Senin, 16 Juni 2008

Paradigma, Perspektif, dan Wacana Kesetaraan Gender


“There will be no peace if there is no justice, and there will be no justice if there is no equity”.

(Rigoberta Menchu Tum, 2001)

Diskursus mengenai kesetaraan gender mencuat baru-baru ini, dimana dalam diskursus tersebut isu kesetaraan derajat antara pria dan wanita menjadi sorotan hangat publik[1]. Seiring dengan mencuatnya isu tersebut, muncullah berbagai respons dari masyarakat akan wacana tersebut. Ada yang menentang wacana tersebut, tetapi ada pula yang mendukungnya. Beragam opini dan argumen pun dilontarkan kepada media, baik yang bernada mengecam maupun yang bernada mendukung. Memang, sah-sah saja jika terjadi perbedaan pendapat akan suatu isu publik di negara dengan atmosfer demokrasi. Akan tetapi, sebuah perbedaan pendapat tak boleh menjadi alat pemicu konflik di tengah multikulturalisme bangsa. Yang seharusnya dilakukan adalah menganalisis permasalahan tersebut untuk kemudian diformulasikan sebagai solusi permasalahan dan dijadikan sebuah pemikiran yang memerkaya khazanah keilmuan bangsa.

Artikel ini mencoba untuk menganalisis kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berbagai perspektif (point of view), untuk kemudian diformulasikan dan disimpulkan menjadi sebuah paradigma (point of thinking) yang fleksibel dan merefleksikan pandangan publik mengenai isu kesetaraan laki-laki dan perempuan[2].

A. Definisi dan Argumen

“Wacana” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “satuan bahasa terlengkap yang realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dsb”[3]. Dalam Bahasa Inggris, “wacana” ditranslasikan sebagai kata discourse, yang kemudian diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai kata diskursus[4]. Kata ini belum ada dalam literatur Bahasa Indonesia, tetapi ada kata yang mendekati kesamaan dengan kata tersebut, yaitu diskursif yang berarti “berkaitan dengan nalar”.

Menurut Musa Maliki (2005), kata diskursif digolongkan sebagai kata sifat, di mana makna kata tersebut mempunyai kedekatan dengan istilah wacana. Lebih spesifik lagi, Geff Danaher dkk. (dalam Maliki,2005) mendefinisikan diskursif/wacana sebagai format bahasa yang berhubungan dengan ide-ide dan lontaran-lontaran pernyataan yang menampakkan nilai-nilai dasar. Definisi ini paralel dengan pemikiran Michael Foucault –tokoh post-structuralism— tentang konsepsi wacana.[5]

Adapun kata “setara” diartikan sebagai “sejajar; sama tingkatnya (kedudukan,dsb.); sebanding; seimbang”. Dalam bahasa Inggrtis, kata setara ditranslasikan sebagai “be equal, equivalent”, yang merujuk pada arti kesamaan antara beberapa hal. Dalam kamus Sosiologi (Soekanto, 1993), kesetaraan dikenal dengan istilah equility, yaitu persamaan kedudukan, kesempatan, dan perlakuan.[6] Dengan demikian, kesetaraan dapat didefinisikan sebagai kesamaan tingkat dan derajat antara beberapa hal, dalam konteks ini yaitu antara laki-laki dan perempuan.

Wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan berkaitan erat dengan status dan peran (role) individu di masyarakat.[7] Status dalam kamus Sosiologi didefinisikan sebagai Posisi dalam suatu hierarkhi; Suatu wadah bagi hak dan kewajiban; Aspek statis dari peran (role); prestise yang dikaitkan dalam suatu posisi; Jumlah peran ideal dari seseorang. Istilah status ini paralel dengan kata “kedudukan”. Adapun peran (role) diartikan sebagai Aspek dinamis dari status; perangkat hak dan kewajiban; Perilaku aktual dari pemegang kedudukan; Bagian dari aktivitas yang dimainkan seseorang. [8]

Adapun paradigma kesetaraan gender yang ada di masyarakat tak dapat dilepaskan dari perubahan sosial[9], atau seperti dikatakan Samuel Koenig (dalam Muin,2004:86) adalah modifikasi yang terjadi pada pola-pola kehidupan masyarakat. Merujuk pada Selo Soemarjan, perubahan-perubahan sosial ini disebabkan oleh adanya dinamika dalam perkembangan kehidupan manusia. [10]Korelasi antara wacana kesetaraan gender dengan social change ini dibuktikan dengan adanya pola pandang yang berbeda mengenai kesetaraan gender pada tiap-tiap generasi, sehingga wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan ini selalu mengalami pergeseran dan perubahan tiap generasinya.

B. Gender dan Struktur Sosial

Wacana kesetaraan gender memiliki keterkaitan erat dengan struktur sosial yang berlaku di masyarakat beserta elemen-elemennya, terutama status dan peranan sosial. Dalam konteks kesetaraan gender, laki-laki dan perempuan sebenarnya memiliki kesamaan derajat, dikarenakan mereka mempunyai status sosial yang sama, yaitu Ascribed Status atau status sosial yang secara otomatis ‘diberikan’ sejak kelahiran.[11]

Ascribed Status ini merupakan status yang tak dapat diubah oleh manusia, sehingga, derajat dan tingkat antara laki-laki dan perempuan secara fundamental adalah sama. Sebagai implikasinya, pembahasan mengenai wacana kesetaraan gender ini tak boleh dimasukkan ke dalam pembahasan stratifikasi sosial (vertical classification), melainkan hanya dapat dibahas dari kacamata diferensiasi sosial (horizontal classification) secara terbatas.[12]

Kesamaan dan kesederajatan status tersebut tidak lantas memunculkan opini bahwa peranan antara laki-laki dan perempuan secara keseluruhan adalah sama. Dalam konteks ini, kesamaan status –ascribed status—tidak berimplikasi pada kesamaan peranan di masyarakat. Memang, secara fundamental status laki-laki dan perempuan tak boleh dibedakan. Akan tetapi, dalam realitas di masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki job description masing-masing yang khas dan disesuaikan dengan kondisi yang ada.

Laki-laki pada umumnya memiliki kondisi fisik yang memungkinkan untuk melakukan pekerjaan lapangan, walaupun sebagian perempuan juga memiliki kapabilitas untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sebaliknya, perempuan memiliki kemampuan manajerial yang memungkinkan untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan kerumahtanggaan, walaupun sebagian laki-laki juga memiliki kapabilitas untuk melakukan pekerjaan tersebut. Pembagian kerja ini ada kalanya bersifat fleksibel, akan tetapi fleksibilitas ini tak dapat digeneralisasi secara keseluruhan, karena fleksibilitas tersebut tidak terjadi secara merata.[13]

Agar tidak terjadi penyimpangan di masyarakat, ada sebuah hal yang menjadi catatan dalam menilai pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Adanya pembagian job description ini tidak boleh menjadi alat untuk melakukan dikotomisasi gender yang kemudian menjurus kepada stratifikasi sosial, sehingga tidak memunculkan opini publik bahwa perempuan adalah warga ‘kelas dua’. Akan tetapi, pembagian job description ini harus dijadikan tonggak kesetaraan gender, dengan mengopinikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang signifikan di masyarakat tanpa harus dibedakan dalam kelas-kelas tertentu secara dikotomis.

Dalam perspektif fungsionalis, adanya pembagian kerja di suatu masyarakat sebenarnya bukanlah sebuah alat untuk menomorduakan sesuatu.[14] Sebaliknya, adanya pembagian kerja dapat berfungsi sebagai pembentuk solidaritas sosial di masyarakat. Perspektif fungsionalis mengisyaratkan bahwa peranan individu memberikan sumbangan pada stabilitas masyarakat, dengan cara merealisasikan peranan tersebut secara nyata sesuai dengan pembagian kerja yang telah disesuaikan dengan kondisi. Pembagian kerja tersebut jika telah disinergikan oleh masyarakat akan berimplikasi pada kemunculan solidaritas sosial.

Solidaritas sosial tersebut dibagi oleh Emile Durkheim (dalam Mu’in,2004:17) ke dalam dua bentuk, yaitu Mechanic Solidarity atau solidaritas yang didasarkan pada persamaan-persamaan antarelemen yang bersifat segmenter dan tidak terpadu, serta Organic Solidarity, atau solidaritas yang terjadi karena kompleksitas sistem di masyarakat, didasarkan pada diferensiasi fungsi-fungsi dan adanya keterpaduan dan kerjasama antarelemen di sebuah struktur sosial, dan dilakukan demi kepentingan keseluruhan sistem tersebut.[15] Oleh karena itu, pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan jika ditinjau dari perspektif fungsionalis dapat menjadikan sebuah solidaritas antarindividu tanpa memandang unsur gender.

C. Gender dan Perubahan Sosial

Selain berkaitan dengan status dan peranan individu, artikel ini juga berargumen bahwa wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan berkaitan erat dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Merujuk pada Kingsley Davis (dalam Mu’in, 2004), perubahan sosial terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.[16] Perubahan-perubahan tersebut terjadi karena adanya perbedaan pola pikir (paradigma) antara sebuah generasi dengan generasi berikutnya, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran tindakan yang dilakukan secara signifikan. Soedjono Dirdjosisworo (1973:121) menyatakan bahwa perubahan sosial yang biasa terjadi di masyarakat adalah perubahan struktur dan sistem sosial di masyarakat, di samping perubahan yang terjadi secara sosio-kultural (adat, kebiasaan, kesenian, dll).[17]

Dalam perspektif fungsionalis, perubahan-perubahan sosial tersebut terjadi karena ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosial mereka.[18] Ketidakpuasan tersebut kemudian berimplikasi pada keinginan untuk mencari penemuan-penemuan baru yang memengaruhi konsepsi berpikir mereka. William Ogburn memerkenalkan konsep cultural lag (kejutan budaya) sebagai salah satu faktor perubahan sosial, di mana menurut Ogburn terjadi gap (kesenjangan) antara unsur-unsur masyarakat, sehingga beberapa unsurnya berubah secara cepat, dan unsur-unsur lainnya tidak secepat unsur tersebut.[19] Pandangan ini dipertegas oleh Polak (1960:391), yang menyebutkan bahwa perubahan sosial berpangkal pada kebudayaan, baik itu materiil maupun non-materiil[20].

Dalam kacamata Arnold Toynbee, perubahan sosial dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kemasyarakatan yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu tantangan dan tanggapan (challenge and response). Menurut Toynbee, jika suatu masyarakat –elemen masyarakat—mampu menyesuaikan diri dengan tantangan-tantangan tersebut, mereka akan mampu untuk tetap eksis di tengah perubahan.[21] Tesis Arnold Toynbee inilah yang idealnya dipegang dalam memandang kesetaraan gender, bahwa sebenarnya konsepsi kesetaraan gender terus mengalami tantangan dan sedikit deviasi dalam perjalanannya. Agar tetap eksis, konsepsi ini harus mampu menyesuaikan diri dalam merespons tantangan-tantangan tersebut dengan adanya sebuah paradigma dasar yang benar. [22]

Jika kita berbicara mengenai kesetaraan gender, korelasi yang terjadi antara wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan dengan perubahan sosial adalah mengenai batasan-batasan kesetaraan itu sendiri. Pada masing-masing periode, terjadi perbedaan pandangan yang berimplikasi pada perbedaan point of thinking (paradigma) di masyarakat. Pada abad ke-5, Bangsa Arab dengan nilai-nilai Islamnya memelopori konsepsi kesetaraan gender yang pada masa tersebut berorientasi pada perlindungan hak-hak dan kehormatan perempuan.

Konsepsi tersebut mengacu pada teks-teks keagamaan, baik itu Al-Qur’an, Hadits, Kitab-kitab ulama, dll. Perlindungan hak-hak ini juga memberikan jaminan kesamaan derajat dengan kaum laki-laki dalam hal kehidupan beragama. Ajaran Islam telah mengatur status dan peran perempuan, dengan memberikan batasan-batasan akhlak dan aturan-aturan yang bersifat melindungi hak laki-laki/perempuan. Dalam konsepsi Islam, laki-laki memang memiliki kewajiban sebagai pemimpin, dan wanita memiliki kewajiban sebagai pengelola hak-hak suami. Di sinilah letak kesetaraan gender yang berorientasi pada pembagian kerja dalam Islam agar tercipta solidaritas yang kuat[23].

Berbeda lagi dengan konsep kesetaraan gender di Eropa. Nilai kesetaraan gener di sini baru muncul jauh setelah kemunculan Islam. Gerakan ini dimulai pada era renaissance atau era pencerahan, sekitar abad ke-17. Pada era ini juga muncul wacana baru tentang kesetaraan gender, yaitu mengenai kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam berpendapat. Wacana ini kurang dapat diimplementasikan pada masa tersebut, karena ruang gerak perempuan masih bersifat terbatas akibat kondisi sosial masyarakat Eropa yang baru melepaskan diri dari praktik-praktik feodalisme dan kapitalisme tradisonal yang berorientasi pada monopoli golongan tertentu. Ide ini kemudian diteruskan pada abad ke-19 oleh gerakan feminisme yang mewacanakan konsepsi kesamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, yang juga berarti kebebasan berpendapat dan bergerak bagi kaum perempuan.

Pada periode ini juga muncul gerakan feminisme ekstrem di Eropa dan Amerika, yang secara radikal menolak institusi perkawinan serta menghindari integrasi dengan kaum laki-laki. Pemikiran ini cenderung dikotomis dan stratifikatif, karena masih menganggap kaum laki-laki sebagai kaum yang bertindak semena-mena terhadap perempuan, sehingga masih melakukan vertical classification antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran ini pun menurut hemat penulis masih terpengaruh asumsi publik yang salah bahwa perempuan adalah ‘masyarakat kelas dua’. Penyebab kemunculan gerakan ekstrem ini adalah ketidakadaan fondasi agama dan norma-norma, sehingga mengarah pada sekulerisasi dan liberalisasi yang tak mengenal batasan.[24]

D. Paradigma Kesetaraan Gender: Perlukah Sama Rata?

Secara fundamental, sebenarnya derajat antara laki-laki dan perempuan adalah sama, dengan konsiderasi bahwa laki-laki dan perempuan merupakan ketentuan yang telah dibawa sejak lahir. Ketentuan ini bermakna bahwa laki-laki dan perempuan merupakan ascribed status yang telah dibawa sejak lahir. Status ini sama antara laki-laki dan perempuan.

Akan tetapi, pada perkembangannya ternyata kesamaan ascribed status ini tak dapat disamakan dalam pembagian kerja, dan harus ada diferensiasi antara laki-laki dan perempuan. Diferensiasi ini tetap menganggap bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama secara status, dan tidak mempunyai kelas-kelas. Jika terjalin kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah institusi pernikahan yang sah, akan terbentuk solidaritas yang kuat, seperti yang telah diutarakan oleh Emile Durkheim melalui pendekatan fungsionalisnya.

Konsepsi kesetaraan gender ini pun seyogianya tidak disalahtafisrkan oleh publik dengan mengatakan bahwa bahwa kesetaraan gender merupakan kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Asumsi ini dapat menyebabkan mispersepsi publik yang mengubah paradigma dasar dari kesetaraan gender tersebut, sehingga menimbulkan implikasi-implikasi negatif. Seharusnya, kesetaraan gender ditafsirkan sebagai kesejajaran derajat –bukan kesamaan total di segala hal— antara laki-laki dan perempuan yang berarti ada perlindungan hak dan jaminan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan dalam batasan-batasan tertentu.

Menurut hemat penulis, wacana kesetaraan gender yang mencuat sekarang ini akan lebih menampakkan hasil di masyarakat jika wacana tersebut disinergikan dengan ajaran agama, karena pada dasarnya setiap agama telah memiliki konsep yang sangat jelas mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan. Konsep ajaran agama manapun telah menjamin kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, Jika masih ada penggolongan-penggolongan, hal tersebut berarti ada perlindungan hak-hak kaum perempuan/laki-laki, dan bukan merupakan sebuah ‘pengekangan’ atas aktivitas perempuan/ laki-laki. Sebaliknya, ajaran agama telah memberikan perlindungan atas kebenaran dan hak-hak asasi. [25]

Paradigma tersebut tak akan terealisasi jika tidak diintegrasikan dalam realitas empiris secara komprehensif. Oleh karena itu, sudah seyogianya ketentuan-ketentuan yang berlaku di masyarakat tidak berorientasi gender, sehingga tidak muncul asumsi yang salah dari publik. Akan tetapi, ketentuan yang berlaku di masyarakat harus berorientasi pada perlindungan hak-hak laki-laki dan perempuan, agar tidak ada yang merasa terzalimi dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan berlaku di masyarakat.[26]

E. Catatan Akhir

Wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan memang merupakan sebuah fenomena yang menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Terlepas dari silang pendapat tersebut, ada sebuah hal yang patut kita ambil sebagai hikmah, bahwa sebenarnya kedudukan dan Hak-hak asasi antara laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga tak boleh distratifikasikan secara dikotomis.[27] Mengenai pro-kontra kerumahtanggaan, hal yang harus dijadikan catatan adalah terbentuk solidaritas yang kuat antara laki-laki dan perempuan melalui sebuah institusi pengikat hubungan yang sah. Oleh karena itu, kesetaraan gender pun harus diimplementasikan melalui pernikahan yang sah, bukan melalui perselingkuhan atau free sex yang dilarang oleh norma di masyarakat.[28]

Maka, hal yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat kita bukanlah berkonflik, tetapi menjadikan perbedaan tersebut sesuatu yang memberi kekuatan. Ingatlah, persatuan yang kuat akan membawa bangsa ini keluar dari krisis berkepanjangan menuju gerbang kebangkitan yang dinanti-nantikan.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.

Andi, Hepi. Memuliakan Kaum Hawa. Sabili No. 21 Th. XII 5 Mei 2006/26 Rabiul Awal 1426.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Dirdjosisworo, Soedjono, 1973. Pengantar Sosiologi. Bandung : Penerbit Alumni.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Maliki, Musa, “Wacana Kearifan Kapitalis dalam Dunia Postmodern : Tinjauan atas Kampanye ONE/Live8”, Global, Jurnal Politik Internasional Vol. 8 no. 1 Desember 2005.

Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.

________________, Sosiologi SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.

Nurdi, Herry. “Setara tapi Tidak Sama”. Sabili No. 21 Th. XII 5 Mei 2006/26 Rabiul Awal 1426.

Polak, J.B.A.F Mayor, 1960, Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Malang : Ichtiar.

Rochayati, Nurul, dan Suzanne Maria A., “Debt Relief Melalui HIPC Initiatives dan Tantangan Mengatasi Kemiskinan Dunia”, Global, Jurnal Politik Internasional Vol.8 no.1 Desember 2005.

Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

________________, 1993, Kamus Sosiologi. Jakarta : CV. Rajawali.


Endnotes


[1] Beberapa waktu yang lalu, Kementrian Pemberdayaan Perempuan mencanangkan isu Keadilan dan Kesetaraan Gender sebagai isu yang akan diperjuangkan dalam beberapa tahun terakhir ini. Isu keadilan dan kesetaraan gender ini ditanggapi beragam oleh masyarakat, baik di level pusat maupun daerah. Di harian Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin, muncul berbagai tulisan yang mengomentari isu ini, baik yang pro maupun yang kontra.
[2] Tujuan penulisan artikel ini adalah menganalisis isu kesetaraan gender dalam pendekatan Ilmu Sosiologi, sehingga diharapkan penulis dapat memberikan sumbangsih komentar dan pemikiran yang khas dan merefleksikan ide-ide penulis tanpa melupakan aspek keilmuan yang dijadikan sumber rujukan dan konsep dasar.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka.
[4] Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.
[5] Maliki, Musa, “Wacana Kearifan Kapitalis dalam Dunia Postmodern : Tinjauan atas Kampanye ONE/Live8”, dalam Global, Vol. 8 no. 1 Desember 2005, hlm. 69.
[6] Soekanto, Soerjono, 1993, Kamus Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali.
[7]Argumen ini diberikan dengan asumsi dasar bahwa persoalan kesetaraan gender dimulai dari pandangan sebagian masyarakat yang menganggap status perempuan di masyarakat lebih rendah dari laki-laki, dikarenakan peranan laki-laki yang lebih besar dalam mencari nafkah dan penghidupan di masyarakat.
[8] Lihat Soekanto, Soerjono, 1993, Kamus Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali.
[9] Argumen ini diberikan dengan asumsi dasar bahwa pada masing-masing zaman, konsep mengenai kesetaraan gender selalu berubah-ubah, sesuai dengan kondisi sosio-kultural yang ada.
[10] Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga, hlm. 86.
[11] Ibid, hlm. 80.
[12] Stratifikasi sosial didefinisikan oleh Pitrim Sorokin sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan ke dalam kelas rendah, kelas sedang, dan kelas tinggi. Sedangkan diferensiasi sosial didefinisikan oleh Prof. Soerjono Soekamto sebagai variasi pekerjaan, prestise, dan kekuasaan kelompok di masyarakat, yang dikaitkan dengan interaksi atau akibat umum dari proses interaksi sosial yang lain.
[13] Pembagian kerja ini didasarkan pada kondisi fisik dan psikis yang ada pada laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki yang memiliki kemampuan fisik sangat cocok untuk ditempatkan pada pekerjaan yang memerlukan kondisi fisik yang prima. Sebaliknya, sangat tidak cocok menempatkan perempuan untuk bekerja pada pekerjaan yang memerlukan keahlian fisik yang besar. Penggolongan ini tak bermaksud mengelaskan gender, tetapi hanya menjaga pengondisian agar nantinya ketika laki-laki dan perempuan bekerjasama, terbentuk solidaritas yang kuat.
[14] Pendekatan fungsionalis ini diperkenalkan oleh Emile Durkheim, dan pada dasarnya sejalan dengan pandangan Herbert Spencer dengan pendekatan organisnya.
[15] Lihat Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga, hlm. 17.
[16] Soekanto, Soerjono, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo, hlm. 304.
[17] Dirdjosisworo, Soedjono, 1973, Pengantar Sosiologi. Bandung : Penerbit Alumni, hlm. 121.
[18] Pendekatan fungsionalis mengenai perubahan sosial ini diangkat oleh William Ogburn dengan konsep cultural lagnya.
[19] Lihat Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga, hlm. 88.
[20] Pandangan Ogburn ini dipertegas oleh Drs. JBAF Mayor Polak dalam Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas, Malang : Ichtiar, 1960, hlm. 391
[21] Lihat Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga, hlm. 89. Tesis Arnold Toynbee ini menggunakan pendekatan siklis dalam menganalisis perubahan sosial.
[22] Rekomendasi ini diberikan karena merefleksikan pendapat tokoh-tokoh sosiologi yang ada. Tesis Toynbee ini menurut hemat penulis memiliki kedekatan dengan realita yang ada, terutama dalam konteks pewacanaan kesetaraan gender. Penulis menilai bahwa jawaban atas perubahan sosial dalam konteks diskursus kesetaraan gender diperlukan dengan adanya paradigma dasar yang benar.
[23] Konsepsi hak-hak wanita dalam Islam ini diulas dalam Majalah Sabili, No. 21 Th. XII 5 Mei 2006/26 Rabiul Awal 1426, hlm. 39. Dalam ulasan tersebut, Sabili menyatakan bahwa Islam sebenarnya telah menempatkan perempuan pada posisinya, dan derajat mereka tidak berada di bawah laki-laki.Keadilan bukan berarti sama, tetapi menempatkan sesuatu pada posisinya. Inilah bentuk kemanusiaan Islam dalam konteks kesetaraan gender. Pandangan Sabili ini paralel dengan konsep Insaniyah yang diangkat oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Lihat buku Yusuf Al-Qaradhawi, Kebudayaan Islam Eksklusif atau Inklusif, pent. Jasiman, Solo : Era Intermedia, 2001, hlm.38.
[24] Menurut hemat penulis, konsep kesetaraan gender yang dibawa oleh gerakan humanisme dan feminisme ini memiliki banyak kelemahan. Di antaranya ialah tidak adanya tolak ukur pasti mengenai konsep kesetaraan gender tersebut. Konsep yang dibawa oleh gerakan feminisme ini hanya menyuarakan persamaan, tanpa ada tolak ukur mengenai kesamaan tersebut. Berbeda dengan Islam yang memiliki Al-Qur’an dan Hadits sebagai acuan utama konsep kesetaraan gender. Selain itu, konsep kesetaraan gender yang dibawa oleh gerakan feminisme ini juga tidak memberikan konsep mengenai perlindungan hak-hak perempuan, dan cenderung menutup mata dengan kemampuan fisik dan psikis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Implikasinya, wacana yang mereka bawa terperangkap sendiri oleh gejolak liberalisme, sehingga muncullah mazhab feminisme ekstrem yang menolak integrasi dengan laki-laki melalui institusi pernikahan yang sah. Pada akhirnya, aspek moralitas menjadi hilang dan luntur dengan mengemukanya kebebasan yang kebablasan ini.
[25] Dalam ajaran Islam, kesejajaran derajat ini dibuktikan dengan adanya Al-Qur’an Surah Al-Hujurat : 13, “Sesungguhnya yang paling baik di antara kamu ialah yang paling bertakwa” dan di Surah An-Nisa :124 yang artinya, “Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan , sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk surga danmereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. Tak ada penggolongan sama sekali. Jika dalam ayat lain ada konsep penggolongan laki-laki dan perempuan, maka itulah bentuk perlindungan dari Islam kepada hak-hak manusia. Sekali lagi, Hak Asasi Manusia yang paling humanis menurut hemat penulis adalah Hak Asasi yang ditawarkan oleh ajaran agama, agama manapun itu.
[26] Di sinilah peran pemerintah. Seharusnya, kebijakan-kebijakan yang dituangkan oleh pemerintah memberikan perlindungan atas hak-hak laki-laki/perempuan.
[27] Prof. Dr. Chamamah Soeratno (dalam Majalah Sabili, No. 21 Th. XII 5 Mei 2006/26 Rabiul Awal 1426, hlm. 46) juga menyebutkan hal demikian, bahwa posisi antara laki-laki dan perempuan bukan pada relasi hierarkhis.
[28] Pernikahan merupakan salah satu upaya untuk membentuk solidaritas, yang dimanifestasikan dalam institusi keluarga. Menurut Prof. Dr. Chamamah Soeratno, salah satu langkah riil dalam mengimplementasikan solidaritas adalah dengan membentuk keluarga sakinah, sehingga jika dalam keluarga telah tertanam nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender, Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat direduksi secara signifikan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Senang dan salut membaca tulisan Anda.