Kamis, 11 Desember 2008

UK dan Hard Power (Invasi AS-Inggris ke Irak)

"Guardians are the armed citizens, police, and military, who protect their unarmed fellow citizens."

-Judith Hicks Stiehm-

Invasi Amerika Serikat ke Iraq merupakan sebuah langkah dari kampanye global “war on terrorism”pasca-tragedi 11 September 2001. Setelah sebelumnya menginvasi Afghanistan dan menumbangkan rejim Taliban, Amerika Serikat kemudian melakukan invasi ke Iraq dengan alasan menghentikan pengembangan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction) oleh Iraq kendati eksistensi senjata tersebut tak terbukti sampai rejim Saddam Hussein jatuh.


Invasi ini dilakukan sejak tanggal 29 Maret 2003 sampai tanggal 8 April 2003, ketika Baghdad secara resmi berhasil dikuasai oleh pasukan koalisi dalam keadaan vacuum of power (Setiawati, 2004:13-14)1. Akibat invasi ini, rejim Saddam Hussein tumbang dan Amerika Serikat secara resmi menanamkan hegemoninya di Irak (Setiawati, 2004:552; Kegley, 2006:4173; Rais, 2008:634).


Invasi ini melibatkan sebuah koalisi besar negara-negara great powers dengan Amerika Serikat sebagai poros sentral. Sebagai sekutu utama Amerika Serikat, Inggris tentu saja terlibat secara langsung dalam eskalasi konflik. Inggris secara resmi memegang otoritas atas wilayah Bashrah pasca-invasi dan secara penuh mendukung pendudukan atas wilayah-wilayah penting di Irak oleh Amerika Serikat.


Secara historis, Inggris memiliki kedekatan dengan Irak karena Inggris pernah menjajah beberapa daerah di Timur Tengah sebelum perang dunia I. Namun setelah perjanjian Balfour yang mengisyaratkan keluarnya Inggris dan Perancis dari Timur Tengah serta berdirinya negara Israel yang kontroversial, Inggris pun tidak lagi terlibat secara langsung dalam permasalahan Timur Tengah.


Namun, Inggris tetap memiliki kepentingan, terutama kepentingan politik berkaitan global campaign of war on terrorism dan kepentingan ekonomi berkaitan dengan pasokan minyak ke eropa. Oleh karena itu, aksi pendudukan Amerika Serikat ke Irak kemudian disambut oleh Inggris dengan mengirimkan kekuatan militer sebagai salah satu bagian dari koalisi aggressor.


Keterlibatan Inggris secara langsung dalam invasi ini tak lepas dari keberadaan Tony Blair yang secara tegas mencanangkan kebijakan luar negeri yang pro-Washington. Sejak memenangkan Pemilu tahun 1997, kebijakan luar negeri Tony Blair terlihat dekat dengan Washington, terutama dalam kerjasama ekonomi. Hal ini kemudian mempengaruhi keterlibatan militer Inggris dalam berbagai perang yang sebenarnya dilakukan oleh Washington.


Inggris sendiri memiliki peran cukup besar dalam invasi ke Irak. Pertama, bantuan militer. Setidaknya ada kira-kira 7-14 bom yang dijatuhkan oleh armada udara Inggris sebelum tahun 20035. Inggris juga membantu dengan mengirimkan pasukan sebanyak 45.000 personel pasukan. Dengan jumlah sebanyak ini, Inggris secara langsung terlibat dalam penggunaan hard power-nya untuk membantu Amerika Serikat.


Pada saat peperangan, ada beberapa jenis pasukan elite yang diturunkan oleh masing-masing negara aggressor, seperti British Special Air Service (SAS), The Australian Special Air Service Regiment (SASR) dan 4RAR, The U.S. Army's Delta Force, United States Navy SEALs, United States Army's Green Berets dan U.S. Air Force Combat Controllers6. Masuknya British SAS tersebut cukup menarik perhatian kita karena pada dasarnya British SAS adalah pasukan elite udara yang hanya diterjunkan untuk operasi-operasi militer penting.


Inggris kemudian memusatkan perhatian pada upaya untuk merebut Basrah, sementara AS berupaya menaklukkan Baghdad. Untuk merebut wilayah tersebut, personel militer Inggris harus menaklukkan Umm Qasr, sebuah kota pelabuhan di Irak. Upaya untuk merebut wilayah tersebut tidak mudah, karena daerah tersebut terkenal dengan medan yang sulit. Pada tanggal 6 April 2003, tank-tank Inggris yang berkode Red Devils mulai menuju Umm Qasr, dengan tujuan menguasai pelabuhan agar angkatan laut dapat mengakses wilayah tersebut dan bantuan kemanusiaan yang diangkut melalui kapal dapat dengan mudah masuk7.


Kemudian, personel militer Inggris dari 1 (UK) Armoured Division maju ke sekitar Al-Amarah, disusul oleh personel infantri dan kavaleri dari The British 3rd Armoured dan 4th Mechanized Division (Divisi Kavaleri) yang menyerang tentara Irak di sekitar daerah tersebut serta mengamankan ladang-ladang minyak yang berada di sekitar daerah tersebut. Minyak menjadi persoalan penting dalam invasi ke Irak, karena pasokan minyak Irak tak boleh terhenti kendati perang berlangsung.


Setelah menguasai Umm Qasar, teknisi elektronik dan bangunan dari Royal Electrical Mechanical Engineers (REME) dan Royal Engineers of the British Army langsung bekerja untuk memperbaiki pelabuhan Umm Qasr. Setelah penaklukkan Umm Qasr, personel angkatan darat Inggris yang dibantu oleh Royal Navy kemudian berhasil memasuki kota Basrah, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Karbala, kota suci kaum Syiah di Irak.


Persoalan memasuki Karbala bukan persoalan yang mudah. Resistensi dari kelompok Syiah juga menghantui personel militer Inggris. Untuk itu, pasukan AS juga berkonsentrasi untuk merebut Najaf dan mempersiapkan diri untuk memasuki Baghdad. Pasukan Inggris dan Australia dibantu oleh sekelompok personel militer Polandia hanya sedikit mengamankan Karbala agar Baghdad mudah dikuasai. Tank-tank Inggris mulai bergerak ke Karbala dan terlibat serangkaian pertempuran.


Pasukan Inggris yang telah merebut Karbala kemudian bertemu dengan tentara Amerika Serikat di Baghdad untuk kemudian melakukan penaklukan final atas Baghdad sekaligus menandai kemenangan tentara pendudukan AS. Dua pasukan tank dari AS dan Inggris, US. M1 Abrams dan British Challenger 2 berada di garda terdepan pasukan koalisi. Koalisi kemudian dapat memasuki Baghdad tanpa halangan berarti. Pasukan Inggris dari Challenger 2 menderita kerugian berupa rusaknya tank Queen's Royal Lancers akibat kesalahan komunikasi dari tank yang lain sehingga menewaskan dua crewmen.


Perang yang berlangsung selama 21 hari ini kemudian dikecam oleh banyak pihak. Kecaman muncul karena Inggris dan Amerika sangat menonjolkan hard power mereka untuk sesuatu hal yang sebenarnya dapat diselesaikan melalui jalan diplomasi. Istilah pre-emptive diplomacy yang digunakan oleh kelompok agresor di sini kurang tepat, karena sikap ini dilandasi oleh sikap apriori dan penuh kepentingan dari Amerika Serikat atau Inggris.


Ada hal yang patut kita pertanyakan dari tujuan invasi ke Irak tersebut. Jika tujuan Amerika Serikat dan Inggris menyerang Irak adalah untuk menghentikan pengembangan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction), mengapa AS dan Inggris tidak menggunakan PBB sebagai alat untuk membuktikan kesalahan tersebut serta menjatuhkan sanksi? Bukankah PBB sudah memiliki IAEA atau Badan Atom Internasional yang memiliki otoritas untuk memaksa?


Maka, jika kita analisis lebih jauh, penggunaan hard power Inggris dalam invasi ke Irak tidak murni atas alasan menghentikan peredaran weapons of mass destruction. Terbukti, setelah ternyata senjata pemusnah massal tersebut ternyata tidak dapat ditemukan di Irak, hegemoni kedua negara tersebut masih tetap ada. Walaupun Lord Bingham, mantan anggota House of Lords Inggris menganggap bahwa invasi Inggris ke Irak menyalahi hukum internasional, Inggris tetap menegaskan kedudukannya di Basrah sebagai penjaga keamanan di Irak.


Banyak pihak beranggapan bahwa motif lain yang diinginkan oleh Inggris dan AS di Irak adalah minyak (Hamidi, 2003)8. Minyak adalah komoditas utama dari Irak dan merupakan salah satu cadangan minyak terbesar di dunia selain Arab Saudi. Sikap Saddam Hussein yang cenderung beroposisi terhadap AS, serta menipisnya cadangan minyak AS yang tidak diimbangi oleh penurunan permintaan terhadap minyak dapat berakibat pada naiknya harga minyak dunia yang tak terkendali. Oleh karena itu, AS dan Inggris merasa perlu untuk mengamankan pasokan minyak dunia dengan menguasai sumber daya minyak di Irak.


Persoalan minyak ini kemudian memicu penggunaan hard power dari Amerika Serikat dan Inggris. Dalam konteks ini, penggunaan hard power dari sebuah negara demokratis seperti Inggris justru merugikan negara-negara lain. Keterlibatan Inggris dalam invasi ke Irak hanya menegaskan hegemoni kekuatan negara besar. Hal ini juga menandakan bahwa political realism masih mendominasi panggung politik internasional tanpa ada balance of power atau hal-hal lain yang membatasinya. Padahal, prinsip pertama dari political realism seperti disebutkan oleh Morgenthau (1956) adalah adanya hukum internasional yang membatasi kekuatan politik untuk menciptakan balance of power9.


Maka, penggunaan hard power atau coercive diplomacy harus dilaksanakan dengan pilihan rasional dan dilakukan untuk menjaga perdamaian dunia agar balance of power tetap terjaga.



Footnotes

1 Siti Muti’ah Setiawati, Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya bagi Stabilitas Politik TImur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004). pp. 13-14.

2 Ibid. pp. 55.

3 Charles W. Kegley and Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trends and Transformations (Belmont, CA: Thomson Wadsworth, 2006). pp. 417.

4 Rais, Mohammad Amien. Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta: PPSK Press, 2008). pp. 63.

6 Ibid,

7 Ibid.

8Lutfi Hamidi. Dolar vs Euro : Awal Kebangkrutan AS ? (Jakarta: Senayan Publishing, 2003).

9 Hans J. Morgenthau. Politics Among Nation: The Struggle for Power and Peace (New York: Alfred A. Knopf, 1956, revised, second edition).

Tidak ada komentar: