Minggu, 04 April 2010

Kuasa Penyadapan dan Rahasia Negara

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Setelah tahun lalu Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono menarik kembali wacana untuk mengesahkan UU Rahasia Negara, publik kembali diramaikan oleh berita bahwa pemerintah kembali berencana mengatur penyadapan yang selama ini menjadi tulang pungung KPK dalam memberantas korupsi.

Departemen Komunikasi dan Informasi tentu memiliki alasan tersendiri untuk mengatur penyadapan. Karena, selama ini, penyadapan yang dilakukan –terutama oleh KPK—cenderung tak terkontrol oleh pemerintah, padahal di negara-negara lain penyadapan dilakukan dengan payung hukum yang jelas.

Perlukah Aturan Penyadapan?

Jika masalah ini kita dudukkan secara lebih jelas, akan muncul pertanyaan: perlukah aturan penyadapan yang berada di bawah Depkominfo? Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu kita perjelas.

Pertama, penyadapan dilakukan sebagai upaya pencegahan dari suatu kejahatan, atau dalam kasus penyadapan yang dilakukan oleh KPK, pencegahan dari tindak pidana korupsi. Dengan adanya penyadapan, niat jahat untuk melakukan korupsi setidaknya dapat dicegah.

Kedua, penyadapan digunakan sebagai alat bukti. Beberapa kali, KPK mempergunakan rekaman percakapan yang telah disadap untuk menjerat tersangka tindak pidana korupsi. Hal ini juga menjadi catatan di persidangan untuk membuktikan kejahatan yang telah dilakukan.

Ketiga, yang menjadi persoalan, ternyata penyadapan telah membawa banyak nama pejabat tinggi negara, seperti “Truno-1” atau nama-nama lain yang jika diusut secara lebih jauh akan membawa dampak politis. Ketika hal ini terjadi, penyadapan menjadi sesuatu yang “kontroversial” di mata elit-elit politik, karena ternyata korupsi masih terjadi dalam lingkaran-lingkaran elit kekuasaan di level pusat.

Keempat, aturan penyadapan di Indonesia masih belum ada dalam payung hukum yang lebih tinggi, dan KPK memiliki wewenang ini dalam UU untuk melakukan pemberantasan korupsi.

Maka, wacana Menkominfo Ir. Tifatul Sembiring untuk mengatur masalah penyadapan ini dalam sebuah peraturan menarik untuk disimak. Persoalannya, tepatkah aturan ini diberikan secara terpusat kepada Depkominfo, sementara KPK juga memiliki wewenang ini?

Dalam konteks ini, kita juga perlu melihat posisi KPK dan Depkominfo. Kedua lembaga ini jelas secara hukum sejajar: baik KPK maupun Depkominfo bertanggung jawab langsung kepada presiden. Sehingga, ketika aturan penyadapan muncul dan KPK harus bertanggung jawab kepada Depkominfo, ada sedikit kejanggalan dalam kewenangan.

Terlebih, KPK memiliki wewenang penyadapan ini dalam UU, sehingga jika aturan penyadapan diatur oleh Depkominfo, muncul kekuatiran akan adanya “serangan balik koruptor” –meminjam wacana Hasrul Halili— yang menggunakan momentum ini untuk melakukan judicial review atas wewenang penyadapan KPK.

Tentu, kita tidak menginginkan adanya upaya pelemahan kembali KPK. Maka, sebetulnya upaya Depkominfo untuk mengatur hal penyadapan ini secara terpusat kurang tepat. Namun, mengingat pentingnya hal penyadapan ini diatur agar tidak ada lagi dugaan “penyalahgunaan wewenang” seperti kasus Bibit-Chandra, tetap harus ada jaminan bahwa penyadapan diatur.

Di sini, perlu adanya fungsi koordinasi dari lembaga-lembaga terkait. Komisi I DPR-RI, Depkominfo, BIN, dan KPK perlu mendudukkan masalah ini secara lebih terbuka, agar penyadapan tetap dapat dilakukan tetapi dengan pengawasan dan upaya yang terkendali. Inisiasi dari DPR-RI juga harus ada.

Rahasia Negara

Persoalan berikutnya yang cukup pelik adalah UU Rahasia Negara. Tekanan publik yang memandang bahwa UU Rahasia Negara akan kontraproduktif dengan alam demokrasi patut dicermati. Rahasia negara memang penting, tetapi juga tidak boleh menciderai demokrasi yang tengah dibangun di Indonesia.

Ketika UU Rahasia Negara digulirkan ke publik beberapa waktu yang lalu, salah satu alasan penolakannya adalah benturan dengan kebebasan pers, dan kekuatiran akan “kembali ke masa lalu” dengan adanya pembredelan pers atau penangkapan dengan dalih “rahasia negara”.

Maka, persoalan rahasia negara dan kebebasan berpendapat juga perlu didudukkan dalam sudut pandang yang jelas. Pertama, rahasia negara penting sebagai basis pertahanan informasi ke luar, agar tidak ada informasi yang berseliweran keluar-masuk dan terbaca oleh pihak-pihak eksternal yang mengancam kedaulatan RI.

Kedua, kebebasan berpendapat juga diatur dalam UUD 1945, sehingga rahasia negara tidak boleh menjadi batu sandungan bagi kebebasan publik untuk menerima informasi dan menyalurkan pendapatnya.

Lantas, bagaimana posisi rahasia negara? Di sini, menjadi penting bagi kita untuk memperjelas batas dan wewenang pers dan apa saja yang menjadi lingkup bagi rahasia negara. Filter memang perlu, tetapi kebebasan pers mutlak dijunjung tinggi. Hal ini akan lebih mudah kita baca jika batas-batas rahasia negara tersebut telah ada.

Lagi-lagi, di sini harus ada perdebatan publik mengenai UU yang akan mengatur. Substansi dan muatan UU harus sesuai dengan alam demokrasi dan iklim kebebasan berpendapat yang ada di Indonesia.

Oleh karena itulah peran DPR-RI menjadi penting sebagai representasi rakyat Indonesia. Kran wacana perlu kembali dibuka oleh DPR agar perdebatan terjadi dan rahasia negara menjadi jelas. Dephan dan Depkominfo juga perlu meyakinkan publik bahwa tidak akan ada benturan antara UU dan kebebasan berpendapat.

Terpenting, rahasia negara tidak menjadi pembuka jalan bagi “otoritarianisme gaya baru” dan tetap sejalan dengan semangat reformasi yang selama ini kita rasakan bersama. Mari membangun kedewasaan berdemokrasi.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Tidak ada komentar: