Jumat, 09 Mei 2008

Sekolah ”Unggul” atau ”Unggulan”?

Mempertanyakan Labelisasi Sekolah Unggulan dan Beragam Implikasinya

Banjarmasin penuh dengan sekolah "unggulan". Kita tak dapat memungkiri sebuah fakta bahwa beberapa sekolah yang memiliki prestasi tersendiri sering disebut-sebut sebagai sekolah unggulan. Antara lain, jika kita menyebut nama, ada SMAN 1 Banjarmasin dan SMAN 7 Banjarmasin yang disebut-sebut sebagai sebuah sekolah unggulan. Kedua sekolah ini menyelenggarakan PSB mandiri dengan memberlakukan tes masuk bagi siswa baru di tahun ajaran nanti (Mungkin meniru UGM dan UNAIR). Namun, benarkah mereka pantas menyandang gelar "sekolah unggulan" di atas?

Kita perlu meninjau kembali apa arti frase ”Sekolah Unggulan” itu. Saya yakin, belum ada teoritisi pendidikan yang memberikan definisi frase di atas secara tepat. Yang saya temui sekarang ini, frase ”Sekolah Unggulan” justru diberikan oleh para praktisi pendidikan yang sangat ambisius dengan prestise sekolahnya. Artinya, frase ”Sekolah Unggulan” telah mengalami deviasi makna menjadi cenderung subjektif. Implikasi yang mengkhawatirkan, frase di atas dapat menimbulkan penyelewengan makna lanjutan menjadi ”sekolah mahal” yang berarti telah jauh berpindah ke arah materialisasi dan komersialisasi pendidikan. Ini yang penulis khawatirkan.

Saya sebagai seorang siswa sejatinya memiliki pendapat bahwa sekolah unggulan patut ”ditiadakan”. Saya berpendapat, sekolah unggulan hanyalah sebuah titel belaka, bukan sebuah penghargaan yang diberikan secara subjektif. Saya tidak mengetahui parameter apa yang digunakan untuk mengukur kata ”unggulan” ini. Mungkin ada yang berpendapat sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu membuka kelas ”akselerasi”. Atau sekolah yang mampu ”meloloskan” siswa ke kompetisi di level nasional (padahal sekolah tidak memberi dana kepada siswa tersebut). Pendeknya, yang dikedepankan adalah prestasi siswa dan ”prestasi” sekolah.

Baiklah, mari kita analisis.

Mengapa dibukanya kelas ”akselerasi” sering diukur sebagai parameter sekolah unggul? Argumentasi yang berkembang, kelas akselerasi ditujukan bagi siswa dengan bakat akademis yang excellent. Nah, bagaimana dengan siswa yang berbakat secara akademis tetapi tidak memiliki kesempatan karena berada nun jauh di pelosok sana? Ini menandakan istilah unggulan hanya dimonopoli oleh sekolah di kota-kota besar. Saya tidak berani mengatakan kelas akselerasi yang dijadikan dalil merata persebarannya di seluruh Indonesia. Yang ada justru banyak sekolah yang memaksakan diri untuk membuka kelas akselerasi dengan bayaran melangit.

Jika ada yang menggunakan parameter prestasi untuk mengukur ”keunggulan” sebuah sekolah, mengapa sekolah-sekolah pinggiran yang berhasil menelurkan siswa berprestasi tidak dihadiahi predikat di atas? Atau bagaimana dengan sekolah-sekolah yang memiliki prestasi biasa saja, tetapi ternyata mampu menjadi sekolah yang berwawasan lingkungan dan berdisiplin tinggi, apakah mereka bukan sekolah unggulan? Ujung-ujungnya, parameter yang berlaku adalah uang untuk biaya operasional sekolah yang tinggi.

Di sini, saya menggunakan istilah ”Sekolah Unggul”, bukan ”Sekolah Unggulan”. Mengapa unggul? Karena istilah sekolah unggul dapat dimiliki oleh siapa saja, tidak harus dimiliki oleh sekolah yang memiliki dana berlebihan. ”Sekolah Unggul” bukanlah predikat yang harus disandang sebuah sekolah, tetapi ia lebih menjadi sebuah objek yang harus dinilai dengan parameter yang berbasis pada kualitas, bukan uang.

Apa bedanya ”Unggul” dengan ”Unggulan”? Mungkin ini akan dipertanyakan oleh banyak orang, apalagi oleh Pak Sandy sendiri. Saya memiliki argumentasi sendiri berkaitan dengan penggunaan kata ini.

Pertama
, seperti yang telah dijelaskan di atas, kata unggul dapat dimiliki oleh siapa saja. Ia bukan sebuah istilah yang diberikan, tetapi ia adalah sebuah implikasi dari kerja keras dan prestasi yang diraih. Sekolah pinggiran atau sekolah di tengah kota, semua memiliki hak.

Kedua, istilah sekolah unggulan sekarang lebih sering dimaknai sebagai sekolah ”mahal”. Buktinya ada di sekolah saya yang sering dikatakan (lebih tepatnya ”menyatakan diri”) sebagai sekolah unggulan. Saya betul-betul tidak paham, apakah dengan adanya predikat unggulan sekolah berhak memungut dana kepada siswa dengan nominal yang besar? Ironisnya, sekolah yang memungut dana besar ternyata tidak memiliki akuntabilitas dan transparansi yang tinggi. Saya telah banyak menganalisis penyimpangan-penyimpangan APBS yang dimonopoli oleh birokrat sekolah tanpa adanya aksesibilitas kepada siswa (bahkan pada orang tua yang tidak berada dalam circle of authority).

Ketiga, sekolah unggulan seringkali mendapatkan perhatian yang berlebih dari pemerintah. Seakan-akan sekolah unggulan adalah sebuah proyek yang akan menghasilkan keuntungan besar. Seharusnya, pemerintah lebih memprioritaskan program pada pemerataan. Ingat, masih banyak sekolah yang memerlukan sarana dan prasarana memadai, sementara standard Ujian Nasional terus meningkat setiap tahun. Belum lagi dengan tuntutan dunia kerja yang mengisyaratkan sekolah untuk membekali siswa tentang life skill dan specialty yang sangat berguna ketika siswa berkarier atau kuliah, yang berarti harus ada kurikulum yang adaptif dan responsif terhadap gejala perubahan sosial. Sekolah unggul mengisyaratkan pemerintah untuk melakukan pemerataan tersebut.

Keempat, sekolah unggul juga berarti ada upaya untuk meminimalisasi biaya tinggi dalam pendidikan. Bahkan, sekolah unggul harus menyediakan akses seluas-luasnya bagi para siswa untuk mengetahui keperluan sekolah. Selain itu, birokratisasi pendidikan juga harus dihentikan. Siswa memiliki kewajiban yang harus dilakukan selama digembleng dalam institusi pendidikan, tetapi siswa juga punya hak untuk tahu. Apalagi, UU No 20 tahun 2003 sebagai basis legitimasi dari pelaksanaan pendidikan sekarang mengisyaratkan hal yang demikian.

Demikianlah, seyogianya pemerintah mengganti istilah ”sekolah unggulan” menjadi ”sekolah unggul” yang disertai pemerataan, aksesibilitas, dan interkoneksi yang memungkinkan semua warga negara Indonesia menikmati pendidikan secara wajar. Jangan sampai tujuan filosofis pendidikan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dinodai oleh para praktisi pendidikan itu sendiri. Ingat, kebangkitan bangsa ada di tangan para pelajar!

*) Pelajar SMAN 1 Banjarmasin

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/sekolah_unggul_atau_unggulan_

Anonim mengatakan...

Bangga dengan anak muda yg kreatif menulis, keep on writing.