Jumat, 21 Oktober 2011

"Kata"

Dari huruf, kita beranjak menuju kata. Kata adalah kesatuan terkecil; pada kata-lah huruf-huruf mulai terangkai; membentuk sebuah kesatuan. Kata mengikat huruf-huruf; melahirkan makna. Makna dimulai dari kata. Jika huruf adalah “satuan” terkecil, maka kata adalah “satuan” yang membentuk “kesatuan”. Relasi yang tak terpisahkan antara huruf dan kata, membentuk integralitas. Kata bergantung pada huruf, huruf melahirkankata.

Makna dimulai dari kata. Dari sinilah “konstruksi” itu bermula. Kata membentuk makna. Lebih jauh, ia bisa jadi pembentuk-kuasa atas makna. Karena kata membentuk makna, kata seringkali diserimpung oleh “kehendak-menuju-kuasa”. Kata dimonopoli tafsirnya untuk membentuk makna.

Makanya, kata sering dimaknai tunggal; padahal tidak demikian adanya. Sebagaimana huruf, yang menjadi momen membongkar universum, kata seharusnya juga menjadi medium pembongkaran; dengan membebaskan dirinya dari maksud-maksud tertentu; dari tafsir-tafsir tunggal; dari monopoli dan hegemoni makna. Satu kata bisa bermakna ganda; dan ambiguitas itu tak perlu ditutup-tutupi, melainkan dibuka seluas-luasnya.

Kata adalah kesatuan terkecil. Huruf-huruf yang tadinya berpendar tanpa makna, menjadi terang maknanya setelah diikat oleh satu kesatuan kata. Dari kata-lah, huruf-huruf mengenal persatuan. Dari kata, huruf-huruf diikat oleh sebuah komitmen melahirkan makna. Dan kata menjadi fondasi tekstual; Ia tak hanya menjadi norma; tapi juga pengikat menuju kesatuan yang lebih luas: teks.

Dan di sinilah muncul problema: Apakah "kata" masih menjadi satu kesatuan yang tak berdiri sendiri, yang harus membutuhkan perikatan yang lebih luas, untuk membuat teks? Tak bisakah kata itu sendiri, menjadi teks yang membentangkan maknanya secara luas?

*****

Sakit. Kata itu memiliki macam-macam makna. Ada yang menyebut sebagai ketidakberdayaan fisik, tikaman yang menimbulkan rasa tidak nyaman, epidemi, hingga gangguan mental. Nampaknya, kita terlanjur memersepsikannya sebagai sesuatu yang punya kesan negatif. "Sakit" dituding menular; membawa kematian. Meski itu benar, tapi tak semuanya sah diterima sebagai definisi umum.

Sakit tak mesti bermakna negatif, minus. Justru sakit-lah yang memberi makna pada kata "Sehat". Jika tak ada kata sakit, yang menegasikan lawannya, "Sehat", tentu tak ada makna apa-apa dari "sehat" itu. Sebab, sehat dengan demikian bisa berubah menjadi kebosanan; stagnasi. Istilah sehat didapat ketika ada negasi darinya. Tanpa sakit, jelas tak ada makna dari "sehat". Dan artinya, sakit adalah momentum "kesyukuran", sebuah deklarasi atas pentingnya kata "sehat".

Sebab itu, wajar jika sakit tak menghalangi penulisan teks-teks. Gramsci, misalnya, melahirkan teksnya tentang Hegemoni ketika sedang terbaring sakit di penjara rezim Mussolini. Kuntowijoyo, yang terdekat, di kala sakit parahnya, masih bisa berpikir dan melahirkan teks "ilmu sosial profetik".

Dan artinya, kata tak bisa dilihat hanya pada pandangan umum; common sense. Tidak ada makna (tunggal), yang ada hanyalah interpretasi. Dan interpretasi tentu tak tunggal. Barangsiapa menunggalkan interpretasi, menotalkan tafsir, ia berarti menabuh genderang perang terhadap perbedaan.

Dalam logika hegelian, kata itu bersifat dialektis. Ia merupakan pertautan dari dua hal yang secara natural bertentangan. Makna timbul bukan dari kata, melainkan pada negasi yang kemudian melahirkan makna baru. Sehat baru bermakna jika ada kata sakit. Makna lahir dari pertentangan antara dua hal yang saling menegasikan itu. Tanpa sakit, sehat mungkin dianggap biasa saja; stagnan. Dan sehat merupakan sebuah wujud kerinduan atas orang-orang sakit.

Kata tak seharusnya dimaknai tunggal. Mencipta kata berarti membuka jutaan celah penafsiran secara bebas. Tak ada definisi; yang tersisa adalah interpretasi. Makna adalah interpretasi itu sendiri. Dan common sense bisa jadi hanya makna yang ditotalkan; menjebak para pembaca pada penilaian semu, tergesa-gesa, kekanak-kakanakan.

Dalam relung dunia yang dipenuhi oleh kehendak-menuju-kuasa; pagar perlindungan atas kata-kata menjadi penting untuk dibangun. Sebab, menyerimpungi kata dengan kuasa, berarti hendak membangun doktrin dengan dalih massa. Padahal bahasa adalah arena; ruang; bukan subjek. Bahasa tak memihak; ia hadir dari ucapan; dari teks. Dan teks adalah representasi sejarah. Bahasa adalah tutur yang menyejarah.

Kemenangan demokrasi liberal atas sosialisme, dua dekade silam, membuka pelbagai mitos baru soal kata. Demokrasi ditafsirkan tunggal, dijadikan alat mencari-kuasa oleh kekuatan yang berkepentingan. Kesejahteraan dimonopoli maknanya oleh institusi-institusi keuangan global. Semua digeret oleh relasi-kuasa yang kompleks di tingkat global. Dan kita tak melindungi kata-kata itu dari seretan mereka, karena kita tak punya kuasa.

Kemenangan nasionalisme atas Islamisme di Turki, satu abad silam, juga membuka tafsir-tunggal baru soal kata. Sekularisme menjadi hegemoni, melawan sekularisme berarti melawan negara. Kata menjadi alat penghakiman; atas dalih kekuasaan negara. Semua juga digeret oleh relasi-kuasa yang kompleks, yang diawali oleh penetapan terminologi-baru; Sebuah proses predominasi atas kata; atas bahasa; atas sesuatu yang seharusnya "bebas".

Sebuah fenomena tak terelakkan: kemenangan "kuasa" diiringi oleh predominasi "kata". Kata bertaut dengan kuasa. Siapa yang berkepentingan, ia bisa menggeret kata masuk sesuai keingin-hendaknya, untuk memenuhi hajatnya. Karena kata rawan diambil maknanya, didompleng artinya, ia harus dijaga; didekonstruksi; dibongkar: dengan huruf-huruf itu.

Kata menyiratkan kesatuan; Ia adalah unsur fondasional dalam teks. Huruf-huruf yang berpendar membentuk kata itu, ada maknanya atau tidak, mengorbankan dirinya dalam suatu ikatan untuk membentuk teks. Dan alangkah sayangnya jika kata-kata itu dicuri dengan kekuasaan. Mengapa ia tidak menjadi sarana untuk membebaskan makna dari definisinya yang total, tunggal, menuju kepada "awal"?

*****

Berbicara soal kata, akan berbicara pula soal makna. Dan telah ditegaskan: tidak ada definisi; yang tersisa ialah interpretasi. Makna adalah interpretasi, sejatinya. Dan ia tidak tunggal. Pencipta kata tidak berhak memonopoli kata. Ia dilahirkan dari rahim sang penulis, tapi tidak untuk dimiliki dan dibesarkan.

Kata punya pertautan sejarah. Ketika kata itu dilahirkan, dicipta, oleh penulisnya, dorongan untuk mencipta kata itu sesungguhnya lahir dari persinggungannya dengan pengalaman di masa lalu. Pengalaman itu secara intuitif membentuk ucap. Dan ucap melahirkan kata. Kata tertuang dalam teks. Dan teks, dalam relasi yang berturut-turut itu, adalah hasil dari pengalaman sejarah!

Kata adalah sejarah. Ia menautkan masa lalu, kini, dan masa depan. Tautan-tautan itu membentuk teks; diikat dalam suatu kesatuan bernama kata. Dan sebab itulah, melacak akar kemunculan kata, mau tak mau, harus membacanya dari sejarah. Genealogi, seperti kata Foucault.

Membebaskan kata dari totalitas makna memang tak mudah. Ia perlu kebebasan; keluasan cakrawala berpikir dan interpretasi. Membuka tabir interpretasi dari mitos-mitos logosentris itu berarti membuka kebebasan tafsir atas kata. Dan tentu saja ini berat. Sebab, seperti kata Nietzsche, manusia itu cenderung menguasai-makna. Dan ketidakhati-hatian bisa menyebabkan kita jatuh pada perilaku totaliter; menotalkan kebenaran kata pada diri-sendiri.

Itulah sebabnya, kata beriringan dengan huruf. Sebab, huruf berarti pembebasan. Membebaskan kata dari makna tunggalnya, dapat dilakukan dengan mengurai huruf-huruf, menjauhkannya dari makna itu sendiri. Lantas, menjadikan kata tak bermakna. Karena dari ketidakbermaknaan itu, tersimpan sebuah semangat perlawanan. Bahwa tak ada definisi, yang ada ialah interpretasi!

Manggung, 8 September 2011

Tidak ada komentar: