Minggu, 04 April 2010

Belajar dari Konflik Pemilu Iran

catatan: artikel ini dimuat di Banjarmasin Post, 8 Juli 2009

Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
*)

DEMOKRASI tak lagi sakti. Kira-kira, ungkapan itu cocok untuk menggambarkan fenomena yang terjadi di beberapa negara yang melangsungkan pemilihan umum pada 2009.

Kerusuhan yang melanda beberapa negara seakan membuktikan, demokrasi yang diterjemahkan secara sembrono, ternyata hanya menghasilkan anarkistis dan ketidakpuasan bagi pihak yang merasa dirugikan.

Iran, sebuah negara yang selama ini vokal terhadap dominasi AS, menjadi saksi dari kebenaran ungkapan tersebut. Pemilihan umum yang berlangsung 12 Juni 2009 itu berakhir ricuh, setelah dewan pemilihan mengesahkan Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden terpilih dengan kemenangan mutlak satu putaran.

Tiga pesaingnya, Mir Hassan Moussavi, Ahmad Karrouni, dan Mohsen Rezaei tidak puas. Maka, terjadi gejolak di akar rumput. Teheran membara, kerusuhan menewaskan sedikitnya 17 orang dan melukai 100 orang lainnya. Stabilitas politik tak menentu. Situasi kian problematis ketika pendukung Moussavi tidak menerima hasil pemilu. Pendukung Moussavi yang mayoritas dari kelas menengah, aktivis, serta masyarakat perkotaan, melakukan serangkaian aksi demonstrasi di Teheran.

Keamanan merespons demonstrasi itu. Kerusuhan pecah di ibukota Teheran dan membawa beberapa korban jiwa. Beragam respons dari dunia internasional muncul, menyerukan agar konflik internal segera diakhiri oleh masing-masing pihak.

Krisis politik pada 2009 ini merupakan kerusuhan terbesar pascarevolusi Islam Iran 1979. Revolusi yang berhasil mengusir rezim otoritarian Shah Reza Fahlevi tersebut digawangi oleh kubu konservatif. Pemimpin spiritual Syiah, Ayatullah Ali Khomeini yang diasingkan di Perancis menjadi garda terdepan penentangan itu.

Namun, situasi yang terjadi sekarang sama sekali berbeda. Tak ada lagi rezim otoritarian yang menjadi musuh bersama. Masalah yang memicu kerusuhan jelas, hasil pemilu yang tak bisa diterima semua pihak. Jika kita lihat konstelasi politik di Iran sekarang, muncul asumsi bahwa elite politik kawakan memainkan peran penting dalam setiap langkah politisi Iran.

Banyak pihak menduga, kerusuhan yang terjadi di pemilu itu adalah ekses dari perebutan legitimasi politik di antara elite politik yang sebenarnya tidak memiliki pengaruh politik yang kuat lagi dengan dua kutub utama, reformis dan konservatif.

Ahmadinejad dikenal publik sebagai figur yang konservatif dan dekat dengan pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Pesaing terkuatnya, Mir Hassan Moussavi, dikenal sebagai kubu reformis yang dekat dengan mantan Presiden Iran Hashemi Ali Rafsanjani. Begitu pula dengan Ahmad Karroubi dan Mohsen Rezaei yang berkarakter reformis-moderat.

Dengan demikian, peta politik di Iran menjadi jelas, kekuatan reformis yang menginginkan akses politik lebih besar makin menguat dan mencoba untuk menggeser dominasi kubu konservatif yang kukuh terhadap pendirian dan prinsip revolusi Islam Iran.

Basis legitimasi politik Ahmadinejad yang mayoritas berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah dan masyarakat perdesaan Iran menjadi bekal kuat untuk menggenggam kursi kepresidenan untuk kedua kalinya. Terbukti, Ahmadinejad berhasil mengonsolidasikan kekuatan di daerah miskin sebagai konstituennya pada pemilu yang lalu, terlepas dari absah atau tidak hasil pemilu tersebut. Ahmadinejad mampu memaksimalkan pengaruhnya di mata masyarakat perdesaan Iran.

Di sisi lain, kubu reformis juga memiliki basis massa yang kuat di perkotaan, yang didominasi oleh kelas menengah dan aktivis yang mengenyam pendidikan. Ketika pemilu dimenangkan Ahmadinejad, karakter reaksioner kubu reformis keluar. Aksi demonstrasi membesar di Teheran yang relatif terpelajar.

Persoalannya tentu bukan sekadar konflik elite. Diakui atau tidak, kekuatan asing cukup signifikan bermain di wilayah pemilu. Dalam konteks Iran, kita dapat membaca pergerakan asing tersebut dalam beberapa kelompok: NGO, media massa, dan kelompok kepentingan di Iran yang memiliki hubungan dengan pihak asing.

Kubu reformis tentu memahami hal itu. Bagaimana mungkin aksi massa bisa menjadi begitu anarkistis dan masif tanpa disertai oleh penggiringan opini publik? Tentu saja, arus informasi menjadi begitu penting.

Meski demikian, patut kita akui bahwa kubu konservatif juga memiliki peran dalam menggerakkan aparatur negara, sehingga pihak keamanan menjadi begitu responsif. Dalam kondisi yang tidak stabil seperti sekarang, Ahmadinejad bisa saja bertindak sesuatu melampaui kapasitasnya sebagai seorang presiden terpilih.

Ketika memandang Iran, kita tak dapat melepaskan satu konteks utama yang menyertai konflik di Timur Tengah, pencarian legitimasi politik (Hudson, 1979). Kita patut mengambil cerminan, demokrasi tidak selamanya benar. Demokrasi harus disertai dengan segregasi kepentingan agar stabilitas tetap terjaga. Demokratisasi hanya menjadi angan semu tanpa memahami kepentingan.

Oleh karena itu, budaya politik Iran yang konfliktual menjadi penting untuk dipahami. Indonesia perlu berbenah dan mewaspadai apa yang terjadi di Iran ketika pemilihan presiden. Satu putaran belum tentu damai. Satu putaran bukan berarti legitimate. Mari belajar dari Iran, demokrasi tidak selamanya memuaskan kita.

* Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM asal Banjarmasin

2 komentar:

Anonim mengatakan...

sebelumnya saya pernah skimming tentang pemilu di iran, rusuh yang terjadi di iran pasca pemilihan presiden disana ada kaitannya dengan kaki tangan agen Ingris dan Amerika, bagaimana pandangan ka umar tentang rusuh itu jika dikaitkan dengan sosok politik ahmadinejad yang kontras dengan politik kepengan barat..?

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar mengatakan...

maaf, supaya diskusinya enak, ini siapa ya? yang jelas, lingkungan internasional itu punya peran..... kalau agen aku tidak sepenuhnya percaya jika belum valid, tapi yang jelas geraka massa kelas menengah di Iran (Mussavi cs.) punya jaringan transnasional ke AS dan negara2 yang selama ini kontras dengan Iran dalam politik Internasional...