Jumat, 21 Oktober 2011

"Subversi"

Asyhadu an la ilaha illaha allallah
wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh.

Barang siapa yang ingin merendahkan orang lain
berarti ia ingin menjadi tuhan
barang siapa ingin menjadi tiran
berarti ia ingin menjadi tuhan
barng siapa ingin menang sendiri
berarti ia ingin menjadi tuhan
padahal tiada Tuhan selain Allah!

-Syahadat Pembebasan-

***

Ketika seseorang -atau sekelompok orang- mengancam kemapanan, keamanan negara, ia bisa saja dituduh subversi, dijerat oleh UU anti-subversi berdalih keamanan negara, dan ditangkap, dipenjara, bahkan ada yang dihukum mati. Semua karena satu hal: subversi.

Subversi adalah perlawanan terbuka terhadap kemapanan. Ia biasa dinisbatkan pada perilaku teror, negativisme. Subversi melawan keamanan yang melindungi kemapanan. Ia membongkar sesuatu yang sudah dianggap "final", tak butuh pembaruan, dan perubahan dianggap sebagai ancaman. Subversi mencoba membongkar finalitas; mendobrak kemapanan kuasa.

Nietzsche memperkenalkan subversi dengan premise-nya yang terkenal: "Tuhan sudah mati! Tuhan sudah mati! Kitalah yang membunuhnya". Bagi teolog fanatik  kata-kata Nietzsche bisa dianggap subversi terhadap kemapanan agama. Sebab, jika ditafsirkan sebagai letterlijk -tanpa representasi- ia akan memperlihatkan semangat ateisme. Dan implikasinya, ia harus dieksklusi dari agama.

Ibrahim memperlihatkan subversi juga dengan langkah yang sama dengan Nietzsche: membunuh tuhan-tuhan. Agama dilindungi oleh kuasa yang kuat oleh Raja Namrudz -dalam sejarah. Patung-patung itu menjadi "tuhan" karena ia dilindungi oleh kuasa yang kompleks oleh petinggi kerajaan serta kekuatan ekonomi yang bergantung pada tuhan-tuhan itu (pembuat patung; Azar, ayahnya Ibrahim).

Dan Ibrahim melakukan subversi: ia memenggal kepala-kepala "tuhan" itu, membunuhnya, dan menggantinya dengan Tuhan yang sebenarnya, yang punya kekuasaan mutlak, absolut, yang melindungi Ibrahim dari panasnya api pembakaran. Ibrahim melakukan subversi: membunuh tuhan-tuhan, menegakkan agama Tauhid di antara perpaduan rapi spiritualitas dan rasionalitas, melawan kuasa-kuasa yang korup.

Musa melakukan subversi melawan oligarki antara pemodal, penguasa, dan teknokrat: trilogi Fir'aun-Qarun-Haman. Ia men-subversi kekuasaan absolut Fir'aun, yang dipersonifikasi sebagai Tuhan oleh kaumnya, dan membunuhnya. Musa membunuh "Tuhan", membebaskan rakyatnya dari belenggu ketuhanan semu.

Muhammad melakukan subversi atas tuhan-tuhan kaum Quraisy: Latta, Uzza, Mannan, dan lain sebagainya. Ia men-subversi kekuasaan Quraisy, yang ditopang oleh "agama" sebagai alat politik, untuk menegaskan kekuasaannya atas Kota Mekkah. Muhammad, yang terkenal sebagai figur yang adil, pernah menjadi penengah konflik elite politik Kota Mekkah dalam kasus pemindahan Hajar Aswad, memperkenalkan Tauhid.

Dan Muhammad, walau dikenal dengan gelarnya Al-Amin, tidak dapat mengelak dari tuduhan subversi. Tauhid yang diperkenalkannya, adalah subversi. Sebab ia mendobrak relasi kekuasaan yang kompleks, yang menaungi agama yang dianut. Kebenaran harus berhadapan dengan kekuasaan.

Para Nabi memperkenalkan subversi di tengah masyarakatnya -yang korup. Nabi-Nabi melawan kekuasaan yang korup, yang menindas, yang mengabsolutkan kekuasaannya dengan perlindungan agama. Islam adalah subversi: atas penindasan, kekuasaan yang korup. Tauhid adalah subversi, atas dijadikannya agama sebagai alat politik, sebagai bancakan para elite politik yang ingin menegaskan kekuasaannya.

Subversi adalah perlawanan terhadap kemapanan yang ditopang oleh kekuasaan. Kemapanan itu menghasilkan orang-orang pinggiran. Marjinalisasi; mereka yang terpinggirkan karena tidak sampai pada batas kemapanan. Mereka yang terpinggirkan, mungkin, karena menolak kemapanan. Dan oleh sebab itu, kemapanan yang ditopang oleh kekuasaan, bisa jadi sebuah penindasan.

Fir'aun menindas orang lain atas nama agama, karena ada subversif pada dirinya -yang ia nyatakan sendiri sebagai tuhan. Namrudz menindas orang lain karena men-subversi tuhan-tuhannya. Begitu pula pemuka Quraisy. Dan artinya, barangsiapa ingin menindas orang lain, berarti ia sedang mendeklarasikani tuhan-tuhan baru; bahkan mungkin lebih jauh: ia ingin menjadi tuhan-tuhan itu!

Dalam era yang lebih moderen, ternyata bentuk tuhan-tuhan "baru" itu masih tetap ada. Dan mewujud dalam sebuah relasi kekuasaan yang kompleks. Atas nama kekuasaan, Amerika Serikat menindas Iraq dan Afghanistan, dengan dalih demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Atas nama "agama", orang-orang Israel menindas Palestina, menjadikan negeri itu bagai kerkap hidup di batu, hidup segan tapi mati pun tak mau.

Atas nama agama, mereka melakukan berbagai teror, mengancam orang-orang tak bersalah. Atas nama kekuasaan, negara merepresi mereka yang melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan, menuding mereka yang mogok makan sebagai solidaritas terhadap petani Kulon Progo sebagai subversi, menangkap mereka yang berdemonstrasi menentang rezim yang ada sekarang.

Atas nama agama, mereka membunuh orang-orang yang berkeyakinan berbeda. Maka benarlah peringatan Hassan Hanafi: Hubungan langsung antara Islam dan Kekuasaan harus dicegah, sebab agama hanya dijadikan dalih, instrumen, alat, untuk menegaskan kekuasaan yang korup!

Penindasan atas nama kekuasaan, agama, dakwah -seluruh bentuk sakralitas- adalah berbahaya. Dan alat perlawanan itu bernama subversi. Subversi pada aras pemikiran, berarti men-subversi seluruh doktrin yang mencampur-adukkan agama dan laku kekuasaan. Subversi atas doktrin yang tak perlu, yang memenjara kemerdekaan pikiran manusia di kerangkeng kekuasaan.

Subversi adalah bentuk perlawanan. Dan ia perlu diiringi oleh dekonstruksi, pembongkaran. Dekonstruksi bukan berarti masuk pada nihilisme, tetapi, meminjam Nietzsche, menjadi ubermansch; menjadi orang yang mampu mengatakan "ya" pada hidup, alih-alih bersikap pesimis pada nasib. Dekonstruksi adalah upaya pembukaan semua kemungkinan untuk mengatakan "ya", bahwa keragaman -selama berada pada koridor positif- adalah sesuatu yang harus diterima.

Dan artinya, subversi punya koridor. Etika-lah koridor itu. Dan subversi dalam pemaknaan sebagai seorang muslim, dalam perspektif Islamis, berarti meletakkan Islam sebagai etika sosial, alih-alih jadi alat kekuasaan. Islam melampaui doktrin, simbol, identitas, ia adalah etika sosial. Dan untuk itu, perlu transformasi dalam pengamalan, sebagaimana diajarkan oleh Kyai Dahlan dalam teologi Al-Ma'un-nya.

Subversi adalah pilihan ketika menemui kuasa yang korup, menindas. Jika anda menemui sesuatu semacam itu, pilihan untuk men-subversinya terbuka. Walau bukan tanpa risiko, mungkin saja berujung kematian dan kekerasan. Dan untuk itulah Islam dilahirkan: untuk men-subversi kekuasaan yang korup, menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Dan akhirnya, subversi memang sebuah pilihan sah.

*****

seorang penguasa yang menindas rakyatnya
berarti ia ingin menjadi tuhan
padahal tiada tuhan selain Allah!
Kita Menerima siapapun orangnya dan
Dari manapun asalnya
Asalkan bisa menjadi saudara bagi
Sesamanya

Asyhadu an la ilaha illaha allallah
wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh.

-Syahadat Pembebasan-

Tidak ada komentar: