Selasa, 16 Desember 2008

Harga Sebuah Amarah

(Refleksi Jumat Kelabu 23 Mei 1997)

Dampak peristiwa 23 Mei 1997 (delapan tahun lalu) yang dikenal dengan Jumat Kelabu, masih kita rasakan. Saat itu, ratusan korban berjatuhan untuk sebuah pelampiasan yang tak beralasan. Hasilnya, kerugian yang sangat besar menimpa seluruh entitas warga Kota Banjarmasin yang tak tahu apa-apa. Sungguh, sebuah pembayaran yang amat mahal untuk sebuah konflik yang tak jelas ujung dan pangkalnya.

Kita ketahui, Jumat Kelabu merupakan sebuah insiden memilukan menjelang Pemilu 1997 berupa bentrok antara massa yang membawa identitas partai/kelompok politik tertentu. Tak sedikit korban jiwa dan harta benda dari kerusuhan itu. Banyak orang hilang, pusat perbelanjaan hancur oleh amuk massa. Peristiwa itu mirip dengan Tragedi Mei 1998 di Jakarta, masyarakat menjarah pusat perbelanjaan karena barang dagangan ditinggalkan akibat terjadi amuk massa. Ironisnya di Banjarmasin saat itu , pintu masuk dan keluar plasa ditutup massa kemudian dibakar. Alhasil, ratusan orang terjebak di dalamnya. Laporan resmi menyebutkan, ada 121 korban yang terpanggang di Plasa Mitra Banjarmasin.

Tragedi Jumat Kelabu itu masih menyisakan pertanyaan mengenai motif kerusuhan tersebut. Sebenarnya, muncul banyak interpretasi mengenai sebab, motif dan fenomena di balik tragedi itu. Ada yang menyebutkan, kerusuhan terjadi karena dendam simpatisan partai tertentu kepada partai/kelompok lain dalam persoalan politik. Hal ini cukup beralasan. Mengingat, dalam kampanye salah satu partai selalu memobilisasi massa dengan jumlah yang besar tetapi pada saat Pemilu mereka kalah. Dengan konsiderasi seperti ini, wajar simpatisan partai yang dirugikan tidak percaya dan mencurigai ada ‘permainan’ di balik hasil pemilu.

Asumsi lain, kerusuhan terjadi karena perilaku simpatisan dan kader kelompok politik tertentu yang melakukan hura-hura ketika muslim melaksanakan Shalat Jumat. Memang, ada beberapa orang yang memakai identitas kelompok politik tertentu berpawai melewati masjid ketika muslim melaksanakan Shalat Jumat. Mereka juga dikabarkan membunyikan musik dengan keras ketika Khutbah Jumat dibacakan, sehingga mengundang kemarahan masyarakat. Diduga, kerusuhan itu dipicu oleh perilaku ini.

Berdasarkan pengalaman saya saat masih bertempat tinggal di Jalan Ahmad Yani Kilometer 2 Banjarmasin, isu terjadi keributan pada waktu Shalat Jumat telah ada ketika saya pulang shalat dari Masjid RS Ulin. Suasana menjadi tegang, ketika Jumat siang itu beberapa orang bersenjata tajam lewat di depan rumah saya. Terlepas dari penafsiran itu, yang jekas Tragedi 23 Mei itu membuat banyak orang tak bersalah menjadi korban. Mayat di Plasa Mitra bukan hanya kader atau simpatisan kelompok politik yang berkonflik, tetapi juga masyarakat yang tak tahu apa-apa.

Ditinjau dengan pendekatan sosiologi, Tragedi 23 Mei 1997 berkaitan erat dengan konflik dan kekerasan. Tragedi ini jelas telah menimbulkan korban jiwa sebagai indikator terjadinya kekerasan. Berpegang pada teori lingkungan sosial, kekerasan akan terjadi jika di sebuah lingkungan terjadi sesuatu yang sensitif atau tidak kondusif. Kasus kerusuhan 23 Mei 1997, sangat erat kaitannya dengan lingkungan sosial-masyarakat yang kurang kondusif. Asumsi ini diperkuat oleh adanya fakta, pada masa itu ada semacam sentimen negatif antara kedua belah pihak yang berkonflik secara politik sehingga iklim konflik semakin terasa terutama di akhir era 1990-an.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jangan sampai kita terlibat konflik hanya karena persoalan yang sangat sepele seperti masalah politik. Ingat, kita membayar sangat mahal hanya untuk melampiaskan amarah dan emosi. Akankah kita bangkit, bersatu untuk sebuah reformasi? Stop Bacakut Papadaan!
Artikel ini dimuat pada 23 Mei 2007, ketika saya masih duduk di kelas 2 SMA.

Tidak ada komentar: