DARAH JUANG
Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samuderanya kaya raya
Negeri kami subur tuhan
Di Negeri Permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda Desa tak kerja
*****
Pada
tanggal 27 Maret 2009, dua tahun silam, Harian Banjarmasin Post
melansir sebuah berita kecelakaan. Beritanya tak dianggap hangat,
"hanya" berada di halaman "Banjarmasin". Waktu itu, saya sudah kuliah di
Yogyakarta, di semester kedua.Saya pun baru melihat beritanya beberapa
bulan kemudian, ketika saya dengan iseng mencari-cari nama beberapa
penggerak gerakan mahasiswa tahun 90-an.
Berita itu bagi
sebagian orang -apalagi orang Banjar- mungkin tak akan dianggap terlalu
penting, sebab ia menceritakan sebuah peristiwa kecelakaan biasa:
seorang aktivis LSM dan puteranya yang baru berusia 6 tahun meninggal
dunia karena kecelakaan di Jalan Trans-Kalimantan, antara Pelaihari dan
Batulicin. Korbannya bernama Andi Munajat (42), seorang aktivis LSM di
daerah Sungai Danau, Satui, Tanah Bumbu. Menurut catatan berita, ia
aktif di LSM Sampan, sebuah LSM Lokal dan beberapa organisasi sosial.
Bagi
para pembaca Banjarmasin Post, mungkin berita itu tak ada yang
istimewa. Andi Munajat seakan-akan tidak begitu dikenal, bahkan oleh
koran terbesar di Kalimantan Selatan itu. Akan tetapi, ketika berita
kecelakaan itu tersebar, para mantan aktivis di Yogyakarta langsung
dibuat kaget. Sebuah buku diluncurkan, "Menyulut Api Kering Perlawanan"
khusus untuk memberi penghormatan atas kematiannya. Media massa, seperti
vhrmedia, mengulas sosoknya dalam satu berita penuh. Berjuta ucapan
belasungkawa dihaturkan. Sebuah aksi solidaritas dilangsungkan untuk
mengenangnya.
Lantas, siapakah ia sebenarnya?
****
Andi
Munajat boleh jadi tak dikenal di Kalimantan Selatan. Ia mungkin hanya
disebut oleh Banjarmasin Post sebagai "aktivis LSM Lokal". Tapi bagi
gerakan reformasi, yang memberi perubahan besar bagi struktur politik
Indonesia di penghujung abad ke-20, namanya menjulang tinggi. Sanad
aktivis kiri Yogya, boleh dikatakan, berujung pada dirinya. Sebuah
catatan yang ditulis khusus untuk mengenang Almarhum -ditulis oleh Yul
Amrozi- menyebutnya sebagai "Socrates" di zaman pergerakan mahasiswa
saat itu.
Saya mencoba mengumpulkan beberapa catatan
mengenai Andi Munajat dari dokumentasi media. Beliau adalah mahasiswa
Filsafat UGM, angkatan 1986. Ketika beliau meninggal, di milis mahasiswa
filsafat ramai membincang belasungkawa. Ia sezaman dengan beberapa
aktivis kiri zaman itu, macam Ngarto Februana (sekarang wartawan Tempo),
Dadang Juliantara (Mantan Direktur Walhi Yogyakarta), atau Budiman
Sujatmiko (Ketua Repdem PDIP).
VHRMedia menyebut Andi
sebagai "seorang tokoh muda tak dikenal yang sebenarnya berjasa besar
membangun gerakan demokrasi di kalangan mahasiswa dan generasi muda".
Ialah yang disebut-sebut berada di balik pendirian SMID, Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, sebuah organ mahasiswa yang menjadi
cikal-bakal munculnya Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Dari
catatan Eka Kurniawan, saya mengetahui bahwa Andi Munajat dikenal
sebagai salah satu tokoh PIJAR, majalah mahasiswa Filsafat UGM yang pada
era itu menjadi corong kritisisme pers mahasiswa. Gambaran Eka
Kurniawan, "Satu-satunya ingatan samar saya hanyalah mengenai
seorang lelaki asing yang tiba-tiba masuk ke kantor Pijar. Itu nama
majalah mahasiswa Fakultas Filsafat, tempat saya berakti[v]itas semasa
kuliah. Tiba-tiba, ada lelaki asing masuk dan tidur di ruangan Pijar.
Ia tak bicara, tidak memperkenalkan diri, dan langsung tidur di pojok.”
Sejarah
PIJAR yang ditulis oleh penggiat pers mahasiswa Filsafat ini juga
mencatat bahwa Andi Munajat tercatat sebagai pendiri BPM Pijar, bersama
Hari Subagyo -yang kemudian banyak terlibat dalam advokasi petani-, Agus
Wahyudi (Dosen Filsafat), Yayan Sopyan (mantan Pemimpin Umum), dan lain
sebagainya.
Catatan lain diperlihatkan VHRMedia, melalui
catatan wawancaranya dengan seorang kawan dekat Andi Munajat. “Dia
satu-satunya orang yang mau memberikan perspektif untuk melawan rezim
yang ingin menghancurkan rakyat", kata Wilson, rekan Andi Munajat
tersebut. Khas gerakan mahasiswa 1990-an.
Dan tentu saja
karya seni monumentalnya, yang hampir menjadi "menu wajib" lagu-lagu
demonstrasi mahasiswa di Yogyakarta, baik dari kalangan Islam maupun
kiri. "Darah Juang", yang ditulisnya bersama Johnsony Tobing (sekarang
di PRD) adalah satu dari sekian buah karyanya. "Darah Juang" menjadi
cerminan ketidakadilan pemerintah dalam karya sastra, dinyanyikan ketika
demonstrasi, memberi semangat perjuangan yang kental.
SMID,
yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Rakyat Demokratik, juga
merupakan buah gagasannya. SMID segera menjadi organ gerakan kiri
dengan aksi-aksinya yang radikal, berpusat di Yogyakarta, dan kemudian
dengan cepat menyebar ke daerah-daerah lain, utamanya Jakarta.
Syahdan,
Andi Munajat-lah yang mengoperatori pendirian SMID melalui muhibah ke
beberapa kota, begitu catatan Yul Amrozi, seorang mantan aktivis SMID
Yogya. Seorang kawan, tokoh Liga Mahasiswa Nasionalis untuk Demokrasi,
bercerita bahwa Andi Munajat-lah yang sesungguhnya menjadi Ketua Ilegal
LMND. Wallahu a'lam.
Namun, versi lain
menyebutkan, namanya tak lagi muncul dalam pentas SMID pada tahun 1994.
Memang, dalam sejarah SMID, yang kemudian terpilih sebagai Ketua Umum
dan Sekretaris Jenderal SMID adalah Munif Laredo dan Fernando Manullang.
Lalu kemudian muncul PRD yang dikomandoi oleh Budiman Sujatmiko,
mahasiswa FE UGM. Nama Andi Munajat kemudian tak lagi disebut-sebut. Ada
yang mengatakan ia disingkirkan dengan alasan yang tidak terlalu jelas.
Sejak
saat itu, nama Andi Munajat hilang dari blantika gerakan mahasiswa. Ia
kemudian pergi ke Kalimantan -kemudian saya ketahui Banjarmasin- dan
mengorganisir basis di sana. Jelas, ia tak bersentuhan dengan ketenaran
dan popularitas. Sehingga, bagi seorang mahasiswa yang aktif dalam
gerakan mahasiswa Islam seperti saya, jika tak iseng mencari-cari,
mungkin tak kenal siapa orangnya.
Pendek kata, nama Andi
Munajat menjadi salah satu kreator dari pergerakan pro-demokrasi di
penghujung 1990-an. Gerakan prodemokrasi lahir dari tangannya. Namun
demikian, ia tak tampil membela panji demokrasi ketika revolusi sosial
merembes ke Jakarta, menumbangkan state capitalism Orde Baru, memberi warna reformasi tahun 1998. Namanya seakan-akan hilang ditelan zaman.
Ketika
rekan-rekannya dulu, seperti Andi Arief (Mahasiswa FISIPOL), Velix
Wanggai (mantan Ketua Jamaah Mushola Fisipol), atau Budiman Sujatmiko
(Ketua PRD) tampil dalam panggung politik di medio 2000-an, tidak ada
yang mengenal Andi Munajat di koran-koran nasional. Padahal, namanya
sangat patut diperhitungkan sebagai ideolog gerakan kiri Yogya 1990-an.
Di
akhir hayatnya, Andi Munajat lebih memilih "mengasing" di sebuah desa
kecil bernama Sungai Danau, di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu,
Kalimantan Selatan. Ia memilih mengorganisir massa di wilayah itu.
Sebagai Urang Banjar, saya tahu persis betapa wilayah di
Kabupaten itu kaya tambang, tapi tak jelas pengelolaannya.
Hutan-hutannya digundul atas dalih HPH. Almarhum kabarnya sempat
terlibat pemogokan kayu di sana.
Namun, siapa yang tak
terkejut ketika mendengar kabar bahwa Andi Munajat meninggal di tahun
2009, dengan tak disangka-sangka. Berita yang memuat kematiannya hanya
ditempatkan di bagian dalam, bukan headline. Media pun tak
kenal jasa-jasanya semenjak menjadi mahasiswa dulu. Ia mati layaknya Abu
Dzar Al-Ghifari, sahabat Nabi yang zuhud itu, tak dikenal, sendirian.
Untuk
mengenang namanya, beberapa aktivis gerakan 98 kemudian meluncurkan
sebuah buku: "Menyulut Lahan Kering Perlawanan, Gerakan Mahasiswa
1990-an: Tribute to Andi Munajat". Tercatat beberapa nama seperti Nezar
Patria (Koordinator AJI), FX Rudy Gunawan, dan lain sebagainya. Buku itu
diluncurkan di Goethe Institute, September 2009.
****
Itulah
Andi Munajat. Namanya mungkin melekat di hati aktivis gerakan kiri,
terutama gerakan kiri Yogyakarta, tapi mungkin tidak dikenal di
masyarakat banyak. Namanya kalah bersinar dibanding Fahri Hamzah, senior
saya yang sering mencuatkan kontroversi tak jelas untuk melindungi
kepentingan proyek partainya. Mungkin, namanya tidak banyak bersanding
dengan Andi Arief yang kini masuk dalam lingkar kekuasaan SBY. Dan
lain-lain.
Saya memang bukan seorang aktivis gerakan kiri,
walau dalam beberapa kesempatan sering terlibat aksi bersama mereka.
Usia akademik saya amat jauh terpaut dengan beliau. Namun, bagi seorang
aktivis "kacangan" seperti saya, yang tak punya apa-apa selain
tulisan-tulisan jelek ini, beliau menjadi inspirator perjuangan yang
kuat.
Rekam jejak kepahlawanan Andi Munajat -jika boleh
saya menggunakan istilah "pahlawan" sebagaimana sering digunakan Anis
Matta- bukan terletak pada hebatnya aktivitas pengorganisiran yang mampu
menggerakkan mahasiswa tingkat nasional di masa lampau. Kepahlawanan
Andi Munajat -bagi saya- terletak pada kesungguhan (mujahadah) untuk mengorganisir, dari level bawah (akar rumput) hingga mahasiswa.
Di
saat godaan kekuasaan menerpa alumnus gerakan mahasiswa 90an (Fayyadl
menyebutnya sebagai "migrasi para aktivis"), Andi Munajat tetap tak
dikenal dengan advokasinya di masyarakat Satui yang kaya tambang namun
tak banyak kenal pendidikan. Entah karena penyingkiran atau pelarian,
tak ada yang tahu mengapa Andi Munajat enggan tampil ke pentas politik
nasional. Padahal, saya yakin godaan itu begitu kuat melanda.
Migrasi
aktivis mahasiswa ke lajur politik tak dapat disangkal. Fenomena ini
terjadi di KAMMI, organisasi yang saya pilih untuk digeluti di masa
kuliah. Ada yang dengan cepat menjadi elite di PKS -yang didirikan oleh
alumninya- dan menjadi anggota DPR, alias pemain dalam perburuan rente
di parlemen. Ada yang kurang sigap, lantas hanya menjadi staf ahli. Ada
pula yang memanfaatkan jaringan untuk mem-broker-i proyek anggaran. Sebagian lagi, yang soleh-soleh itu, menjadi ustadz di partai, dengan segenap kompartemennya.
Kendati
demikian, ada yang berprofesi berbeda. Menjadi wartawan, aktivis LSM,
atau menggeluti dunia usaha "murni", bukan membroker. Ada yang tampil di
pentas birokrasi, menjadi penegak hukum, dan lain sebagainya. Namun
kekuatan mereka tak sekuat mereka yang di partai politik -dengan segala
perangkat sumber dayanya.
Andi Munajat mengajarkan sesuatu
hal pada kita: keikhlasan dalam bergerak. Ia "melawan" logika uang dan
kekuasaan yang kini meliputi mainset kawan-kawan gerakan
mahasiswa. Organisasi intrakampus mungkin merapat ke rektorat, lantas
bermain dengan anggaran dan proyek-proyek gerakan dari "alumni" atau
broker gerakannya. Yang ekstrakampus tak kalah genitnya, mencari proyek
atas nama jalinan kuasa tertentu. Dan lain sebagainya.
Keikhlasan
dalam bergerak bukan sekadar "apa yang bisa diberikan untuk gerakan",
tetapi juga "seberapa besar pengorbanan untuk gerakan". Keikhlasan
berarti siap berpeluh-darah mengorganisir di tempat yang tak enak,
menggerakkan yang sulit. Bukan sekadar mencari uang. Tapi, tentu saja,
hal yang tak enak itu tetap dijalani dengan lapang dada.
Dalam
euforia sumpah pemuda, semangat Almarhum Andi Munajat memberi kita
inspirasi: Seorang penggerak tak harus melambungkan dirinya untuk
kepentingan pribadi. Seorang penggerak bisa jadi berjalan di tempat yang
sunyi, dalam keheningan, bekerja dalam diam, namun memberikan kebesaran
pada masyarakatnya. Ia tak perlu ketenaran, sebab ketenaran hanya
melumpuhkan sumpah. Seorang pemuda mesti menitahkan sumpahnya: bergerak
dalam keikhlasan!
Dan sebab itu, dengan Sumpah Pemuda,
yang mendeklarasikan beberapa hal, perlu ada perluasan-perluasan. Sumpah
Mahasiswa Indonesia tahun 1998 sudah menegaskan hal ini: Kami,
Mahasiswa Indonesia, Mengaku berbangsa satu: Bangsa yang Gandrung
Keadilan, berbahasa satu: Bahasa Kebenaran, dan bertanah air satu: Tanah
Air Tanpa Penindasan.
Dalam semangat Sumpah Pemuda, Andi
Munajat mengajarkan pada kita: perubahan itu tidak bermula dari Jakarta.
Ia bermula dari desa-desa kecil, jalan-jalan sempit, pedalaman yang tak
terjamah. Dan itu artinya, tidak berkelindan dengan kekuasaan. Juga
tidak bercengkerama dengan uang yang terlampau banyak
Sebagai
aktivis, saya harus malu jika tak punya kehendak untuk hidup
bermasyarakat selepas lulus kuliah. Saya harus malu jika hanya
berorientasi "mencari uang" ketika lulus kuliah. Dan saya harus malu
jika kemudian berselingkuh dengan kekuasaan setelah menyelesaikan studi.
Dan Andi Munajat (almarhum) memesankan satu hal lain yang tak kalah penting: idealisme.
****
Dalam
syairnya, "Darah Juang", Andi Munajat (Alm) berpesan: "Bunda Relakan
Darah Juang Kami, Tuk Membebaskan Rakyat". Pembebasan rakyat dari
kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan adalah agenda kolektif gerakan,
dari Islam ataupun gerakan kiri. Rakyat sudah terlampau lama dijajah
oleh hegemoni modal, oleh tangan-tangan gaib yang menjamah pertambangan
kita. Perlu ada semangat pembebasan itu. Dan itu yang mesti kita pupuk
selama ini.
Andi Munajat boleh tak dikenal di daerahnya.
Tapi namanya tetap abadi dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Sebab
sejarah tak berdusta. Ia tahu persis, mana kaum oportunis, dan mana yang
bergerak atas dasar keikhlasan.
Dan saya akhiri tulisan
ini, sebagai peringatan sumpah pemuda, dengan kata-kata sederhana:
Selamat Jalan! Semoga dari rahim sejarah yang baru lahir tunas-tunas
penggerak dan pemikir yang baru pula!
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan rakyat
DARAH JUANG
Nuun Wal Qalami Wa Maa Yasthuruun. Billahi fii sabilil haq.
*Penulis adalah Aktivis KAMMI UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar