Sabtu, 29 Oktober 2011

"Andi Munajat" (Refleksi Hari Sumpah Pemuda)


DARAH JUANG

Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samuderanya kaya raya
Negeri kami subur tuhan

Di Negeri Permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda Desa tak kerja

*****

Pada tanggal 27 Maret 2009, dua tahun silam, Harian Banjarmasin Post melansir sebuah berita kecelakaan. Beritanya tak dianggap hangat, "hanya" berada di halaman "Banjarmasin". Waktu itu, saya sudah kuliah di Yogyakarta, di semester kedua.Saya pun baru melihat beritanya beberapa bulan kemudian, ketika saya dengan iseng mencari-cari nama beberapa penggerak gerakan mahasiswa tahun 90-an.

Berita itu bagi sebagian orang -apalagi orang Banjar- mungkin tak akan dianggap terlalu penting, sebab ia menceritakan sebuah peristiwa kecelakaan biasa: seorang aktivis LSM dan puteranya yang baru berusia 6 tahun meninggal dunia karena kecelakaan di Jalan Trans-Kalimantan, antara Pelaihari dan Batulicin. Korbannya bernama Andi Munajat (42), seorang aktivis LSM di daerah Sungai Danau, Satui, Tanah Bumbu. Menurut catatan berita, ia aktif di LSM Sampan, sebuah LSM Lokal dan beberapa organisasi sosial.

Bagi para pembaca Banjarmasin Post, mungkin berita itu tak ada yang istimewa. Andi Munajat seakan-akan tidak begitu dikenal, bahkan oleh koran terbesar di Kalimantan Selatan itu. Akan tetapi, ketika berita kecelakaan itu tersebar, para mantan aktivis di Yogyakarta langsung dibuat kaget. Sebuah buku diluncurkan, "Menyulut Api Kering Perlawanan" khusus untuk memberi penghormatan atas kematiannya. Media massa, seperti vhrmedia, mengulas sosoknya dalam satu berita penuh. Berjuta ucapan belasungkawa dihaturkan. Sebuah aksi solidaritas dilangsungkan untuk mengenangnya.

Lantas,  siapakah ia sebenarnya?

****

Andi Munajat boleh jadi tak dikenal di Kalimantan Selatan. Ia mungkin hanya disebut oleh Banjarmasin Post sebagai "aktivis LSM Lokal". Tapi bagi gerakan reformasi, yang memberi perubahan besar bagi struktur politik Indonesia di penghujung abad ke-20, namanya menjulang tinggi. Sanad aktivis kiri Yogya, boleh dikatakan, berujung pada dirinya. Sebuah catatan yang ditulis khusus untuk mengenang Almarhum -ditulis oleh Yul Amrozi- menyebutnya sebagai "Socrates" di zaman pergerakan mahasiswa saat itu.

Saya mencoba mengumpulkan beberapa catatan mengenai Andi Munajat dari dokumentasi media. Beliau adalah mahasiswa Filsafat UGM, angkatan 1986. Ketika beliau meninggal, di milis mahasiswa filsafat ramai membincang belasungkawa. Ia sezaman dengan beberapa aktivis kiri zaman itu, macam Ngarto Februana (sekarang wartawan Tempo), Dadang Juliantara (Mantan Direktur Walhi Yogyakarta), atau Budiman Sujatmiko (Ketua Repdem PDIP).

VHRMedia menyebut Andi sebagai "seorang tokoh muda tak dikenal yang sebenarnya berjasa besar membangun gerakan demokrasi di kalangan mahasiswa dan generasi muda". Ialah yang disebut-sebut berada di balik pendirian SMID, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, sebuah organ mahasiswa yang menjadi cikal-bakal munculnya Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Dari catatan Eka Kurniawan, saya mengetahui bahwa Andi Munajat dikenal sebagai salah satu tokoh PIJAR, majalah mahasiswa Filsafat UGM yang pada era itu menjadi corong kritisisme pers mahasiswa. Gambaran Eka Kurniawan, "Satu-satunya ingatan samar saya hanyalah mengenai seorang lelaki asing yang tiba-tiba masuk ke kantor Pijar. Itu nama majalah mahasiswa Fakultas Filsafat, tempat saya berakti[v]itas semasa kuliah. Tiba-tiba, ada lelaki asing masuk dan tidur di ruangan Pijar. Ia tak bicara, tidak memperkenalkan diri, dan langsung tidur di pojok.”

Sejarah PIJAR yang ditulis oleh penggiat pers mahasiswa Filsafat ini juga mencatat bahwa Andi Munajat tercatat sebagai pendiri BPM Pijar, bersama Hari Subagyo -yang kemudian banyak terlibat dalam advokasi petani-, Agus Wahyudi (Dosen Filsafat), Yayan Sopyan (mantan Pemimpin Umum), dan lain sebagainya.

Catatan lain diperlihatkan VHRMedia, melalui catatan wawancaranya dengan seorang kawan dekat Andi Munajat. “Dia satu-satunya orang yang mau memberikan perspektif untuk melawan rezim yang ingin menghancurkan rakyat", kata Wilson, rekan Andi Munajat tersebut. Khas gerakan mahasiswa 1990-an.

Dan tentu saja karya seni monumentalnya, yang hampir menjadi "menu wajib" lagu-lagu demonstrasi mahasiswa di Yogyakarta, baik dari kalangan Islam maupun kiri. "Darah Juang", yang ditulisnya bersama Johnsony Tobing (sekarang di PRD) adalah satu dari sekian buah karyanya. "Darah Juang" menjadi cerminan ketidakadilan pemerintah dalam karya sastra, dinyanyikan ketika demonstrasi, memberi semangat perjuangan yang kental.

SMID, yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Rakyat Demokratik, juga merupakan buah gagasannya. SMID segera menjadi organ gerakan kiri dengan aksi-aksinya yang radikal, berpusat di Yogyakarta, dan kemudian dengan cepat menyebar ke daerah-daerah lain, utamanya Jakarta.

Syahdan, Andi Munajat-lah yang mengoperatori pendirian SMID melalui muhibah ke beberapa kota, begitu catatan Yul Amrozi, seorang mantan aktivis SMID Yogya. Seorang kawan, tokoh Liga Mahasiswa Nasionalis untuk Demokrasi, bercerita bahwa Andi Munajat-lah yang sesungguhnya menjadi Ketua Ilegal LMND. Wallahu a'lam.

Namun, versi lain menyebutkan, namanya tak lagi muncul dalam pentas SMID pada tahun 1994. Memang, dalam sejarah SMID, yang kemudian terpilih sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal SMID adalah Munif Laredo dan Fernando Manullang. Lalu kemudian muncul PRD yang dikomandoi oleh Budiman Sujatmiko, mahasiswa FE UGM. Nama Andi Munajat kemudian tak lagi disebut-sebut. Ada yang mengatakan ia disingkirkan dengan alasan yang tidak terlalu jelas.

Sejak saat itu, nama Andi Munajat hilang dari blantika gerakan mahasiswa. Ia kemudian pergi ke Kalimantan -kemudian saya ketahui Banjarmasin- dan mengorganisir basis di sana. Jelas, ia tak bersentuhan dengan ketenaran dan popularitas. Sehingga, bagi seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan mahasiswa Islam seperti saya, jika tak iseng mencari-cari, mungkin tak kenal siapa orangnya.

Pendek kata, nama Andi Munajat menjadi salah satu kreator dari pergerakan pro-demokrasi di penghujung 1990-an. Gerakan prodemokrasi lahir dari tangannya. Namun demikian, ia tak tampil membela panji demokrasi ketika revolusi sosial merembes ke Jakarta, menumbangkan state capitalism Orde Baru, memberi warna reformasi tahun 1998. Namanya seakan-akan hilang ditelan zaman.

Ketika rekan-rekannya dulu, seperti Andi Arief (Mahasiswa FISIPOL), Velix Wanggai (mantan Ketua Jamaah Mushola Fisipol), atau Budiman Sujatmiko (Ketua PRD) tampil dalam panggung politik di medio 2000-an, tidak ada yang mengenal Andi Munajat di koran-koran nasional. Padahal, namanya sangat patut diperhitungkan sebagai ideolog gerakan kiri Yogya 1990-an.

Di akhir hayatnya, Andi Munajat lebih memilih "mengasing" di sebuah desa kecil bernama Sungai Danau, di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Ia memilih mengorganisir massa di wilayah itu. Sebagai Urang Banjar, saya tahu persis betapa wilayah di Kabupaten itu kaya tambang, tapi tak jelas pengelolaannya. Hutan-hutannya digundul atas dalih HPH. Almarhum kabarnya sempat terlibat pemogokan kayu di sana.

Namun, siapa yang tak terkejut ketika mendengar kabar bahwa Andi Munajat meninggal di tahun 2009, dengan tak disangka-sangka. Berita yang memuat kematiannya hanya ditempatkan di bagian dalam, bukan headline. Media pun tak kenal jasa-jasanya semenjak menjadi mahasiswa dulu. Ia mati layaknya Abu Dzar Al-Ghifari, sahabat Nabi yang zuhud itu, tak dikenal, sendirian.

Untuk mengenang namanya, beberapa aktivis gerakan 98 kemudian meluncurkan sebuah buku: "Menyulut Lahan Kering Perlawanan, Gerakan Mahasiswa 1990-an: Tribute to Andi Munajat". Tercatat beberapa nama seperti Nezar Patria (Koordinator AJI), FX Rudy Gunawan, dan lain sebagainya. Buku itu diluncurkan di Goethe Institute, September 2009.

****


Itulah Andi Munajat. Namanya mungkin melekat di hati aktivis gerakan kiri, terutama gerakan kiri Yogyakarta, tapi mungkin tidak dikenal di masyarakat banyak. Namanya kalah bersinar dibanding Fahri Hamzah, senior saya yang sering mencuatkan kontroversi tak jelas untuk melindungi kepentingan proyek partainya. Mungkin, namanya tidak banyak bersanding dengan Andi Arief yang kini masuk dalam lingkar kekuasaan SBY. Dan lain-lain.

Saya memang bukan seorang aktivis gerakan kiri, walau dalam beberapa kesempatan sering terlibat aksi bersama mereka. Usia akademik saya amat jauh terpaut dengan beliau. Namun, bagi seorang aktivis "kacangan" seperti saya, yang tak punya apa-apa selain tulisan-tulisan jelek ini, beliau menjadi inspirator perjuangan yang kuat.

Rekam jejak kepahlawanan Andi Munajat -jika boleh saya menggunakan istilah "pahlawan" sebagaimana sering digunakan Anis Matta- bukan terletak pada hebatnya aktivitas pengorganisiran yang mampu menggerakkan mahasiswa tingkat nasional di masa lampau. Kepahlawanan Andi Munajat -bagi saya- terletak pada kesungguhan (mujahadah) untuk mengorganisir, dari level bawah (akar rumput) hingga mahasiswa.

Di saat godaan kekuasaan menerpa alumnus gerakan mahasiswa 90an (Fayyadl menyebutnya sebagai "migrasi para aktivis"), Andi Munajat tetap tak dikenal dengan advokasinya di masyarakat Satui yang kaya tambang namun tak banyak kenal pendidikan. Entah karena penyingkiran atau pelarian, tak ada yang tahu mengapa Andi Munajat enggan tampil ke pentas politik nasional. Padahal, saya yakin godaan itu begitu kuat melanda.

Migrasi aktivis mahasiswa ke lajur politik tak dapat disangkal. Fenomena ini terjadi di KAMMI, organisasi yang saya pilih untuk digeluti di masa kuliah. Ada yang dengan cepat menjadi elite di PKS -yang didirikan oleh alumninya- dan menjadi anggota DPR, alias pemain dalam perburuan rente di parlemen. Ada yang kurang sigap, lantas hanya menjadi staf ahli. Ada pula yang memanfaatkan jaringan untuk mem-broker-i proyek anggaran. Sebagian lagi, yang soleh-soleh itu, menjadi ustadz di partai, dengan segenap kompartemennya.

Kendati demikian, ada yang berprofesi berbeda. Menjadi wartawan, aktivis LSM, atau menggeluti dunia usaha "murni", bukan membroker. Ada yang tampil di pentas birokrasi, menjadi penegak hukum, dan lain sebagainya. Namun kekuatan mereka tak sekuat mereka yang di partai politik -dengan segala perangkat sumber dayanya.

Andi Munajat mengajarkan sesuatu hal pada kita: keikhlasan dalam bergerak. Ia "melawan" logika uang dan kekuasaan yang kini meliputi mainset kawan-kawan gerakan mahasiswa. Organisasi intrakampus mungkin merapat ke rektorat, lantas bermain dengan anggaran dan proyek-proyek gerakan dari "alumni" atau broker gerakannya. Yang ekstrakampus tak kalah genitnya, mencari proyek atas nama jalinan kuasa tertentu. Dan lain sebagainya.

Keikhlasan dalam bergerak bukan sekadar "apa yang bisa diberikan untuk gerakan", tetapi juga "seberapa besar pengorbanan untuk gerakan". Keikhlasan berarti siap berpeluh-darah mengorganisir di tempat yang tak enak, menggerakkan yang sulit. Bukan sekadar mencari uang. Tapi, tentu saja, hal yang tak enak itu tetap dijalani dengan lapang dada.

Dalam euforia sumpah pemuda, semangat Almarhum Andi Munajat memberi kita inspirasi: Seorang penggerak tak harus melambungkan dirinya untuk kepentingan pribadi. Seorang penggerak bisa jadi berjalan di tempat yang sunyi, dalam keheningan, bekerja dalam diam, namun memberikan kebesaran pada masyarakatnya. Ia tak perlu ketenaran, sebab ketenaran hanya melumpuhkan sumpah. Seorang pemuda mesti menitahkan sumpahnya: bergerak dalam keikhlasan!

Dan sebab itu, dengan Sumpah Pemuda, yang mendeklarasikan beberapa hal, perlu ada perluasan-perluasan. Sumpah Mahasiswa Indonesia tahun 1998 sudah menegaskan hal ini: Kami, Mahasiswa Indonesia, Mengaku berbangsa satu: Bangsa yang Gandrung Keadilan, berbahasa satu: Bahasa Kebenaran, dan bertanah air satu: Tanah Air Tanpa Penindasan.

Dalam semangat Sumpah Pemuda, Andi Munajat mengajarkan pada kita: perubahan itu tidak bermula dari Jakarta. Ia bermula dari desa-desa kecil, jalan-jalan sempit, pedalaman yang tak terjamah. Dan itu artinya, tidak berkelindan dengan kekuasaan. Juga tidak bercengkerama dengan uang yang terlampau banyak

Sebagai aktivis, saya harus malu jika tak punya kehendak untuk hidup bermasyarakat selepas lulus kuliah. Saya harus malu jika hanya berorientasi "mencari uang" ketika lulus kuliah. Dan saya harus malu jika kemudian berselingkuh dengan kekuasaan setelah menyelesaikan studi.

Dan Andi Munajat (almarhum) memesankan satu hal lain yang tak kalah penting: idealisme.

****

Dalam syairnya, "Darah Juang", Andi Munajat (Alm) berpesan: "Bunda Relakan Darah Juang Kami, Tuk Membebaskan Rakyat". Pembebasan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan adalah agenda kolektif gerakan, dari Islam ataupun gerakan kiri. Rakyat sudah terlampau lama dijajah oleh hegemoni modal, oleh tangan-tangan gaib yang menjamah pertambangan kita. Perlu ada semangat pembebasan itu. Dan itu yang mesti kita pupuk selama ini.

Andi Munajat boleh tak dikenal di daerahnya. Tapi namanya tetap abadi dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Sebab sejarah tak berdusta. Ia tahu persis, mana kaum oportunis, dan mana yang bergerak atas dasar keikhlasan.

Dan saya akhiri tulisan ini, sebagai peringatan sumpah pemuda, dengan kata-kata sederhana: Selamat Jalan! Semoga dari rahim sejarah yang baru lahir tunas-tunas penggerak dan pemikir yang baru pula!

Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan rakyat

DARAH JUANG

Nuun Wal Qalami Wa Maa Yasthuruun. Billahi fii sabilil haq.

*Penulis adalah Aktivis KAMMI UGM

Tidak ada komentar: