Selasa, 06 April 2010

Terorisme, Benturan Peradaban, dan Kelas Marjinal

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Problem terorisme di Indonesia telah membuat beragam kegaduhan sosial, politik, maupun keamanan. Rupanya, tewasnya buronan teroris kelas wahid Noordin M. Top beberapa waktu lalu masih diikuti oleh ragam kegaduhan lain, antara lain dengan penggerebekan teroris di Aceh dan Pamulang, Maret 2010.

Ada pertanyaan yang tak henti-hentinya kita ajukan dalam soal terorisme ini. Mengapa “virus” terorisme masih belum dapat diusir juga dari negeri ini? Apakah keberadaan teroris di Indonesia sudah begitu kompleks, dan jaringannya begitu mengakar di negeri ini sehingga tak kunjung hilang?

Jika jawabannya ya, seperti yang sering ditampilkan oleh media massa dan diskursus publik, artinya ada dua hipotesis yang menjadi asumsi dasar mengapa terorisme selalu gagal diberantas oleh aparat.

Pertama, upaya pemberantasan terorisme belum masuk ke “akar” masalahnya sehingga proses kaderisasi terus berjalan; Kedua, Ada sebuah kekeliruan cara pandang dalam memahami masalah terorisme.

Benturan Peradaban?

Sebetulnya ada beberapa cara pandang dalam melihat masalah terorisme. Cara pandang paling khas ditunjukkan oleh Samuel Huntington (1997) dengan tesis “clash of civilization” yang melihat terorisme sebagai implikasi dari benturan dua peradaban utama di dunia: Islam vis-a-vis Barat.

Logika Huntington sederhana. Ia bertitik tolak dari gaya pandang realisme yang memandang politik dunia sebagai “struggle for power”—perebutan kekuasaan (Huntington, 1997). Bedanya dari pemikir realis klasik seperti Morgenthau yang menempatkan negara dalam posisi sentral, atau Waltz yang lebih menempatkan kekuasaan (power) dalam perspektif yang material, Huntington berangkat dari pembagian dunia atas apa yang ia sebut sebagai “peradaban”.

Huntington menganggap dunia sebagai sebuah perpaduan antarperadaban yang bersifat multipolar; oleh karena itu ia membagi dunia menjadi delapan peradaban besar. Prinsip realisme yang memosisikan interest dalam konteks power memberi basis logika kedua: Persaingan antarperadaban menghasilkan konflik dan pertentangan.

Sehingga, jika logika tersebut digunakan sebagai pisau untuk menafsirkan terorisme di Indonesia, kita akan sampai pada sebuah titik kesimpulan: Terorisme adalah ekses dari tidak kompatibelnya peradaban Islam dan Barat. Hal ini dipertegas oleh atribut yang dikenakan oleh pelaku teror, dengan memberi warna Islam sebagai argumen.

Jika benar demikian, akan muncul pertanyaan lain: apakah terorisme di dunia saat ini identik dengan Islam? Tentu saja, kesimpulan yang mengiyakan asumsi tersebut dibantah oleh beberapa ulama, dengan menunjukkan dalil-dalil. Akan tetapi, persoalan muncul ketika aksi counter-terrorism dilakukan juga dengan mengarahkan senjata kepada komunitas yang diduga terlibat: Islam. Akibatnya, logika yang pada awalnya hanya merupakan asumsi berubah menjadi diskursus dengan penggunaan hard power dan koersi, sebagaimana dilakukan AS kepada Irak dan Afghanistan.

Dampak lain yang terjadi adalah munculnya dikotomisasi antara kelompok “Islam Moderat” dan “Islam Radikal” pada diskursus publik pasca-terorisme. Dikotomi ini muncul akibat respons sebagian pihak yang tidak setuju aksi teror, dan membuat diskursus baru mengenai “Islam” yang moderat, cinta damai, atau sejenisnya.

Padahal, sebelumnya diskursus tersebut tidak muncul, dan tidak perlu dimunculkan untuk memandang umat Islam Indonesia sebagai sebuah entitas yang plural. Seakan-akan, tidak ada tempat bagi “Islam Garius Keras” yang identik dengan terorisme. Implikasi negatifnya bagi umat Islam adalah semakin terfragmentasinya kekuatan politik umat Islam, terutama dalam politik internasional.

Oleh karena itu, cara pandang gaya Huntington ini tidak saja menghasilkan stereotype bagi pemeluk agama Islam, tetapi juga berpeluang mengakibatkan sebuah sesat-pikir yang menarik garis demarkasi secara apriori antara Islam dan Barat. Perlu ada model cara pandang lain yang digunakan untuk membedah terorisme.

Ekonomi-Politik

Ketika gaya pandang “benturan peradaban” a la Huntington cenderung problematis, ada satu tawaran cara pandang baru yang sebenarnya bisa digunakan, yaitu cara pandang ekonomi-politik. Dengan cara pandang ini, basis terorisme sebenarnya bukan persoalan “peradaban” atau “budaya”, tetapi lebih pada ekses ketimpangan-ketimpangan sosial ekonomi dan represi terhadap kekuatan Islam.

Vedi R. Hadiz, guru besar Ilmu Politik dari Murdoch University, Australia memperkenalkan istilah yang ia sebut sebagai “islamic populism”. Ia berangkat dari logika benturan kelas yang terjadi karena beberapa variabel: otoritarianisme, rejim yang tidak memperhatikan aspirasi kelas, dan eksistensi borjuasi dalam politik domestik dan politik internasional (Hadiz, 2010).

Berbeda dengan Huntington yang mentitikberatkan pada pertentangan Islam vis-a-vis Barat, Hadiz lebih memilih untuk memfokuskan analisis pada disparitas ekonomi. Jika dasar analisis Huntington adalah peradaban, Hadiz menghadirkan kelas sebagai basis pemahaman.

Pendekatan ekonomi-politik dalam pandangan Hadiz ini menunjukkan, aksi terorisme adalah wujud dari perlawanan kelompok kelas yang termarjinalkan oleh oligarkhi antara kelas pemilik modal (borjuasi) dan negara. Politik kooptasi oleh kelompok kelas marjinal –dalam kasus Indonesia kelas marjinal tersebut adalah gerakan politik Islam—menimbulkan sebuah kesadaran kelas untuk merebut peran negara yang dianggap gagal dan oligarkis dalam mewujudkan kesejahteraan.

Hadiz mencontohkan dua kasus: di Indonesia era Orde Baru, aksi teror yang –katanya—dilakukan oleh kelompok Komando Jihad di pelbagai peristiwa terjadi karena akumulasi kapital yang luar biasa antara konglomerasi dan negara yang memarjinalkan kelompok kelas menengah dan kelas bawah umat Islam. Kesadaran kelas tersebut menimbulkan gerakan massa yang kemudian direpresi oleh militer nOrde Baru pada dekade 1980-an.

Pada kasus negara-negara Timur Tengah, dalam perspektif yang lebih global, kita dapat melihat bahwa kemunculan gerakan “teroris” dipicu oleh oligarki global antara negara, konglomerasi, dan kepentingan asing. Akibatnya, disparitas kawasan meningkat. Perlawanan terhadap kondisi oligarkis ini membuat beberapa gerakan muncul dan menjadi basis populisme di Timur Tengah.

Sehingga, jika menggunakan kacamata ini, terorisme tidak kita anggap sebagai sebuah inkompatibilitas antara Islam dan Barat. Terorisme dimaknai sebagai sebuah ekses dari ketimpangan sosial akibat penghisapan kapital kelompok borjuasi.

Untuk itu, jika kita konsisten dengan pandangan ini, solusi pemecahan tidak cukup dengan merepresi tersangka teroris. Tindakan yang lebih preventif dilakukan dengan pembenahan struktur ekonomi-politik dan memutus rantai oligarki global yang menindas kelas marjinal. Artinya, pendekatan perlu mengedepankan langkah politik dengan memangkas dominasi pasar dan mengembalikan daulat negara dalam kehidupan ekonomi, bukan hanya keamanan an sich.

Menentukan Cara Pandang

Sebetulnya, masih banyak cara pandang lain dalam memandang terorisme. Akan tetapi, pesan yang ingin penulis tampilkan pada dasarnya sama: jangan memonopoli sudut pandang tertentu dalam memandang persoalan terorisme. Apalagi, dengan menjadikan sudut pandang tersebut sebagai sebuah dalil dalam melakukan sekuritisasi.

Banyak analisis, buku, bahkan disertasi yang sebenarnya terperangkap hanya dengan sudut pandang “benturan peradaban di atas”. Akibatnya, analisis mereka cenderung dikotomis dan memersepsikan harus kompatibel dengan nilai-nilai Barat, yang secara politis bisa ditafsirkan sebagai upaya rejim otoritarian —seperti dalam kasus Orde Baru— untuk memarjinalisasi kekuatan politik Islam (Hadiz, 2010).

Sehingga, cakrawala dalam memandang terorisme perlu dibuka. Jangan tersesat oleh monopoli cara pandang. Kini, andalah yang akan menentukan.

*)Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, Alumnus SMAN 1 Banjarmasin

Tidak ada komentar: