Jumat, 21 Oktober 2011

"Jumud"

Syahdan, ada perkataan Syekh Muhammad Abduh yang sangat terkenal itu: Al-Islaam mahjuubun bil muslimin. Islam –Dienul Islam— tertutup oleh, untuk kaum muslim itu sendiri. Ia menggambarkan kejumudan yang akut pada masanya: Sufisme merajalela, kekuasaan korup, tidak berdaya-nya umat Islam dalam jebak kabut imperialisme, dogmatisme menimbulkan kebisuan, dan lain sebagainya. Akhirnya, tercetus gagasan: Gerakan pembaharuan –tajdid— harus lahir mendobrak kejumudan itu.

*****

Jika ada sebuah kata yang menggambarkan nuansa tanpa-perubahan, konservatisme, kebosanan yang sampai pada titik kulminasinya, itulah jumud. Kebosanan mendalam, yang menghantam kegairahan, membawa kelesuan, itulah jumud. Arti maknanya bisa beragam. Ia bisa jadi baik, tapi bisa jadi pula sesuatu yang patut dihindari.

Sejarah bergerak dinamis. Di setiap fasenya, selalu hadir koreksi. Koreksi melahirkan perubahan. Maka dari itu, sejarah mengajarkan semangat perubahan. Antitesisnya jelas adalah kejumudan. Pada setiap kejumudan, akan terjadi koreksi. Sejarah telah menceritakan betapa kejumudan adalah sebuah pintu gerbang menuju koreksi besar-besaran; jalan lempang menuju perubahan, pembaharuan; revolusi; koreksi.

Di setiap kejumudan, akan muncul koreksi. Akan tetapi, muncul segumpal tanya: siapa yang menghadirkan koreksi itu? Jumud adalah penanda; ia menyongsong kedatangan the post- . Tapi siapa yang menghadirkan? Bagaimana ia hadir? Dihadirkan, hadir sendiri, dibawa orang lain? Kiranya, sejarah tak bersepakat dengan keterangan itu.

Koreksi bisa jadi hadir sendiri, dari dalam diri, untuk melakukan pembaharuan-diri. Itulah yang saya sebut sebagai transformasi. Transformasi tidak menghendaki perubahan secara total; sebab totalitas hanya meruntuhkan fondasi, mencerabut akar. Transformasi terjadi pada tubuh; ia memindahkan dimensi dari A ke B, dari satu dimensi ke dimensi yang lain.

Koreksi yang hadir dari dalam diri sendiri, berarti masih mengakui adanya sebuah sistem intra-diri, yang berjalan dan beroperasi dari dalam tubuh. Dalam konteks komunitas, masyarakat, transformasi memerlukan kesadaran dari dalam diri untuk melakukan koreksi, secara mandiri, pada ranah substansial-massa, bukan elite. Transformasi tidak pernah sepenuh hati dilakukan elite, kecuali jika elite-elite itu bertaubat. Transformasi membutuhkan massa.

Agama, di banyak sisi, menghendaki transformasi itu. Agama bertitik tumpu pada kesadaran. Seseorang beragama jika ia yakin, sadar. Percaya. Itulah yang kita sebut sebagai iman. Beriman itu berkesadaran, dengan sadar kita percaya bahwa Allah itu ada, Nabi Muhammad itu benar-benar utusan Allah, dan hidup ini adalah untuk ibadah kepada Allah. Tanpa kesadaran, tidak ada iman. Tidak ada taqwa. Tidak ada ihsan. Dan dengan perangkat kesadaran itulah, agama menjadi bersifat transformatif, menginginkan koreksi-koreksi dari dalam diri masyarakat.

Agama ditafsiri dalam sifatnya yang transformasional, berarti agama menghindari kejumudan. Jumud adalah pintu gerbang kekuasaan-semu, yang bisa-bisa menggantikan agama karena ia bisa menciptakan kesadaran yang semu, namun mistis. Agama yang terlampau berdimensi mistis –tidak rasional— akan dapat jatuh pada kejumudan. Dan jika agama jatuh pada kejumudan, ia kehilangan dimensi kesadarannya, yang menghubungkannya dengan massa, dengan manusia, dengan masyarakat.

Jika agama jatuh pada kejumudan, ia menjadi rentan dengan ghoshob. Sebab, kejumudan hanya menghilangkan kesadaran, menghilangkan rasionalitas, menghilangkan kritisisme terhadap struktur di luar agama. Agama menjadi rentan digeret pada relasi-kuasa tertentu; dijadikan tunggangan untuk kepentingan tertentu; dijadikan dalih untuk melakukan sesuatu yang merefleksikan kuasa-kuasa semu.

Agama tidak boleh jatuh pada kejumudan. Oleh sebab itu, ia secara alamiah mengalami proses transformasi; pembaharuan secara terus-menerus. Islam mengistilahkanya dengan tajdid. Istilah transformasi sering digunakan oleh kaum post-tradisional; anak-anak muda di Nadhatul Ulama yang ingin menjauhkan NU dari kemudian, sementera istilah tajdid kerap dipakai oleh Muhammadiyah juga dengan tujuan yang sama.

Ketika teologi Islam berada pada fase kejumudan, karena teologi sering jadi alat kelompok tertentu untuk menegaskan kekuasaannya, muncul Mu’tazilah; dengan lima penegasannya yang cukup revolusioner pada waktu itu, menciptakan friksi dan ketegangan dengan berbagai ulama yang waktu itu kental dengan tekstualitas dan sufisme.

Tapi Mu’tazilah juga dilanda kejumudan, ketika ia menjadi ideologi negara, menindas ahlus-sunah dengan metode “pengujian”. Dari kejumudan Mu’tazilah, lahirlah Asy’ariyah, sebagai jalan-tengah ahlus-sunnah dan mu’tazilah. Semuanya mengalami transformasi. Al-Ghazali mentransformasikan sufiyah menjadi dekat ke ahlus-sunnah, Ibnu Taimiyyah melakukan berbagai koreksi positif terhadap tradisi Ahlus-Sunnah.

Dari segi filsafat juga seperti itu. Tradisi filsafat Islam yang punya kerangka dalam nash, bertemu dengan filsafat Yunani Kuno yang autentik dan klasik, melahirkan sebuah hybrid yang dahsyat dalam tradisi intelektual Islam. Penemuan berbagai macam ilmu dan pengetahuan, termasuk tradisi sosiologi sejarah Ibnu Khaldun, tak lepas dari pertemuan ini. Islam lahir sebagai world-view, salah satunya berkat adanya kolaborasi, dan terutama koreksi, atas tradisi pemikiran yang berkembang sebelumnya.

Susah dibayangkan jika Islam masih berkutat dengan kejumudan, mampu menjadi peradaban yang disegani karena keberaniannya melakukan koreksi dan transformasi. Dan sebab itu, koreksi dan transformasi menjadi dua ujung tombak yang perlu diperkuat untuk melawan kejumudan di berbagai bidang kehidupan.

******

Di setiap gerakan ideologis, adanya kehendak untuk melakukan revisi, koreksi, dan transformasi –dalam maknanya yang positif— tentu akan selalu ada. Sebab, gerakan ideologis pasti menemui kejumudannya sendiri-sendiri. Dan ketika kejumudan itu muncul, yang lahir bukan pencerahan, melainkan penindasan atas nama-kuasa.

Kekuasaaan yang terlembaga dalam rentang waktu yang sangat lama adalah sebuah potensi lahirnya kejumudan-kejumudan baru. Gerak-gerak kita menjadi sangat praksis, melupakan basis intelektualnya. Padahal, intelektualitas itu anti-kejumudan. Sementara mempertahankan kekuasaan adalah praksis yang sangat mendorong kejumudan.

Jika tidak diprasangkai, dan dipikirkan sama-sama sejak dini, kejumudan bisa muncul di sebuah organisasi yang begitu rapi sekalipun. Kejumudan bisa menghasilkan apa yang disebut oleh Nietzsche sebagai “kehendak-menuju-kuasa”, yang berarti akan menggeret kita pada sebuah relasi-kuasa yang kompleks.

Agama adalah sebuah gerakan ideologis. Dan agama tak kebal revisi, tak menolak koreksi. Tentu saja bukan pada sisi fondasionalnya, yang bersumber dari Tuhan. Tapi pada praktiknya, tafsir-tafsirnya. Sebab ketika agama tampil ke masyarakat, sisi idealitas yang dibawa oleh agama, oleh basis ideologis-fondasionalnya itu, akan dipraktikkan secara berbeda oleh masyarakat.

Dan praktik itu terus-menerus terjadi. Itulah sebabnya, kejumudan rentan terjadi. Dan jika kejumudan itu datang, perlu ada koreksi dan transformasi. Di sanalah momentum itu datang. Artinya, agama memerlukan pembaharuan, tajdid, koreksi, transformasi. Tajdid adalah sebuah kemestian. Ia memainkan peran untuk purifikasi (pemurnian), maupun liberasi (pembebasan).

Agama saja bisa jumud, apalagi kita. Maka, untuk melawannya, kita perlu dua macam senjata. Senjata pertama adalah koreksi. Dan senjata kedua adalah transformasi. Dua senjata tersebut memerlukan kesadaran sebagai bekal. Tanpa kesadaran, kita akan jatuh pada lubang kejumudan, senjata tak berarti apa-apa, dan bersiaplah: orang akan menggeret kita pada tendensinya menuju kekuasaan.

****

Hari ini, kita seperti dilanda kejumudan-kejumudan baru atas nama kekuasaan. Ketika agama dijadikan alat untuk mendulang suara. Ketika agama diperalat untuk tuntutan-tuntutan kekuasaan. Ketika agama dijadikan hanya sekadar aksesori, instrumen, untuk struktur di luar dirinya, sementara para pemeluknya terkungkung oleh penjara kebodohan, kemiskinan, penindasan –meminjam Hassan Hanafi.

Dan sebab itu, kejumudan itu harus dilawan dengan koreksi dan transformasi. Pertanyaannya tinggal satu: siapa yang mau melakukan tugas itu?

Manggung, sebelum shalat Jumat.

Tidak ada komentar: