Minggu, 29 Agustus 2010

Ruang Publik dan Reorientasi Demokrasi

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

rizky_mardhatillah@yahoo.co.id

Diskursus mengenai demokrasi mengemuka di Indonesia satu dasawarsa terakhir. Purwo Santoso, pakar kebijakan publik menyebut proses demokratisasi sebagai proses "politiko-kultural", karena pasca-reformasi demokrasi seakan dianggap sebagai pilihan terbaik dalam sistem politik Indonesia. Demokrasi tidak hanya menjadi pilihan sistem politik di Indonesia, tetapi juga menjadi arena diskursus bagi para ilmuwan politik yang menganalisis Indonesia dalam penelitian-penelitiannya.

Demokrasi sendiri merupakan terminologi yang memiliki rentang definisi yang sangat luas karena tafsirnya yang tidak statis. David Held, seorang pemikir demokrasi, memetakan ada lebih dari delapan aliran pemikiran besar mengenai demokrasi, mulai dari model yang sangat klasik seperti “Demokrasi Athena” yang digagas oleh Salon, hingga model yang sangat mutakhir seperti “Demokrasi Deliberatif” yang digagas oleh Jurgen Habermas. Frame dan lokus demokrasi pun dipetakan beragam. Ada yang memandang demokrasi dalam kerangka “elit” seperti Max Weber atau Joseph Schumpeter, tetapi ada pula yang mewujudkan demokrasi dalam wajah yang “populis” seperti Marx.

******

Aliran pemikiran terbesar yang saat ini digunakan –baik oleh teoretisi maupun aktor dari demokrasi— adalah aliran “demokrasi elit”. Gagasan ini menganggap bahwa efisiensi demokrasi dapat dilakukan dengan menyerahkan memindahkan lokus kekuasaan pada elit yang memiliki basis kompetensi dan kemampuan organisasional dalam mengatur urusan-urusan publik. Artinya, demokrasi dibaca sebagai sebuah mekanisme elit dalam menjawab urusan-urusan publik, bukan mekanisme “langsung” (direct democracy) yang melibatkan partisipasi rakyat.

Di benak para pemikir, demokrasi adalah hasil kerja para elit dan adalah domain dari para elit. Joseph Schumpeter, seorang pemikir terkemuka dalam aliran ini, bahkan memberikan sebuah dictum: “democracy is the rule of politician”. Dengan logika berpikir tersebut, Demokrasi dibayangkan sebagai sebuah proses “siapa mewakili siapa” dan “bagaimana proses perwakilan itu dijalankan”. Demokrasi cukup dianggap sebagai sebuah “institutional method”, atau dalam bahasa Samuel Huntington, sebuah model pengaturan kelembagaan untuk mendatangkan sebuah keputusan politik yang merepresentasikan suara rakyat dalam usaha yang kompetitif.

Oleh karena demokrasi adalah sebuah metode kelembagaan, maka proses-proses demokrasi diukur dalam parameter “bagaimana suara didapatkan”. Artinya, demokrasi adalah proses bagaimana untuk mendapatkan legitimasi publik, dalam hal ini, people’s vote. Maka, demokrasi perlu dibuat seefisien mungkin agar keputusan politik dapat berjalan sesuai dengan kehendak publik. Dengan kerangka berpikir tersebut, Huntington sampai pada kesimpulan: Demokrasi bukan persoalan “bagaimana rakyat mengatur kehidupannya”, tetapi “bagaimana rakyat memilih seorang pemimpin yang akan mengatur kehidupan mereka”. Inilah yang kemudian dikenal dengan makna “competitive elitism”.

"Mengakar-rumputkan" Demokrasi

Kritik yang kemudian diajukan pada pendekatan tersebut adalah, bagaimana posisi mass –rakyat yang direpresentasikan kepentingannya oleh elit tersebut— dalam panggung demokrasi?

Ada pandangan lain yang cukup berbeda mengenai demokrasi. Pandangan ini terlihat dari pemikiran beberapa orang yang Demokrasi sejatinya tidak dibangun di ruang-ruang struktur. Bagi sebuah negara yang sampai pada level otonomi demokrasi –meminjam istilah Georg Sorensen— demokrasi termanifestasi di ruang-ruang publiknya. Ia tidak hanya berada di gedung parlemen, di ruang kerja menteri, atau kamar kerja seorang presiden. Demokrasi justru berada di sawah-sawah petani, sudut-sudut pasar, ruang kelas mahasiswa, di tengah dengung pabrik, bahkan di jalan tempat orang lalu-lalang. Pada titik itulah demokrasi dikatakan masuk pada level “otonomi”, yang artinya terejawantahkan di semua bidang kehidupan.

Sehingga, demokrasi tidak lagi hanya dipandang pada dimensi electoral an sich. Demokrasi juga berada pada level sosial, ekonomi, pendidikan, dan bidang-bidang lain. Lokus demokrasi akan menjadi terdesentralisasi: dari gedung-gedung parlemen atau pemerintahan ke ruang-ruang publik. Ini berarti demokrasi bukan domain elit semata, tetapi juga menjadi bagian dari aktivitas rakyat.

Persoalannya, bagaimana mendesentralisasi lokus demokrasi tersebut?

Jurgen Habermas, seorang pemikir Jerman, mengajukan sebuah tawaran: tindakan komunikatif sebagai basis dari demokrasi. Menurut Habermas, sebagaimana dipotret oleh F. Budi Hardiman, sebuah kebijakan publik mesti mendapatkan legitimasi rakyat. Proses transfer legitimasi kepada rakyat tersebut dilakukan melalui diskursus komunikatif antarwarga dengan medium “ruang publik”. Basis-basis komunikasi publik di level terkecil masyarakat mesti diaktifkan. Demokrasi dipandang dalam bentuknya sebagai “deliberasi”, yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai “Musyawarah”.

Dengan konsepsi ini, demokrasi tidak lagi menjadi sebuah makna politik. Ia terejawantahkan dalam model-model aktivitas publik sehari-hari. Berdemokrasi bukan sekadar mengambil keputusan di parlemen, tetapi juga dalam proses-proses penyusunan anggaran, kritik terhadap pemerintah, menyalurkan aspirasi, bahkan dalam proses belajar-mengajar.

Oleh karena itulah, dengan menggunakan model demokrasi ini, logika pengambilan keputusan dibalik: dari top-down menjadi bottom-up. Pada logika pertama, negara memainkan peran yang begitu sentral dalam mengatur kehidupan masyarakat. Demokrasi, dengan logika tersebut, adalah alat bagi negara untuk mendapatkan legitimasinya agar selaras dengan –meminjam istilah Rosseau— kehendak umum.

Akan tetapi, logika kedua (bottom-up) justru mengimplikasikan hal yang berlawanan. Peran negara didistribusikan kepada komunitas-komunitas yang ada di masyarakat. Demokrasi kemudian menjadi alat bagi masayrakat untuk mengaspirasikan kepentingannya sehingga dapat diterjemahkan oleh negara sebagai kebijakan publik. Tentu saja, dalam konteks ini, kebijakan publik tidak melulu terdapat dalam bidang-bidang politik, tetapi juga mewujud dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, pembangunan, hingga pendidikan.

Artinya, demokrasi perlu direformulasi tidak hanya pada level elektoral, tetapi melampaui itu hingga sampai pada level pasca-elektoral. Pemilihan Umum atau Parlemen bukan lagi lokus “tunggal” dari demokrasi. Kita akan sampai pada lokus-lokus baru, yang disebut oleh Habermas sebagai “Ruang Publik”.

Ruang Publik dan "Desa": Perspektif Indonesia

Tantangan untuk mendesentralisasi demokrasi ke level-level nonpolitik tersebut mengemuka ketika dihadapkan pada sebuah persoalan: bagaimana mengidentifikasi “ruang publik” ideal yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang terserak di masyarakat?

Konsepsi ruang publik yang dibayangkan oleh Habermas memang saat bertipe “Eropa” dan penuh nuansa perkotaan. Ia membayangkannya sebagai “ruang” di mana semua anggota masyarakat dapat mengakses ruang tersebut dan melakukan interaksi-interaksi sosial. Hal tersebut tentu mengimplikasikan budaya “kewargaan” (sipil) yang kuat, adanya kesadaran untuk mengaspirasikan kepentingan dari masing-masing warga yang berarti semua warga harus teredukasi secara baik, dan menganggap semua warga yang mengaspirasikan kepentingannya tersebut berada dalam strata kelas yang sama. Artinya, jika kita bayangkan formulasi tersebut dalam konteks keindonesiaan, hal tersebut sangat mencirikan kultur perkotaan dan kelas menengah yang begitu kuat.

Oleh karena itu, penulis memandang perlu untuk mereformulasi “ruang publik” dalam perspektif keindonesiaan. Di Indonesia, “ruang public” yang bertipe Habermasian tersebut mewujud dalam bentuk "Desa".

Pada hakikatnya, akar dari masyarakat Indonesia adalah masyarakat pedesaan. Identitas sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bukan “identitas kewargaan” yang sangat kental nuansa kenegaraan, tetapi “identitas komunal” yang kental dengan nilai-nilai kelokalan. Kesadaran masyarakat terbangun bukan oleh “kesadaran sipil”, tetapi oleh faktor-faktor kultural yang mengikat masyarakat. Robert Elson, seorang sejarawan Australia yang baru-baru ini menulis sebuah buku berjudul “The Idea of Indonesia”, berpendapat bahwa asal-usul Indonesia tak dapat dipisahkan dari ciri-ciri etnis dan budaya, seperti bahasa, ciri fisik, dan adat-istiadat. Esais Putu Wijaya juga berpendapat demikian. Adat istiadat dan tradisi menempati posisi penting dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya tak dapat dipisahkan dari identitas kebangsaan Indonesia. Masyarakat Indonesia pada hakikatnya adalah masyarakat yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya, yang disebut oleh Prof. Bintarto sebagai “Desa”.

Maka dari itu, ketika berbicara mengenai ruang publik dalam perspektif keindonesiaan, kita perlu melibatkan “masyarakat desa” sebagai unit analisis. Jika argumennya menyatakan bahwa demokrasi memerlukan ruang-ruang publik sebagai lokus, maka demokrasi juga harus bertransformasi ke sendi-sendi kehidupan masyarakat desa. Artinya, demokrasi idealnya memperhatikan kearifan lokal, ke-guyub-an masyarakat, modal sosial, tradisi, atau nilai-nilai kelokalan. Demokrasi pada konteks ini bersifat transformatif: Masyarakat diberikan otonomi sepenuhnya untuk mengelola dirinya sendiri. Peran-peran negara dalam demokrasi juga harus selaras dengan kepentingan masyarakat, dari yang bersifat sipil menjadi bersifat kultural.

Persoalannya kemudian, bagaimana mengadaptasikan konteks demokrasi “sipil-politis” negara menjadi konteks “kultural”? Di sini, peran negara lagi-lagi perlu direkonstruksi. Negara cukup menjadi penyelaras sistem dan wadah penyaluran aspirasi komunitas, juga sebagai penyalur sumber daya publik yang ada . Dengan otonomi yang diberikan pada level masyarakat terkecil, hal-hal yang menjadi domain dari individu diselesaikan pada level komunitas, sedangkan persoalan yang dihadapi oleh komunitas pada skala yang lebih besar diselesaikan dengan fasilitasi negara.

Secara praktis, masalah demokrasi dengan basis pedesaan ini dapat kita lihat contohnya pada kasus anggaran partisipatif yang digagas di negara bagian Porto Allegre, Brazil. Gagasan mengenai perubahan model keuangan daerah melalui mekanisme anggaran partisipatif memberikan paradigma baru sistem penganggaran (budgetting) di level daerah, sebagaimana dicontohkan oleh Porto Allegre. Di sana, anggaran ternyata tidak hanya dibuat secara top-down seperti diterapkan di Indonesia, tetapi juga secara bottom-up, di mana masyarakat juga turut berpartisipasi memberikan usulan, draft, dan kontrol atas anggaran yang ada.

Artinya, dengan model bottom-up tersebut, anggaran tidak lagi bersifat elitis dan tidak terakses oleh masyarakat, tetapi juga dapat melibatkan segenap stakeholders untuk berpartisipasi, tak terkecuali masyarakat yang berpartisipasi dalam politik secara pasif. Model anggaran partisipatif ini sangat mungkin diimplementasikan dalam level daerah. Artinya, jika ada kemauan politik lokal untuk mengubah paradigma anggaran dari top-down menjadi bottom-up, model anggaran partisipatif tersebut dapat menjadi sebuah ikon bagi demokratisasi keuangan daerah.

Tentu saja wacana ini bukan tanpa masalah. Setidaknya, ada dua persoalan yang akan dihadapi ketika ingin mengimplementasikan hal ini. Pertama, partisipasi politik masyarakat yang tidak begitu tinggi. Anggaran partisipatif memerlukan peran serta masyarakat dalam pengusulan dan pengawasan, dan ini perlu dilakukan dengan memberdayakan masyarakat. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, model anggaran partisipatif bisa menjadi elitis, simbolik, serta bernuansa politis-artifisial.

Kedua, kesiapan pemerintah daerah. Mengubah paradigma sistem anggaran berarti mengubah ritme kerja pembangunan, dan hal ini memerlukan penyesuaian dari birokrasi lokal. Tentu saja, penyesuaian-penyesuaian ini harus diikuti oleh pemahaman yang menyeluruh para birokrat mengenai model anggaran partisipatif. Sebab, model anggaran ini memerlukan sosialisasi dari aktor-aktor birokrasi lokal.

Jika gagasan tersebut bisa diadaptasi dalam konteks masyarakat pedesaan yang memiliki karakteristik khas, demokrasi akan berjalan secara lebih luwes. Kita akan menyongsong era baru demokrasi yang tidak lagi elitis, tetapi menjadikan masyarakat sebagai aktor yang aktif dalam proses demokratisasi.

*****

Mungkin, tidak semua orang sepakat dengan konsepsi yang ditawarkan dalam pemaparan di atas. Masih banyak celah kritik yang muncul dari konsepsi sederhana yang penulis adaptasikan dari beberapa pemikiran di atas. Akan tetapi, dengan kondisi demokrasi saat ini yang sangat elitis dan mereproduksi kesenjangan antara “elit” dan “massa”, gagasan tersebut menjadi menarik untuk digulirkan, paling tidak untuk mengembalikan makna demokrasi menjadi “pemerintahan rakyat”, bukan “pemerintahan elit atas nama rakyat”

Reorientasi demokrasi, pada tulisan ini, perlu dimaknai dengan memindahkan lokus-lokus demokrasi dari ruang-ruang elit ke ruang-ruang publik. Persoalannya tinggal menggantung pada masyarakat dan elit. Siapkah demokrasi kita transformasikan dalam kerangka keindonesiaan? Mari mengembalikan makna demokrasi, venceremos democratia.

Yogyakarta, 27 Agustus 2010.

Sabtu, 24 April 2010

Sejarah Organisasi Mahasiswa UGM (1)

PERIODE DEWAN MAHASISWA (1955-1978)

Pada Dasarnya, Embrio Dewan Mahasiswa UGM telah ada sejak tahun 1949, dengan adanya Senat Mahasiswa Gabungan dari tiga fakultas embrio: HESP, Mamaconga, dan Teknik. Akan tetapi, baru pada tahun 1955 setelah fakultas-fakultas dimekarkan, berdiri Dewan Mahasiswa UGM yang diketuai oleh Koesnadi Harjasoemantri, Mahasiswa Fakultas Hukum. Pada tahun yang sama, juga berdiri Dewan Mahasiswa di Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Emil Salim dari Fakultas Ekonomi. Di ITB, Dewan Mahasiswa berdiri pada tahun 1960 dengan Ketua Piet Corputty dari Teknik Sipil dan Wakil Ketua Udaya dari Teknik Pertambangan.

Berikut data sejarah Dewan Mahasiswa UGM.

1955-1957: Koesnadi Harjasoemantri (Fakultas Hukum)

Pada era ini, prestasi yang ditorehkan oleh Dewan Mahasiswa UGM adalah menginisiasi PPTM atau Projek Pengerahan Tenaga Mahasiswa sebagai wujud pengabdian masyarakat dari mahasiswa UGM untuk memasyarakatkan ilmunya kepada masyarakat di desa-desa dan daerah terpencil, sehingga ilmu yang dimiliki mahasiswa bisa menyebar luas. Kelak, proyek yang diinisiasi oleh Dewan Mahasiswa ini diadopsi oleh pihak UGM menjadi Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang bernilai 3 sks wajib.

Pada PPTM ini, Koesnadi Ketua Dewan Mahasiswa UGM sendiri ditugaskan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Aktivitas beliau menyebabkan kelulusan beliau dari Fakultas Hukum tertunda hingga tahun 1964.

<

1972-1974: Beny Soediro (Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik)

1974-1976: Marsanto (Fakultas Kehutanan)
Ketua I : Sampurno (Fakultas Farmasi)

1976-1978: Lukman F. Mokoginta (Fakultas Geografi)
Ketua I : Baharuddin Aritonang (Fakultas Farmasi)
Sekjen: Ahmad Fanani (Fakultas Hukum)

Era 1976-1978 ini dapat dikatakan sebagai era terakhir Dewan Mahasiswa. Situasi yang memanas pada akhir 1970-an pasca Apel Siaga DM ITB dan kerusuhan Malari yang menyeret nama Ketua Dewan Mahasiswa UI Hariman Siregar berujung pada masuknya tentara ke kampus-kampus, tak terkecuali UGM. Pada bulan Maret 1978, terjadi bentrokan antara mahasiswa dan militer yang pada waktu itu mendapat perintah rejim untuk menertibkan aksi mahasiswa. Tokoh-tokoh mahasiswa seperti Baharuddin Aritonang dan Lukman Mokoginta ditahan oleh militer pada peristiwa Maret 1978 tersebut.

*****

Pada tahun 1978-1979, Dewan Mahasiswa UGM dibekukan oleh rejim, bersama dengan Dewan Mahasiswa di kampus lain. Sebagai gantinya, dibuatlah BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang diketuai oleh Pembantu Rektor III bidang Kemahasiswaan. Fungsi Dewan Mahasiswa di tingkat universitas tidak berjalan, dan mahasiswa difragmentasi aktivitasnya di level fakultas.


Minggu, 11 April 2010

Belajar dari Krisis Politik Thailand

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Thailand kembali memanas. Setelah bertahun-tahun dirundung ketidakpastian politik, kembali kegentingan melanda Thailand. Puluhan ribu massa loyalis mantan Perdana Menteri Thaksin Sinawatra yang menggunakan simbol “baju merah” berunjuk rasa dan memadati pusat kota Bangkok untuk menuntut mundurnya Perdana Menteri Abhisit Vijjajeva.

Ada dua hal yang dapat kita analisis dari kondisi politik Thailand pekan ini.

Pertama, tidak menentunya kondisi politik Thailand pasca-demonstrasi besar-besaran telah membawa implikasi ekonomi dan politik bagi Thailand. Kedua, aksi demonstrasi massal yang digalang oleh kubu “The Red Shirt” menjadi bahan pertanyaan, atas tujuan apa mereka melakukan demonstrasi menentang perdana menteri Abhisit?

Mobilisasi

Dalam studi demokrasi, ada sebuah istilah yang kerap digunakan sebagai lawan dari partisipasi: mobilisasi. Secara sederhana, kita dapat menafsirkan mobilisasi sebagai upaya untuk mengerahkan massa untuk memenuhi kepentingan-kepentingan politik sesaat. Jika dikaitkan dengan konteks gerakan politik, muncul kesan bahwa gerakan tersebut dibangun secara massif, kuat, dan pantas disebut sebagai “people’s power”.

Benarkah demikian? Apa yang saat ini terjadi di Thailand sebenarnya dapat kita baca sejak digulingkannya Thaksin Sinawatra tahun 2006. Pasca-Thaksin, intervensi militer yang begitu kuat dalam politik Thailand kerap menjadikan situasi politik Thailand serba tak menentu.

Berulang-kali pemerintahan yang dibangun kandas. Hal itu terjadi bukan karena proses-proses politik di parlemen, tetapi justru karena tekanan massa yang dicurigai sebagai mobilisasi massa oleh faksi-faksi yang berseteru.

Mengapa kecurigaan terjadinya “mobilisasi” ini muncul? Ada dua argumentasi.

Pertama, pemerintahan yang dibentuk pasca-Thaksin selalu menghasilkan demonstrasi dari masing-masing kubu, dan ketika krisis politik berakhir, demonstrasi tersebut seakan menghilang. Samak Sundaravej dan Somchai Songsawat, dua pendahulu Abhisit dari kubu loyalis Thaksin telah membuktikannya.

Kedua, tidak pernah terjadi bentrokan secara vis-a-vis antara kedua kubu. Logikanya, jika aksi demonstrasi dilakukan secara sadar, bukan atas dorongan manipulatif, akan muncul respons ketika ada gerakan lain yang ingin menjatuhkan rejim yang dibela. Nyatanya, demonstrasi selalu didominasi oleh satu warna, dan ketika warna itu menang, mereka menghilang.

Thitinan Pongsudirak, profesor ilmu politik dari Chulangkorn University menulis di harian The Guardian bahwa konflik elit ini terjadi antara dua faksi besar: elit-elit pedesaan atau “kelas pinggiran” (rural columns) yang pro-Thaksin di satu sisi dan kelompok kelas menengah serta loyalis Raja di sisi lain. Terjadi pertarungan massa di antara kedua faksi ini.

Argumentasi ini memberi tafsir tersendiri untuk menjelaskan tidak menentunya kondisi Thailand. Artinya, kisruh Thailand ini pada dasarnya adalah ekses dari konflik elit yang kemudian dilanjutkan oleh mobilisasi massa sebagai legitimasi pendapat para elit yang berseteru.

Krisis politik kian diperparah oleh masuknya militer ke ranah politik, yang berarti memperjelas ketidakstabilan dan praetorianisme. Sehingga, menurut Pongsudirak, kunci permainan sekarang berada di tangan pemerintah Abhisit untuk merestorasi demokrasi “kembali ke titik nol”.

Refleksi bagi Indonesia

Persoalan Thailand seperti membawa sebuah pesan tersirat bagi negara-negara tetangganya: berhati-hatilah dengan gerakan massa. Jangan sampai, makna demonstrasi yang sebenarnya mulia –membawa suara dan cita-cita rakyat— ternodai hanya oleh kepentingan-kepentingan yang sangat pragmatis.

Tak ada yang salah dengan sebuah gerakan politik yang massif. Akan tetapi, berhati-hatilah karena tak ada yang tahu gerakan itu adalah sebuah gerakan yang dibuat dengan kesadaran, atau hanya mobilisasi yang sangat manipulatif.

Berbagai pemberitaan yang mengisyaratkan adanya mobilisasi berupa pembagian uang dan “nasi bungkus” bagi demonstran untuk mendukung sebuah isu tertentu patut diwaspadai. Hal ini tidak hanya membawa kekisruhan dalam aksi massa, tetapi juga merupakan bentuk penodaan terhadap proses demokrasi.

Untuk itulah diperlukan “ruang publik politis”. Meminjam bahasa Habermas, ruang publik adalah salah satu bentuk dari pemanfaatan arena-arena publik melalui tindakan komunikatif antarwarga negara. Jangan sampai, demonstrasi di Indonesia berubah menjadi chaos massal hanya karena arena publik diubah menjadi arena kepentingan dan uang.

Pendayagunaan ruang publik tidak hanya melalui pembangunan politik yang proseduralistik, tentu saja. Perlu adanya kanal-kanal komunikasi yang dibuka secara lebih luas oleh pemerintah, antara lain dengan membuka wadah partisipasi masyarakat untuk merespons kebijakan publik yang ada.

Lagi-lagi, diperlukan deliberasi. atau, dalam bahasa yang lebih sederhana, kita menyebutnya dengan"musyawarah”. Tidak semua kebijakan harus diputuskan secara sepihak. Maka, demonstrasi tidak lagi harus dijawab dengan pentungan atau gas air mata, tetapi dengan jalur komunikasi yang baik. Ini pun juga mesti dilakukan dengan membuka relung-relung kesadaran.

Maka, mari mengaktifkan kembali kesadaran politik kita. Mari bergerak atas kesadaran, bukan karena dimanfaatkan.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM

Gerakan Politik Islam di Indonesia

*) Draft pertama. not to be cited.

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Secara garis besar, kemunculan gerakan politik Islam di Indonesia memiliki agar genealogi dan pemikiran yang tak terlepas dari Timur Tengah (Noer, 1980, Pasha & Darban, 2005). Setidaknya, kita dapat memetakan akar genealogi dari beberapa gerakan moderen Islam di Indonesia.

Pertama, Muhammadiyah. Pasha & Darban (2005: 105) menjelaskan bahwa ada tiga pemikir gerakan Islam yang mempengaruhi eksistensi Muhammadiyah: Jamaluddin Al-Afghany, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Tiga pemikir ini kemudian dikenal sebagai gerakan Salafiyah, yang oleh beberapa sejarawan dianggap sebagai peletak tonggak gerakan Islam modern (Pasha & Darban, 2005: 37). Pengaruh pemikiran mereka terletak pada persoalan memandang realitas sosial. Pemikiran Muhammadiyah memiliki corak khas yang akarnya berasal dari Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim. Gerakan Muhammadiyah mendasarkan pembaharuan (tajdid) sebagai salah satu pokok pemikiran untuk melahirkan sebuah peradaban utama (Nashir, 2006).

Hal ini juga dipertegas oleh riwayat KH. Ahmad Dahlan yang juga pernah menuntut ilmu dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, seorang Mufti di Masjidil Haram yang memiliki garis sikap sejalan dengan gagasan pembaruan. Ketika KH. Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta, kampung halaman beliau, gerakan untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan di masyarakat mulai muncul. Akhirnya, lahirlah Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai manifesto perwujudan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang mencita-citakan terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai realitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas (Pasha & Darban, 2005: 99).

Kedua, Gerakan Paderi di Sumatera Barat. Pasha & Darban (2005: 75) menulis bahwa kemunculan gerakan Paderi kuat kaitannya dengan gerakan Wahabiyyah yang ada di Saudi Arabia, serta memiliki garis perjuangan yang sama: menghendaki pemurnian agama Islam secara mengakar. Gerakan Paderi diawali oleh kedatangan tiga haji asal Minang kembali ke daerahnya, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang yang mendakwahkan ajaran wahabi. Kedatangan mereka mendapatkan respons dari Kaum Adat yang menentang gerakan dakwah ini.

Klimaksnya, pecah perang Paderi yang dipelopori oleh salah seorang pahlawan nasional yaitu Tuanku Imam Bonjol yang membangun benteng di Bonjol. Perang ini membawa implikasi pertempuran dengan pihak ketiga, yaitu penjajah Belanda. Dalam kaitannya dengan gerakan politik Islam, kita dapat melihat kesamaan dengan Gerakan Muhammad ibn Abdul Wahhab di Dariyyah yang merebut kekuasaan dari penguasa lokal dengan jalan serupa, dan juga menginginkan pemurnian ajaran Islam secara mengakar. Belakangan, muncul jamaah salafy di kampus-kampus yang merupakan perwujudan wahaby pasca-berkuasa, yang menggunakan jalur-jalur dakwah non-politis dan tidak terlibat persinggungan dengan kekuasaan.

Ketiga, Jamaah Tarbiyah, atau yang lebih kita kenal sebagai Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jamaah Tarbiyah (PKS) tidak secara terang-terangan mengafiliasikan diri dengan Ikhwanul Muslimin, akan tetapi memiliki pemikiran yang berafiliasi dengan gerakan dakwah dari Mesir tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari kesamaan sikap, terutama dalam merespons demokrasi yang oleh sebagian gerakan lain (HTI, Salafy, dll.) dianggap haram. Ciri khas Jamaah Tarbiyah yang juga mencirikan adanya afiliasi pemikiran dengan Ikhwanul Muslimin adalah metode pendidikan (tarbiyah) melalui halaqoh atau kelompok-kelompok pengajian kecil sebagai basis pembinaan anggota, serta semangat untuk kembali pada asholah dakwah atau Islam yang menyeluruh (syamil). Ini dijelaskan oleh Al-Banna sebagai “watak Al-Qur’an yang merangkul segala-galanya (Amin, 2006: 134, Pasha & Darban, 2005: 54).

Berbeda dengan Muhammadiyah yang lebih menekankan purifikasi ajaran Islam dari Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat serta pemberdayaan masyarakat, Ikhwanul Muslimin lebih mengarahkan pada pembentukan organisasi (tanzhim) yang kuat untuk menopang dakwah yang mencakup semua aspek kehidupan, serta berkecimpung di ranah politik untuk meraih kekuasaan dalam implementasinya. Di Indonesia, kendati secara formal tidak ada afiliasi antara IM dan PKS, akan tetapi pemikiran Al-Banna sebagai pendiri IM masih melekat dalam tradisi pemikiran PKS.

Tiga contoh gerakan Islam ini menjadi contoh masuknya pemikiran Islam yang melandasi arah juang gerakan politik Islam. Perbedaan yang cukup menarik, tidak semua pemikiran tersebut diadopsi oleh gerakan politik Islam di Indonesia. Terjadi proses asimilasi dengan kebudayaan lokal yang berimplikasi pada terwarnainya gerakan politik Islam tersebut oleh nuansa-nuansa nasional. Hal ini yang perlu ditelaah secara lebih komprehensif.


REFERENSI

Amin, Shadiq. 2006. Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal (penterjemah: Syarif Ridwan). Jakarta: Al-I’tishom.

Pasha, Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. 2005. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Noer, Deliar. 1980. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Nashir, Haedar. 2006. Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah. Malang: UMM Press.

Mengenang Jejak Tan Malaka

Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Banjarmasin Post (12/9) memberitakan bahwa sebuah makam yang diduga sebagai makam pahlawan nasional, Tan Malaka, ditemukan di Kediri, Jawa Timur. Proses penggalian masih dilakukan. Kalangan intelektual menantikan kebenaran mengenai makam Tan Malaka, pahlawan yang dikabarkan gugur ketika era revolusi 1945-1949.

Siapakah Tan Malaka? Dalam diskursus politik Indonesia, Tan Malaka yang bernama lengkap Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka memang jarang disebut-sebut, terutama ketika Soeharto berkuasa. Nama Tan Malaka, karena basis pemikirannya yang Marxis, sering diidentikkan dengan “Komuinisme”, padahal beliau sendiri tercatat sebagai pendiri Partai Murba yang berlawanan dengan Partai Komunis Indonesia dalam banyak aspek. Sehingga, peran kesejarahan Tan Malaka pun secara politis dikerdilkan.

Namun, pasca-kejatuhan Soeharto, nama Tan Malaka mencuat sebagai salah satu “Bapak Bangsa” yang perannya tak kalah penting dibanding Soekarno atau Hatta. Salah seorang Indonesianis yang akhir-akhir ini menulis tentang sejarah Indonesia, Harry Poeze, mengangkat Tan Malaka sebagai disertasinya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Begitu pula dengan produk-produk intelektual beliau, seperti Madilog (1943) yang populer juga kembali dianggap penting dalam diskursus politik Indonesia. Atau, Naar de Repoeblik Indonesia (1925) dan Gerilya-Politik-Ekonomi (1948).

Tan Malaka sendiri lahir pada 2 Juni 1896 di Nagari Pandang Gadang, Suliki. Beliau lahir ketika era gerakan kebangkitan dimunculkan, dan pemikiran Marxisme mulai masuk ke Indonesia. Friksi politik kolonial membentuk pemikiran kritisnya.

Pada tahun 1921, Tan Malaka bersama Semaun, Alimin, dan beberapa aktivis kiri mulai terjun ke kancah politik praktis. Mereka mulai dari Sarekat Islam, kemudian turut mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menegaskan garis Bolshevik-nya daripada ISDV. Pada tahun 1927, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) yang cenderung repoebliken, setelah PKI dibubarkan karena pemberontakan 1926.

Garis Republiken Tan Malaka sangat jelas. Konsepsinya tentang Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat telah lahir pada tahun 1925 dalam buku Naar de Repoeblik Indonesia, bahkan sebelum pemimpin lain berpikir untuk merdeka. Hal inilah yang menentukan garis perjuangan Tan Malaka (Asvi W. Adam, 2005).

Tak hanya itu, dalam bidang filsafat ilmu, Tan Malaka telah menghasilkan karya yang menjadi garis pandang para intelektual revolusioner, yaitu Madilog atau Materialisme, Dialektika, Logika. Buku Madilog ini menegaskan tradisi intelektual Marxian yang melekat pada logka berpikir Tan Malaka. Buku terakhirnya pada 1948 juga menjadi sebuah citraan revolusioner, yaitu Gerpolek atau Gerilya Politik-Ekonomi.

Peran Tan Malaka dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tak dapat dinafikan begitu saja. Pasca-kemerdekaan 1945, Tan Malaka mengambil garis revolusioner yang menentang keras kolonialisme Belanda dengan membentuk “Persatoean Perdjoeangan” yang menyatukan banyak organisasi sosial dan politik dalam satu garis perjuangan.

Faksi ini dibentuk oleh Tan Malaka sebagai respons atas sikap Sjahrir sebagai Perdana Menteri RI pada waktu ini yang begitu kompromistik terhadap Belanda. Pembentukan faksi ini, disertai dengan sikap oposisinya terhadap Sjahrir yang sosial-demokrat, sangat jelas menggambarkan karakter Tan Malaka yang “kiri-nasionalis”.

Sikap oposisi ini bukannya tanpa hasil. Rusjdi Hamka (1981) mencatat ketika menulis biografi Buya Prof. Dr. Hamka, bahwa ketika era revolusi kemerdekaan, pidato-pidato Tan Malaka sangat dinantikan oleh para pejuang, termasuk oleh Hamka. Sikapnya yang nasionalis ini pula yang menyebabkan Soekarno bahkan menganggapnya sebagai mentor secara pemikiran (Asvi W. Adam, 2005).

Karakter pemikiran Tan Malaka memang banyak dibentuk oleh Tradisi intelektual Marxian. Buku Madilog mencermikan hal tersebut. Dalam Madilog, Tan Malaka menggunakan logika Marxian untuk mengkritik logika dialektika Hegelian yang, walau dianggapnya revolusioner terhadap borjuasi, tetapi kontra-revolusioner dengan kepentingan proletar (h. 20). Ia sendiri menggunakan “materialisme” sebagai penegas.

Hal inilah yang ia manifestasikan dalam pola perjuangannya di Indonesia. Posisi Tan Malaka di Komintern menyebabkan Tan Malaka begitu ekletik bergaul dengan aktivis kiri Internasional. Dalam perjuangannya pun, Tan Malaka tidak mengambil jalan elitis. Tan Malaka lebih suka hidup bergerilya bersama rakyat, hingga akhirnya meninggal dunia secara misterius pada tahun 1949, pasca-perjanjian Renville.

Sehingga, dengan peran kesejarahan yang begitu penting ini, pantaskah kita melupakan kontribusi Tan Malaka terhadap kemerdekaan kita?

Terkadang, kepentingan politik membuat kita melupakan sikap proporsional dalam bersikap. Ketika Soeharto berkuasa, politik anti-komunis kemudian Indonesia pada proses manipulasi sejarah secara terorganisir. Peran Tan Malaka dianggap tidak signifikan, bahkan tidak disebut-sebut dalam buku teks sejarah di sekolah menengah.

Pada titik ini, kita patut mengenang kembali jasa-jasa Tan Malaka kepada bangsa dan negara Indonesia. Karena, tanpa kerja keras dan sumbangan pemikirannya, Indonesia takkan menemukan jati diri nation-state yang kini dimilikinya. Kita perlu bersikap proporsional dalam memandang peran kesejarahan Tan Malaka.

Jika kita kaitkan dengan konteks sekarang, misteri makam Tan Malaka di Kediri jangan sampai terlupakan begitu saja. Sebagai seorang pahlawan, sangat wajar jika Tan Malaka kemudian mendapatkan pengakuan yang semestinya sebagai seorang pahlawan.

Mungkin, tak semua orang sepakat dengan Tan Malaka, baik ide maupun perjuangan. Tetapi, sebagai “Pendiri Bangsa”, kita patut menghormatinya. Mari mengenang kembali jejak perjuangan seorang Tan Malaka.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM

Memperdebatkan Runtuhnya Otoriterisme Soeharto


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
*)


Tahun 1998 menjadi sebuah momentum titik balik Indonesia. Soeharto yang telah memimpin Indonesia melalui personal rule dan oligarkhi kompleks ABRI-Birokrasi-Korporasi dijatuhkan pada bulan Mei 1998, setelah didahului oleh serangkaian demonstrasi dan kerusuhan sosial. Indonesia pun masuk ke dalam sebuah fenomena yang disebut oleh Huntington (1991) sebagai the third wave of democratization.

Muncul pertanyaan: siapa dan apa yang menyebabkan terjadinya pergantian rejim tersebut? Sebagian analis politik berbeda pendapat. Dua orang mahasiswa pasca-sarjana yang mengangkat masalah ini dalam tesis dan disertasinya, Eric Hiariej dan Anders Uhlin, memiliki analisis sendiri terkait dengan pertanyaan tersebut.

Dalam bukunya, Materialisme Sejarah Kebangkrutan Kapitalisme Orde Baru yang diambil dari tesis beliau di ANU, Eric Hiariej berpendapat bahwa struktur ekonomi-politik Orde Baru yang rapuh telah memiliki kontribusi atas jatuhnya Orde Baru. Staf Pengajar jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM ini berpendapat, adanya struktur ekonomi dan politik yang oligarkhis, lalu kerapuhan yang melanda kapitalisme telah membuat Orde Baru sangat rentan dengan krisis.

Ketika Krisis Pemilu 1998 terjadi di Asia Tenggara, Orde Baru yang menerapkan crony capitalism justru tidak dapat berbuat apa-apa. Legitimasi turun drastis. Rejim “developmentalis-represif” (meminjam wacana Herbert Feith), ternyata tidak dapat dipertahankan ketika gelombang krisis terjadi tahun 1998, dan merusak struktur sosial dan politik yang ada.

Menurut Eric Hiariej, adanya gelombang demonstrasi dan kerusuhan hanya implikasi. Crony Capitalism telah mengakibatkan akumulasi kapital yang tak terkendali di kalangan konglomerat dan kroni Soeharto. Akibatnya, kapitalisme yang diharapkan dapat memberikam kesejahteraan, tertumpuk di oligarkhi kekuasaan. Sehingga, ketika krisis terjadi, developmentalisme tidak dapat memberikan jawaban konkret dan harus takluk di tangan Letter of Intent dengan IMF yang membuka pintu neoliberalisme di Indonesia.

Analisis Eric Hiariej ini cukup dapat diterima. Akan tetapi, ada yang perlu dikritisi. Jika reformasi tersebut distimulasi oleh struktur yang rapuh, lantas di mana peran kelas menengah? Apakah desakan mahasiswa yang bersatu di gedung DPR/MPR dan kalangan aktivis dan intelektual seperti Dr. Amien Rais atau Goenawan Muhammad dulu tidak signifikan? Analisis aktor tentu juga perlu guna merekonstruksi gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto tersebut.

Untuk itu, menjadi menarik bagi penulis untukmembaca analisis Uhlin dalam bukunya Oposisi Berserak yang diterjemahkan dari disertasinya mengenai gerakan reformasi Indonesia. Menurut Uhlin, gelombang reformasi memiliki aktor intelektual, dalam hal ini gerakan prodemokrasi yang mengambil populisme kiri sebagai basis ideologi. Dalam kurun waktu 23 tahun terakhir, komunisme yang dilarang justru semakin menstimulasi gerakan populisme yang bukan merupakan kelompok marxist ortodoks seperti PKI, tetapi lebih pada gerakan massa yang anti-otoritarianisme.

Menurut Uhlin, gerakan massa populisme kiri inilah yang mengonstruksi reformasi sejak 1990-an. Di dalamnya ada gerakan mahasiswa kiri seperti Forkot di Jakarta, LSM prodemokrasi, dan intelektual-intelektual progresif yang dekat dengan kekuatan kelas bawah. Mereka bekerja untuk merangsang isu agar menjadi massif untuk dapat memobilisasi massa melawan Soeharto. Pola agitasi dan propaganda ini menguat di awal 1998, ketika krisis ekonomi terjadi dan momentum untuk menumbuhkan sentimen rakyat secara besar tercipta.

Analisis Uhlin ini dapat mengakomodasi kelemahan artikel Eric Hiariej mengenai aktor dari reformasi. Akan tetapi, Uhlin juga belum menjelaskan kekuatan kelas menengah dan gerakan massa ini pasca-reformasi. Mengapa kekuatan kelas menengah tidak langung dapat mengambil kekuasaan, tetapi justru membuka peluang para politisi yang tidak menjadi bagian dari gerakan untuk maju di pentas politik nasional?

Artinya, ada pendomplengan gerakan reformasi pasca-Transisi. Terlihat dari stabilitas politik nasional yang tak menentu, hingga memunculkan gagasan “reformasi telah dibajak”, “reformasi gagal” dan sejenisnya yang berimplikasi pada sentimen rakyat justru pada aksi-aksi demonstrasi sesudahnya.

Maka, hal ini perlu dianalisis kembali untuk membuka cakrawala berpikir kita, mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kejatuhan rejim otoritarian Orde Baru.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Rabu, 07 April 2010

Menentang Penindasan: Gerakan Populisme dan Diskursus Anti-Hegemoni dalam Politik Internasional

Pendahuluan

Politik Internasional di akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21 diwarnai oleh kemunculan gerakan populisme di berbagai negara, terutama di Timur Tengah dan Amerika Latin. Kendati embrio dari gerakan-gerakan populis ini telah muncul sejak pertengahan abad ke-20, gerakan-gerakan ini mulai menampakkan eksistensinya dengan turut berkecimpung dalam proses demokrasi dan mulai berpengaruh dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan luar negeri masing-masing negara pada akhir abad ke-20.

Kita dapat melihat, misalnya, gerakan populisme di Timur Tengah, yang disebut oleh Hadiz (2010) sebagai “Islamic Populism”. Hadiz memandang gerakan ini sebagai sebuah “populist response” atas otoritarianisme rejim yang ia contohkan pada kasus Afrika Utara atau Timur Tengah. Dalam lanskap kawasan yang berbeda, kita dapat melihat kemunculan gerakan populisme di Amerika Latin yang diwarnai oleh dua arus pemikiran utama: Pink Tide dan Teologi Pembebasan. Kemunculan gerakan kiri dan posisi kuat mereka di beberapa negara ini menjadi sebuah sorotan karena erat kaitannya dengan gerakan menentang kapitalisme Amerika Serikat.

Lantas, bagaimana keterkaitan fenomena ini dengan politik internasional kontemporer? Pada umumnya, gerakan-gerakan populisme –apapun basis pemikiran mereka—memiliki frame yang sama: anti-kapitalisme, anti-hegemoni, dan mencita-citakan keadilan dalam konstruk negara yang mereka inginkan. Dalam konteks politik internasional, musuh bersama tersebut mewujud pada hegemoni Amerika Serikat, yang juga identik dengan unipolarisme (Kegley & Wittkopf, 2006: 119)

Diskursus Hegemoni dalam Politik Internasional

Secara sederhana, Foucault mendefinisikan diskursus sebagai struktur relasi antara pengetahuan dan kuasa (Maliki, 2005: 69). Artinya, jika diejawantahkan dalam politik internasional, diskursus dapat berarti struktur –apa yang ada dan membentuk sebuah realitas—serta praktik, yaitu realitasnya itu sendiri (Hadi, 2008: 36). Dalam kontek ini, kita dapat memandang diskursus hegemoni sebagai “apa yang membentuk hegemoni”, seperti kekuasaan (power), politik, serta kekuatan unipolar (tunggal) yang melanggengkan hegemoni, serta sebagai “bagaimana hegemoni tersebut dilanggengkan”, misalnya melalui militer atau penekanan ekonomi-budaya.

Hegemoni sendiri didefinisikan oleh Gramsci sebagai kepemimpinan moral atas sebuah kelas terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan model kepemimpinan moral dan intelektual (Sugiono, 1999: 31; Simon, 1999: 56). Secara praksis, Sugiono (1999: 66) menerjemahkan hegemoni sebagai kekuatan besar ekonomi Amerika Serikat yang mendominasi pasar mata uang dunia dengan dollar-nya melalui Marshal Plan dan formasi hubungan AS dan sekutu liberalnya secara kuat. Diskursus hegemoni liberal tersebut menghasilkan dependensi global ketika negara hegemon melakukan penghisapan atas negara-negara dunia ketiga yang bertumpu di atas kemiskinan, utang, dan instabilitas politik (Green dan Luehrmann, 2005).

Akibatnya, muncul kontradiksi kelas secara global: negara kaya menguasai ekonomi dunia dan memaksa negara dunia ketiga patuh pada standard mereka, seperti dalam perdagangan dan keuangan internasional. Inilah yang dikritik oleh Marx (1887) sebagai “akumulasi kapital”, atau oleh Hadiz (1999) dianggap sebagai implikasi dari overproduksi di negara maju akibat penghisapan kapital di negara-negara pascakolonial.

Atas proses inilah diskursus hegemoni terbentuk. Akan tetapi, perlu diingat bahwa diskursus tidak hanya dibangun atas sebuah realitas an-sich. Ada proses yang melibatkan “kuasa” di balik realitas tersebut. Ketika kita menganalisis hegemoni Amerika Serikat, kuasa tersebut mengacu tidak hanya melalui “soft power”, tetapi juga melalui “hard power”. Serangan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003, misalnya, diyakini memiliki dimensi ekonomi di baliknya (Setiawati, et. al, 2003). Pada titik ini, terjalin relasi antara pengetahuan (realitas) dan kuasa dalam pembentukan diskursus hegemoni politik internasional.

Akan tetapi, mengacu pada logika awal Marx mengenai kelas, sebuah hegemoni akan memiliki antitesisnya: kekuatan anti-hegemoni. Engels dan Marx (1848) menegaskan hal ini dengan kata-katanya yang terkenal, “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles”. Artinya, sebuah hegemoni dalam konteks kelas akan melahirkan antitesisnya berupa kekuatan anti-hegemoni, yang merupakan representasi dari kelas yang tertindas atas hegemoni tersebut. Bertolak dari logika ini, secara teoretik kekuatan hegemoni pasti akan melahirkan sebuah kekuatan anti-hegemoni baru.

Lantas, bagaimana diskursus anti-hegemoni tersebut muncul? Tentu saja, kekuatan anti-hegemoni tidak muncul begitu saja. Ada sebuah akumulasi dari proses pembentukan hegemoni hingga munculnya hegemoni baru yang secara vis-a-vis berhadapan dengan hegemon tersebut. Pada tahap inilah, kemunculan gerakan populisme sebagai diskursus anti-hegemoni kita analisis untuk melihat proses pembentukan diskursus tersebut.

Gerakan Populisme dan Diskursus Anti-Hegemoni

Jika mengacu pada konsepsi Marx mengenai kelas, diskursus mengenai borjuasi pasti akan diantitesiskan dengan kelas pekerja. Kelas yang disebut oleh Marx dan Engels (1848) sebagai “proletariat” tersebut menjadi sebuah kekuatan yang resisten terhadap penindasan dan penghisapan nilai-lebih yang bermuara pada akumulasi kapital. Dalam politik internasional, kita dapat melihat praktik ini pada fenomena dependensia, di mana negara-negara maju melakukan penghisapan atas sumber daya negara-negara dunia ketiga, terutama melalui proses imperialisme dan transnasionalisme ekonomi (Hadiz, 1999).

Bagaimana dependensia ini terbentuk? Hadiz (1999) memotret fenomena ini dalam konteks negara pasca-kolonial. Imperialisme yang dalam argumen Marx disebut sebagai hasil dari overproduksi di negara maju yang dialihkan ke negara berkembang, berakhir dengan meninggalkan sebuah eksploitasi sumber daya di negara pasca-kolonial. Akibatnya, pada dasarnya “negara modern” yang dibentuk sebagai formasi dari negara pasca-kolonial hanya menjadi penjaga dari siklus kapital negara periferal ke negara inti. Dari sini, “kelas” pun terbentuk sebagai perwujudan fungsi dari mode produksi negara-negara maju yang dihasilkan dari surplus produksi negara berkembang. Pergeseran surplus produksi dari negara periferi ke inti inilah yang dikenal dalam terminologi Marxis sebagai “akumulasi kapital”.

Dengan kondisi seperti ini, negara modern yang dibentuk dari fomasi negara pasca-kolonial menjadi sebuah bagian dari sistem kapitalisme global: sebagai negara periferi yang eksis sebagai penjaga hegemoni Amerika Serikat. Pada realitasnya, hegemoni ini tidak bermakna tunggal. Amerika Serikat menempatkan, misalnya, negara-negara petrodollars di Semenanjung Arabia untuk menjaga eksistensi dari hegemoni ini melalui aliansi bersama penguasa setempat. Atau, dengan mengendalikan instabilitas politik dengan menempatkan Israel. Di Amerika Latin, Amerika Serikat menempatkan penjaga berupa rejim developmentalis represif –meminjam istilah Herbert Feith (1980)— untuk menjaga arus modal tersebut. Tentu saja, hegemoni ini dikukuhkan melalui hard power berupa penggunaan kekuatan militer, bantuan keamanan atau militerisasi rejim (Azzelini, 2005: 24; Perkins, 2004).

Akan tetapi, justru melalui praktik-praktik inilah diskursus anti-hegemoni muncul. Di Timur Tengah, keberadaan rejim represif menimbulkan gerakan baru di beberapa negara yang bermuara pada keinginan untuk merebut peran negara dengan basis Islam sebagai ideologi. Hadiz (2010) menyebutnya sebagai “Islamic Populism”, karena mereka mewakili sebuah kelas yang selama ini termarjinalkan dalam politik Timur Tengah, yaitu kelas Islamis. Fenomena serupa juga menimbulkan gerakan teologi pembebasan dan sosialisme baru di Amerika Latin yang berorientasi pada nasionalisasi sumber daya alam lokal dari korporasi asing (Perkins, 2004; Soyomukti, 2005).

Lantas, apa yang sebenarnya dapat didefinisikan sebagai “populisme”?

Secara sederhana, Hadiz (2010), meminjam istilah Alejandro Colas, mensyaratkan tipe gerakan populisme: "class-based political movements have, with a few notable exceptions, fared less well in the region than rival organisations built around broader,and vague, conceptions of the “the people”, which are significantly cross-class in nature and defined against often equally vague opponents" (Colas 2004: 233). Dengan demikian, gerakan populisme dicirikan dengan “gerakan berbasis kelas”, “memiliki peran politik”, serta mencoba untuk melakukan “transformasi kelas” melawan kelas yang menindas mereka. Ketika dikontekskan di Timur Tengah, gerakan populisme ini justru mengemuka dalam bentuk gerakan politik Islam.

Mereka tidak terbentuk begitu saja. Akar diskursus anti-hegemoni mereka dapat dilacak secara genealogis pemikir-pemikir seperti Al-Banna, Quthb, Qadhafi, atau Al-Afghani yang menolak hegemoni penjajah atau rejim militer pada era mereka (Ayoub, 1991: 183). Diskursus ini muncul dalam bentuk semangat perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh bangsa Arab, untuk membumikan keadilan dalam perspektif Islam dalam peran-peran negara yang mereka idam-idamkan. Di Amerika Latin, pemikiran Che Guevara dan semangat pembebasan Simon Bolivar menjadi spirit untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme gerakan-gerakan politik (Soyomukti, 2005).

Momentum untuk menjadi kekuatan anti-hegemoni, atau pembentukan diskursus dalam tingkat analisa yang lebih tinggi di level sistem internasional terjadi ketika beberapa gerakan masuk merebut peran negara melalui kanal-kanal demokrasi. Sebagai contoh konkret, misalnya, kemenangan Evo Morales dan Hugo Chavez serta Mahmoud Ahmadinejad –yang berasal dari gerakan Syiah anti-AS, kemenangan Hamas dalam Pemilu 2006, atau masuknya Lula da Silva dan Daniel Ortega di Brazil dan Nikaragua, telah menimbulkan sebuah poros baru yang sempat menjadi titik sorot media internasional atas sikap mereka terhadap Amerika Serikat. Atau, gerakan yang merebut peran negara dalam bentuk transformasi kelas secara revolusioner seperti Kuba, Libya, dan Iran.

Keberadaan mereka menimbulkan sebuah diskursus anti-hegemoni baru yang coba memberi resistensi terhadap perluasan hegemoni AS dalam format soft dan hard power ke pelbagai belahan dunia. Iran, seperti dipandang oleh Green dan Luehrmann (2005: 443), yang bermula dari gerakan Syiah pimpinan Imam Khomeini telah menjadi sebuah potret kekuatan yang resisten terhadap hegemoni AS, terutama pada dukungan mereka kepada Hizbullah yang menjadi kekuatan utama penentang Israel di Timur Tengah. Dalam konteks yang lebih kontemporer, sikap tegas Ahmadinejad dalam pelbagai isu internasional juga menjadi sebuah potret anti-hegemoni yang coba dikonstruksi oleh Iran (Ar-Rusydi, 2006: 83).

Analisis Prediktif: Akankah Diskursus Bertahan?

Persoalannya kemudian, bagaimana nasib diskursus anti-hegemoni ini lima tahun ke depan? Setidaknya, ada empat faktor yang akan bermain dalam diskursus anti-hegemoni ke depan.

Pertama, perubahan politik di Amerika Serikat telah menempatkan kekuatan great power tidak lagi memosisikan hegemoni vis-a-vis kelompok anti-hegemoni. Kemunculan Barrack Obama yang mengedepankan multilateralisme serta soft power membawa konsekuensi benturan antara kekuatan hegemoni dengan anti-hegemoni menjadi tidak lagi nampak. Walaupun soft power Amerika Serikat tetap menegaskan adanya hegemoni (Nye, 2002), kekuatan anti-hegemoni menjadi kehilangan momentum untuk meneruskan pembentukan diskursus secara vis-a-vis melawan Obama. Sehingga, dalam lima tahun ke depan, akan terjadi pelemahan diskursus anti-hegemoni melalui keberadaan gerakan populisme dan negara dunia ketiga.

Kedua, siklus demokrasi lima-tahunan telah membuat beberapa gerakan yang merebut peran negara melalui Pemilu harus berjuang untuk mengamankan posisinya. Dari sini, ada dua kemungkinan negatif: partai politik –transformasi dari gerakan populisme dalam politik—terlalu sibuk mengurusi konstituen mereka, sehingga tidak lagi memfokuskan penentangan hegemoni dalam politik luar negerinya, atau partai politik tersebut dikalahkan oleh partai oposisi sehingga kehilangan posisi penting sebagai penentu kebijakan luar negeri. Jika ini terjadi, secara otomatis akan terjadi pelemahan, dan ini yang perlu dikhawatirkan dalam konteks Iran, Venezuela, Bolivia, atau Turki.

Ketiga, Potret politik internasional lima tahun ke depan akan bertumpu tidak lagi pada pertarungan kekuatan diplomasi pertahanan, melainkan pada diplomasi ekonomi. Gerakan populisme mayoritas masih berada di negara yang berkategori “negara dunia ketiga”, dengan standard perekonomian yang belum kuat (Green dan Luehrmann, 2005: 431). Kekuatan ekonomi justru bertumpu pada kekuatan baru yang dikenal dengan istilah BRIC, atau Brazil-Russia-India-China.
Jika negara-negara anti-hegemoni tersebut tidak cepat-cepat mereposisi gerakan mereka pada kekuatan ekonomi baru ini, akan muncul pelemahan-pelemahan internal.

Dengan tiga hal ini, secara umum dalam lima tahun ke depan akan terjadi pelemahan-pelemahan dalam diskursus anti-hegemoni yang direpresentasikan oleh gerakan populisme ini. Jika diskursus baru tidak segera dibentuk, antara lain dengan membuat narasi-narasi kecil anti-hegemoni (Maliki, 2005: 70), kekuatan ini masih mungkin dikooptasi oleh kekuatan hegemoni yang merekonsolidasi diri dengan wajah baru. Pembentukan diskursus baru tersebut perlu dilakukan, tidak hanya oleh kekuatan gerakan populisme, tetapi juga oleh masyarakat sipil dunia ketiga yang memegang peran penting dalam proses demokratisasi.

Kesimpulan

diskursus anti-hegemoni melalui gerakan populisme terbentuk melalui struktur pemikiran dan penyebaran ide populisme dalam bentuk negara yang ditindas oleh penghisapan surplus produksi ke negara-negara maju, yang termanifestasi dari semangat nasionalisme (Amerika Latin), serta gagasan Political Islam (Timur Tengah). Secara praksis, beberapa gerakan sampai pada fase kompromi dengan demokrasi (Bolivia, Iran, Brazil, atau Turki), dan beberapa lainnya tetap pada transformasi kelas secara mengakar (Iran, Libya, Kuba). Ketika masuk pada ranah politik dan kekuasaaan itulah diskursus anti-hegemoni ini muncul dalam politik internasional.

Diskursus, meminjam istilah Foucault, merupakan satu kesatuan struktur dan praksis (Hadi, 2008; Maliki, 2005: 69). Struktur ide an sich tanpa gerakan untuk merebut peran negara tak dapat dikategorikan sebagai diskursus. Begitu pula sebaliknya. Maka, untuk lima tahun ke depan, fokus analisis akan berada pada level negara, sejauh mana gerakan tersebut mempertahankan legitimasi dan mengoperasionalisasikan gagasan populisme mereka.


REFERENSI

Ar-Rusydi, Mirza Maulana. 2007. Mahmoud Ahmadinejad: Singa Persia vs Amerika Serikat. Yogyakarta: Garasi.

Ayoub, Mahmoud. 2004. Islam and The Third Universal Theory: The Religious Thought of Mu’ammar al Qadhdhafi (penterjemah Wahdad Qurdi dan Abdullah Haq). Bogor: Humaniora Press.

Azzelini, Dario. “Kolombia: Laboratorium Perang” dalam Dario Azzelini dan Boris Kanzleiter. La Empressa Guerra (penterjemah: Dina Oktaviani). Yogyakarta: Insists Press.

Feith, Herbert. 1980."‘Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama, Kerawanan Baru", Prisma,11 (November), 69-84.

Green, December & Laura Luehrmann. 2005. Comparative Politics of the Third World: Linking Concepts and Cases. Colorado: Lynne Rienner.

Hadi, Shaummil. 2008. Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional. Yogyakarta: Jalasutra.

Hadiz, Vedi R. 1999. Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial. Yogyakarta: Insist Press.
_____________. 2010. “Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia”. Working Paper. Oxford: CRISE.

Kegley, Charles W. and Eugene R. Wittkopf. 2006. World Politics: Trends and Transformation Belmont: Thomson-Wadsworth, third edition, revised.

Maliki, Musa. “Gerakan Kearifan Kapitalis dalam Dunia Postmodern: Tinjauan terhadap Kampanye ONE/LIVE 8” dalam Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global. Global, Jurnal Politik Internasional Vol. 8, No. 1, 2005.

Marx, Karl. Das Kapital: Kritik der Politischen Oekonomie, translated byS Samuel Moore and Edward Aveling (New York: L.W. Schmidt, 1887). Retrieved from http://www.marxists.org/

Marx, Karl and Frederich Engels. Manifesto of The Communist Party translated by Samuel Moore (Moscow, Progress Publishers, 1969). Retrieved from http://www.marxists.org/

Morgenthau, Hans J. 1956. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace New York, N.Y: Alfred A. Knopf, second edition, revised.

Nye Jr, Joseph S. "The Paradox of American Power". Speech presented in Robertson Hall, Princeton University, May 8, 2002.

Perkins, John. 2004. Confessions of an Economic Hit Men (penterjemah: Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani). Jakarta: Abdi Tandur.

Setiawati, Siti Muti’ah et. al. 2003. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi Rakyat Indonesia. Yogyakarta: PPMTT HI UGM.

Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci pent. Kamdani dan Imam Baehaqi (Yogyakarta: Insist, 1998).

Soyomukti, Nurani. 2008. Revolusi Sandinista: Perjuangan Tanpa Akhir Melawan Neoliberalisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Sugiono, Muhadi. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

Selasa, 06 April 2010

Terorisme, Benturan Peradaban, dan Kelas Marjinal

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Problem terorisme di Indonesia telah membuat beragam kegaduhan sosial, politik, maupun keamanan. Rupanya, tewasnya buronan teroris kelas wahid Noordin M. Top beberapa waktu lalu masih diikuti oleh ragam kegaduhan lain, antara lain dengan penggerebekan teroris di Aceh dan Pamulang, Maret 2010.

Ada pertanyaan yang tak henti-hentinya kita ajukan dalam soal terorisme ini. Mengapa “virus” terorisme masih belum dapat diusir juga dari negeri ini? Apakah keberadaan teroris di Indonesia sudah begitu kompleks, dan jaringannya begitu mengakar di negeri ini sehingga tak kunjung hilang?

Jika jawabannya ya, seperti yang sering ditampilkan oleh media massa dan diskursus publik, artinya ada dua hipotesis yang menjadi asumsi dasar mengapa terorisme selalu gagal diberantas oleh aparat.

Pertama, upaya pemberantasan terorisme belum masuk ke “akar” masalahnya sehingga proses kaderisasi terus berjalan; Kedua, Ada sebuah kekeliruan cara pandang dalam memahami masalah terorisme.

Benturan Peradaban?

Sebetulnya ada beberapa cara pandang dalam melihat masalah terorisme. Cara pandang paling khas ditunjukkan oleh Samuel Huntington (1997) dengan tesis “clash of civilization” yang melihat terorisme sebagai implikasi dari benturan dua peradaban utama di dunia: Islam vis-a-vis Barat.

Logika Huntington sederhana. Ia bertitik tolak dari gaya pandang realisme yang memandang politik dunia sebagai “struggle for power”—perebutan kekuasaan (Huntington, 1997). Bedanya dari pemikir realis klasik seperti Morgenthau yang menempatkan negara dalam posisi sentral, atau Waltz yang lebih menempatkan kekuasaan (power) dalam perspektif yang material, Huntington berangkat dari pembagian dunia atas apa yang ia sebut sebagai “peradaban”.

Huntington menganggap dunia sebagai sebuah perpaduan antarperadaban yang bersifat multipolar; oleh karena itu ia membagi dunia menjadi delapan peradaban besar. Prinsip realisme yang memosisikan interest dalam konteks power memberi basis logika kedua: Persaingan antarperadaban menghasilkan konflik dan pertentangan.

Sehingga, jika logika tersebut digunakan sebagai pisau untuk menafsirkan terorisme di Indonesia, kita akan sampai pada sebuah titik kesimpulan: Terorisme adalah ekses dari tidak kompatibelnya peradaban Islam dan Barat. Hal ini dipertegas oleh atribut yang dikenakan oleh pelaku teror, dengan memberi warna Islam sebagai argumen.

Jika benar demikian, akan muncul pertanyaan lain: apakah terorisme di dunia saat ini identik dengan Islam? Tentu saja, kesimpulan yang mengiyakan asumsi tersebut dibantah oleh beberapa ulama, dengan menunjukkan dalil-dalil. Akan tetapi, persoalan muncul ketika aksi counter-terrorism dilakukan juga dengan mengarahkan senjata kepada komunitas yang diduga terlibat: Islam. Akibatnya, logika yang pada awalnya hanya merupakan asumsi berubah menjadi diskursus dengan penggunaan hard power dan koersi, sebagaimana dilakukan AS kepada Irak dan Afghanistan.

Dampak lain yang terjadi adalah munculnya dikotomisasi antara kelompok “Islam Moderat” dan “Islam Radikal” pada diskursus publik pasca-terorisme. Dikotomi ini muncul akibat respons sebagian pihak yang tidak setuju aksi teror, dan membuat diskursus baru mengenai “Islam” yang moderat, cinta damai, atau sejenisnya.

Padahal, sebelumnya diskursus tersebut tidak muncul, dan tidak perlu dimunculkan untuk memandang umat Islam Indonesia sebagai sebuah entitas yang plural. Seakan-akan, tidak ada tempat bagi “Islam Garius Keras” yang identik dengan terorisme. Implikasi negatifnya bagi umat Islam adalah semakin terfragmentasinya kekuatan politik umat Islam, terutama dalam politik internasional.

Oleh karena itu, cara pandang gaya Huntington ini tidak saja menghasilkan stereotype bagi pemeluk agama Islam, tetapi juga berpeluang mengakibatkan sebuah sesat-pikir yang menarik garis demarkasi secara apriori antara Islam dan Barat. Perlu ada model cara pandang lain yang digunakan untuk membedah terorisme.

Ekonomi-Politik

Ketika gaya pandang “benturan peradaban” a la Huntington cenderung problematis, ada satu tawaran cara pandang baru yang sebenarnya bisa digunakan, yaitu cara pandang ekonomi-politik. Dengan cara pandang ini, basis terorisme sebenarnya bukan persoalan “peradaban” atau “budaya”, tetapi lebih pada ekses ketimpangan-ketimpangan sosial ekonomi dan represi terhadap kekuatan Islam.

Vedi R. Hadiz, guru besar Ilmu Politik dari Murdoch University, Australia memperkenalkan istilah yang ia sebut sebagai “islamic populism”. Ia berangkat dari logika benturan kelas yang terjadi karena beberapa variabel: otoritarianisme, rejim yang tidak memperhatikan aspirasi kelas, dan eksistensi borjuasi dalam politik domestik dan politik internasional (Hadiz, 2010).

Berbeda dengan Huntington yang mentitikberatkan pada pertentangan Islam vis-a-vis Barat, Hadiz lebih memilih untuk memfokuskan analisis pada disparitas ekonomi. Jika dasar analisis Huntington adalah peradaban, Hadiz menghadirkan kelas sebagai basis pemahaman.

Pendekatan ekonomi-politik dalam pandangan Hadiz ini menunjukkan, aksi terorisme adalah wujud dari perlawanan kelompok kelas yang termarjinalkan oleh oligarkhi antara kelas pemilik modal (borjuasi) dan negara. Politik kooptasi oleh kelompok kelas marjinal –dalam kasus Indonesia kelas marjinal tersebut adalah gerakan politik Islam—menimbulkan sebuah kesadaran kelas untuk merebut peran negara yang dianggap gagal dan oligarkis dalam mewujudkan kesejahteraan.

Hadiz mencontohkan dua kasus: di Indonesia era Orde Baru, aksi teror yang –katanya—dilakukan oleh kelompok Komando Jihad di pelbagai peristiwa terjadi karena akumulasi kapital yang luar biasa antara konglomerasi dan negara yang memarjinalkan kelompok kelas menengah dan kelas bawah umat Islam. Kesadaran kelas tersebut menimbulkan gerakan massa yang kemudian direpresi oleh militer nOrde Baru pada dekade 1980-an.

Pada kasus negara-negara Timur Tengah, dalam perspektif yang lebih global, kita dapat melihat bahwa kemunculan gerakan “teroris” dipicu oleh oligarki global antara negara, konglomerasi, dan kepentingan asing. Akibatnya, disparitas kawasan meningkat. Perlawanan terhadap kondisi oligarkis ini membuat beberapa gerakan muncul dan menjadi basis populisme di Timur Tengah.

Sehingga, jika menggunakan kacamata ini, terorisme tidak kita anggap sebagai sebuah inkompatibilitas antara Islam dan Barat. Terorisme dimaknai sebagai sebuah ekses dari ketimpangan sosial akibat penghisapan kapital kelompok borjuasi.

Untuk itu, jika kita konsisten dengan pandangan ini, solusi pemecahan tidak cukup dengan merepresi tersangka teroris. Tindakan yang lebih preventif dilakukan dengan pembenahan struktur ekonomi-politik dan memutus rantai oligarki global yang menindas kelas marjinal. Artinya, pendekatan perlu mengedepankan langkah politik dengan memangkas dominasi pasar dan mengembalikan daulat negara dalam kehidupan ekonomi, bukan hanya keamanan an sich.

Menentukan Cara Pandang

Sebetulnya, masih banyak cara pandang lain dalam memandang terorisme. Akan tetapi, pesan yang ingin penulis tampilkan pada dasarnya sama: jangan memonopoli sudut pandang tertentu dalam memandang persoalan terorisme. Apalagi, dengan menjadikan sudut pandang tersebut sebagai sebuah dalil dalam melakukan sekuritisasi.

Banyak analisis, buku, bahkan disertasi yang sebenarnya terperangkap hanya dengan sudut pandang “benturan peradaban di atas”. Akibatnya, analisis mereka cenderung dikotomis dan memersepsikan harus kompatibel dengan nilai-nilai Barat, yang secara politis bisa ditafsirkan sebagai upaya rejim otoritarian —seperti dalam kasus Orde Baru— untuk memarjinalisasi kekuatan politik Islam (Hadiz, 2010).

Sehingga, cakrawala dalam memandang terorisme perlu dibuka. Jangan tersesat oleh monopoli cara pandang. Kini, andalah yang akan menentukan.

*)Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, Alumnus SMAN 1 Banjarmasin

Teknologi, Kapital, dan Peran Negara


“In most economies the private sector is the main source of technology development and transfers”
-Brendan Baker dan Akira Goto-

Persoalan teknologi dalam ekonomi politik internasional, sejak pasca-Perang Dunia II, ramai diperdebatkan. Teknologi tidak saja menjadi sebuah pelengkap dalam kehidupan, tetapi sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat modern. Oleh karena itu, inovasi dan transfer teknologi menjadi isu yang cukup penting dalam ekonomi politik internasional.

Membaca Perspektif: Relasi Negara, Swasta, dan Teknologi

Sebelum menganalisis artikel Brendan Baker & Akira Goto berjudul “Technological Systems, Inovation and Transfer (2009), kita perlu memahami tiga kacamata yang digunakan untuk menganalisis teknologi dalam ekonomi politik internasional: merkantilisme, liberalisme, dan strukturalisme. Logika merkantilis menempatkan negara sebagai aktor utama dalam pengelolaan, transfer, dan inovasi teknologi. Lahirlah industrialisasi sebagai manifes dari perspektif merkantilisme dalam teknologi.

Perspektif ini coba dibantah oleh liberalisme yang menafikan peran negara terlalu besar: pihak swastalah yang memegang peran penting. Gagasan pihak swasta sebagai aktor inovasi dan transfer teknologi, serta negara sebagai penyedia riset dan teknologi menjadi wujud nyata dari liberalisasi pengelolaan teknologi (Baker & Goto, 2009). Sehingga, kemampuan teknologi akan sangat tergantung oleh kapital yang dimiliki dalam melakukan inovasi dan transfer teknologi. Gagasan liberal, seperti dikatakan oleh Todaro (1978), mengharapkan terjadinya “interdependensi” atau hubungan saling-bergantung dalam pengelolaan teknologi, yaitu ketika proses transfer teknologi berjalan lancar.

Sedangkan perspektif strukturalisme, berkaca pada kontgradiksi-kontradiksi yang terjadi ketika sudut pandang liberal diterapkan, menolak peran pasar yang terlalu sentral. Seperti diungkapkan oleh Rubinstein (1931) di atas, teknologi dan ilmu pengetahuan modern merupakan turunan dari kapitalisme dan hanya akan menumbuhkan borjuasi yang melestarikan tradisi penindasan terhadap kaum marjinal, jika pengelolaan teknologi tersebut diserahkan kepada pasar.

Marx (1887) mengkritik proses kapitalisme industrial yang memanfaatkan surplus-value atau nilai-lebih, yang dihasilkan dari waktu kerja buruh yang lebih besar dari kemampuan optimumnya, sehingga keuntungan pemilik modal menjadi lebih besar dan berlipat ganda. Ketika teknologi diserahkan kepada pebisnis, proses yang akan terjadi pada kelas pekerja juga akan berkisar pada surplus-value ini. Padahal, menurut Marx (1887), proses ini membuat para pekerja “opposes himself to nature”: melawan logika alam.

Sistem Inovasi Teknologi: Nasional, Regional, dan Global

Apa yang telah ditulis oleh Baker & Goto tentang national systems of innovation telah memberi sebuah tawaran bagi pengelolaan teknologi. Gagasan ini berawal dari asumsi bahwa performa kompetitif sebuah negara tergantung pada kemampuan teknologi dari perusahaan nasional, dan kemampuan teknologi tersebut juga tergantung pada faktor-faktor eksternal dari perusahaan negara, seperti fasilitas pengembangan dan kemampuan keuangan (h. 253).

Menurut Baker & Goto, inovasi dan transfer teknologi ddilakukan dengan melibatkan setidaknya tiga variabel penting. Pertama, adanya sektor privat yang melakukan inovasi dan penemuan teknologi. Kedua, peran pemerintah mendukung sektor privat dengan melakukan pembiayaan R&D secara konsisten. Ketiga, adanya relasi yang terjalin baik pada level regional, yang dibagi oleh Baker & Goto menjadi tiga regional: Asia-Pasifik “Eropa”, Asia Timur, dan Asia Tenggara, agar distribusi dari transfer teknologi ini lebih merata.

Dengan mengacu pada logika ini, Baker & Goto masuk pada sebuah kacamata pandang liberalistik, yang mengacu pada interdependensi antara negara maju (European-Asia Pacific) kepada negara berkembang (ASEAN). Baker & Goto mengilustrasikan adanya aliran teknologi dan sumber daya manusia (pekerja) yang dihasilkan dari interdepensi ini. Aliran utama dari Amerika Serikat ke Jepang telah melahirkan aliran lain ke negara-negara di Asia Timur dan ASEAN (h. 261).

Dalam konteks tenaga kerja, sistem inovasi nasional dari teknologi berimplikasi pada aliran tenaga kerja terdidik yang dihasilkan dari alih teknologi oleh perusahaan multinasional. Tentu saja, besarnya investasi asing (FDI) telah memberi kontribusi pada tenaga kerja penyerapan tenaga kerja bagi perusahaan, dan artinya mengurangi pengangguran (h. 266). Jaringan yang dibuat oleh Taiwan dan Jepang, juga sebagian Asia Tenggara, melalui tenaga kerja yang didik di AS, telah berkontribusi pada alih teknologi ke negara tersebut.

Aliran-aliran tersebut tentu saja tidak langsung datang ke negara tersebut. Menurut Baker & Goto, sistem inovasi yang bersifat nasional tersebut perlu diperluas ke level regional dengan menginternasionalisasikan sistem riset dan pengembangan mereka (h. 267). Pertukaran teknologi, dengan konteks regional yang semakin maju, perlu dilakukan ke negara-negara yang bertetangga, sehingga pengeluaran alih teknologi tidak lagi terlalu besar.

Untuk itulah, Baker & Goto berkesimpulan bahwa sistem inovasi yang berskala nasional, regional, bahkan global dengan menempatkan riset dan pengembangan sebagai peran negara, dan perusahaan multinasional, dapat menjadi sebuah alternatif solusi untuk menemukan sistem transfer dan inovasi teknologi bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik (h. 270). Struktur industri dan teknologi yang dimainkan oleh MNC, dengan negara sebagai pemain dalam R&D, memerlukan pembangunan struktur regional yang nantinya akan mengarah pada sistem inovasi yang bersifat global (h. 271).

Dengan membaca logika berpikir sebagaimana yang ditawarkan oleh Baker & Goto ini, penulis berkesimpulan bahwa cara pandang yang digunakan sangat khas dan berkarakter liberal, dengan kerjasama erat antara institusi negara, sektor privat, dan aktor-aktor transnasional yang mewarnai hubungan ekonomi di suatu negara. Persoalannya, apakah distribusi teknologi, jika proses transfernya diberikan pada MNC dan negara hanya menjadi penyedia jasa R&D, dapat diterima oleh semua elemen, termasuk orang-orang miskin yang marjinal karena tidak adanya kapital? Pertanyaan ini mengantarkan kita pada kritik mengenai kontradiksi liberal yang ditawarkan dalam ekonomi politik teknologi.

Dimensi yang Terabaikan

Tawaran Brendan Baker & Akira Goto di atas sekilas memberi sebuah angin segar bagi sebagian kalangan, bahwa dengan efek spill-over dan trickle-down yang dihasilkan dari proses alih teknologi antara negara maju dan negara berkembang, secara otomatis kesejahteraan rakyat akan terpengaruh. Namun, benarkah hal tersebut terjadi dalam konteks negara yang kapitalnya tidak kuat?

Setidaknya, ada beberapa implikasi jika kita mempercayai pasar terlalu besar dalam pengelolaan, inovasi, dan transfer teknologi. Pertama, jika swasta –apalagi swasta asing—memegang peranan terlalu besar dalam inovasi teknologi, penggunaannya justru digunakan bukan untuk kepentingan negara, melainkan untuk kepentingan bisnis. Teknologi digunakan untuk mengakumulasi kapital sehingga dapat menjadi sarana melipatgandakan keuntungan.

Di sini, kita patut mempertanyakan peran perusahaan multinasional. Apakah kita dapat seyakin Baker & Goto dengan menyatakan bahwa perusahaan multinasional berperan sangat penting dalam transfer teknologi? Persoalannya bukan mampu atau tidak mampu, tetapi pada “untuk apa” teknologi tersebut digunakan. Dalam konteks Indonesia, misalnya, beberapa perusahaan multinasional tidak hanya melakukan alih teknologi, tetapi juga menggunakan teknologi untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Di lain pihak, rakyat masih terperangkap pada kemiskinan yang, ironisnya, bersifat struktural.

Rais (2008: 258) menyebut fenomena ini sebagai “state-corporate crime” atau kejahatan korporasi yang dibiarkan atau difasilitasi oleh negara. Kasus Papua menjadi sebuah bukti bahwa alih teknologi yang melibatkan pihak swasta tidak berakhir manis, justru mengundang penderitaan. Sebagai daerah terbesar ketiga dalam sumber daya emas dan nomor satu terbesar dalam produksi tembaga, mestinya Papua menjadi daerah yang sejahtera. Akan tetapi, di Yahukimo, rakyat justru kelaparan ketika di samping mereka terjadi penambangan emas secara besar-besaran yang dilakukan oleh oknum perusahaan multinasional. Apakah, dengan kasus tersebut, ada spill-over atau tricke down effects yang didapatkan dari kerjasama “manis” dengan perusahaan multinasional,? Tentu saja tidak.

Kedua, terciptanya disparitas berbasis kapital yang dimiliki dan borjuasi di level lokal dan nasional. Ketika alih teknologi diserahkan pada pasar tanpa kontrol dari negara, teknologi menjadi barang konsumsi yang harus dibayarkan dengan uang. Tentu saja, biaya untuk konsumsi produk ini sangat tergantung pada biaya produksi. There is no free lunch.

Lantas, dengan adanya Baker & Goto mungkin telah menggambarkan adanya aliran tenaga kerja terdidik yang diciptakan dari sistem inovasi teknologi yang bersifat nasional, regional, bahkan global tersebut. Tetapi, kita juga tak boleh lupa bahwa aliran tenaga kerja yang tak terdidik dan terperangkap pada jebakan outsourcing akibat kebijakan nilai-lebih yang diberlakukan oleh perusahaan multinasional juga berjumlah lebih banyak.

Ketika hal ini terjadi, akan muncul setidaknya dua masalah. Pertama, mereka yang tidak memiliki modal besar akan termarjinalkan dalam aktivitas perekonomian karena tak mampu berkompetisi secara modal. Hal ini akan melahirkan kemiskinan yang terjadi bukan karena mereka tidak mampu bersaing atau mencari pekerjaan, tetapi karena kondisi objektif mengharuskan demikian. Jika kita pandang dari kacamata strukturalisme, situasi semacam ini disebut sebagai kemiskinan struktural.

Kedua, munculnya kelas-kelas pekerja yang tersubordinasi oleh borjuasi. Pemilik modal besar atau industriawan pasti akan memerlukan tenaga kerja untuk menjalankan aktivitas produksi. Kemiskinan akan membuat mereka yang miskin bekerja kepada pemilik modal besar. Muncullah term-term seperti kerja kontrak (outsourcing), buruh, dan lain sebagainya. Dalam artikel Baker & Goto di atas, proses spill-over dan trickle-down tersebut tidak terjadi di beberapa negara, justru meneguhkan borjuasi atau kelas pemilik modal yang “high-tech” serta menciptakan disparitas dengan kaum miskin yang marjinal (secara politik maupun ekonomi) karena ketidakmampuan mereka membeli teknologi.

Penulis lain seperti Hadiz (1999) mengkritik teori negara pasca-kolonial yang sangat bertumpu pada logika di atas. Negara pasca-kolonial seakan-akan diposisikan sebagai sebuah negara yang siap untuk menerima pengaruh eksternal apapun, padahal yang akan muncul sebenarnya hanya penindasan kelas marjinal oleh kelas pemodal. Alih teknologi yang dilakukan tergesa-gesa hanya menumbuhkan dependensi antara negara core dan peripheral.

Letak ketidaktepatan analisis Baker & Goto adalah pada analisisnya yang hanya berfokus sentral pada negara-negara tertentu, seperti Malaysia, Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan negara-negara maju lain. Baker & Goto tidak melihat Myanmar yang masih berada di jurang kemiskinan akibat otoritarianisme. Baker & Goto tidak melebarkan analisis pada negara-negara Asia Selatan yang eknominya kurang mapan. Apakah sistem inovasi teknologi, jika diaplikasikan di negara-negara tersebut, juga menghasilkan interdependensi?

Maka, mengutip istilah Brata (2007), korupsi yang paling hebat adalah ketika muncul kaum borjuis yang memperkaya diri secara besar-besaran, tetapi menolak perbaikan taraf hidup rakyat miskin yang tertindas secara struktural. Kelas pekerja dan kelas marjinal akan menjadi korban ketika teknologi dikuasai oleh oligarkhi kompleks antara negara, pemilik modal, dan para teknokrat yang melakukan proses perencanaan dan produksi.

Simpulan Analisis: Where is the Role of State?

Maka, kontradiksi-kontradiksi liberal yang digagas oleh Baker & Goto karena fokus analisisnya yang terlalu mengabaikan posisi rakyat dan berpihak pada pasar perlu diluruskan. Peran negara dalam ekonomi transfer dan inovasi teknologi bukan hanya sebatas R&D (litbang), tetapi juga dalam proses distribusi kepada rakyat. Persoalan sentralitas peran negara mungkin masih dalam perdebatan, tetapi negara tetap harus berperan untuk menjaga agar teknologi dapat dikonsumsi oleh semua pihak, termasuk rakyat miskin yang marjinal.

Oleh karena itu, mengutip istilah Paul Krugman (2008), bahwa proses liberalisasi tidak lantas diikuti oleh pertumbuhan ekonomi di semua negara. Justru, liberalisasi hanya menghasilkan inequality dan disparitas yang mengharuskan adanya redistribusi. Liberalisasi teknologi, dengan kerjasama kompleks antara pasar dan negara, juga berpotensi menghasilkan disparitas tersebut. Sugiono (1999), justru menyebut bahwa negara-pasar hanyalah sebuah gagasan: konsepsi pasar diterjemahkan secara berbeda di banyak negara.

Maka, kedaulatan negara pada perekonomian, masih sangat diperlukan dalam batas-batas tertentu. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Pemerintahan Yudhoyono-Boediono yang akan menjawabnya dalam lima tahun ke depan.

Daftar Pustaka

Baker, Brendan dan Akira Goto. Technological Systems, Innovation and Transfers. Artikel dikutip dari reading bricks mata kuliah Ekonomi Politik Internasional, cluster Ekonomi Politik Teknologi, 2009.

Brata, Ravi. The New Golden Age (New York: Palgrave-MacMillan, 1997).

Clements, Kevin. From Left to Right in Development Theory, pent. Endi Haryono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cetakan kedua).

Hadiz, Vedi R. Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial (Yogyakarta: Insist Press, 1999).

Krugman, Paul. “Inequality and Redistribution” dalam Narcis Serra dan Joseph Stiglitz. The Washington Consensus Reconsidered: Towards a New Global Governance? (Oxford: Oxford University Press, 2007).

Marx, Karl. Das Kapital: Kritik der Politischen Oekonomie, translated by Samuel Moore and Edward Aveling (New York: L.W. Schmidt, 1887).

Rais, Mohammad Amien. Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta: PPSK Press, 2008).

_____________________. Beranikah Indonesia Menghentikan Penjajahan Freeport? Tidak. Disampaikan dalam Acara Seminar dan Launching Buku “Beranikah Indonesia Menghadapi Penjajahan Freeport?” Gedung Nusantara V DPR-RI, 28 Maret 2007.

Rubinstein, Mark. Relations of Science, Technology, and Economics Under Capitalism and in the Sovyet Union. Makalah dipresentasikan pada Kongres Internasional mengenai Sejarah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di London, 29 Juni – 31 Juli 1931, oleh Delegasi USSR. Artikel Didownload dari http://www.marxists.org/subject/science/essays/rubinstein.htm

Serra, Narcis, Shari Spiegel, dan Joseph E. Stiglitz. “Introduction: From the Washington Consensus Towards a New Global Governance” dalam Narcis Serra dan Joseph Stiglitz. The Washington Consensus Reconsidered: Towards a New Global Governance? (Oxford: Oxford University Press, 2007).

Sugiono, Muhadi. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

Todaro, Michael P. Economic Development in The Third World pent. Mursid Amiruddin (Jakarta: Ghalia, 1987).

Minggu, 04 April 2010

Di Bawah Kuasa Neoliberal

Unfortunately, in Latin America, where the Washington Consensus had the greatest impact on policy, both of these expectations proved unfounded. Growth didn’t take off, and inequality rose instead of falling.” (Paul Krugman)

Hari-hari ini, kita disuguhi oleh sebuah drama tiada henti: para agen neoliberal di negeri ini seakan saling lempar kesalahan atas kerugian-kerugian negara. Balada Century, Freeport, atau skandal-skandal neoliberal lain menjadi sebuah penghangat di tengah harapan rakyat akan ‘angin’ kesejahteraan yang dibawa oleh pemerintahan baru.

Benar. Indonesia memang mulai menapak babak baru. Pasca-pelantikan SBY-Boediono, Indonesia mulai looking forward menatap awal dari kerja lima tahunan yang cukup panjang, melelahkan, dan penuh kontroversi. Dengan komposisi kabinet dan pembagian kekuasaan yang cukup rumit antara SBY dan partai pendukung koalisi, kerja pun dimulai dan arah bangsa mulai ditentukan.

Akan tetapi, jangan lupa. Virus neoliberalisme masih mengancam kita. Oligarkhi kompleks antara negara, pebisnis, media, atau entitas lain yang disebut oleh John Perkins sebagai “korporatokrasi”, atau, meminjam istilah David Brown sebagai “patrimonial state”, masih membayangi Rakyat Indonesia.

Garis kebijakan yang sangat klientelistik, dengan hubungan-hubungan kompleks antara entitas tersebut menegaskan borjuasi baru. Kaum miskin yang marjinal, sekali lagi, tak mendapatkan porsi selain mengharapkan “efek menetes” dari pertumbuhan ekonomi yang sampai sekarang tak kunjung datang.

Francis Wahono dan Ignatius Wibowo (2003) memotret neoliberalisme sebagai sebuah “reinkarnasi” dari kapitalisme dalam topengnya yang lebih radikal: peran negara tidak hanya dikerdilkan, tetapi juga dikooptasi untuk kepentingan-kepentingan kapital.

Neoliberalisme sangat erat kaitannya dengan disparitas yang semakin tajam antara negara maju dan negara berkembang. Hal inilah yang dikritik oleh Joseph Stiglitz sebagai “pasar dengan informasi yang tak sempurna” karena neoliberalisme dikuasai oleh oligarkhi-oligarkhi tertentu yang kompleks.

Dalam buku yang lain, Noreena Hertz membayangkan Bhutan, sebagai sebuah “benteng” pertahanan terakhir nilai-nilai lokal, yang diambil dari kearifan dan kebersahajaan budaya di negara tersebut, akhirnya secara perlahan mulai tergerus oleh efek globalisasi. Indonesia, dengan pertahanan yang minim terhadap arus neoliberalisme, menghadapi bahaya yang sama.

The Washington Consensus

John Williamson (1990) memperkenalkan istilah “The Washington Consensus” untuk membayangkan sebuah resep yang sarat dengan nilai dan gagasan neoliberal. 10 resep yang dikritik oleh Joseph Stiglitz dan Narcis Sierra (2008) tersebut ternyata masih eksis di Indonesia.

The Washington Consensus (Konsensus Washington) merupakan sebuah pola kebijakan dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang bermarkas di Washington DC, USA, seperti IMF, World Bank, atau US Department of Treasury. Pola ini secara sistematis telah membawa arus perubahan dalam tata ekonomi politik internasional melalui sepuluh agenda dengan tiga ikon utamanya, yaitu deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.

Pendekatan yang dibawa oleh Washington Consensus pada dasarnya sangat institusionalistik. IMF dan kawan-kawannya melihat perlunya reformasi kelembagaan, penegakan supremasi hukum, serta stabilitas politik sebagai prasyarat penanganan krisis. Akan tetapi, ada satu hal penting yang menjadi perdebatan: Peran negara harus dikurangi seradikal mungkin, dan pasar dibuka lebar-lebar.

Namun, tetap saja ada kontradiksi. The Washington Consensus cukup menarik untuk diulas karena kontradiksi yang dihasilkannya ketika dunia menghadapi krisis keuangan global yang menyebabkan ambruknya perusahaan finansial raksasa di Jerman dan AS.

Dengan adanya krisis finansial global, banyak negara besar –terutama AS yang dulu begitu ketat menjalankan liberalisme—harus melakukan intervensi pasar dengan memberikan stimulus kepada perusahaan-perusahaan besar demi menyelamatkan pasar modalnya.

Asumsi mengenai kuatnya perekonomian ketika tak dapat lagi dipertahankan ketika Amerika Serikat menghadapi krisis keuangan terburuk selama 70 tahun terakhir. Ambruknya beberapa perusahaan finansial raksasa menyebabkan pemerintah AS harus mengambil langkah strategis dengan melakukan bailout kepada perusahan-perusahaan penting, kendati hal ini menyalahi prinsip kapitalisme.

Jelas, peran negara masih ada di negara-negara maju tersebut. Lantas, dengan resep-resep Washington Consensus yang masih membayang di benak para pemutus kebijakan, dapatkah bangsa kita mengelak dari arus neoliberalisme yang ortodoks?

Neoliberalisme bukan semata persoalan ekonomi. Muatan politis, sosial, bahkan budaya akan turut terpengaruh dengan adanya arus-arus neoliberalisme di Indonesia. Mengutip istilah Paul Krugman (2008), bahwa proses liberalisasi tidak lantas diikuti oleh pertumbuhan ekonomi di semua negara.

Justru, liberalisasi hanya menghasilkan inequality dan disparitas yang mengharuskan adanya redistribusi. Sugiono (1999), justru menyebut bahwa “negara-pasar”, negara yang menihilkan peran pemerintah dan mengedepankan peran pasar di semua sektor ekonomi, hanyalah sebuah gagasan: konsepsi pasar ternyata diterjemahkan secara berbeda di banyak negara.

Maka, tahun 2009 dan lima tahun ke depan akan menjadi sebuah penentuan besar bagi Indonesia: Akankah bandit-bandit neoliberal ini dapat meneguhkan eksistensinya? Let us just wait and see.

Belajar dari Konflik Pemilu Iran

catatan: artikel ini dimuat di Banjarmasin Post, 8 Juli 2009

Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
*)

DEMOKRASI tak lagi sakti. Kira-kira, ungkapan itu cocok untuk menggambarkan fenomena yang terjadi di beberapa negara yang melangsungkan pemilihan umum pada 2009.

Kerusuhan yang melanda beberapa negara seakan membuktikan, demokrasi yang diterjemahkan secara sembrono, ternyata hanya menghasilkan anarkistis dan ketidakpuasan bagi pihak yang merasa dirugikan.

Iran, sebuah negara yang selama ini vokal terhadap dominasi AS, menjadi saksi dari kebenaran ungkapan tersebut. Pemilihan umum yang berlangsung 12 Juni 2009 itu berakhir ricuh, setelah dewan pemilihan mengesahkan Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden terpilih dengan kemenangan mutlak satu putaran.

Tiga pesaingnya, Mir Hassan Moussavi, Ahmad Karrouni, dan Mohsen Rezaei tidak puas. Maka, terjadi gejolak di akar rumput. Teheran membara, kerusuhan menewaskan sedikitnya 17 orang dan melukai 100 orang lainnya. Stabilitas politik tak menentu. Situasi kian problematis ketika pendukung Moussavi tidak menerima hasil pemilu. Pendukung Moussavi yang mayoritas dari kelas menengah, aktivis, serta masyarakat perkotaan, melakukan serangkaian aksi demonstrasi di Teheran.

Keamanan merespons demonstrasi itu. Kerusuhan pecah di ibukota Teheran dan membawa beberapa korban jiwa. Beragam respons dari dunia internasional muncul, menyerukan agar konflik internal segera diakhiri oleh masing-masing pihak.

Krisis politik pada 2009 ini merupakan kerusuhan terbesar pascarevolusi Islam Iran 1979. Revolusi yang berhasil mengusir rezim otoritarian Shah Reza Fahlevi tersebut digawangi oleh kubu konservatif. Pemimpin spiritual Syiah, Ayatullah Ali Khomeini yang diasingkan di Perancis menjadi garda terdepan penentangan itu.

Namun, situasi yang terjadi sekarang sama sekali berbeda. Tak ada lagi rezim otoritarian yang menjadi musuh bersama. Masalah yang memicu kerusuhan jelas, hasil pemilu yang tak bisa diterima semua pihak. Jika kita lihat konstelasi politik di Iran sekarang, muncul asumsi bahwa elite politik kawakan memainkan peran penting dalam setiap langkah politisi Iran.

Banyak pihak menduga, kerusuhan yang terjadi di pemilu itu adalah ekses dari perebutan legitimasi politik di antara elite politik yang sebenarnya tidak memiliki pengaruh politik yang kuat lagi dengan dua kutub utama, reformis dan konservatif.

Ahmadinejad dikenal publik sebagai figur yang konservatif dan dekat dengan pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Pesaing terkuatnya, Mir Hassan Moussavi, dikenal sebagai kubu reformis yang dekat dengan mantan Presiden Iran Hashemi Ali Rafsanjani. Begitu pula dengan Ahmad Karroubi dan Mohsen Rezaei yang berkarakter reformis-moderat.

Dengan demikian, peta politik di Iran menjadi jelas, kekuatan reformis yang menginginkan akses politik lebih besar makin menguat dan mencoba untuk menggeser dominasi kubu konservatif yang kukuh terhadap pendirian dan prinsip revolusi Islam Iran.

Basis legitimasi politik Ahmadinejad yang mayoritas berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah dan masyarakat perdesaan Iran menjadi bekal kuat untuk menggenggam kursi kepresidenan untuk kedua kalinya. Terbukti, Ahmadinejad berhasil mengonsolidasikan kekuatan di daerah miskin sebagai konstituennya pada pemilu yang lalu, terlepas dari absah atau tidak hasil pemilu tersebut. Ahmadinejad mampu memaksimalkan pengaruhnya di mata masyarakat perdesaan Iran.

Di sisi lain, kubu reformis juga memiliki basis massa yang kuat di perkotaan, yang didominasi oleh kelas menengah dan aktivis yang mengenyam pendidikan. Ketika pemilu dimenangkan Ahmadinejad, karakter reaksioner kubu reformis keluar. Aksi demonstrasi membesar di Teheran yang relatif terpelajar.

Persoalannya tentu bukan sekadar konflik elite. Diakui atau tidak, kekuatan asing cukup signifikan bermain di wilayah pemilu. Dalam konteks Iran, kita dapat membaca pergerakan asing tersebut dalam beberapa kelompok: NGO, media massa, dan kelompok kepentingan di Iran yang memiliki hubungan dengan pihak asing.

Kubu reformis tentu memahami hal itu. Bagaimana mungkin aksi massa bisa menjadi begitu anarkistis dan masif tanpa disertai oleh penggiringan opini publik? Tentu saja, arus informasi menjadi begitu penting.

Meski demikian, patut kita akui bahwa kubu konservatif juga memiliki peran dalam menggerakkan aparatur negara, sehingga pihak keamanan menjadi begitu responsif. Dalam kondisi yang tidak stabil seperti sekarang, Ahmadinejad bisa saja bertindak sesuatu melampaui kapasitasnya sebagai seorang presiden terpilih.

Ketika memandang Iran, kita tak dapat melepaskan satu konteks utama yang menyertai konflik di Timur Tengah, pencarian legitimasi politik (Hudson, 1979). Kita patut mengambil cerminan, demokrasi tidak selamanya benar. Demokrasi harus disertai dengan segregasi kepentingan agar stabilitas tetap terjaga. Demokratisasi hanya menjadi angan semu tanpa memahami kepentingan.

Oleh karena itu, budaya politik Iran yang konfliktual menjadi penting untuk dipahami. Indonesia perlu berbenah dan mewaspadai apa yang terjadi di Iran ketika pemilihan presiden. Satu putaran belum tentu damai. Satu putaran bukan berarti legitimate. Mari belajar dari Iran, demokrasi tidak selamanya memuaskan kita.

* Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM asal Banjarmasin

Kuasa Penyadapan dan Rahasia Negara

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Setelah tahun lalu Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono menarik kembali wacana untuk mengesahkan UU Rahasia Negara, publik kembali diramaikan oleh berita bahwa pemerintah kembali berencana mengatur penyadapan yang selama ini menjadi tulang pungung KPK dalam memberantas korupsi.

Departemen Komunikasi dan Informasi tentu memiliki alasan tersendiri untuk mengatur penyadapan. Karena, selama ini, penyadapan yang dilakukan –terutama oleh KPK—cenderung tak terkontrol oleh pemerintah, padahal di negara-negara lain penyadapan dilakukan dengan payung hukum yang jelas.

Perlukah Aturan Penyadapan?

Jika masalah ini kita dudukkan secara lebih jelas, akan muncul pertanyaan: perlukah aturan penyadapan yang berada di bawah Depkominfo? Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu kita perjelas.

Pertama, penyadapan dilakukan sebagai upaya pencegahan dari suatu kejahatan, atau dalam kasus penyadapan yang dilakukan oleh KPK, pencegahan dari tindak pidana korupsi. Dengan adanya penyadapan, niat jahat untuk melakukan korupsi setidaknya dapat dicegah.

Kedua, penyadapan digunakan sebagai alat bukti. Beberapa kali, KPK mempergunakan rekaman percakapan yang telah disadap untuk menjerat tersangka tindak pidana korupsi. Hal ini juga menjadi catatan di persidangan untuk membuktikan kejahatan yang telah dilakukan.

Ketiga, yang menjadi persoalan, ternyata penyadapan telah membawa banyak nama pejabat tinggi negara, seperti “Truno-1” atau nama-nama lain yang jika diusut secara lebih jauh akan membawa dampak politis. Ketika hal ini terjadi, penyadapan menjadi sesuatu yang “kontroversial” di mata elit-elit politik, karena ternyata korupsi masih terjadi dalam lingkaran-lingkaran elit kekuasaan di level pusat.

Keempat, aturan penyadapan di Indonesia masih belum ada dalam payung hukum yang lebih tinggi, dan KPK memiliki wewenang ini dalam UU untuk melakukan pemberantasan korupsi.

Maka, wacana Menkominfo Ir. Tifatul Sembiring untuk mengatur masalah penyadapan ini dalam sebuah peraturan menarik untuk disimak. Persoalannya, tepatkah aturan ini diberikan secara terpusat kepada Depkominfo, sementara KPK juga memiliki wewenang ini?

Dalam konteks ini, kita juga perlu melihat posisi KPK dan Depkominfo. Kedua lembaga ini jelas secara hukum sejajar: baik KPK maupun Depkominfo bertanggung jawab langsung kepada presiden. Sehingga, ketika aturan penyadapan muncul dan KPK harus bertanggung jawab kepada Depkominfo, ada sedikit kejanggalan dalam kewenangan.

Terlebih, KPK memiliki wewenang penyadapan ini dalam UU, sehingga jika aturan penyadapan diatur oleh Depkominfo, muncul kekuatiran akan adanya “serangan balik koruptor” –meminjam wacana Hasrul Halili— yang menggunakan momentum ini untuk melakukan judicial review atas wewenang penyadapan KPK.

Tentu, kita tidak menginginkan adanya upaya pelemahan kembali KPK. Maka, sebetulnya upaya Depkominfo untuk mengatur hal penyadapan ini secara terpusat kurang tepat. Namun, mengingat pentingnya hal penyadapan ini diatur agar tidak ada lagi dugaan “penyalahgunaan wewenang” seperti kasus Bibit-Chandra, tetap harus ada jaminan bahwa penyadapan diatur.

Di sini, perlu adanya fungsi koordinasi dari lembaga-lembaga terkait. Komisi I DPR-RI, Depkominfo, BIN, dan KPK perlu mendudukkan masalah ini secara lebih terbuka, agar penyadapan tetap dapat dilakukan tetapi dengan pengawasan dan upaya yang terkendali. Inisiasi dari DPR-RI juga harus ada.

Rahasia Negara

Persoalan berikutnya yang cukup pelik adalah UU Rahasia Negara. Tekanan publik yang memandang bahwa UU Rahasia Negara akan kontraproduktif dengan alam demokrasi patut dicermati. Rahasia negara memang penting, tetapi juga tidak boleh menciderai demokrasi yang tengah dibangun di Indonesia.

Ketika UU Rahasia Negara digulirkan ke publik beberapa waktu yang lalu, salah satu alasan penolakannya adalah benturan dengan kebebasan pers, dan kekuatiran akan “kembali ke masa lalu” dengan adanya pembredelan pers atau penangkapan dengan dalih “rahasia negara”.

Maka, persoalan rahasia negara dan kebebasan berpendapat juga perlu didudukkan dalam sudut pandang yang jelas. Pertama, rahasia negara penting sebagai basis pertahanan informasi ke luar, agar tidak ada informasi yang berseliweran keluar-masuk dan terbaca oleh pihak-pihak eksternal yang mengancam kedaulatan RI.

Kedua, kebebasan berpendapat juga diatur dalam UUD 1945, sehingga rahasia negara tidak boleh menjadi batu sandungan bagi kebebasan publik untuk menerima informasi dan menyalurkan pendapatnya.

Lantas, bagaimana posisi rahasia negara? Di sini, menjadi penting bagi kita untuk memperjelas batas dan wewenang pers dan apa saja yang menjadi lingkup bagi rahasia negara. Filter memang perlu, tetapi kebebasan pers mutlak dijunjung tinggi. Hal ini akan lebih mudah kita baca jika batas-batas rahasia negara tersebut telah ada.

Lagi-lagi, di sini harus ada perdebatan publik mengenai UU yang akan mengatur. Substansi dan muatan UU harus sesuai dengan alam demokrasi dan iklim kebebasan berpendapat yang ada di Indonesia.

Oleh karena itulah peran DPR-RI menjadi penting sebagai representasi rakyat Indonesia. Kran wacana perlu kembali dibuka oleh DPR agar perdebatan terjadi dan rahasia negara menjadi jelas. Dephan dan Depkominfo juga perlu meyakinkan publik bahwa tidak akan ada benturan antara UU dan kebebasan berpendapat.

Terpenting, rahasia negara tidak menjadi pembuka jalan bagi “otoritarianisme gaya baru” dan tetap sejalan dengan semangat reformasi yang selama ini kita rasakan bersama. Mari membangun kedewasaan berdemokrasi.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM