Huruf yang berpendar-pendar tak beraturan itu, selintas tak punya makna. Hanya kilatan spasi yang berderet cukup panjang, diawali oleh satu tanda seru. Namun, dibalik ke-tidak-bermakna-an huruf itu, tersimpan sebuah makna yang tajam: ia ingin hendak membongkar totalitas doktrin keteraturan dari sebuah teks.
*****
Teks dimulai dari huruf-huruf yang membentuk sebuah kesatuan. Pendaran huruf-huruf menjadikan teks itu berstruktur; membentuk sebuah makna. Awal mula dari teks adalah huruf. Huruf adalah pembentuk; ia menempati posisi penting dalam pembuatan sebuah teks. Tanpa huruf, sebuah teks hanya akan kosong; tak berarti apa-apa. Biarpun hanya satu huruf yang membentuknya, teks itu tetap berdiri.
Derrida membuka permainan dekonstruksinya melalui “huruf”. Ia menyebutnya differance, sebuah pembukaan atas kemungkinan-berbeda, Difference menolak klaim bahwa persepsi itu tunggal; kebenaran itu total; dan struktur itu sifatnya absolut; menafikan adanya sesuatu yang “berbeda”. Meminggirkan yang tidaksama. Mengutip Fayyadl, differance adalah sebuah wujud perlawanan atas “dominasi tuturan dalam metafisika”.
Sekilas, differance tak jauh beda dari difference, yang artinya perbedaan, tapi satu huruf di tengahnya mendeterminasi sebuah dekonstruksi atas universum; sesuatu yang sudah jadi common sense dalam benak manusia. Huruf “a” adalah tonggak; menandakan sebuah perubahan –dekonstruksi yang radikal itu— pada mulaya adalah huruf.
Huruf adalah “nafas”. Tanpa nafas, manusia tak hidup. Manusia adalah teks. Dan tanpa huruf, bisakah teks-teks itu mengalir? Tentu saja, peran-peran kecil dari teks itu tak dapat tergantikan hanya oleh kata, kalimat, atau paragraf? Ruh dari teks adalah huruf. Oleh sebab itu, keberadaannya penting, sepenting nafas dalam hidup manusia.
Pertanyaannya, sejauh mana penghargaan kita atas huruf? Mengapa kita sering menisbatkan keindahan (aesthethics) bukan pada huruf, melainkan pada keseluruhan makro tulisan yang membentuk makna?
****
Saya akan memulai tulisan ini dengan mendiskusikan makna "huruf". Huruf selama ini kadung dibedakan dengan "tanda". Yang disebut sebagai "huruf" -dalam bahasa Indonesia- adalah yang keluar dari bunyi-bunyian mulut (phone). Selain itu, yang menjadi instrumen penanda suasana disimbolisasi dengan tanda. Misal, tanda tanya, tanda seru, spasi, dan lain sebagainya. Jebakan phone ini membuat makna "Huruf" tergeret; Harus berupa sesuatu yang dibunyikan.
Padahal, keduanya adalah satu kesatuan. Semestinya, huruf tidak hanya berupa "yang berbunyi", tapi juga "tanda". "Tanda" bisa menjadi representasi huruf. Kini, ketika orang mempertanyakan statement seseorang, cukup menuliskan satu tanda tanya kepada orang itu, secara tertulis. Kita sudah memahami maksudnya pertanyaan. Contoh semacam ini menunjukkan sebuah pergeseran dalam bahasa (langue).
Teks terkait erat dengan pergeseran kebahasaan itu. Seringkali, muncul standardisasi tak jelas soal teks. Misalnya, harus menceritakan sesuatu secara naratif, argumentasi mesti jelas, dan lain sebagainya. Jebakan semacam itu adalah problem kebahasaan. Teks dibatasi; Akhirnya, teks menjadi domain elite; Kebebasan ditahan atas nama klaim otoritas ilmiah.
Teks juga dikotak-kotakkan oleh bidang "atas nama" klaim ilmiah. Teks politik -bukan politisasi- seperti "haram" masuk ke ranah sains. Padahal, seringkali sains bersinggungan dengan teks-teks politik itu. Teks-teks biologi enggan dibaca mahasiswa hukum; padahal kadang hukum juga terkait bidang biologi itu.
Teks bukan sesuatu yang kaku; terkotak; sempit sebagaimana tadi dimaknai. Kebebasan teks adalah kebebasan meletakkan huruf-huruf secara kreatif. Meletakkan sebuah huruf berarti sedang membentuk teks; tak peduli seberapa tak bermaknanya teks itu di mata orang-orang, paduan huruf-huruf tetaplah sebuah teks.
Guratan huruf-huruf tak beraturan di teks Mallarme, atau dalam puisi-puisi Sutardji Chalzoum Bachri, adalah teks. Ia bukan sekadar dinilai dari sudut pandang aesthetics belaka, tapi juga konstruksi. Huruf memberi sebuah makna baru; Sebab makna, dideterminasi oleh huruf.
Huruf membentuk makna. Dan ia juga membongkar makna-makna itu. Strategi pembongkaran (dekonstruksi) yang diperkenalkan Derrida juga bertitik tolak dari huruf. Membongkar huruf bukan berarti mencerabut maknanya yang sudah mapan; Ia justru membuka makna-makna baru dari sebuah teks. Membongkar huruf adalah sebuah jalan kreatif membaca realitas dalam perspektif baru; sebab realitas adalah teks; membacanya memerlukan multi-perspektif.
Berarti, kita juga akan sampai pada pemahaman baru: Huruf adalah sebuah eksplorasi cakrawala tanpa-batas. Ia tak tersekat oleh bidang-bidang keilmuan yang menjebak, sekat-sekat penulisan yang membatasi, jebakan fonosentrisme yang digeret oleh relasi-kuasa tertentu. Huruf adalah pembentuk bahasa; dan dari bahasa-lah teks itu bermula.
Kebebasan mem-permain-kan huruf ini cukup sering kita dapati dalam sastra. Tapi penafsirannya terkadang hanya berkisar di antara teks-teks sastra itu. Padahal, tidak. Huruf bisa di-interpretasi dalam pelbagai macam bentuk makna. Huruf adalah gagasan; Ia di-interpretasi dalam pemaknaan filosofis yang dalam, bahkan membuka berbagai tabir yang menyelubungi teks selama ini, hanya akibat relasi-kuasa kompleks yang menggeretnya.
Huruf mengalihkan sesuatu yang tadinya "bermakna", menjadi tanpa makna. Ini yang akan terjadi ketika huruf itu dipermainkan sedemikian rupa, sehingga makna-makna indah yang tadinya ingin dihadirkan oleh penulis, menjadi buyar. "Kritik" bermula dari huruf-huruf yang dipermainkan. Ini menunjukkan, betapa pentingnya posisi huruf dalam bahasa; tak peduli ia diabaikan atau tidak.
Penulis, seperti kata Al-Fayyadl, sudah seperti mau membuat rezim. Ketika rezim itu dibongkar, kata-kata diurai tak bermakna, kita tinggal menunggu kematian subjek; bahwa menulis bukan lagi untuk diri-sendiri, melainkan untuk di-interpretasi secara luas, seluas cakrawala yang membentang di seberang sana. Tanpa batas. Bebas.
Dan sebab itu pula, kita (interpreter), berhak mempermainkan huruf dalam makna-makna yang terbentang luas. Bebas dari relasi-kuasa dan hambatan budaya. Akankah itu dengan mudah dilakukan?
*****
Teks adalah pembebasan. Menafsirkan teks adalah pembebasan diri dari mitos, "logos", kesempurnaan, atau ketidak-mungkinkan yang "ditotalkan". Totalitas teks adalah perwujudan relasi-kuasa yang sedemikian kompleks, untuk mengarahkan para pembaca teks, pada pemaknaan yang sebelumnya dikonstruksi.
Teks adalah pembebasan. Tapi perlu diingat, teks dibentuk dari huruf-huruf yang saling bertaut, membentuk makna. Maka, awal mula pembebasan itu adalah huruf. Membongkar relasi-kuasa dapat dilakukan dengan membongkar huruf-huruf pembentuk doktrin, karena dengan pembongkaran huruf, makna yang telah dikonstruksi itu akan menjadi buyar; tak lagi total.
Huruf-huruf yang telah diurai mungkin tak lagi memilki makna. Tapi, dari segala ketakbermaknaan itu, muncul sebuah makna: ini adalah perlawanan. Perlawanan muncul dari sebuah ketidaklogisan dan ketidakbermakna-an. Perlawanan mungkin penuh cacian, tapi tujuannya tegas: untuk memberi alternatif makna baru.
Huruf, dengan demikian, adalah medium perlawanan dari sebuah totalitas bernama "doktrin". Huruf mencipta kesadaran, sementara doktrin membentuk ketaksadaran. Ketika menulis huruf-huruf itu, akan muncul pertanyaan: sudah sejauh mana kita sadar, bahwa menuliskan teks, pada dasarnya bukan persoalan remeh-temeh, tetapi adalah sebuah proses sejarah; untuk melanjutkan estafet perlawanan terhadap struktur sosial yang menindas?
Huruf boleh diabaikan. Tapi, tak ada yang bisa mengabaikan sejarah. Karena sejarah tak pernah berdusta. Dan teks, sebagai representasi sejarah, tak pernah mendustai kita walau digelapkan sedemikian rupa.
11.50. Manggung, 7 September 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar