimpin juga merupakan sebuah alasan mengapa dakwah sangat diperlukan di kalangan pelajar. Jika pelajar telah mampu mengoptimalkan perannya sebagai seorang da’i, secara tidak langsung ia juga telah memberi pengaruh pada perkembangan moral di masa depan. Seorang pelajar yang da’i dan berkarakter intelektual akan dapat menjadi vocal point dalam menentukan masa depan bangsa.
Peran pelajar sebagai agen dakwah sangat ditentukan oleh lingkungan yang mendidiknya. Tanpa ada lingkungan yang mendukung dan kondusif bagi masuknya nilai-nilai keislaman, sebuah dakwah tak akan mampu berjalan. Di sinilah perlunya ada bimbingan dari tenaga pendidik agar mampu menciptakan kondisi yang islami. Memang, hal ini cukup sulit untuk dilakukan di sekolah dengan latar belakang agama yang beragam. Akan tetapi, hal ini dapat disiasati oleh pendidik dengan mengoptimalkan mata pelajaran yang dipegangnya sebagai lahan dakwah, terutama dalam mata pelajaran agama Islam. Kerjasama yang baik dari guru dan siswa akan memberi hasil yang optimal, Insya Allah.
Dakwah bagaimanakah yang dapat dikembangkan oleh pelajar? Dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl : 125 Allah telah menggariskan 3 metode dakwah secara umum. Ketiga metode tersebut antara lain Hikmah, atau penyampaian dakwah dengan mengedepankan kebijaksanaan dalam menghadapi objek dakwah ketika menyampaikan isi dakwah. Kebijaksanaan tersebut antara lain dengan mengetahui background dari objek dakwah. Cara kedua yaitu Mau’izhah Al-Hasanah, atau memberi keteladanan, nasehat yang baik, atau dengan pengajaran yang mengedepankan kebaikan-kebaikan. Sedangkan cara ketiga adalah Mujaadilu bil-latii hiya ahsan. Cara ini ditempuh melalui diskusi dan tukar pikiran dengan cara yang baik dan tanpa kekerasan. Cara ini ditempuh pada masyarakat yang berpikir kritis.
Menurut hemat penulis, cara yang paling baik dalam dakwah di kalangan pelajar adalah dengan cara Hikmah, dengan harapan kebijaksanaan tersebut mampu disebarkan kepada objek dakwah yang lain. Jika tidak mampu, pelajar dapat mengambil metode Mau’izhah Al-Hasanah, dengan memberi keteladanan yang baik kepada rekan-rekan pelajar. Sebisa mungkin jangan menggiring rekan pelajar ke arah perdebatan-perdebatan agar tidak terjadi polemik dalam dakwah. Jika jalan memang sangat sulit, ajaklah bertukar pikiran dengan penuh kesopanan, objektif, dan saling menghormati.
Pelajar Muslim pun juga memiliki tugas-tugas di yang harus dilakukan selain berdakwah. Untuk dapat berperan dalam posisinya secara benar, tentu saja pelajar muslim harus mempersiapkan diri untuk masa depannya.
Tugas yang pertama adalah belajar dan menguasai iptek. Pada sebuah ayat Allah berfirman, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”(Al-Qur’an, Ali Imran :190). Untuk mengetahui tanda-tanda di balik penciptaan bumi tersebut, seorang pelajar muslim harus tetap belajar dan mencari ilmu pengetahuan.
Tugas yang kedua adalah belajar dan memahami Islam (QS .3:18, 35:28, 58:11). Sebagai konsekuensi kita seorang muslim kita harus memelajari apa itu Islam dan apa saja yang dikandungnya, yaitu dengan mempelajari Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal tersebut sangat penting, karena Islam memandang bahwa umat Islam akan mengalami kemajuan dan kesuksesan jika umatnya merujuk Al Qur’an dan Sunnah Rosul dalam setiap tingkah laku di segala aspek kehidupan.
Tugas berikutnya adalah mengimani segenap ajaran Islam, baik yang termasuk dalam hal aqidah, ibadah, syariah, atau muamalah sebagai konsekuensi sebagai seorang muslim yang terpelajar. Dalam mengimani Islam, kita dituntut untuk tidak hanya paham Islam saja, melainkan juga diyakini dan diimplementasikan dalam kehidupan.
Tugas yang keempat yaitu mengamalkan dan menda’wahkan Islam sebagai konsekuensi dari keimanan seorang muslim yang terpelajar. Hassan Al-Banna pernah berkata, “Nahnu Du’at Qabla Kulli syai’in”. Kita ini adalah pendakwah sebelum segala sesuatunya. Maksudnya adalah, semua pemahaman Islam yang kita miliki tidak cukup hanya untuk diri kita pribadi saja. Sebisa mungkin kita haru mengajarkan atau menda’wahkan ilmu yang kita miliki ke orang-orang sekitar kita, dengan harapan orang-orang di sekitar kita akan berubah dan juga memahami Islam secara benar.
Oleh karena itu, peran pelajar sebagai aktivis dakwah sangat urgent di era reformasi ini. Selain karena posisi pelajar yang strategis, keunggulan-keunggulan fisik dan emosional, serta keefektifan dakwah sebaya yang dijalankan. Di sini, penulis tambahkan perkataan dari Ahmad Syauqi, “Eksistensi sebuah bangsa jika akhlak melekat pada mereka. Jika akhlaknya lenyap, mereka pun tiada”. Perkataan Ahmad Syauqi ini dapat diterima dan menunjukkan bahwa moral bangsa harus diperbaiki, dan yang harus memerbaiki moral tersebut adalah pelajar. Jika pelajar telah menunjukkan kualitasnya, pintu gerbang kebangkitan bangsa ini akan ada di depan mata, Insya Allah.
G. Mencermati Fakta, Menyusun Agenda: Sebuah Kesimpulan
Pelajar di era reformasi memang menghadapi sebuah dilema dalam berinteraksi di masyarakat. Di satu sisi, pelajar dituntut hanya untuk menuntut ilmu di sekolah. Di sisi lain, pelajar juga dituntut untuk belajar bermasyarakat sebagai bekal dalam kehidupan di masyarakat. Benturan ini mengakibatkan pelajar di era reformasi sekarang ini mengalami sedikit loss identity, sehingga berimplikasi pada ketidakmunculan peranan pelajar itu sendiri, baik dalam konteks sebagai seorang penuntut ilmu atau dalam konteks sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini jelas merupakan kemunduran, mengingat dulu para pelajar juga ambil bagian dari masyarakat.
Padahal, pelajar memiliki keunggulan-keunggulan. Pertama, semangat yang masih berkobar-kobar. Kedua, pikiran yang kritis dan idealis. Keunggulan-keunggulan ini jika mampu dioptimalkan akan mampu memberi hasil yang maksimal, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual.
Berdasarkan uraian-uraian dia atas, dapat kita simpulkan bahwa secara normatif peran-peran pelajar yang diharapkan antara lain :
Secara intelektual, pelajar harus mampu memberi kontribusi nyata dalam pemikiran-pemikirannya kepada masyarakat. Pembelajaran dan pendidikan yang diterima di bangku sekolah tidak hanya disimpan, tapi juga digunakan dalam realitas sosial,
Dalam kapasitasnya sebagai agent of social change, pelajar juga diharapkan berkontribusi sesuai dengan kemampuannya, dengan cara kritis terhadap perkembangan zaman dan aktif dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Dari bangku sekolah, pelajar diharapkan mampu mengkaji berbagai problematika dalam dialektika pemikiran yang sederhana, dan yang terpenting mampu diimplementasikan dalam masyarakat,
Dakwah amar ma’ruf nahi munkar tidak mustahil dilakukan pelajar, karena pelajar memiliki kapabilitas lebih untuk hal tersebut. Cara-cara dakwah harus menghindari konflik dan memberi manfaat bagi lingkungannya.
H. Rekomendasi
Berdasarkan analisis di atas, penulis memberi rekomendasi sebagai berikut :
Pengajaran di sekolah sebaiknya tidak hanya membuka cakrawala pengetahuan pelajar, tetapi juga membuka kesempatan bagi pelajar untuk mengembangkan sayapnya di masyarakat.
Daya kritis dan idealisme pelajar harus dipupuk sejak di bangku sekolah. Pemikiran kritis ini dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah, baik dalam kerangka formal ataupun informal.
Ada pendidikan untuk intelectual counter bagi pelajar dalam menyikapi realitas sosial di masyarakat, agar pelajar mampu menganalisis problem tersebut dalam kerangka berpikir yang ilmiah, tidak sekedar menonjolkan idealisme belaka.
Pelajar sebaiknya aktif di kegiatan-kegiatan sosial ekstrasekolah atau intrasekolah, dengan catatan harus ada penyeimbangan waktu antara belajar dan bersosialisasi.
Praktik-praktik ‘pencucian otak’ atau brainwashing yang dilakukan oleh guru-guru atau elemen masyarakat luar sebisa mungkin dihindari. Yang harus dilakukan oleh pelajar adalah mengkaji berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Guru dan orang-orang lain hanyalah sebagai pembina dan pembimbing pelajar agar pelajar mampu mengoptimalkan potensi mereka dan tidak keluar dari koridor yang umum berlaku.
Peran pelajar dalam dakwah harus sinergis dengan situasi dan kondisi di sekolah dan isi dakwah harus relevan dengan kebutuhan pelajar itu sendiri.
Pelajar sebaiknya memberi teladan berupa tingkah laku mereka di sekolah dalam berdakwah, agar kuantitas objek dakwah menjadi lebih banyak dan substansi dakwah dapat tersampaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.
Al-Banna, Hasan, 1998. Risalah Pergerakan. Solo : Intermedia.
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. Problematikan Remaja dan Solusinya dalam Islam (pent. Abu Naoval). Solo:At-Tibyan.
Amin, Shadiq, 2006. Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal (Pent. Syarif Ridwan). Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat.
Azizah, Abu Azmi, 2005. Berpikir Cerdas Berbasis Al-Qur’an : Membentuk Cendekiawan yang Tak Salah Jalan. Solo : Bina Insani Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.
________________, Sosiologi SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.
Nashih Ulwan, Abdullah, 1985. Pesan untuk Pemuda Islam (pent. Jamaluddin Sais). Jakarta : Gema Insani Press.
Widiyantoro, Nugroho, 2003. Panduan Dakwah Sekolah : Kerja Keras untuk Perubahan Besar. Bandung : Syaamil Cipta Media.
Mardhatillah, Ahmad Rizky, 2006. Mempersoalkan (Kembali) Transparansi Sekolah. Artikel dimuat di Radar Banjarmasin, 11 Oktober 2006.
______________________, 2006. Bangkitlah Gerakan Pelajar. Artikel dimuat di Kalimantan Post, 15 November 2006.
______________________, 2007. Revitalisasi Gerakan Pelajar. Artikel dimuat di Banjarmasin Post, 15 Januari 2007.
______________________, 2007. Gerakan Tajdid Membangun Peradaban. Artikel dimuat di Radar Banjarmasin, 17 Februari 2007.
______________________, 2007. Pelajar dan Idealisme. Artikel dimuat di Kalimantan Post, 12 April 2007.
______________________, 2007. Membangun Pemikiran Kritis Pelajar. Artikel dimuat di Mata Banua, 30 April 2007.
______________________, 2007. Nasib Reformasi di Tangan Pelajar. Artikel dimuat di Banjarmasin Post, 12 Mei 2007.
______________________, 2007. Membangun Moral Generasi Muda : Tanamkan Tauhid Kepada Mereka. Dimuat di Banjarmasin Post, 10 Januari 2007
______________________, 2007. Idealisme Pelajar di Persimpangan Jalan. Dimuat di Radar Banjarmasin, 1 April 2007.
Syamsuri, 2004. Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2 Untuk Kelas XI. Jakarta : Erlangga.
Saksi, Minggu Kedua April 2004.
http://www.bem.ui.ac.id/
http://www.pii-mesir.org/.
www.freewebs.com/komuneppj/index.htm
http://liqo.wordpress.com/
http://semanggipeduli.com/pahlawan