Rabu, 29 Oktober 2008

Pendidikan yang Terkorupsi?

Pengantar
Pendidikan merupakan tahapan terpenting dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Pendidikan yang benar juga akan mampu mengubah pola pikir masyarakat yang terlanjur pragmatis, materialistis, dan Money-Oriented.

Salah Orientasi?

Banyak pihak yang memberi komentar sinis terhadap sistem pendidikan Indonesia. Komentar terakhir diungkapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia tidak mengakomodasi kepentingan tenaga kerja karena terlalu berorientasi pada ijazah. Komentar ini jika dicermati ada benarnya, mengingat banyak lulusan sarjana yang harus mendapat label ’pengangguran’.

Dengan demikian, pendidikan sekarang tidak hanya mengakomodasi unsur intelegensia belaka, tetapi juga mengakomodasi unsur moral dan emosional. Ary Ginanjar pernah mengemukakan bahwa aspek intelegensia hanya berperan sekitar 20% dari pengembangan diri kita, selebihnya adalah aspek emosional (30%) dan yang paling utama aspek spiritual (50%). Oleh karena itu, zaman menuntut pendidikan untuk terus berbenah agar para peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan era globalisasi tanpa meninggalkan benteng moral-agama. Terlebih, dapat menyesuaikan dengan tuntutan dunia kerja yang semakin kompetitif dan result-based.

Di sinilah perlunya pendidikan yang benar dan ’jujur’. Sayangnya, banyak sekali hal yang mengotori pendidikan sehingga sistem pendidikan nasional tidak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu hal yang mengotori pendidikan adalah praktik korupsi yang, ironisnya, dilakukan oleh praktisi pendidikan itu sendiri.
Korupsi Pendidikan

Fenomena yang membuat hati kita miris adalah munculnya kasus ”penyunatan” dana alokasi khusus (DAK) yang dilakukan oleh salah satu Dinas Pendidikan di negara kita. Dana Alokasi Khusus tersebut semestinya dibagikan kepada masing-masing sekolah untuk peningkatan kualitas akademik dan sarana agar tercipta suasana belajar yang kondusif. Akan tetapi, dengan dalih ”Terima Kasih”, beberapa sekolah malah memberi dana tersebut kepada dinas pendidikan. Pejabat yang disidik berpendapat bahwa dana tersebut tidak pernah diminta, dan sudah dikembalikan via Bank.

Ada beberapa hal yang patut kita cermati di sini. Jika memang kata sang pejabat tersebut benar, ada kasus gratifikasi yang dilakukan oleh jajaran sekolah. Artinya, oknu petinggi sekolah yang memberi uang ”terima kasih” tersebut telah melampaui wewenang mereka. Selain itu, mereka juga telah memberi ”amplop” dengan alasan terima kasih, dan ini sangat dilarang dalam hukum.

Kesalahan juga dilakukan oleh pihak yang menerima, dan ini yang paling fatal. Seharusnya, siapapun yang menerima uang tersebut melaporkan perkara ini kepada pihak yang berwenang. Sementara itu, pihak yang memberi dana tersebut juga dilaporkan karena dalam UU mereka tidak diperkenankan memberi uang sebagai tanda terima kasih mengingat dana tersebut adalah dana perimbangan dari pusat ke daerah.

Perkara ini mirip dengan kasus gratifikasi yang dilakukan oleh salah seorang anggota DPR-RI 1999-2004 dari Kalimantan Selatan yang menerima dana dari suatu perusahaan dan menggunakannya untuk kampanye partai tanpa melaporkan adanya aliran dana tersebut kepada KPK. Jika dibandingkan dengan kasus yang diceritakan di atas, fenomena gratifikasi mencerminkan kelalaian birokrasi dan amoralitas (atau keasusilaan) para pemberi gratifikasi, dalam hal ini oknum pejabat sekolah.

Sebenarnya jika kita analisis praktik korupsi pendidikan ini tidak hanya dilakukan pada kasus di atas. Banyak sebenarnya kasus yang mendahuluinya, walaupun kasus-kasus tersebut terjadi di sekolah masing-masing. Contoh kasus, dalam dana APBS saja. Di beberapa sekolah, APBS ini memiliki jumlah nominal yang cukup besar, bahkan ada yang mencapai satu milyar per tahun.

Kenyataannya, adakah pertanggungjawaban APBS yang benar-benar transparan? Jauh panggang dari api. Bahkan ada sebuah sekolah favorit yang ternyata memberikan laporan dana APBS yang mencurigakan. Laporan memang ada, tetapi setelah ditelisik ternyata ada ketidakbenaran dalam isinya. Bayangkan, ada sebuah item anggaran untuk studi banding siswa yang tidak pernah dilaksanakan tetapi dalam laporan tertulis realisasi 100%! Kemudian, dalam laporan tertulis bahwa anggaran untuk bantuan siswa yang mengikuti perlombaan dimanfaatkan 100%, tetapi nyatanya ada siswa yang dua kali mengikuti kegiatan di level nasional tanpa menerima uang sepeserpun dari sekolah.

Bukankah ini sebuah hal yang aneh? Bagaimana mungkin pihak yang menulis laporan tersebut bisa kecele dalam melaporkan dana tahunan? Ini adalah sebuah tanda tanya besar bagi kita. Jangan-jangan, ada unsur kesengajaan alias ’udang di balik batu’ dari kesalahan tersebut.
Perlu Moralitas

Lantas, bagaimana seharusnya pihak tenaga kependidikan bersikap? Tidak lain, persoalan moralitaslah yang lagi-lagi menjadi solusi. Jika para pejabat sekolah mau sedikit saja mendalami agama, tentunya tidak akan ada praktik seperti ini. Tetapi inilah realitasnya, moral dan kebijakan seringkali tidak sinkron.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali mengevaluasi apa yang kita lakukan. Ingat, pendidikan ini tidak untuk dikorupsi. Tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai amanat konstitusi.
Jika bukan para aparatur pendidikan yang bekerja dengan jujut, lantas siapa lagi?

2 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel anda:

http://pendidikan.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/pendidikan_yang_terkorupsi_

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!

Anonim mengatakan...

Asslamualaikum Wr. Wb.

Praktek penyunatan dana alokasi khusus(DAK) dan pemberian bukan menjadi hal yang tabu lagi dalam lingkungan dinas pendidikan.
Perlakuan hal yang demikian bukan berarti tak beralasan. Praktek tersebut dilakukan oleh si "pemberi" dengan maksud segala urusan dapat berjalan dengan lancar. Jika tidak memberi "salam tempel" bisa dipastikan urusan sekolah yang berkaitan dengan Diknas tidak direalisasikan. Misalnya saja dalam pendaftaran UNPTK guru atau pada pembuatan SK guru honorer. Jika mereka tidak memberikan sesuatu maka timbal baliknya tidak diberikan pelayanan atau paling tidak disepelekan dalm waktu yang lama. Dalam keadaan yang demikian mau tidak mau para guru mengeluarkan beberapa lembar uang mereka. Sungguh keadaan yang sangat ironis. Pegawai pemerintahan apalagi dalam bidang pendidikan memang sudah searusnya melayani praktisi pendidikan dengan baik apalagi yang menyangkut guru honorer yang notabene gajihnya jauh dari standar kesejahtearaan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Biasanya hal ini terjadi pada guru Taman kanak-kanak yang telah mengabdi selama puluhan tahun. Mereka seperti dipaksa melakukan suatu prosedur yang penuh dengan ketidakadilan.