AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR *)
Manusia adalah teks. Penciptaannya adalah guratan teks paling hebat, dari penulis yang maha-Agung: Allah. Ia menjadikan kita makhluk yang berakal sekaligus bernurani –kombinasi dua variabel pembentuk makhluk yang sempurna. Rasionalitas berpadu dengan spiritualitas.
Teks-teks manusia dibentuk dari rasionalitas, dari akal, dari pikiran. Ia berpadu dengan spiritualitas, yang menjadikan manusia sebagai teks yang lain lagi: reflektif, penuh kedamaian, bersikap konstruktif. Jika rasionalitas itu kadang dekonstruktif, berpijak pada pencarian atas kebenaran yang dinalar, maka spiritualitas itu konstruktif, mencari kebenaran dengan “rasa”.
Manusia melahirkan teks. Teks terbentuk bukan hanya dari intuisi, nalar, atau aka-budi manusia (meminjam terminologi Kantian), tetapi juga dari sebuah kompleksitas hubungan di luar dirinya. Manusia adalah makhluk sosial –dalam perspektif Aristotelian. Ia ikut menghadirkan dirinya pada hubungan-hubungan sosial di luar dirinya. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian manusia punya hasrat untuk diterima orang lain, mempengaruhi alur pikiran orang lain; terhubung dengan “teks” lain di luar dirinya.
Hasrat adalah keinginan naluriah manusia; will; kehendak. Nietzsche menyebut manusia punya “kehendak-menuju-kuasa”. Adala hasrat manusia untuk mendominasi orang lain. Manusia adalah makhluk-sosial; Ia secara naluriah ingin kehendak; hasrat; keinginannya terpenuhi. Itu yang disebut kuasa.
Melalui teks, manusia mengejawantahkan kuasa yang ia miliki dalam kata-kata (words). Kata adalah wujud interpretasi manusia atas konteks. “Kata” tidak lahir dengan sendirinya; ia dilahirkan. Kelahiran kata-kata adalah sebuah bentuk tangkapan; penginderaan manusia atas realitas; atas konteks; atas peristiwa. Oleh sebab itu, kata beriring dengan proses “menjadi tahu” yang dialami manusia. Itulah yang kemudian membentuk pengetahuan. Pengetahuan adalah kumpulan kata-kata yang tersistem, atas bantuan teks, dalam rasionalitas manusia.
Dan hal ini masih mengantar kita pada sebuah dilema: apakah menjadi tahu, berarti membebaskan diri dari ketidaktahuan, dari kungkungan orang yang "lebih tahu"? Teks, yang berpadu-padan dengan "pengetahuan", yang membentuk "pengetahuan", perlu dimaknai dalam sebuah multi-pemaknaan. Pengetahuan bukan sesuatu yang tunggal. Pengetahuan tak lepas dari setiran-setiran penulis; teks tak lepas dari kuasa penulisnya.
Maka dari itu, logika Derridean mengimplikasikan pembukaan: "dekonstruksi"; bukan bermakna nihilisme yang "membabi-buta" -meminjam Fayyadl- melainkan pembukaan atas semua kemungkinan interpretasi tanpa pembatas-pembatas semu yang menghalangi dan menguasai.
****
Pendaran-pendaran sejarah itu mengisahkan pada kita, bahwa sebagaimana hebatnya usaha untuk mengelabui manusia dari teks-teks sejarah, namun sejarah tetap tak bisa berdusta.
Teks boleh coba dimanipulasi. Setidaknya, pengalaman kita bertahun-tahun di zaman Orde Baru membuktikan itu; sejarah digelapkan; teks dibakar, intelektualisme diabdikan untuk kepentingan politik rezim. Kritisisme dibungkam; kendati demikian, tak ada yang mampu menyangkal bahwa sekuat apapun orang-orang memanipulasi teks, tetap saja kejujuran terpancar darinya.
Sejarah kemanusiaan yang kelam dengan jujur menampilkan dirinya setelah kuasa itu terbongkar. Teks yang terbakar itu kini hadir kembali dalam bentuk yang lebih berbeda; tapi tetap saja luka-luka itu ada; dan tetap dikenang. Masa lalu adalah teks, yang walaupun digelapkan sedemikian rupa, tetap menjadi sebuah teks; tak dapat tergantikan posisinya dalam sejarah.
Kemanusiaan adalah teks; ia tak tergantikan. Walaupun dimanipulasi sedemikian rupa, ia tetaplah teks. Sejarah mencatat pembantaian ratusan ribu orang di Palestina, tapi kemanusiaan tak berdusta pada kita; Rachel Corrie mengorbankan dirinya bagi kemanusiaan. Sejarah mencatat pembantaian di Rwanda, tetap kemanusiaan tak berdusta; walau sedemikian kuatnya upaya untuk membenarkannya.
Karena manusia adalah teks, kemanusiaan adalah teks, maka kebenaran tentu tak berdusta. Teks mengejawantahkan dirinya pada bentuk yang asli: sebuah bentuk yang tak dapat dimanipulasi. Sebab, teks adalah representasi sejarah. Dan manusia adalah makhluk yang menyejarah. Dan di sini kita bertemu dengan sebuah prasangka: Mereka boleh menggubah buku-buku, mendustai umat manusia, melempar kaum intelektual ke lubang penjara, tapi tetap saja: mereka tak bisa mendustai sejarah.
Teks memanifestasikan dirinya melalui sebuah pertautan yang kompleks antara hasrat; liyan, serta latar. Maka dari itu, menerjemahkan teks semata pada hasrat kurang tepat. Dan menerjemahkan teks semata pada liyan dan latar juga tak bermakna apa-apa. Pertautan itu harus diurai; dibongkar; didekonstruksi. Membongkar teks, berarti mencari celah-celah jalan baru menuju kebenaran, yang menurut Derrida, boleh dihampiri tapi tak mungkin digapai.
Totalitas kebenaran mungkin dihampiri oleh manusia; ia terlihat secara terang, bagi mereka yang mempergunakan akalnya. Ulul Albaab. Tapi kebenaran yang total itu, sebagaimana kata Derrida, tak mungkin digapai secara total pula. Maknanya, kebenaran tak boleh dinisbatkan pada figur orang seorang -tentu saja Nabi Muhammad adalah pengecualian.
Penisbatan kebenaran pada orang-seorang selain Nabi, berarti memosisikan kedudukannya setara nabi. Tentu tak ada yang menyetujui proposisi ini. Demikian pula teks. Penisbatan kebenaran pada teks -selain yang diturunkan pada Nabi- sama halnya menotalkan kebenaran selain pada Nabi. Totalitas adalah cermin penguasaan; teks dikooptasi oleh kekuasaan, yang tentu saja ada kepentingan di baliknya.
Doktrin tak lepas dari penguasaan; totalitas. Melahap doktrin tanpa kritisisme, tanpa kesadaran, adalah wujud keterjebakan atas totalitas; keterjebakan atas selubung kekuasaan. Doktrin "atas nama" agama sesungguhnya tak lepas dari selubung kuasa, baik kuasa sosial-politis-kultural.
Kuasa memarjinalkan perbedaan. Begitu pula doktrin. Doktrin menegasikan sesuatu yang berbeda, karena sifatnya yang total, mengikat. Menentang doktrin berarti berhadapan dengan kuasa. Berhadapan dengan kuasa, siap-siap mengucurkan darah. Setidaknya, bersiap-siap "mati". Mati intelektual, mati pemikiran, mati dialektika.
Tapi sekali lagi, teks tak berdusta. Dusta adalah manipulasi atas kebenaran; Ia tetap menyandangkan fakta-fakta "apa-adanya", "tak total", membuka pelbagai ruang penafsiran. Teks adalah ruang. Ia tetap menjadi apa-adanya, meski di dalamnya telah terpasang aksesori yang disangka indah. Kelak, ketika kuasa itu bosan mengejawantahkan dirinya dalam teks, ia bisa saja keluar, dan teks kembali menjadi teks.
Oleh sebab itu, Derrida gemar meng-kampanye-kan "dekonstruksi". Dekonstruksi bukan nihilisme membabi-buta. Dekonstruksi adalah pembukaan, bukan pembuangan. Dan oleh sebab itu, mendekonstruksi berarti membuka gerbang kebebasan penafsiran atas teks. Kemanusiaan adalah teks. Ia harus tetap dibiarkan menjadi "dirinya sendiri", tanpa harus terkooptasi oleh aksesori kuasa yang memarjinalkan entitas lain.
*****
Manusia adalah teks. Pernikahan adalah bentuk pertautan dua teks. Derrida menyebutnya double reading. Proses berpikir manusia adalah proses memproduksi teks itu. Hidup manusia, kata Fayyadl, adalah sebuah proses mempermainkan teks, mendekonstruksi teks dan membuka penafsiran atas teks. Hidup manusia adalah bagian dari teks. Dan teks itu terus mengalir, menampilkan dirinya apa adanya, membentuk sebuah formulasi mengenai kemanusiaan.
Asal hidup manusia adalah segumpal darah (Al-Alaq: 1). Darah yang dikucurkan secara sengaja adalah sebuah penodaan terhadap kemanusiaan. Darah adalah bagian dari teks. Ia adalah huruf-huruf yang sangat penting bagi munculnya sebuah teks yang paripurna. Tanpa darah, kehidupan ternoda. Dan artinya, teks-teks tak lagi sempurna mewujudkan hidupnya.
"Jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang.
Jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!"
(Wiji Thukul)
Perlawanan atas penindasan, adalah sebuah upaya mengembalikan harkat kemanusiaan. Dan untuk melawan penindasan itu, segenap jiwa, raga, dan tenaga perlu diikutsertakan. Dan tulisan -teks- adalah simbol perlawanan. Oleh sebab itu, menjaga teks, menjaga sejarah, agar tak digeret oleh relasi kekuasaan yang kompleks di luar sana, adalah sebuah keharusan bagi para penulis teks.
Teks tak berdusta. Walaupun banyak yang hendak mengubah angka dan huruf-hurufnya, melalui pelbagai cara, daya, dan upaya, ia tetap tak berdusta. Sebab teks adalah representasi sejarah. Dan sejarah akan berulang: jika kemuakan massa itu telah sampai pada puncaknya; jika perlawanan itu telah mencapai momentumnya.
Dan seperti kata Wiji Thukul: Jika menulis dilarang, aku akan menulis dengan: tetes darah! Karena kemanusiaan, adalah anugerah dari Tuhan yang Maha-Kuasa!
-PERSEMBAHAN DI KALA SAKIT, AGAR SAKIT TAK MENGURANGI PRODUKTIVITAS DALAM MENULIS-
*) Ketua Departemen Kajian dan Keilmuan KAMMI Komisariat UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar