"Pendapat berubah, perilaku bergeser, keyakinan naik dan turun, tetapi hukum-hukum moral senantiasa tertulis di meja keabadian" -Lord Acton-
Sejarah selalu dimulai dari teks. Baik itu teks lisan yang turun-menurun diucapkan oleh orang-orang tua dulu, maupun teks tulisan yang terdokumentasi dalam prasasti-prasasti yang tersimpan rapi. Teks memang bukan terpenting, dalam realitas hidup manusia yang singat, tapi ia penting, bagi perjalanan sejarah yang panjang.
Tanpa teks, ingatan tentang tragedi pembantaian Karbala, bisa-bisa hilang dalam ingatan kita. Padahal ada ratusan interpretasi dari sejarah kelam umat itu, dari munculnya Syiah hingga penindasan oleh rezim yang tengah berkuasa ketika itu. Jika tak ada yang bersemangat menuliskannya, bagaimana ia menjadi sebuah pelajaran bagi manusia?
Tanpa teks, mungkin kita sudah lupa tentang Tragedi Tiananmen yang telah membuat manusia tak bersalah, yang sekadar meluapkan protes mereka pada kelaliman negara, terbunuh sia-sia di hadapan bedil dan tank para pembela negara. Biarpun penguasa menutupi kelaliman mereka, teks mewakili sejarah untuk bicara tentang kondisi yang sebenarnya.
Tanpa teks, mungkin pula kita lupa betapa kapitalisme dibangun di atas korban-korban pembela rakyat di Cile, Peru, dan berbagai penjuru dunia lain. Tak terkecuali Indonesia. Penguasa yang ingin membutakan rakyatnya dengan sejarah yang dimanipulasi, harus terjungkal justru karena kejujuran sejarah itu sendiri.
Teks juga membentangkan sebuah pertumbuhan intelektualitas yang begitu dalam di dunia ini. Menjadi intelektual, berarti menceburkan diri ke dalam teks untuk seterusnya mengabadikan olah pikirnya ke dalam teks-teks itu. Tentu saja ini masih diseleksi oleh sejarah: berada di karakter intelektual mana posisi kita. Apakah sekadar pengabdi kuasa, ataukah terjun sebagai intelektual organik-progresif, bersama rakyat yang dibela dari penindasan kelas penguasa?
Begitu berharganya teks, walau ia dijual dengan harga yang tidak mahal untuk menjamin agar manusia dapat mereguk manisnya ilmu bersama mereka, nilai "keabadian" yang ia miliki terasa tak sebanding dengan harga yang kita keluarkan. Itu pun masih harus diberi pajak sehingga semakin hari, teks-teks itu semakin terasa mahal bagi kantung mahasiswa miskin yang ingin belajar.
Dan tentu saja, tanpa menulis, teks takkan hadir. Maka dari itu, menulis berarti menjadi rangkaian sejarah. Sejarah manusia adalah sejarah teks; sejarah kepenulisan. Dari teks itulah hadir rangkaian cerita indah mengenai masa lalu, kesuraman penindasan, hingga jerat-jerat yang menipu mata kita atas dalih kekuasaan. Di sinilah pentingnya teks, dan tulisan.
Namun demikian, betapapun pentingnya ia, teks sering terlupakan, diselingkuhi oleh kepentingan, dan dengan tega dimanipulasi untuk kuasa-kuasa tertentu. Untuk menopang kekuasaan, sejarah ditutup-tutupi, teks-teks dibakar, para penulis dibungkam dan dipaksa untuk menurut pada kehendak penguasa. Walaupun beberapa di antara mereka mampu bertahan dan justru melahirkan tulisan ketika berada di penjara, atau pengasingan.
Terbangunnya sebuah rezim biasanya melibatkan langgam pertautan antar-elemen yang khas: intelektual pembela rezim, media, teknokrasi yang melayani pembangunan sebagai alat legitimasi politik rezim. Tak lupa militer dan perangkat birokrasi yang menopangnya. Yang jadi penting untuk diungkap adalah keterlibatan kaum intelektual. Bagaimana bisa, pemelihara-pemelihara teks itu justru berada di balik kedok penguasa dalam mengoperasikan kekuasaan yang menindas?
Saya masih ingat pernah membaca seri tulisan Hannah Arendt yang panjang itu, "Asal-Usul Totaliterisme". Imperialisme, sebagai sebuah bentuk totalitarisme masa lampau yang cukup kuat hingga pertengahan abad ke-20, memiliki basis legitimasi intelektual yang khas. Imperialisme bukan sekadar praksis kekuasaan yang menindas masyarakat jajahan. Tapi lebih dari itu: ia membentuk sebuah struktur pemikiran yang berada di baliknya, hingga menyebabkan ia memanipulasi pikiran rakyat dengan membentuk standard kebenaran tersendiri.
Titik kritisnya ada di sini. Jika teks -yang ditulis oleh manusia (bukan Tuhan)- itu dilapisi sebuah standard kebenaran yang dibakukan, ia tak ubahnya sebagai alat penguasa dalam mengoperasikan kekuasaannya, dalam praksis penindasan. Ini yang dikritik Derrida dengan istilah logosentrisme, atau Arkoun dengan istilah "akal-Islam"-nya. Bukan persoalan apakah teks itu benar atau salah, tapi digunakan untuk apa teks-teks itu.
Teks sesungguhnya tidak lahir dari ruang kosong. Ia adalah titik kulminasi dari kepentingan yang berserak di sekitar ruang kerja penulisnya. Maka dari itu, izinkan saya menganggap teks sebagai "representasi sejarah". Tulisan bukan sebuah tolak ukur dari kebenaran, transendensi, logos, sebagaimana titah Tuhan dalam Al-Qur'an. Ia adalah sebuah rangkaian cerita sejarah yang lantas dituliskan di atas kertas, sebagai pengingat akan cerita masa lampau yang mengait dengan masa kini, bahkan mungkin pula meramal masa depan.
Dan menulis adalah proses "menjadi bagian dari sejarah". Untuk itulah, menulis bukan sekadar proses "mempengaruhi orang lain". Ia sesungguhnya tak terkait tren, sebab ia berdialog dengan proses sejarah yang panjang, bukan sekadar masa kini. Dan untuk itu, menjadi penulis berarti adalah menjadi diri sendiri, yang menemukan identitas kepenulisannya dari praktik menulis yang terbangun selama bertahun-tahun.
Oleh sebab itu, meminjam istilah Yusuf Maulana sebagaimana ditulis oleh Imron Rosyadi, jadilahj penulis dengan "P" besar. Dan artinya, menulis bukan sekadar menjadi ajang popularitas. Dibaca atau tidak tulisan kita, biarlah Allah yang memberi pahala dan sejarah yang mencatat. Karena sesungguhnya, menulis teks bukan sekadar berbicara dengan orang per orang, tapi lebih luas dari itu: berdialog dengan sejarah!
Seringkali, kita terjebak pada sesat pikir-tindakan soal teks. Pertama, menjadikan teks sebagai instrumen. Artinya, menulis adalah "sekadar alat", bukan bagian dari hidup. Teks dijadikan sekadar alat kekuasaan, alat ekonomi, alat popularitas, dan alat-alat yang lain. Sudah barang tentu, jika demikian halnya, teks dilingkupi oleh relasi kekuasaan yang sangat kompleks di luar dirinya.
Kedua, menjadikan teks manusia -bukan Teks Tuhan- sebagai tolak ukur kebenaran, alias memfinalisasi teks. Apa yang dianggap sebagai kebenaran hanya diambil dari teks tanpa menghadapkannya pada konteks. Padahal, teks adalah representasi sejarah yang tak lepas dari personalitas. Klaim bahwa teks itu impersonal, dan oleh karenanya universal, sesungguhnya tidak tepat jika dinisbatkan pada teks manusia yang hidupnya fana, lemah, dan pasti punya kepentingan terselubung di balik teks itu.
Ketiga, merendahkan teks. Praktik bakar-membakar buku, mencela dan mengejek teks tanpa penghargaan, membuang teks karena dianggap tidak berguna, atau menganggap teks itu tidak berkualitas sesungguhnya adalah cermin arogansi dan bukan sikap intelektual. Kritik sah diajukan, tapi tidak dengan menghina atau mencela, seburuk apapun kualitasnya. Sebab, ketika kita menghina teks, berarti saat itu kita sedang menghina sejarah dan menghina hasil ciptaan Allah yang paling baik!
Teks adalah sebuah cermin sejarah dari apa yang terjadi pada masa kini. Jika teks-teks kita dirawat baik, tidak dibuang atau dihilangkan, dijaga dari kepentingan penguasa, berarti generasi masa depan akan melihat sebuah pelajaran yang baik, dan mereka belajar dari teks-teks itu. Ini bisa saja tak kita sadari, tapi akan menjadi catatan penting di masa depan.
****
Gramsci menulis teks yang kemudian terkenal dengan edisi "Catatan Penjara" itu ketika berada di penjara rezim Mussolini, bahkan hingga ia meninggal dunia pada tahun 1929. Catatan-catatan itu yang kemudian "mendunia" dengan terminologi "hegemoni", "perang posisi", atau "blok sejarah". Padahal, dalam karier organisasinya -sebagai Sekjen Partai Komunis Italia- tak banyak ia menuliskan gagasan. Dan dari sini, gagasan intelektual terbangun dari penderitaan di penjara.
Sesungguhnya, yang disebut sebagai intelektual bukan mereka yang dipuja-puji karena dianggap hebat telah memikirkan sesuatu. Intelektual adalah mereka yang merawat, menjaga, dan terus merproduksi teks sebagai sebuah proses kesejarahan dengan ikhlas dan penuh pengabdian, sebagai bentuk kontribusi terhadap sejarah yang Allah berikan.
Oleh karena itu, menulis sesungguhnya adalah aktivitas sejarah. Masihkah kita pantas menyandang gelar-gelar semu di dunia, jika kita tidak merawat sejarah, dengan enggan menuliskan gagasan-gagasan kita?
Billahi fi sabilil haq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar