Sabtu, 26 Juli 2008

Santri, Pilkada, dan Kecerdasan Politik

Pendahuluan

Suksesi kepemimpinan di Jawa Timur memasuki babak baru. Pilkada yang digelar pada Rabu (23/7) berdasarkan survey LSI (Denny JA dan Saiful Mujani) harus menuju tahap kedua karena tidak ada satupun calon yang meraih suara lebih dari 30%. Khofifah Indar Parawangsa-Mudjiono (KAJI) yang diusung oleh koalisi 11 partai diprediksi akan berhadapan dengan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KARSA) yang diusung oleh PAN-PD-PKS dalam pilkada babak kedua.
Kekalahan Mengejutkan

Hasil yang didapatkan oleh quick count dua lembaga survey ini mengejutkan banyak pihak. Sebab, tiga calon yang diusung oleh tiga partai besar harus rontok dengan perolehan suara yang jauh dari harapan. Mereka harus mengakui keunggulan kandidat yang tidak didukung oleh mesin politik yang kuat, KAJI dan KARSA.

Kandidat PKB, Achmady-Suhartono (Achsan), yang pada Pemilu 2004 menguasai hampir seluruh wilayah Jawa Timur justru meraih pencapaian suara terendah, yaitu berkisar 7,18%. Begitu juga dengan Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR) yang diusung oleh PDIP dan Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) yang diusung oleh Partai Gollkar. Keduanya terkapar dengan perolehan suara 21% dan 18%.

Hasil ini membuat kita bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi sehingga PKB yang memiliki basis massa kuat di Jawa Timur harus mengalami kekalahan pahit, dengan perolehan suara kurang dari 8%? Mari kita analisis fenomena ini.

Basis Politik Santri

Secara kultural, Jawa Timur tak terpisahkan dengan budaya pesantren. Mulai dari pesisir utara sampai daerah selatan, pesantren mewarnai kehidupan masyarakat Jawa Timur. Ada beberapa poros pesantren yang memiliki basis kuat, seperti Langitan (KH. Abdullah Faqih), Jombang (Alm. KH. Yusuf Hasyim), Malang (KH. Hasyim Muzadi), atau Pasuruan (KH. Mas Subadar). Belum lagi pesantren-pesantren lain.

Keberadaan pesantren ini memiliki implikasi politik, yaitu munculnya kekuatan politik Islam dengan basis tradisionalitas disertai peran sentral Kyai dalam menentukan pilihan. Dalam konteks ini, ketokohan Kyai menjadi sebuah referensi politik bagi santri dan masyarakat sekitar.
Berangkat dari pemahaman di atas, sentralitas Kyai yang berlatarbelakang pemahaman keagamaan yang kuat pada gilirannya melahirkan pola konsentrasi politik yang berbasis pada partai berideologi Islam atau berbasis massa Islam. Masyarakat di Jawa Timur lebih cenderung memilih partai dengan figur-figur ulama di dalamnya.

Akan tetapi, figuritas ulama lebih dominan dibanding kepartaian. Terbukti, Achmady-Suhartono yang notabene diusung oleh PKB dengan dukungan utama Gus Dur harus mengalami kekalahan telak. Rakyat lebih melirik figur santri lain, yaitu Khofifah Indar Parawangsa dan Syaifullah Yusuf.

Apa arti dari semua ini? Penulis berpendapat kekalahan PKB lebih disebabkan oleh kurangnya dukungan ulama. Achsan hanya mengandalkan Gus Dur yang popularitas politiknya meredu. Berbeda dengan KAJI yang didukung oleh Hasyim Muzadi dan beberapa ulama khos lain. Ini mengakibatkan terjadinya polarisasi pada kekuatan politik santri di pilkada Jawa Timur kemarin.

Antiklimaks Parpol?

Hasil pilkada Jawa Timur yang mengejutkan ini juga dapat kita analisis pada kondisi partai politik pengusung. PKB, misalnya, ternyata memiliki konflik internal di tingkat pusat yang mempengaruhi hasil pilkada. Apalagi, pilkada tidak cukup dengan hanya mengandalkan Gus Dur atau Yenny Wahid pada kampanye. Perlu ada dukungan dari kyai kharismatik lain di segenap penjuru Jawa Timur.

Dengan bekal 27 kursi di DPR-RI, seharusnya PKB mampu memaksimalkan dukungan untuk calon yang mereka usung. Di sini, penulis menganalisis bahwa konflik di tingkat pusat didukung oleh tidak populernya figur menyebabkan respons konstituen terhadap calon dari PKB juga rendah. Belum lagi dengan terfragmentasinya kader PKB ke calon lain yang membuat dukungan juga beralih.

Fenomena mirip juga kita dapati di PDIP. Soekarwo, kandidat yang diusung oleh PD, PAN, dan PKS ternyata sebelumnya juga melamar PDIP untuk maju. Apalagi Pakde Karwo lebih berhaluan nasionalis dan pernah menjabat Koordinator GMNI di kampus beliau. Fragmentasi ini menyebabkan basis dukungan Soekarwo juga berasal dari sebagian konstituen PDIP.

Reorientasi Politik Santri

Sebagai refleksi, penulis menyimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran orientasi politik kalangan pesantren di Jawa Timur. Dengan kekalahan PKB, kalangan santri tidak lagi memandang partai politik atau Kyai tertentu sebagai referensi politik mereka. Penulis menilai masyarakat Jawa Timur tidak lagi memandang Jombang (Gus Dur) sebagai acuan, tetapi lebih pada figur santri yang mewakili aspirasi mereka.

Penulis hanya dapat berharap, semoga Pilkada Jawa Timur dapat membawa angin perubahan bagi penyelesaian kasus-kasus nasional seperti Lumpur Lapindo. Dengan demikian, peran dan orientasi politik santri tidak lagi terkooptasi pada kekuasaan, tetapi kembali pada khittahnya untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Semoga.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mau blog jadi terkenal dan dikunjungi banyak orang sekaligus dapat rupiah dengan memasang iklan yang diberikan per klik-nya.... coba dech daftar di kumpulblogger.com.

Siapa tahu hoki kamu lagi bagus dapat mendulang rupiah disana....