Minggu, 11 April 2010

Belajar dari Krisis Politik Thailand

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Thailand kembali memanas. Setelah bertahun-tahun dirundung ketidakpastian politik, kembali kegentingan melanda Thailand. Puluhan ribu massa loyalis mantan Perdana Menteri Thaksin Sinawatra yang menggunakan simbol “baju merah” berunjuk rasa dan memadati pusat kota Bangkok untuk menuntut mundurnya Perdana Menteri Abhisit Vijjajeva.

Ada dua hal yang dapat kita analisis dari kondisi politik Thailand pekan ini.

Pertama, tidak menentunya kondisi politik Thailand pasca-demonstrasi besar-besaran telah membawa implikasi ekonomi dan politik bagi Thailand. Kedua, aksi demonstrasi massal yang digalang oleh kubu “The Red Shirt” menjadi bahan pertanyaan, atas tujuan apa mereka melakukan demonstrasi menentang perdana menteri Abhisit?

Mobilisasi

Dalam studi demokrasi, ada sebuah istilah yang kerap digunakan sebagai lawan dari partisipasi: mobilisasi. Secara sederhana, kita dapat menafsirkan mobilisasi sebagai upaya untuk mengerahkan massa untuk memenuhi kepentingan-kepentingan politik sesaat. Jika dikaitkan dengan konteks gerakan politik, muncul kesan bahwa gerakan tersebut dibangun secara massif, kuat, dan pantas disebut sebagai “people’s power”.

Benarkah demikian? Apa yang saat ini terjadi di Thailand sebenarnya dapat kita baca sejak digulingkannya Thaksin Sinawatra tahun 2006. Pasca-Thaksin, intervensi militer yang begitu kuat dalam politik Thailand kerap menjadikan situasi politik Thailand serba tak menentu.

Berulang-kali pemerintahan yang dibangun kandas. Hal itu terjadi bukan karena proses-proses politik di parlemen, tetapi justru karena tekanan massa yang dicurigai sebagai mobilisasi massa oleh faksi-faksi yang berseteru.

Mengapa kecurigaan terjadinya “mobilisasi” ini muncul? Ada dua argumentasi.

Pertama, pemerintahan yang dibentuk pasca-Thaksin selalu menghasilkan demonstrasi dari masing-masing kubu, dan ketika krisis politik berakhir, demonstrasi tersebut seakan menghilang. Samak Sundaravej dan Somchai Songsawat, dua pendahulu Abhisit dari kubu loyalis Thaksin telah membuktikannya.

Kedua, tidak pernah terjadi bentrokan secara vis-a-vis antara kedua kubu. Logikanya, jika aksi demonstrasi dilakukan secara sadar, bukan atas dorongan manipulatif, akan muncul respons ketika ada gerakan lain yang ingin menjatuhkan rejim yang dibela. Nyatanya, demonstrasi selalu didominasi oleh satu warna, dan ketika warna itu menang, mereka menghilang.

Thitinan Pongsudirak, profesor ilmu politik dari Chulangkorn University menulis di harian The Guardian bahwa konflik elit ini terjadi antara dua faksi besar: elit-elit pedesaan atau “kelas pinggiran” (rural columns) yang pro-Thaksin di satu sisi dan kelompok kelas menengah serta loyalis Raja di sisi lain. Terjadi pertarungan massa di antara kedua faksi ini.

Argumentasi ini memberi tafsir tersendiri untuk menjelaskan tidak menentunya kondisi Thailand. Artinya, kisruh Thailand ini pada dasarnya adalah ekses dari konflik elit yang kemudian dilanjutkan oleh mobilisasi massa sebagai legitimasi pendapat para elit yang berseteru.

Krisis politik kian diperparah oleh masuknya militer ke ranah politik, yang berarti memperjelas ketidakstabilan dan praetorianisme. Sehingga, menurut Pongsudirak, kunci permainan sekarang berada di tangan pemerintah Abhisit untuk merestorasi demokrasi “kembali ke titik nol”.

Refleksi bagi Indonesia

Persoalan Thailand seperti membawa sebuah pesan tersirat bagi negara-negara tetangganya: berhati-hatilah dengan gerakan massa. Jangan sampai, makna demonstrasi yang sebenarnya mulia –membawa suara dan cita-cita rakyat— ternodai hanya oleh kepentingan-kepentingan yang sangat pragmatis.

Tak ada yang salah dengan sebuah gerakan politik yang massif. Akan tetapi, berhati-hatilah karena tak ada yang tahu gerakan itu adalah sebuah gerakan yang dibuat dengan kesadaran, atau hanya mobilisasi yang sangat manipulatif.

Berbagai pemberitaan yang mengisyaratkan adanya mobilisasi berupa pembagian uang dan “nasi bungkus” bagi demonstran untuk mendukung sebuah isu tertentu patut diwaspadai. Hal ini tidak hanya membawa kekisruhan dalam aksi massa, tetapi juga merupakan bentuk penodaan terhadap proses demokrasi.

Untuk itulah diperlukan “ruang publik politis”. Meminjam bahasa Habermas, ruang publik adalah salah satu bentuk dari pemanfaatan arena-arena publik melalui tindakan komunikatif antarwarga negara. Jangan sampai, demonstrasi di Indonesia berubah menjadi chaos massal hanya karena arena publik diubah menjadi arena kepentingan dan uang.

Pendayagunaan ruang publik tidak hanya melalui pembangunan politik yang proseduralistik, tentu saja. Perlu adanya kanal-kanal komunikasi yang dibuka secara lebih luas oleh pemerintah, antara lain dengan membuka wadah partisipasi masyarakat untuk merespons kebijakan publik yang ada.

Lagi-lagi, diperlukan deliberasi. atau, dalam bahasa yang lebih sederhana, kita menyebutnya dengan"musyawarah”. Tidak semua kebijakan harus diputuskan secara sepihak. Maka, demonstrasi tidak lagi harus dijawab dengan pentungan atau gas air mata, tetapi dengan jalur komunikasi yang baik. Ini pun juga mesti dilakukan dengan membuka relung-relung kesadaran.

Maka, mari mengaktifkan kembali kesadaran politik kita. Mari bergerak atas kesadaran, bukan karena dimanfaatkan.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM

Tidak ada komentar: