Minggu, 11 April 2010

Gerakan Politik Islam di Indonesia

*) Draft pertama. not to be cited.

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Secara garis besar, kemunculan gerakan politik Islam di Indonesia memiliki agar genealogi dan pemikiran yang tak terlepas dari Timur Tengah (Noer, 1980, Pasha & Darban, 2005). Setidaknya, kita dapat memetakan akar genealogi dari beberapa gerakan moderen Islam di Indonesia.

Pertama, Muhammadiyah. Pasha & Darban (2005: 105) menjelaskan bahwa ada tiga pemikir gerakan Islam yang mempengaruhi eksistensi Muhammadiyah: Jamaluddin Al-Afghany, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Tiga pemikir ini kemudian dikenal sebagai gerakan Salafiyah, yang oleh beberapa sejarawan dianggap sebagai peletak tonggak gerakan Islam modern (Pasha & Darban, 2005: 37). Pengaruh pemikiran mereka terletak pada persoalan memandang realitas sosial. Pemikiran Muhammadiyah memiliki corak khas yang akarnya berasal dari Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim. Gerakan Muhammadiyah mendasarkan pembaharuan (tajdid) sebagai salah satu pokok pemikiran untuk melahirkan sebuah peradaban utama (Nashir, 2006).

Hal ini juga dipertegas oleh riwayat KH. Ahmad Dahlan yang juga pernah menuntut ilmu dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, seorang Mufti di Masjidil Haram yang memiliki garis sikap sejalan dengan gagasan pembaruan. Ketika KH. Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta, kampung halaman beliau, gerakan untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan di masyarakat mulai muncul. Akhirnya, lahirlah Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai manifesto perwujudan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang mencita-citakan terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai realitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas (Pasha & Darban, 2005: 99).

Kedua, Gerakan Paderi di Sumatera Barat. Pasha & Darban (2005: 75) menulis bahwa kemunculan gerakan Paderi kuat kaitannya dengan gerakan Wahabiyyah yang ada di Saudi Arabia, serta memiliki garis perjuangan yang sama: menghendaki pemurnian agama Islam secara mengakar. Gerakan Paderi diawali oleh kedatangan tiga haji asal Minang kembali ke daerahnya, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang yang mendakwahkan ajaran wahabi. Kedatangan mereka mendapatkan respons dari Kaum Adat yang menentang gerakan dakwah ini.

Klimaksnya, pecah perang Paderi yang dipelopori oleh salah seorang pahlawan nasional yaitu Tuanku Imam Bonjol yang membangun benteng di Bonjol. Perang ini membawa implikasi pertempuran dengan pihak ketiga, yaitu penjajah Belanda. Dalam kaitannya dengan gerakan politik Islam, kita dapat melihat kesamaan dengan Gerakan Muhammad ibn Abdul Wahhab di Dariyyah yang merebut kekuasaan dari penguasa lokal dengan jalan serupa, dan juga menginginkan pemurnian ajaran Islam secara mengakar. Belakangan, muncul jamaah salafy di kampus-kampus yang merupakan perwujudan wahaby pasca-berkuasa, yang menggunakan jalur-jalur dakwah non-politis dan tidak terlibat persinggungan dengan kekuasaan.

Ketiga, Jamaah Tarbiyah, atau yang lebih kita kenal sebagai Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jamaah Tarbiyah (PKS) tidak secara terang-terangan mengafiliasikan diri dengan Ikhwanul Muslimin, akan tetapi memiliki pemikiran yang berafiliasi dengan gerakan dakwah dari Mesir tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari kesamaan sikap, terutama dalam merespons demokrasi yang oleh sebagian gerakan lain (HTI, Salafy, dll.) dianggap haram. Ciri khas Jamaah Tarbiyah yang juga mencirikan adanya afiliasi pemikiran dengan Ikhwanul Muslimin adalah metode pendidikan (tarbiyah) melalui halaqoh atau kelompok-kelompok pengajian kecil sebagai basis pembinaan anggota, serta semangat untuk kembali pada asholah dakwah atau Islam yang menyeluruh (syamil). Ini dijelaskan oleh Al-Banna sebagai “watak Al-Qur’an yang merangkul segala-galanya (Amin, 2006: 134, Pasha & Darban, 2005: 54).

Berbeda dengan Muhammadiyah yang lebih menekankan purifikasi ajaran Islam dari Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat serta pemberdayaan masyarakat, Ikhwanul Muslimin lebih mengarahkan pada pembentukan organisasi (tanzhim) yang kuat untuk menopang dakwah yang mencakup semua aspek kehidupan, serta berkecimpung di ranah politik untuk meraih kekuasaan dalam implementasinya. Di Indonesia, kendati secara formal tidak ada afiliasi antara IM dan PKS, akan tetapi pemikiran Al-Banna sebagai pendiri IM masih melekat dalam tradisi pemikiran PKS.

Tiga contoh gerakan Islam ini menjadi contoh masuknya pemikiran Islam yang melandasi arah juang gerakan politik Islam. Perbedaan yang cukup menarik, tidak semua pemikiran tersebut diadopsi oleh gerakan politik Islam di Indonesia. Terjadi proses asimilasi dengan kebudayaan lokal yang berimplikasi pada terwarnainya gerakan politik Islam tersebut oleh nuansa-nuansa nasional. Hal ini yang perlu ditelaah secara lebih komprehensif.


REFERENSI

Amin, Shadiq. 2006. Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal (penterjemah: Syarif Ridwan). Jakarta: Al-I’tishom.

Pasha, Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. 2005. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Noer, Deliar. 1980. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Nashir, Haedar. 2006. Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah. Malang: UMM Press.

Tidak ada komentar: