Minggu, 15 Juni 2008

Perubahan Lingkungan dan Penanganannya dalam Perspektif Etika Lingkungan

(Artikel ini adalah makalah penulis ketika masih duduk di Kelas X SMAN 1 Banjarmasin)


A. QUO-VADIS PENANGANAN LINGKUNGAN INDONESIA : SEBUAH PENGANTAR

“Malu kita dipandang bangsa lain, jika dalam permasalahan sampah saja kita tidak bisa mengurusnya.”

(Presiden Susilo Bambang Yudhoyono)

Pernyataan di atas tidak diucapkan oleh sembarang orang, namun diucapkan oleh Orang Nomor Satu di Indonesia, yaitu Presiden RI, Bapak Jend TNI (Purn) Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Komentar yang terdengar agak pedas ini disampaikan dalam kunjungan beliau ke Kota Kembang Bandung dalam rangkaian acara kenegaraan. Dalam sambutannya beliau juga mengungkapakan keprihatinan beliau akan parahnya penanganan sampah di Bandung.

Beliau bercerita, “Ketika mobil berada di pintu masuk Kota Bandung, terasa ada bau sampah yang menyengat. Bau ini masih terasa sampai kawasan Cihampelas. Di kawasan ini bau sudah mulai reda, namun di kawasan berikutnya sudah ada lagi bau sampah, dan sudah tidak ada lagi ketika ada ada kerumunan rakyat yang menyambut kedatangan rombongan. Ketika saya turun dari mobil, hal pertama yang saya tanyakan pada pak Gubernur adalah, ‘Pak, bagaimana sampahnya?’ Rupanya, sampah telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kota ini “.

Sementara itu, hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Banjarmasin. Ketika Wapres RI Bapak HM. Jusuf Kalla melakukan kunjungan ke kota Banjarmasin dalam rangka membuka Musywil Partai Golkar, beliau mengomentari Banjarmasin sebagai “Kota Terkumuh” di Indonesia. Pak Wapres mengomentari tata kota yang semrawut, ruko-ruko yang dibangun di tempat yang salah, dan Pedagang Kaki Lima yang mengurangi estetika kota karena berjualan di pinggir jalan. Tak ayal lagi, komentar yang membuat kuping panas ini menyebabkan “revolusi” lingkungan di Kota Banjarmasin. Dipimpin oleh Walikota terpilih H. Yudhi Wahyuni, pembersihan besar-besaran dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai ulama, pelajar, sampai pegawai kantor. Dengan berbagai usaha, diharapkan Kota Banjarmasin dapat mengubah image buruknya di mata masyarakat.

Dua kasus di atas merupakan suatu indikasi bahwa penanganan lingkungan hidup di Indonesia masih dilakukan ‘setengah-setengah’. Padahal lingkungan merupakan suatu sumber daya yang dapat dilestarikan guna penghidupan anak-cucu kita di masa yang akan datang. Persoalan sampah yang terjadi di Bandung dan Banjarmasin seyogyanya membuat kita mengintrospeksi diri, sudahkah kita mewariskan sesuatu yang berharga kepada anak-cucu kita? Sudahkah kita mengamalkan ajaran Islam untuk menjaga kebersihan? Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman? Terlepas dari perdebatan mengenai kualitas sanad hadits yang membahas permasalahan kebersihan tersebut, kita bisa mengambil hikmah bahwa kebersihan harus terus kita jaga. Ingat, malu kita dipandang bangsa lain, jika mengenai permasalahan sampah saja kita tidak bisa mengurusnya. Bukankah membuang sampah pada tempatnya juga merupakan suatu bentuk pendisiplinan diri dalam mencapai kesuksesan?

B. PERUBAHAN LINGKUNGAN

Lingkungan selalu mengalami perubahan yang dapat mengganggu keseimbangan rantai makanan di suatu lingkungan dikarenakan terputusnya salah satu mata rantai dalam rantai makanan tersebut. Selain itu, faktor-faktor penyebab perubahan lingkungan, di antaranya penebangan hutan, industrialisasi, konversi lahan basah, Illegal logging, penebangan mangrove, dan Penerapan intensifikasi tanaman juga cukup marak terjadi. Secara alamiah, perubahan lingkungan juga disebkan oleh Tsunami, gunung meletus, tanah longsor, banjir, angin ribut, dan kebakaran hutan.

Dari sini sebenarnya ada satu permasalahan menarik yang patut dianalisis secara lebih mendalam, yaitu persoalan Penebangan liar, yang akhir-akhir ini mulai ribut dibicarakan. Perlu kita ketahui, Indonesia dikenal dunia sebagai “Untaian Zamrud Khatulistiwa”. Julukan ini disandarkan pada kesan penglihatan seorang ahli geografi yang memandang Indonesia bagaikan zamrud yang berkilauan, berwarna hijau sehingga dianggap merepresentasikan hutan di negara ini. Namun ironisnya sekarang banyak terjadi kasus Illegal Logging di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu diberitakan bahwa Bupati Tanah Laut Adriansyah telah diperiksa oleh Polda Kalsel terkait kasus Illegal Logging di daerahnya. Kemudian menyusul ditetapkannya pengusaha Anton Gunadi sebagai tersangka kasus Illegal Logging yang melibatkan perusahaannya. Lalu kita pun mendengar daftar DPO Polda Kalsel yang memasukkan beberapa pengusaha kayu.

Semuanya menunjukkan betapa arogannya pengusaha-pengusaha kita dalam memperlakukan alam. Padahal ada pepatah Inggris yang mengatakan, ‘If you can read the sign, The sign is everywhere’. Herry Nurdi, mantan Redaktur Pelaksana majalah islam ‘Sabili’ dalam tulisannya di majalah Sabili pada rubrik Tafakur edisi Dzulhijjah 1426 H mengatakan bahwa orang-orang Jawa dilarang memotong daun pisang muda. Pelarangan ini dilakukan bukan karena nuansa mistis, namun untuk perkembangan daun pisang tersebut. Di Lamalaera, para nelayan hanya diperbolehkan berburu ikan sekali setahun, karena perburuan berlebih bisa mengancam eksistensi nelayan tersebut. Suku Sakai memiliki waktu khusus untuk memanen hasil hutan. Kesemuanya itu disebut sebagai Natural Wisdom atau kearifan alam. Nah, berkaca dari ulasan Bang Herry Nurdi di atas, tidakkah para pelaku Illegal logging tersebut berkaca pada kearifan alam?

Selain itu, juga dijelaskan permasalahan industrialisasi yang berlebihan. Di LKS disebutkan bahwa dampaknya adalah berkurangnya lahan subur, penurunan keanekaragaman hayati, dan pemanasan global. Selain itu, ada satu lagi yang kurang dari penjelasan pak Solikhi tersebut, yaitu hujan asam. Dalam ilmu kimia, hujan asam terdiri dari NO2 dan SO2 . Hujan asam dapat menyebabkan polusi udara yang membuat udara menjadi kurang sehat. Dengan kadar pH yang cukup tinggi, maka hujan asam ini cukup berbahaya. Nah, berangkat dari sini mau dikemanakan anak cucu kita?

C. ETIKA LINGKUNGAN

Ada beberapa upaya pencegahan berdasarkan prinsip-prinsip etika lingkungan. Berikut penjelasannya.

a. Secara Administratif-Birokratis

Dalam pencegahan dampak negatif perubahan lingkungan, pemerintah RI telah memberlakukan UU no. 23 tahun 1997 tentang lingkungan hidup. UU ini menyebutkan bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi lingkungan hidup. Selain itu juga ada PP no. 29 tahun 1986 tentang Amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan). Sementara di Banjarmasin, sudah ada Perda no 3 tahun 2004 tentang kebersihan lingkungan.

b. Secara Teknologi

Pembuatan unit pengolah limbah merupakan ide yang cukup brilian dalam penanganan lingkungan. Selain itu, juga cukup diperlukan semacam pusat daur-ulang sampah mengingat tidak semua sampah yang bisa dibuang begitu saja, masih ada sampah yang bisa didaur-ulang.

c. Secara Sosial-Edukatif

Melalui kampanye lingkungan hidup yang kerap kali dilakukan aktivis Greenpeace atau NGO-NGO yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup, etika lingkungan bisa disosialisasikan kepada masyarakat. Tentunya ini memerlukan peran serta pemerintah dalam penangangan teknisnya.

d. Secara Teknis-Implementatif

Untuk mengimplementasikan lingkungan hidup, banyak cara yang bisa dilakukan. Reboisasi, Penebangan tebang pilih, dan lain sebagainya. Yang penting caranya bisa diterima an dapat menjaga kelangsungan hidup lingkungan kita.

e. Secara Religius

Dalam konteks agama, etika lingkungan bisa ditransformasikan melalui bentuk pemikiran-pemikiran kaunitas yang mengambil dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Silakan buka Al-Qur’an Surah Yasin : 33-37 sebagai salah satu contoh. Selain itu Al-Qur’an juga beberapa kali menguraikan tentang Kerusakan di muka bumi oleh manusia. Dengan bersandar kepada ayat-ayat di atas, seorang da’i dapat menggunakan pendekatan religius untuk mereduksi dapmpak negatif dari perubahan lingkungan .





1 komentar:

Black Hawk mengatakan...

Aku terkesan, saya harus mengatakan. Sangat jarang saya menemukan sebuah blog yang informatif dan menghibur Judi Bola