Jumat, 21 Oktober 2011

"Kepentingan"

"Kau mau ulangi tjerita usang
tentang Negro empatlapan
tentang Magelang dan Ngalian
tau lupa Amir dan Hadji Bakri
lupa para petani bagi2 tanah
di Wonogiri dan Bojolali"

-Tembok Granit: "Sajak Pembebasan kepada Partai"

20 Oktober, sepertinya Jakarta kembali akan dipanaskan oleh aksi demonstrasi. Mahasiswa sudah bergolak. Beberapa kalangan aktivis mahasiswa Gadjah Mada sudah bersiap hadir ke Jakarta, dengan isu yang sama digelontorkan: "penggulingan SBY". Di Jakarta lebih lagi. Rasionalisasi sudah dibuat, untuk memberi dalih bagi aksi yang bakal dilakukan. Entah artifisial atau tidak. Tapi yang jelas, ribuan massa kabarnya mau dihadirkan, untuk sebuah gerakan massa.

Terhampir sebuah tanya: atas kepentingan siapa?

****

Seringkali, aksi-aksi demonstrasi mahasiswa dilanda sebuah dilema yang tak usai-usainya melanda, sejak zaman Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib dulu, hingga saat ini: kepentingan. Aksi mahasiswa boleh berawal dari keresahan, apapun dalihnya, berawal dari niat yang suci murni (jika itu masih ada), tapi ketika ia tampil ke panggung politik, ia tak bebas-kepentingan.

Selalu ada relasi-kuasa yang menggeretnya ke tengah-tengah, untuk melayani kuasa-kuasa tertentu yang tak terlihat dari balik jendela, tapi ada memainkan pion-pion untuk mengegolkan "kepentingan" mereka.

Melepaskan diri dari relasi-kuasa itu, dalam konteks strategi-taktik gerakan yang memerlukan analisis cepat dan siap-sedia, menjadi sesuatu yang nyaris mustahil. Gerakan-gerakan yang sudah dirancang mesti bertemu dengan relasi-kuasa itu. Jika tidak, ia akan menjadi nyaris avonturir, tak tentu tujuan, dan akan terbentur dengan kepentingan tertentu yang juga sama. Bergerak atau tidak, mahasiswa pasti bertemu dengan relasi-kuasa itu.

Bergerak di 20 Oktober, akan bertemu dengan mereka yang berkepentingan atas reshuffle kabinet. Kepentingan itu hadir, tidak menampakkan dirinya secara langsung, tapi bertemu ketika kita turun ke jalan. Bergerak di hari tani, bakal bertemu dengan kepentingan untuk menggeser menteri. Dan lain sebagainya,

Tapi jelas tak mungkin jua tak bergerak. Sebab, mereka yang terancam oleh gerakan massa musti akan bertepuk tangan. Dilemanya di sini. Bergerak dianggap maju ke satu kepentingan, tak bergerak, diam saja, juga akan disambut sorak sorai kepentingan yang lain. Lantas, mesti apa kita?

Kepentingan itu selalu hadir, membayangi seluruh agenda mahasiswa. Oleh sebab itulah, mahasiswa -dan mungkin elemen gerakan sosial lain- musti menajamkan pemihakan kelasnya. Ini yang dikritik oleh Ernest Mandel. Gerakan mahasiswa musti menajamkan akar keberpihakan pada kelas yang dibela. Ia tak musti beraliansi, jika mungkin itu tak bisa dilakukan, tapi gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah gerakan kelas; ia memihak kelas tertentu.

****

Lantas, bagaimana berhadapan dengan kepentingan itu?

Meminjam Fayyadl ("Bunuh Diri Kelas"), mahasiswa perlu menganalisis dua relasi yang kompleks di sekelilingnya. Pertama, relasi kuasa; kedua. relasi struktural.

Jika bergantung pada premis bahwa tidak mungkin berlepas diri dari relasi kuasa yang kompleks di sekelilingnya, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa relasi kuasa itu harus dipetakan, agar pemihakan yang dilakukan tepat; tidak menghamba pada kekuatan politik, tidak menghiba pada partai-partai politik, dan dengan demikian, punya relasi yang dialektis.

Boleh saja ia tak disebut independen, tapi dependensinya kritis dan etis. Mahasiswa punya harga diri; tidak dijual oleh kepentingan manapun. Ia bergerak atas kehendak diri, tidak atas instruksi, "taklimat" dari pihak-pihak yang menginginkan kekuasaan. Tapi kesucian niat itu saja tidak cukup. Perlu ada analisis, telaahan, kritik mengenai siapa sesungguhnya yang tertawa dan bertarung darin aksi-aksi demonstrasi mahasiswa.

Terkadang, analisis itu yang kerap diabaikan. Kita kerap menganalisis isu, dengan kritis memperdebatkannya di forum-forum mahasiswa, tapi tak memperhatikan siapa yang berkepentingan dengan isu itu. Dengan demikian, memetakan relasi-kuasa berarti memetakan kepentingan, siapa yang tertawa, siapa yang terancam, siapa yang sesungguhnya sedang marah -sehingga mahasiswa berdemonstrasi.

Kepentingan-kepentingan itu tak hadir dengan sendirinya. Ia dihadirkan. Tentu saja tak terlihat, sebab jika terlihat, mahasiswa mungkin akan merasa jijik melihatnya. Tapi kepentingan politik itu secara eksistensial ada, tak terbantah.

Tiap-tiap momentum pergerakan mahasiswa pasca-kemerdekaan, baik itu '66, '78, atau '98, saya yakin, tak bebas dari kepentingan. Ada yang cermat membaca itu, ada pula yang terlena, lantas masuk pada kekuasaan. Kita ingat betul, sehabis mahasiswa berdemonstrasi besar-besaran tahun 98, dianggap heroik, sebagai pahlawan reformasi, setelahnya kita menemui fakta bahwa terjadi migrasi besar-besaran aktivis mahasiswa ke partai politik.

Mereka yang berdemonstrasi hari ini, seakan-akan adalah politisi yang berkepentingan di masa depan. Siklusnya bisa jadi seperti itu terus adanya. Mahasiswa hari ini berdemonstrasi, besoknya giliran ia yang didemo karena terjerembab pada jurang korupsi dan nikmatnya kekuasaan.

Akan tetapi sebetulnya bukan hanya mahasiswa yang berdemonstrasi yang berpotensi seperti itu. Mereka yang duduk manis belajar dalam kelas, sesungguhnya juga terjebak pada relasi-kuasa yang kompleks, dengan wajah bernama depolitisasi mahasiswa, padahal ia disiapkan untuk memenuhi ambisi dan kepentingan modal di masa yang akan datang, atau justru berpotensi besar menghamba pada kekuasaan.

Oleh sebab itu, kepentingan menjadi tak terhindarkan. Dan oleh sebab itu pula, kita harus memetakannya. Kepentingan yang melembagakan dirinya, menjadi struktur-struktur tertentu. Ia kemudian memainkan isu yang ada untuk kepentingan dirinya. Dan sebab itulah, perlu ada pemetaan atas relasi-struktural di hadapan mahasiswa.

Saat ini, kita berada dalam rengkuhan kolaborasi elite media, partai politik, kepentingan modal, dan lain sebagainya. Celakanya, elite-elite itu kerap didominasi oleh orang-orang lama, yang dengan cerdik menghadirkan diri kembali setelah Soeharto jatuh. Vedi Hadiz dan Richard Robison menyebutnya sebagai "oligarki". Jalinan kuasa yang oligarkis itu hadir kembali, mereorganisasi diri, tampil membajak kekuasaan pasca-reformasi.

Partai politik kini adalah partai politik citra, berorientasi kekuasaan, tak lagi merepresentasikan aspirasi ideologi tertentu. Mungkin ini menjadi pembuktian tesis Daniel Bell, bahwa ideologi itu telah mati. Tapi yang jelas, ia memainkan relasi-struktural yang cermat dengan kekuatan lain yang juga haus-kuasa; mengatur jalannya hidup berbangsa dan bernegara.

Dan mahasiswa segera masuk pada rengkuhan hegemoni partai-pasar-pewarta media itu. Secara tak sadar, mahasiswa digeret oleh media untuk masuk menyikapi isu tertentu, tapi sebenarnya ia masuk pada jaringan kuasa yang hendak dibentuk oleh relasi struktural itu. Yang bertepuk tangan adalah partai, karena mereka jadi punya alat untuk mengganggu pemerintah. 

Pasca-reformasi, jaringan kuasa itu semakin kompleks, tak terhindarkan bagi mahasiswa, mau ia bergerak atau tidak.

Lagi-lagi, jawabnya sederhana: kita perlu memetakan relasi-relasi struktural itu, suka atau tidak suka. Jika tak mampu menghindarkan diri, minimal mahasiswa mampu menjawab siapa yang sebenarnya tengah mengombang-ambingkan gerakan mahasiswa, struktur apa yang saat ini menjadi goliath yang mengatur hidup kita.

*****

Dengan jalan apa mahasiswa memetakan relasi kuasa dan relasi struktural di sekelilingnya itu?

Dalam terminologi Marxis, ada sebuah istilah yang cukup populer: kesadaran kelas (class consciousness). Istilah ini diperkenalkan oleh Georg Lukacs, salah seorang pemikir pasca-Marx yang mencoba mengelaborasi konsepsi dasar Materialisme Sejarah dalam konteks faktor-faktor penggerak proletariat dalam perjuangan revolusionernya.

Pada intinya, kesadaran kelas meniscayakan setidaknya dua hal; pertama, ketertindasan; kedua, kesadaran akan posisinya yang tertindas, sehingga menyulut api pergerakan. Dalam moda produksi kapitalisme, hubungan antar-manusia tereduksi karena relasi produksional. Ini disebut oleh Lukacs sebagai reifikasi, dan menjadi penopang kuat dari kesadaran itu.

Saya tidak akan memperpanjang diskusi soal kesadaran kelas Lukacs. Dalam konteks gerakan mahasiswa, poin pertama yang paling penting untuk memetakan relasi kuasa dan relasi struktural adalah kesadaran; pada posisi mana mahasiswa berpihak, pada kelas mana mahasiswa berposisi.

Kesadaran mahasiswa bukan karena posisi mereka yang elit, yang sering didoktrinkan sebagai agent-of-change; iron-stock. dan lain sebagainya yang cenderung idealistis dan melangit itu. Kesadaran mahasiswa adalah kesadaran bahwa ia adalah representasi dari kelas sosial tertentu yang tidak lepas dari akarnya. Jika pergerakan mahasiswa konsisten pada upaya memperjuangkan masyarakat, mahasiswa mesti mengakarkan diri, kembali ke masyarakat.

Perakaran gerakan mahasiswa ini setidaknya harus ditopang oleh kesadaran; Mahasiswa sadar untuk memainkan posisinya dengan berakar pada kelas-kelas sosial yang termarjinalkan oleh struktur sosial-politik. Fayyadl membahasakannya dengan "bunuh diri kelas". Hambatan-hambatan elitis perlu segera dipotong, jika memang gerakan mahasiswa masih konsisten dengan garis kerakyatan yang ia tempuh.

Tetapi, kesadaran saja tidak cukup; ia harus pula ditopang oleh basis intelektual, analisis atas kondisi real masyarakat. Tentu saja, ini mengimplikasikan konteks kedua, yaitu kesadaran untuk berpikir. Artinya, siapa yang memainkan pion-pion di luar sana, relasi kuasa apa yang sedang menggeret mahasiswa ke ranah politik, dan relasi struktural apa yang bergelayutan di luar sana, jangan sampai abai dari perhatian mahasiswa.

 Oleh sebab itu, mahasiswa harus merumuskan basis intelektualnya secara khas. Mahasiswa, tak dipungkiri lagi, adalah the lucky few yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kesadaran sosial dan kemampuan intelektual, tak bisa tidak, mesti bersatu dalam paduan rapi gerakan mahasiswa. Suka atau tidak suka, posisi sosial dan intelektual mahasiswa menjalin sebuah relasi yang kuat dalam menghadapi relasi-relasi kuasa dan struktural di sekelilingnya.

Mahasiswa boleh pintar, mendapatkan nilai yang baik dalam setiap ujian yang diberikan dosennya, dan memperoleh IP yang tinggi di setiap semesternya. Tetapi, jika ia tak mengerti kondisi masyarakat sejak dini, ilmunya takkan menghasilkan apa-apa. Ilmu dan prestasi menjadi kebanggaan semu, yang mungkin menolong mahasiswa dalam mendapatkan pekerjaan, tapi tak berarti apa-apa dalam wawasannya bermasyarakat. Padahal, adalah sebuah keniscayaan bagi manusia untuk hidup bermasyarakat.

Sebaliknya, mahasiswa yang terlampau sering turun ke jalan, tapi tak pandai membaca dan menganalisis siapa yang sebenarnya sedang memainkan proyek politik untuk kepentingannya pribadi, sebenarnya juga digeret pada jebakan kepentingan broker-broker gerakan itu. Dan artinya, perjuangannya menjadi tidak jelas; fragmen perlawanannya tidak utuh. Akhirnya, gerakan mahasiswa hanya alat untuk kepentingan tertentu, lepas dari akar sosial yang diperjuangkan.

Tentu dua kondisi di atas tak mau kita hadirkan dalam realitas gerakan kita. Hari ini, menjelang aksi massa 20 Oktober yang kabarnya sudah mau digelar oleh kawan-kawan gerakan mahasiswa, baik BEM maupun gerakan ekstrakampus, ada sebuah tanya yang patut direfleksikan: untuk kepentingan siapa gerakan ini dihadirkan? Apakah memang untuk kepentingan "rakyat", seperti sering digaungkan dalam orasi-orasi kita, ataukah hanya untuk melayani "kepentingan" kuasa tertentu, secara sadar ataupun tidak sadar?

Dan jawaban dari pertanyaan itu mesti dikembalikan pada agen-agen aktivis mahasiswa, yang hingga saat ini masih memainkan perannya dalam percaturan politik Indonesia. Sudahkah analisis-analisis itu kita hadirkan, untuk membongkar relasi kuasa di sekeliling kita, untuk melawan relasi struktural yang menghegemoni budaya bangsa ini?

****

Adalah sebuah keniscayaan jika gerakan mahasiswa akan sangat bersentuhan dengan politik jalanan, gerakan-gerakan protes. Di Seoul, penolakan terhadap komersialisasi pendidikan telah membuat mahasiswa berhadapan vis-a-vis dengan kampus, mendorong mereka menguasai areal kampus sebagai simbol penolakan terhadap kapitalisme pendidikan itu. Di London, mahasiswa terdorong untuk turun ke jalan, juga dengan isu yang hampir sama: melawan kapitalisme.

Tetapi, tentu saja, ketidakpuasan ini masih ada. Bukan soal gerakan yang mengharu-biru turun ke jalan, tapi soal kepentingan apa yang sedang dimainkan. Apakah ini demi kepentingan broker gerakan yang mencari makan di partai politik dengan menggerakkan demonstrasi mahasiswa, ataukah murni demi kepentingan rakyat.

Anda boleh saja mengucap pada kita: ini adalah gerakan moral, gerakan yang lahir dari idealisme mahasiswa. Tapi anda tak bisa mengelabui sejarah: bahwa relasi-relasi kuasa itu, jika benar ada, telah menggeret gerakan anda ke jalan yang rawan kecelakaan.

Semoga kita berada di jalan yang lurus.  


"aku ingat sepatumu
yang usang capalan
namun matamu tak terbenam
ke sepatu usang yang capalan
tapi menelaah buku-buku
yang kemudian mengorbankan dirimu
karena buku-buku itu
menyuburkan cintamu
kepada rakyat pekerja
dan itu sepatu usang capalan
jadi rangkumanmu dalam sajak
itu huruf-huruf jadi palu dan bajak
menghayati kebangkitan
rakyat pekerja"
-Agam Wispi: "Sekuntum Bunga untuk DNA yang Dibunuh"

Tidak ada komentar: