Jumat, 01 Agustus 2008

Politik, Sungai, dan Masa Depan Kita

Pengantar

Banjarmasin selalu identik dengan sungai dan air. Sungai mengalir dari Mantuil di selatan sampai Sungai Alalak di utara. Tak hanya itu, sungai-sungai tersebut juga mengalir sampai ke daerah Banjarbaru, Martapura, dan sekitarnya. Oleh karena itu, dunia mengenal Banjarmasin sebagai The River City, Kota Seribu Sungai.

Identiknya Banjarmasin dengan sungai ini ternyata telah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu. Bambang Subiyakto dalam makalahnya, ”Infrastruktur Pelayaran Sungai Kota Banjarmasin 1900-1970” menyatakan bahwa jaringan transportasi air di Banjarmasin telah berkembang sejak perempat kedua abad ke-16. Kehidupan sungai berjalan dengan pembangunan kanal (handil, anjir, dan saka) di beberapa tempat (Subiyakto, 2004).

Tergerusnya Fungsi Sungai

Peran sungai yang dulu begitu sentral kemudian bergeser seiring bergulirnya zaman. Pesatnya pembangunan ternyata membawa berbagai perubahan sosial di Banjarmasin dan mengubah ritme kehidupan sungai dengan pembangunan infrastruktur darat. Pada perkembangannya, hal ini justru melahirkan masalah baru, yaitu tergerusnya ”budaya sungai” dari kehidupan masyarakat.

Sebuah berita Banjarmasin Post, 2 Agustus 2005 memperkuat asumsi tersebut. Pada berita tersebut, terungkap sebuah fakta bahwa ternyata kadar Fe yang ditemukan di beberapa sungai yang menjadi sumber air di Kalsel melebihi batas normal, yaitu 0,1 mg/ppm. Kadar keasaman air juga rendah, di bawah 5,6 dengan standard normal 5,6-5,7. Kondisi ini diperparah dengan penggunaan sungai sebagai media MCK (Mandi, Cuci, Kakus) oleh penduduk setempat.

Ternyata kuantitas sungai juga tergerus. Data Dinas Kimprasko Banjarmasin sebagaimana dikutip oleh Banjarmasin Post, 15 Maret 2008 menyebutkan bahwa dalam sembilan tahun terakhir, 57 sungai “menghilang” dari Banjarmasin. Pada tahun 1995, tercatat 117 sungai mengalir di Banjarmasin. Akan tetapi, jumlah tersebut merosot tajam menjadi 70 sungai di tahun 2002 dan semakin menyusut menjadi 60 sungai dua tahun kemudian.

Data di atas memperlihatkan sebuah fenomena ironis, yakni tergerusnya sungai-sungai di Banjarmasin oleh pembangunan. Hal ini jelas memerlukan tanggung jawab pemerintah (legislatif, eksekutif, yudikatif) dan masyarakat dalam penanganannya. Oleh karena itu, kita perlu merumuskan kembali kebijakan-kebijakan konstruktif untuk mengembalikan fungsi sungai sebagai trademark Kota Banjarmasin.

Politik Berperspektif Lingkungan

Analisis Eep Saefulloh Fatah dalam Kompas, 25 September 2007 cukup menarik untuk diulas. Beliau mengatakan bahwa kerusakan lingkungan telah berjalan dengan perhitungan deret ukur, sementara penanganannya berjalan sesuai deret hitung. Akibatnya, terjadi kelalaian dalam penanganan lingkungan dan terjadilah bencana alam yang sebenarnya dapat dihindari melalui proses mitigasi yang berkesinambungan.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah? Hal paling utama adalah memperbaiki paradigma politik lingkungan kita. Pemerintah, khususnya Kalimantan Selatan, sampai saat ini belum memiliki garis besar kebijakan lingkungan jangka panjang yang menjadi acuan untuk mengembalikan fungsi sungai secara utuh. Oleh karena itu, meminjam istilah Eep Saefulloh Fatah, tak ada istilah kasip untuk memperbaiki langkah.
Jika penulis boleh urun saran, ada beberapa pendapat yang ingin penulis sumbangkan untuk memperbaiki langkah politik sungai yang tengah dijalankan pemerintah sekarang.

Pertama, pemerintah daerah melalui instansi terkait perlu merancang peraturan daerah yang berkaitan dengan sungai. Desain peraturan daerah ini harus mengatur pembuangan limbah (rumah tangga atau industri) ke sungai, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), akses perhubungan sungai, perbaikan infrastruktur perairan, dan hal lain yang sejenis.. Di sini, koordinasi legislatif-eksekutif mutlak diperlukan.

Kedua, Pemerintah Kota Banjarmasin perlu membuat peraturan mengenai pengembangan kepariwisataan sungai. Potensi Banjarmasin sebagai sentra perdagangan dan pariwisata memerlukan tindak lanjut kebijakan yang sesuai. Peraturan ini perlu menekankan perbaikan sarana yang dirasa sangat kurang atau promosi strategis denga target wisatawan domestik dan mancanegara.

Ketiga, pemerintah daerah melalui instansi terkait perlu melakukan proses recovery atas sungai-sungai yang tergerus oleh jalan raya dan sejenisnya. Keberadaan beberapa sungai yang menjadi ”gerbang ” menuju muara Banjar, seperti Sungai Pangeran seakan tertutupi oleh sampah serta menyempit dengan adanya perumahan dan badan jalan. Padahal, ketiga sungai ini merupakan jalan utama menuju Sungai Barito.

Keempat, pengerukan alur sungai Barito harus dilaksanakan secepatnya. Fenomena tertahannya pasokan BBM yang menyebabkan kelangkaan di berbagai SPBU harus ditindaklanjuti dengan perbaikan akses transportasi melalui alur ini. Pengerukan yang berlarut-larut, apalagi jika diwarnai dengan tender yang tidak transparan, hanya akan membuat masalah baru.

Kelima, peran serta masyarakat dalam pelestarian sungai sangat mutlak diperlukan. Budaya membuang sampah ke sungai atau sejenisnya sudah sangat patut dihilangkan. Tentunya sikap ini memerlukan pengayoman, teladan, dan partisipasi pemerintah dengan pembuatan program-program yang mendukung. Dengan demikian, kebijakan publik yang dihasilkan tidak menuai kegagalan.
Rekonstruksi Masa Depan
Lima saran tersebut penulis sumbangkan sebagai wujud cinta terhadap banua. Penulis yang dibesarkan bersama sungai hanya dapat berharap, pergantian kepemimpinan dan perubahan politik lokal tidak menggerus kepedulian pemerintah terhadap sungai.
Bukankah masa depan kita, Urang Banjar, tergantung pada eksistensi sungai-sungai yang ada di dalamnya?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Di Banjarmasin sudah ada Perda Sungai. Tapi menurut saya Perda itu terlalu dini, dibuat sebelum Peraturan Pemerintah yang berkaitan belum terbit.
Pada hemat saya, harus dibuat perda dalam konteks yang berbeda Tata Ruang, Tata Lingkungan, dan Tataran Transportasi Lokal (Tatralok). Mengingat kandungan dan cakupannya sebaiknya perda itu dibuat terpisah.
Terima kasih, selamat berjuang.
(btriestiyanto@gmail.com)