Rabu, 07 April 2010

Menentang Penindasan: Gerakan Populisme dan Diskursus Anti-Hegemoni dalam Politik Internasional

Pendahuluan

Politik Internasional di akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21 diwarnai oleh kemunculan gerakan populisme di berbagai negara, terutama di Timur Tengah dan Amerika Latin. Kendati embrio dari gerakan-gerakan populis ini telah muncul sejak pertengahan abad ke-20, gerakan-gerakan ini mulai menampakkan eksistensinya dengan turut berkecimpung dalam proses demokrasi dan mulai berpengaruh dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan luar negeri masing-masing negara pada akhir abad ke-20.

Kita dapat melihat, misalnya, gerakan populisme di Timur Tengah, yang disebut oleh Hadiz (2010) sebagai “Islamic Populism”. Hadiz memandang gerakan ini sebagai sebuah “populist response” atas otoritarianisme rejim yang ia contohkan pada kasus Afrika Utara atau Timur Tengah. Dalam lanskap kawasan yang berbeda, kita dapat melihat kemunculan gerakan populisme di Amerika Latin yang diwarnai oleh dua arus pemikiran utama: Pink Tide dan Teologi Pembebasan. Kemunculan gerakan kiri dan posisi kuat mereka di beberapa negara ini menjadi sebuah sorotan karena erat kaitannya dengan gerakan menentang kapitalisme Amerika Serikat.

Lantas, bagaimana keterkaitan fenomena ini dengan politik internasional kontemporer? Pada umumnya, gerakan-gerakan populisme –apapun basis pemikiran mereka—memiliki frame yang sama: anti-kapitalisme, anti-hegemoni, dan mencita-citakan keadilan dalam konstruk negara yang mereka inginkan. Dalam konteks politik internasional, musuh bersama tersebut mewujud pada hegemoni Amerika Serikat, yang juga identik dengan unipolarisme (Kegley & Wittkopf, 2006: 119)

Diskursus Hegemoni dalam Politik Internasional

Secara sederhana, Foucault mendefinisikan diskursus sebagai struktur relasi antara pengetahuan dan kuasa (Maliki, 2005: 69). Artinya, jika diejawantahkan dalam politik internasional, diskursus dapat berarti struktur –apa yang ada dan membentuk sebuah realitas—serta praktik, yaitu realitasnya itu sendiri (Hadi, 2008: 36). Dalam kontek ini, kita dapat memandang diskursus hegemoni sebagai “apa yang membentuk hegemoni”, seperti kekuasaan (power), politik, serta kekuatan unipolar (tunggal) yang melanggengkan hegemoni, serta sebagai “bagaimana hegemoni tersebut dilanggengkan”, misalnya melalui militer atau penekanan ekonomi-budaya.

Hegemoni sendiri didefinisikan oleh Gramsci sebagai kepemimpinan moral atas sebuah kelas terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan model kepemimpinan moral dan intelektual (Sugiono, 1999: 31; Simon, 1999: 56). Secara praksis, Sugiono (1999: 66) menerjemahkan hegemoni sebagai kekuatan besar ekonomi Amerika Serikat yang mendominasi pasar mata uang dunia dengan dollar-nya melalui Marshal Plan dan formasi hubungan AS dan sekutu liberalnya secara kuat. Diskursus hegemoni liberal tersebut menghasilkan dependensi global ketika negara hegemon melakukan penghisapan atas negara-negara dunia ketiga yang bertumpu di atas kemiskinan, utang, dan instabilitas politik (Green dan Luehrmann, 2005).

Akibatnya, muncul kontradiksi kelas secara global: negara kaya menguasai ekonomi dunia dan memaksa negara dunia ketiga patuh pada standard mereka, seperti dalam perdagangan dan keuangan internasional. Inilah yang dikritik oleh Marx (1887) sebagai “akumulasi kapital”, atau oleh Hadiz (1999) dianggap sebagai implikasi dari overproduksi di negara maju akibat penghisapan kapital di negara-negara pascakolonial.

Atas proses inilah diskursus hegemoni terbentuk. Akan tetapi, perlu diingat bahwa diskursus tidak hanya dibangun atas sebuah realitas an-sich. Ada proses yang melibatkan “kuasa” di balik realitas tersebut. Ketika kita menganalisis hegemoni Amerika Serikat, kuasa tersebut mengacu tidak hanya melalui “soft power”, tetapi juga melalui “hard power”. Serangan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003, misalnya, diyakini memiliki dimensi ekonomi di baliknya (Setiawati, et. al, 2003). Pada titik ini, terjalin relasi antara pengetahuan (realitas) dan kuasa dalam pembentukan diskursus hegemoni politik internasional.

Akan tetapi, mengacu pada logika awal Marx mengenai kelas, sebuah hegemoni akan memiliki antitesisnya: kekuatan anti-hegemoni. Engels dan Marx (1848) menegaskan hal ini dengan kata-katanya yang terkenal, “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles”. Artinya, sebuah hegemoni dalam konteks kelas akan melahirkan antitesisnya berupa kekuatan anti-hegemoni, yang merupakan representasi dari kelas yang tertindas atas hegemoni tersebut. Bertolak dari logika ini, secara teoretik kekuatan hegemoni pasti akan melahirkan sebuah kekuatan anti-hegemoni baru.

Lantas, bagaimana diskursus anti-hegemoni tersebut muncul? Tentu saja, kekuatan anti-hegemoni tidak muncul begitu saja. Ada sebuah akumulasi dari proses pembentukan hegemoni hingga munculnya hegemoni baru yang secara vis-a-vis berhadapan dengan hegemon tersebut. Pada tahap inilah, kemunculan gerakan populisme sebagai diskursus anti-hegemoni kita analisis untuk melihat proses pembentukan diskursus tersebut.

Gerakan Populisme dan Diskursus Anti-Hegemoni

Jika mengacu pada konsepsi Marx mengenai kelas, diskursus mengenai borjuasi pasti akan diantitesiskan dengan kelas pekerja. Kelas yang disebut oleh Marx dan Engels (1848) sebagai “proletariat” tersebut menjadi sebuah kekuatan yang resisten terhadap penindasan dan penghisapan nilai-lebih yang bermuara pada akumulasi kapital. Dalam politik internasional, kita dapat melihat praktik ini pada fenomena dependensia, di mana negara-negara maju melakukan penghisapan atas sumber daya negara-negara dunia ketiga, terutama melalui proses imperialisme dan transnasionalisme ekonomi (Hadiz, 1999).

Bagaimana dependensia ini terbentuk? Hadiz (1999) memotret fenomena ini dalam konteks negara pasca-kolonial. Imperialisme yang dalam argumen Marx disebut sebagai hasil dari overproduksi di negara maju yang dialihkan ke negara berkembang, berakhir dengan meninggalkan sebuah eksploitasi sumber daya di negara pasca-kolonial. Akibatnya, pada dasarnya “negara modern” yang dibentuk sebagai formasi dari negara pasca-kolonial hanya menjadi penjaga dari siklus kapital negara periferal ke negara inti. Dari sini, “kelas” pun terbentuk sebagai perwujudan fungsi dari mode produksi negara-negara maju yang dihasilkan dari surplus produksi negara berkembang. Pergeseran surplus produksi dari negara periferi ke inti inilah yang dikenal dalam terminologi Marxis sebagai “akumulasi kapital”.

Dengan kondisi seperti ini, negara modern yang dibentuk dari fomasi negara pasca-kolonial menjadi sebuah bagian dari sistem kapitalisme global: sebagai negara periferi yang eksis sebagai penjaga hegemoni Amerika Serikat. Pada realitasnya, hegemoni ini tidak bermakna tunggal. Amerika Serikat menempatkan, misalnya, negara-negara petrodollars di Semenanjung Arabia untuk menjaga eksistensi dari hegemoni ini melalui aliansi bersama penguasa setempat. Atau, dengan mengendalikan instabilitas politik dengan menempatkan Israel. Di Amerika Latin, Amerika Serikat menempatkan penjaga berupa rejim developmentalis represif –meminjam istilah Herbert Feith (1980)— untuk menjaga arus modal tersebut. Tentu saja, hegemoni ini dikukuhkan melalui hard power berupa penggunaan kekuatan militer, bantuan keamanan atau militerisasi rejim (Azzelini, 2005: 24; Perkins, 2004).

Akan tetapi, justru melalui praktik-praktik inilah diskursus anti-hegemoni muncul. Di Timur Tengah, keberadaan rejim represif menimbulkan gerakan baru di beberapa negara yang bermuara pada keinginan untuk merebut peran negara dengan basis Islam sebagai ideologi. Hadiz (2010) menyebutnya sebagai “Islamic Populism”, karena mereka mewakili sebuah kelas yang selama ini termarjinalkan dalam politik Timur Tengah, yaitu kelas Islamis. Fenomena serupa juga menimbulkan gerakan teologi pembebasan dan sosialisme baru di Amerika Latin yang berorientasi pada nasionalisasi sumber daya alam lokal dari korporasi asing (Perkins, 2004; Soyomukti, 2005).

Lantas, apa yang sebenarnya dapat didefinisikan sebagai “populisme”?

Secara sederhana, Hadiz (2010), meminjam istilah Alejandro Colas, mensyaratkan tipe gerakan populisme: "class-based political movements have, with a few notable exceptions, fared less well in the region than rival organisations built around broader,and vague, conceptions of the “the people”, which are significantly cross-class in nature and defined against often equally vague opponents" (Colas 2004: 233). Dengan demikian, gerakan populisme dicirikan dengan “gerakan berbasis kelas”, “memiliki peran politik”, serta mencoba untuk melakukan “transformasi kelas” melawan kelas yang menindas mereka. Ketika dikontekskan di Timur Tengah, gerakan populisme ini justru mengemuka dalam bentuk gerakan politik Islam.

Mereka tidak terbentuk begitu saja. Akar diskursus anti-hegemoni mereka dapat dilacak secara genealogis pemikir-pemikir seperti Al-Banna, Quthb, Qadhafi, atau Al-Afghani yang menolak hegemoni penjajah atau rejim militer pada era mereka (Ayoub, 1991: 183). Diskursus ini muncul dalam bentuk semangat perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh bangsa Arab, untuk membumikan keadilan dalam perspektif Islam dalam peran-peran negara yang mereka idam-idamkan. Di Amerika Latin, pemikiran Che Guevara dan semangat pembebasan Simon Bolivar menjadi spirit untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme gerakan-gerakan politik (Soyomukti, 2005).

Momentum untuk menjadi kekuatan anti-hegemoni, atau pembentukan diskursus dalam tingkat analisa yang lebih tinggi di level sistem internasional terjadi ketika beberapa gerakan masuk merebut peran negara melalui kanal-kanal demokrasi. Sebagai contoh konkret, misalnya, kemenangan Evo Morales dan Hugo Chavez serta Mahmoud Ahmadinejad –yang berasal dari gerakan Syiah anti-AS, kemenangan Hamas dalam Pemilu 2006, atau masuknya Lula da Silva dan Daniel Ortega di Brazil dan Nikaragua, telah menimbulkan sebuah poros baru yang sempat menjadi titik sorot media internasional atas sikap mereka terhadap Amerika Serikat. Atau, gerakan yang merebut peran negara dalam bentuk transformasi kelas secara revolusioner seperti Kuba, Libya, dan Iran.

Keberadaan mereka menimbulkan sebuah diskursus anti-hegemoni baru yang coba memberi resistensi terhadap perluasan hegemoni AS dalam format soft dan hard power ke pelbagai belahan dunia. Iran, seperti dipandang oleh Green dan Luehrmann (2005: 443), yang bermula dari gerakan Syiah pimpinan Imam Khomeini telah menjadi sebuah potret kekuatan yang resisten terhadap hegemoni AS, terutama pada dukungan mereka kepada Hizbullah yang menjadi kekuatan utama penentang Israel di Timur Tengah. Dalam konteks yang lebih kontemporer, sikap tegas Ahmadinejad dalam pelbagai isu internasional juga menjadi sebuah potret anti-hegemoni yang coba dikonstruksi oleh Iran (Ar-Rusydi, 2006: 83).

Analisis Prediktif: Akankah Diskursus Bertahan?

Persoalannya kemudian, bagaimana nasib diskursus anti-hegemoni ini lima tahun ke depan? Setidaknya, ada empat faktor yang akan bermain dalam diskursus anti-hegemoni ke depan.

Pertama, perubahan politik di Amerika Serikat telah menempatkan kekuatan great power tidak lagi memosisikan hegemoni vis-a-vis kelompok anti-hegemoni. Kemunculan Barrack Obama yang mengedepankan multilateralisme serta soft power membawa konsekuensi benturan antara kekuatan hegemoni dengan anti-hegemoni menjadi tidak lagi nampak. Walaupun soft power Amerika Serikat tetap menegaskan adanya hegemoni (Nye, 2002), kekuatan anti-hegemoni menjadi kehilangan momentum untuk meneruskan pembentukan diskursus secara vis-a-vis melawan Obama. Sehingga, dalam lima tahun ke depan, akan terjadi pelemahan diskursus anti-hegemoni melalui keberadaan gerakan populisme dan negara dunia ketiga.

Kedua, siklus demokrasi lima-tahunan telah membuat beberapa gerakan yang merebut peran negara melalui Pemilu harus berjuang untuk mengamankan posisinya. Dari sini, ada dua kemungkinan negatif: partai politik –transformasi dari gerakan populisme dalam politik—terlalu sibuk mengurusi konstituen mereka, sehingga tidak lagi memfokuskan penentangan hegemoni dalam politik luar negerinya, atau partai politik tersebut dikalahkan oleh partai oposisi sehingga kehilangan posisi penting sebagai penentu kebijakan luar negeri. Jika ini terjadi, secara otomatis akan terjadi pelemahan, dan ini yang perlu dikhawatirkan dalam konteks Iran, Venezuela, Bolivia, atau Turki.

Ketiga, Potret politik internasional lima tahun ke depan akan bertumpu tidak lagi pada pertarungan kekuatan diplomasi pertahanan, melainkan pada diplomasi ekonomi. Gerakan populisme mayoritas masih berada di negara yang berkategori “negara dunia ketiga”, dengan standard perekonomian yang belum kuat (Green dan Luehrmann, 2005: 431). Kekuatan ekonomi justru bertumpu pada kekuatan baru yang dikenal dengan istilah BRIC, atau Brazil-Russia-India-China.
Jika negara-negara anti-hegemoni tersebut tidak cepat-cepat mereposisi gerakan mereka pada kekuatan ekonomi baru ini, akan muncul pelemahan-pelemahan internal.

Dengan tiga hal ini, secara umum dalam lima tahun ke depan akan terjadi pelemahan-pelemahan dalam diskursus anti-hegemoni yang direpresentasikan oleh gerakan populisme ini. Jika diskursus baru tidak segera dibentuk, antara lain dengan membuat narasi-narasi kecil anti-hegemoni (Maliki, 2005: 70), kekuatan ini masih mungkin dikooptasi oleh kekuatan hegemoni yang merekonsolidasi diri dengan wajah baru. Pembentukan diskursus baru tersebut perlu dilakukan, tidak hanya oleh kekuatan gerakan populisme, tetapi juga oleh masyarakat sipil dunia ketiga yang memegang peran penting dalam proses demokratisasi.

Kesimpulan

diskursus anti-hegemoni melalui gerakan populisme terbentuk melalui struktur pemikiran dan penyebaran ide populisme dalam bentuk negara yang ditindas oleh penghisapan surplus produksi ke negara-negara maju, yang termanifestasi dari semangat nasionalisme (Amerika Latin), serta gagasan Political Islam (Timur Tengah). Secara praksis, beberapa gerakan sampai pada fase kompromi dengan demokrasi (Bolivia, Iran, Brazil, atau Turki), dan beberapa lainnya tetap pada transformasi kelas secara mengakar (Iran, Libya, Kuba). Ketika masuk pada ranah politik dan kekuasaaan itulah diskursus anti-hegemoni ini muncul dalam politik internasional.

Diskursus, meminjam istilah Foucault, merupakan satu kesatuan struktur dan praksis (Hadi, 2008; Maliki, 2005: 69). Struktur ide an sich tanpa gerakan untuk merebut peran negara tak dapat dikategorikan sebagai diskursus. Begitu pula sebaliknya. Maka, untuk lima tahun ke depan, fokus analisis akan berada pada level negara, sejauh mana gerakan tersebut mempertahankan legitimasi dan mengoperasionalisasikan gagasan populisme mereka.


REFERENSI

Ar-Rusydi, Mirza Maulana. 2007. Mahmoud Ahmadinejad: Singa Persia vs Amerika Serikat. Yogyakarta: Garasi.

Ayoub, Mahmoud. 2004. Islam and The Third Universal Theory: The Religious Thought of Mu’ammar al Qadhdhafi (penterjemah Wahdad Qurdi dan Abdullah Haq). Bogor: Humaniora Press.

Azzelini, Dario. “Kolombia: Laboratorium Perang” dalam Dario Azzelini dan Boris Kanzleiter. La Empressa Guerra (penterjemah: Dina Oktaviani). Yogyakarta: Insists Press.

Feith, Herbert. 1980."‘Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama, Kerawanan Baru", Prisma,11 (November), 69-84.

Green, December & Laura Luehrmann. 2005. Comparative Politics of the Third World: Linking Concepts and Cases. Colorado: Lynne Rienner.

Hadi, Shaummil. 2008. Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional. Yogyakarta: Jalasutra.

Hadiz, Vedi R. 1999. Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial. Yogyakarta: Insist Press.
_____________. 2010. “Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia”. Working Paper. Oxford: CRISE.

Kegley, Charles W. and Eugene R. Wittkopf. 2006. World Politics: Trends and Transformation Belmont: Thomson-Wadsworth, third edition, revised.

Maliki, Musa. “Gerakan Kearifan Kapitalis dalam Dunia Postmodern: Tinjauan terhadap Kampanye ONE/LIVE 8” dalam Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global. Global, Jurnal Politik Internasional Vol. 8, No. 1, 2005.

Marx, Karl. Das Kapital: Kritik der Politischen Oekonomie, translated byS Samuel Moore and Edward Aveling (New York: L.W. Schmidt, 1887). Retrieved from http://www.marxists.org/

Marx, Karl and Frederich Engels. Manifesto of The Communist Party translated by Samuel Moore (Moscow, Progress Publishers, 1969). Retrieved from http://www.marxists.org/

Morgenthau, Hans J. 1956. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace New York, N.Y: Alfred A. Knopf, second edition, revised.

Nye Jr, Joseph S. "The Paradox of American Power". Speech presented in Robertson Hall, Princeton University, May 8, 2002.

Perkins, John. 2004. Confessions of an Economic Hit Men (penterjemah: Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani). Jakarta: Abdi Tandur.

Setiawati, Siti Muti’ah et. al. 2003. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi Rakyat Indonesia. Yogyakarta: PPMTT HI UGM.

Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci pent. Kamdani dan Imam Baehaqi (Yogyakarta: Insist, 1998).

Soyomukti, Nurani. 2008. Revolusi Sandinista: Perjuangan Tanpa Akhir Melawan Neoliberalisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Sugiono, Muhadi. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hi, very interesting post, greetings from Greece!

Anonim mengatakan...

top [url=http://www.001casino.com/]001[/url] brake the latest [url=http://www.realcazinoz.com/]online casinos[/url] manumitted no set aside bonus at the best [url=http://www.baywatchcasino.com/]loose bonus casino
[/url].