Minggu, 11 April 2010

Memperdebatkan Runtuhnya Otoriterisme Soeharto


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
*)


Tahun 1998 menjadi sebuah momentum titik balik Indonesia. Soeharto yang telah memimpin Indonesia melalui personal rule dan oligarkhi kompleks ABRI-Birokrasi-Korporasi dijatuhkan pada bulan Mei 1998, setelah didahului oleh serangkaian demonstrasi dan kerusuhan sosial. Indonesia pun masuk ke dalam sebuah fenomena yang disebut oleh Huntington (1991) sebagai the third wave of democratization.

Muncul pertanyaan: siapa dan apa yang menyebabkan terjadinya pergantian rejim tersebut? Sebagian analis politik berbeda pendapat. Dua orang mahasiswa pasca-sarjana yang mengangkat masalah ini dalam tesis dan disertasinya, Eric Hiariej dan Anders Uhlin, memiliki analisis sendiri terkait dengan pertanyaan tersebut.

Dalam bukunya, Materialisme Sejarah Kebangkrutan Kapitalisme Orde Baru yang diambil dari tesis beliau di ANU, Eric Hiariej berpendapat bahwa struktur ekonomi-politik Orde Baru yang rapuh telah memiliki kontribusi atas jatuhnya Orde Baru. Staf Pengajar jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM ini berpendapat, adanya struktur ekonomi dan politik yang oligarkhis, lalu kerapuhan yang melanda kapitalisme telah membuat Orde Baru sangat rentan dengan krisis.

Ketika Krisis Pemilu 1998 terjadi di Asia Tenggara, Orde Baru yang menerapkan crony capitalism justru tidak dapat berbuat apa-apa. Legitimasi turun drastis. Rejim “developmentalis-represif” (meminjam wacana Herbert Feith), ternyata tidak dapat dipertahankan ketika gelombang krisis terjadi tahun 1998, dan merusak struktur sosial dan politik yang ada.

Menurut Eric Hiariej, adanya gelombang demonstrasi dan kerusuhan hanya implikasi. Crony Capitalism telah mengakibatkan akumulasi kapital yang tak terkendali di kalangan konglomerat dan kroni Soeharto. Akibatnya, kapitalisme yang diharapkan dapat memberikam kesejahteraan, tertumpuk di oligarkhi kekuasaan. Sehingga, ketika krisis terjadi, developmentalisme tidak dapat memberikan jawaban konkret dan harus takluk di tangan Letter of Intent dengan IMF yang membuka pintu neoliberalisme di Indonesia.

Analisis Eric Hiariej ini cukup dapat diterima. Akan tetapi, ada yang perlu dikritisi. Jika reformasi tersebut distimulasi oleh struktur yang rapuh, lantas di mana peran kelas menengah? Apakah desakan mahasiswa yang bersatu di gedung DPR/MPR dan kalangan aktivis dan intelektual seperti Dr. Amien Rais atau Goenawan Muhammad dulu tidak signifikan? Analisis aktor tentu juga perlu guna merekonstruksi gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto tersebut.

Untuk itu, menjadi menarik bagi penulis untukmembaca analisis Uhlin dalam bukunya Oposisi Berserak yang diterjemahkan dari disertasinya mengenai gerakan reformasi Indonesia. Menurut Uhlin, gelombang reformasi memiliki aktor intelektual, dalam hal ini gerakan prodemokrasi yang mengambil populisme kiri sebagai basis ideologi. Dalam kurun waktu 23 tahun terakhir, komunisme yang dilarang justru semakin menstimulasi gerakan populisme yang bukan merupakan kelompok marxist ortodoks seperti PKI, tetapi lebih pada gerakan massa yang anti-otoritarianisme.

Menurut Uhlin, gerakan massa populisme kiri inilah yang mengonstruksi reformasi sejak 1990-an. Di dalamnya ada gerakan mahasiswa kiri seperti Forkot di Jakarta, LSM prodemokrasi, dan intelektual-intelektual progresif yang dekat dengan kekuatan kelas bawah. Mereka bekerja untuk merangsang isu agar menjadi massif untuk dapat memobilisasi massa melawan Soeharto. Pola agitasi dan propaganda ini menguat di awal 1998, ketika krisis ekonomi terjadi dan momentum untuk menumbuhkan sentimen rakyat secara besar tercipta.

Analisis Uhlin ini dapat mengakomodasi kelemahan artikel Eric Hiariej mengenai aktor dari reformasi. Akan tetapi, Uhlin juga belum menjelaskan kekuatan kelas menengah dan gerakan massa ini pasca-reformasi. Mengapa kekuatan kelas menengah tidak langung dapat mengambil kekuasaan, tetapi justru membuka peluang para politisi yang tidak menjadi bagian dari gerakan untuk maju di pentas politik nasional?

Artinya, ada pendomplengan gerakan reformasi pasca-Transisi. Terlihat dari stabilitas politik nasional yang tak menentu, hingga memunculkan gagasan “reformasi telah dibajak”, “reformasi gagal” dan sejenisnya yang berimplikasi pada sentimen rakyat justru pada aksi-aksi demonstrasi sesudahnya.

Maka, hal ini perlu dianalisis kembali untuk membuka cakrawala berpikir kita, mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kejatuhan rejim otoritarian Orde Baru.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Tidak ada komentar: